Ta’awu
n
Muwashafat yang ingin dicapai
• Menyambung silaturrahim (p)
• Menjadikan dirinya bersama orang baik (p)
• Menebar senyum di depan orang lain (p)
• Berhati lembut (s)
• Membantu yang membutuhkan (p)
• Memberikan pelayanan umum karena
Allah SWT (s)
I. TUJUAN UMUM
Menguatkan ikatan dengan sunnah Rasulullah Saw, berdasarkan pada landasan fahm
(pemahaman), cinta, mengerti akan pikiran-pikiran pokoknya, dan ikatan dengan petunjuk-
petunjuknya, beramal dengan hukumnya diiringi
dengan pemahaman yang baik, merumuskan
sasaran-sasaran yang tepat sebagai petunjuk
untuk segala zaman dan tempat, dan kembali
kepadanya dalam segala hal lebih-lebih ketika
terjadi pertentangan.
II. TUJUAN KHUSUS
1. Menerangkan keutamaan kerjasama sesama kaum mukminin
2. Menerangkan urgensi takaful (saling mencukupi) antara anggota masyarakat
3. Menerangkan sabda Rasulullah saw:
4. Menerangkan pemahaman syafaat dalam hadits ini 5. Menunjukkan dalil bahwa syafaat itu hanya boleh
dalam kebaikan
6. Membaca nash hadits dengan baik
7. Menghafalkan hadits-hadits yang sudah ditentukan 8. Menyebutkan perawi hadits, yang mentakhrijnya, dan
derajatnya.
9. Menyebutkan tema hadits
1. Menjelaskan arti kosa kata hadits
2. Membuktikan arti hadits dengan ayat-ayat al Qur`an sedapat mungkin 3. Membuktikan dengan contoh yang mengaitkan hadits dengan
kenyataan yang terjadi
4. Menerapkan ilmu jiwa dan ilmu social dalam menjelaskan arti hadits, sebisa mungkin
5. Menjelaskan petunjuk-petunjuk tarbawi yang ditunjukkan oleh hadits 6. Menyebutkan hukum-hukum fiqih yang mungkin disimpulkan dari
hadits
7. Menghidupkan hadits itu melalui nilai-nilai dan perilaku, dalam kehidupan nyata
8. Menghasilkan dan melahirkan hakikat dan nilai tarbawiyah.
9. Menjelaskan beberapa amalan yang membawa pelakunya masuk surga.
III. SASARAN AFEKTIF
1. Berinteraksi dengan baik terhadap hadits-hadits Rasulullah Saw 2. Tekun menghafal matan (isi) hadits
3. Komitmen dengan arti dan arahan hadits tersebut 4. Komitmen dengannya dalam kehidupan nyatanya
5. Punya kepedulian menyebarkannya dan menyeru orang lain kepadanya, dimulai dari keluarga, kerabat dekatnya dan orang yang berhak mendapatkannya
6. Berusaha untuk teliti (selektif) dalam menyebarkannya pada orang lain 7. Menegaskan keshohihan hadits tersebut sebelum meriwayatkannya
8. Pintar mengambilnya sebagai dalil dalam kesempatan yang berbeda-beda 9. melakukan ta’awun antara kaum mukminin
10. menganjurakan saudaranya untuk berbuat baik (taawun)
11. Memberikan syafaat untuk menyingkirkan kesulitan dari orang lain 12. Memperhatikan kaum lemah dan membantu keperluannya
IV. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Pilihan kegiatan yang bisa diselenggarakan dalam halaqah adalah:
1. Kegiatan Pembuka
• Mengkomunikasikan tema dan tujuan kajian Ta'awun sesama mukmin; dan keutamaannya
2. Kegiatan Inti:
• Kajian tentang tema Ta'awun sesama mukmin; dan keutamaannya
• Berdikusi dan tanya jawab tema tersebut ( lihat tujuan Kognitif, afektif dan psikomotor)
• Penekanan dari Murobbi tentang nilai dan hikmah yang terkandung dalam kajian tersebut
3. Kegiatan Penutup:
• Tugas mandiri (lihat kegiatan pendukung)
• Evaluasi (dibuat soal sesuai tujuan khusus, afektif, dan psikomotor)
V. PILIHAN KEGIATAN PENDUKUNG.
1. Menyampaikan khutbah tentang urgensi ta’awun/ 2. kerjasama antara sesama kaum mukminin
3. Menganjurkan berbuat kebaikan di tengah-tengah manusia 4. Membuat majalah dinding tentang urgensi kerjasama sesama
kaum mukminin
5. Menulis makalah tentang urgensi takaful/saling melindungi di masyarakat
6. Mengumpulkan hadits-hadits lain yang berhubungan dengan tema bahasan yang sudah ditentukan
7. Menyiapkan kertas yang bisa ditempelkan yang berisi hadits- hadits yang sesuai dengan kondisi mad`u
8. Menyiapkan perlombaan di bidang hadits ( hafalan – pemahaman – tema – sanad – takhrij - …..)
VI. TUJUAN TARBIYAH DZATIYAH
1. Menganjurkan kepada kebaikan dengan dikerjakan langsung, atau memfasilitasinya.
2. Menjelaskan kepada pembesar untuk menghilangkan kesulitan dan membantu yang lemah.
3. Menjelaskan keutamaan tolong menolong antara
sesama mukmin, saling menguatkan satu dengan yang lain dengan pertolongan pada hal-hal yang berguna dan bermanfaat.
4. Menyimpulkan hakikat-hakikat dan nilai-nilai tarbawi yang dituju oleh hadits itu
5. Menerangkan pentingnya seorang muslim
memperhatikan saudaranya
VII. SARANA EVALUASI DAN MUTABA’AH.
1. dialog dan diskusi
2. pencatatan untuk menegaskan ketelitian membaca nash hadits, memahami dan mempraktekkannya
3. berbaur melalui kunjungan-kunjungan, rihlah dan aktifitas yang berbeda-beda
4. menyiapkan formulir untuk menegaskan tercapainya sasaran
5. wirid muhasabah pada bidang yang dituju oleh
hadits
VIII. Referensi
1. Buku-buku hadits yang terpercaya
(mu`tamad) ( Shohih Bukhori – Shohih Muslim-Riyadlus Sholihin)
2. Buku-buku syarah hadits ( Fathul Bari – an
Nawawi dalam syarah Muslim – Dalilul Falihin fi Syarhi Riyadis Sholihin )
3. Taujihat Nabawiyah karya Dr. Sayyid Nuh.
4. Riyadush Sholihin Karya Imam Nawawi
5. At Targhib wat Tarhib, Al Mundziriy
Al-Muhtawa
Penjelasan:
Abu Musa, bernama asli Abdullah bin Qais
ِنِم ؤؤُمؤلِل ُنِم ؤؤُمؤلا Sebagian mukmin atas sebagian mukmin lainnya, ِناَيؤنُبؤلاَك adalah seperti bangunan. ًاض ؤعَب ُهُض ؤعَب ّدُشَي Sisi kesamaannya dengan bangunan adalah pada sikap saling menopang. ِهِعِباَصَأ َنؤيَب َكّبَش ّمُث Inilah penjelasan tentang kemiripan situasi kaum mukminin yang saling menguatkan. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa siapa pun yang ingin membuat penjelasan lebih detail dalam berbicara dapat diperagakan dengan gerakan agar lebih berkesan dalam hati.
ٍة َجا َح ُبِلاَط ْوَأ ُلَأْسَي ٌلُجَر َءاَج ْذِإ اًسِلاَج َمّلَس َو ِهْيَلَع ُ ّا ىّلَص ّيِبّنلا َناَك َو Ketika itu Nabi Muhammad duduk, tiba-tiba datang seorang lelaki yang meminta bantuan. Penggabungan kata thalib dengan haajah, dalam riwayat lain: kata thalib dibaca tanwin dan hajatan dibaca nashab
(fathahatain).
ِهِه ؤج َوِب اَنؤيَلَع َلَبؤقَأ Rasulullah saw menghadapkan wajah mulianya kepada kami, lalu bersabda: ااوُعَفؤشا tolonglah keperluan orang yang meminta bantuan ini, dengan kebaikan, maka اوُر َج ؤؤُت kalian akan mendapatkan balasan.
Allah berfirman :
ْعَفْشَي ْنَمَو اَهْنِم ٌبيِصَن ُهَل ْنُكَي ًةَنَسَح ًةَعاَفَش ْعَفْشَي ْنَم ٍء ْيَش ّلُك ىَلَع ُ اا َناَكَو اَهْنِم ٌلْفِك ُهَل ْنُكَي ًةَئّيَس ًةَعاَفَش اًتيِقُم
“Barang siapa yang memberikan syafa'at yang baik
[1], niscaya ia akan memperoleh
bahagian (pahala) dari padanya. dan barang siapa memberi syafaat yang buruk
[2],
niscaya ia akan memikul bahagian (dosa)
dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (An Nisa’:85)
[1] syafa'at yang baik ialah: setiap sya'faat yang ditujukan untuk melindungi hak seorang muslim atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan.
[2] syafa'at yang buruk ialah kebalikan syafa'at yang baik.
At Thabrani meriwayatkan dengan sanad shahih dari Mujahid; berkata: ayat di atas berbicara tentang tolong menolong sesama manusia. Dan kesimpulan maknanya
adalah: bahwa orang yang memberikan pertolongan kepada orang lain, maka ia mendapatkan bagian kebaikan, dan
barang siapa tolong menolong dalam kebatilan maka ia mendapatkan bagian dosa. Syafaat hasanah yang
disebutkan dalam ayat di atas adalah pertolongan dalam kebaikan, melindungi hak sesama muslim, menghindarkan dari keburukan atau mendapatkan kebaikan, mencari ridha Allah, tidak ada risywah/suap. Pada masalah yang
mubah/boleh/tidak terlarang, tidak untuk menggagalkan
salah satu had/hukum pidana yang telah Allah tetapkan,
tidak pula untuk menghilangkan hak orang lain.
Iyadh berkata: Tidak ada pengecualian dari ruang pertolongan yang dianjurkan kecuali dalam masalah had/pidana yang telah Allah
tetapkan. Maka dalam masalah yang tidak ada ketentuan had terutama bagi orang yang tidak sengaja, dan dikenal sebagai orang bersih,
pertolongan sangat dianjurkan. Selanjutnya ia mengatakan: Adapun bagi orang yang terbiasa dengan tindakan destruktif, terkenal sebagai ahlul bathil maka tidak berlaku syafaat bagi mereka, agar dapat menjadi pencegah
kemaksiatannya.
Ungkapan Iyadh ini didukung oleh riwayat Al Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya dari Aisyah ra.
اَهيِف ُمّلَكُي ْنَم َو اوُلاَقَف ْتَق َرَس يِتّلا ِةّيِموُز ْخَمْلا ِةَأ ْرَمْلا ُنْأَش ْمُهّمَهَأ اًشْي َرُق ّنَأ اَهْنَع ُ ّا َي ِضَر َةَشِئاَع ْنَع ِهْيَلَع ُ ّا ىّلَص ِ ّا ِلوُسَر ّبِح ٍدْيَز ُنْب ُةَماَسُأ ّلِإ ِهْيَلَع ُئ ِرَت ْجَي ْنَم َو اوُلاَقَف َمّلَس َو ِهْيَلَع ُ ّا ىّلَص ِ ّا َلوُسَر ّمُث َبَطَت ْخاَف َماَق ّمُث ِ ّا ِدوُدُح ْنِم ّد َح يِف ُعَفْشَتَأ َمّلَس َو ِهْيَلَع ُ ّا ىّلَص ِ ّا ُلوُسَر َلاَقَف ُةَماَسُأ ُهَمّلَكَف َمّلَس َو ِهْيَلَع اوُماَقَأ ُفيِعّضلا ْمِهيِف َقَرَس اَذِإ َو ُهوُكَرَت ُفي ِرّشلا ْمِهيِف َقَرَس اَذِإ اوُناَك ْمُهّنَأ ْمُكَلْبَق َنيِذّلا َكَلْهَأ اَمّنِإ َلاَق اَهَدَي ُت ْعَطَقَل ْتَق َرَس ٍدّم َحُم َتْنِب َةَم ِطاَف ّنَأ ْوَل ِ ّا ُمْيا َو ّدَحْلا Bahwa suku Quraisy disibukkan oleh seorang wanita dari Bani Mahzum yang mencuri pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka mencari siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah saw. Maka Usamah menyampaikan hal ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda: Apakah kamu
hendak memberi pertolongan dalam hukum pidana Allah? Kemudian Rasulullah berdiri dan berkhutbah:...Sesungguhnya hancurnya umat sebelum kalian adalah bahwa mereka itu jika ada orang mulia yang
mencuri mereka biarkan, dan jika ada orang lemah yang mencuri mereka tegakkan hukum pidana. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad
mencuri maka akan aku potong tangannya.
َءاَش اَم ِهّيِبَن ِناَسِل َىلَع ُا َي ِضؤقَي َو Dan Allah berlakukan lewat lesan Nabi-Nya apa yang dikehendaki, dalam meluluskan hajat atau tidak meluluskannya, adalah dengan takdir Allah.
1. Keutamaan tolong menolong antara sesama mukmin, saling menguatkan satu dengan yang lain dengan pertolongan pada hal-hal yang berguna dan bermanfaat. Rasulullah saw telah bersabda: ِناَيؤنُبؤلااا َاك ِنِم ؤؤُمؤل ِاال ُنِم ؤؤُمؤلااا
2. Anjuran kepada kebaikan dengan dikerjakan langsung, atau memfasilitasinya. Rasulullah saw menganjurkan syafaat.
3. Syafaat kepada pembesar untuk menghilangkan kesulitan dan membantu yang lemah. Sebab tidak semua orang dapat
berkomunikasi dengannya, dan mampu mendesaknya, atau menjelaskan keinginannya, agar dapat menjadi pertimbangan pembesar. Rasulullah saw pernah ada orang yang meminta
syafaat –padahal Rasulullah tidak pernah menolak seorangpun- dalam memenuhi hajatnya.