• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUTORIAL 1 HUKUM HAM LANJUTAN EKSISTENSI PECALANG SEBAGAI SATUAN KEAMANAN TRADISIONAL MASYARAKAT BALI

N/A
N/A
dithaaristyaa

Academic year: 2023

Membagikan "TUTORIAL 1 HUKUM HAM LANJUTAN EKSISTENSI PECALANG SEBAGAI SATUAN KEAMANAN TRADISIONAL MASYARAKAT BALI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TUTORIAL 1

HUKUM HAM LANJUTAN

Discussion Task (1): PECALANG DAN HAM

“EKSISTENSI PECALANG SEBAGAI SATUAN KEAMANAN TRADISIONAL MASYARAKAT BALI

KELOMPOK 3

1. Effie Maria Lamtiur Sipahutar (2104551320)

2. Ramadhan Al-Muthahar (2104551323)

3. Km. Ditha Aristya Pramesti (2104551325)

4. Putu Radinia Arva Adistya (2104551326)

5. Victoria Beatrice Angelica (2104551330)

KELAS D

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2023

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Secara konseptual, negara pada dasarnya memegang kewenangan eksklusif di bidang keamanan yang dijalankan secara khusus oleh Pemerintah Pusat. Dalam kajian keamanan, pemahaman tentang konsep keamanan setidaknya dapat dilihat dari dua pendekatan yakni pendekatan tradisional dan non-tradisional. Secara umum, keduanya sama-sama berkutat mendebatkan wilayah cakupan keamanan.1 Selain itu, terkait dengan negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan dapat dibuktikan melalui Pasal 30 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan eksklusif di bidang keamanan tersebut kemudian diatribusikan kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya dapat dilaksanakan sendiri dan/atau didelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Akan tetapi, dalam praktiknya Pemerintah Daerah kadang kala mendelegasikan kewenangan di bidang keamanan tersebut bukan kepada lembaga yang berada di pemerintahan. Sebagai contoh yang ada di Provinsi Bali, bahwa Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pecalang untuk menjaga keamanan dan ketertiban walaupun terbatas pada wilayah di wewidengan desa pakraman. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, Pacalang adalah satgas (satuan tugas) keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik di tingkat banjar pakraman dan atau di wilayah desa pakraman.

Dalam pelaksanaannya, Pecalang atau petugas keamanan adat Bali berperan sebagai ujung tombak dalam pengawasan serta pembinaan yang dilakukan bersama dengan sejumlah unsur terkait seperti TNI, Polri dan Linmas.2 Adapun Dasar Hukum yang menjamin keberadaan Pecalang adalah Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke- 4. Dalam pasal ini menyatakan "Negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menentukan sebagai berikut:

(1) Keamanan dan ketertiban wilayah Desa Pakraman, dilaksanakan oleh pecalang; (2) Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah Desa pakraman dalam

1A’raf, Al. (2015). Dinamika Keamanan Nasional. JURNAL KEAMANAN NASIONAL, 1(1), 27-40.

2 Ningrum, Putu Ary Prasetya. (2020). Eksistensi Pecalang Dan Banjar Adat Dalam Upaya Pencegahan COVID- 19 Di Tanggahan Tengah. Pariksa: Jurnal Hukum Agama Hindu 4(2), 62-72.

(3)

hubungan tugas adat dan agama; (3) Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh Desa Pakraman berdasarkan paruman desa.3

Maka masyarakat dalam wadah Desa pakraman mempunyai landasan yang kuat untuk berperan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, guna mewujudkan ketentraman dan ketertiban, serta untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian pecalang adalah alat keamanan yang dimiliki oleh Desa Pakraman di Bali. Sebagai masyarakat hukum adat yang otonom, Desa Pakraman memang mempunyai wewenang membentuk satuan pengamanan yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan Desa Pakraman.4 Oleh sebab itu, dalam penulisan ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai eksistensi pecalang sebagai satuan keamanan tradisional masyarakat Bali.

II. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini, sebagai berikut:

1. Apakah negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan?

2. Apakah pelaksanaan tugas pengamanan yang dilakukan oleh pecalang merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh aktor bukan negara? Bagaimana tentang tanggung jawab negara dalam hal ini?

3. Apakah pecalang atas nama desa pakraman dapat menjadi bagian dari tim keamanan investor (hotel) di wewengkon (wilayah) desa pakraman dilihat dari HAM?

4. Apakah investor dapat menolak keinginan desa pakraman yang menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan investor yang ada di wewengkon (wilayah) desa pakraman dilihat dari perspektif HAM?

3 Susila, I. N. A., & Karmini, N. N. (2019). NILAI-NILAI PANCASILA DALAM CERITA RAKYAT BALI SEBAGAI PEMBELAJARAN DAN PENANAMAN KARAKTER BANGSA. Suluh Pendidikan, 17(2), 101- 114.

4 Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Pembelajaran Abad 21 Dan Pengembangan Program Studi Filsafat Hindu Di Stahn Mpu Kuturan Singaraja. PINTU: Jurnal Penjaminan Mutu, 1(2).

(4)

III. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang Kewenangan Eksklusif Negara di Bidang Keamanan

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang Pelaksanaan Tugas Pengamanan yang dilakukan oleh Pecalang

3. Untuk Mengetahui dan Memahami Kedudukan Pecalang Sebagai Tim Keamanan Atas Suatu Hotel Milik Investor Yang Berada Pada Wilayah Desa Pakraman Berdasarkan Perspektif HAM

4. Untuk Mengetahui dan Memahami Kedudukan Investor Ketika Pihak Pecalang Hendak Menjadi Bagian Dari Sistem Keamanan Investor Berdasarkan Perspektif HAM

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kewenangan Eksklusif Negara di Bidang Keamanan

Terkait dengan negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan dapat dibuktikan melalui Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:

Pasal 30

(1) Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara.

(2) Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.

(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.

(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban Masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani Masyarakat, serta menegakkan hukum.

(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang- undang.

Sehubungan dengan pecalang yang bertugas menjaga ketertiban dan pengamanan lainnya sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) dimana maksud dari pasal tersebut adalah setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak yang sama yaitu hak ikut serta dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara, yang berarti warga negara diharuskan supaya bisa turut serta dalam usaha mempertahankan negara dari gangguan ancaman, baik itu dari luar maupun dari dalam negeri.

(6)

Kemudian, secara konseptual negara pada dasarnya memegang kewenangan eksklusif di bidang keamanan yang dijalankan secara khusus oleh Pemerintah Pusat. Hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa:

Pasal 9

(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan jenis-jenis dari urusan pemerintahan absolut, diatur lebih lanjut melalui ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menentukan bahwa:

Pasal 10

(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Berdasarkan ketentuan tersebut, secara eksplisit telah ditentukan bahwa yang berwenang dalam melaksanakan urusan pemerintahan absolut khususnya di bidang keamanan adalah negara melalui Pemerintah Pusat. Namun, dalam menjalankan urusan pemerintahan absolut tersebut, Pemerintah Pusat tidak melulu melaksanakannya secara sendiri, akan tetapi dapat pula dilakukan melalui pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Daerah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menentukan bahwa:

Pasal 10

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:

a. melaksanakan sendiri; atau

(7)

b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Dengan berlandaskan pada ketentuan-ketentuan di atas, dapat dikatan bahwa negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan sebagaimana diatur pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian kewenangan tersebut diatribusikan kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya dapat dilaksanakan sendiri dan/atau didelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Akan tetapi, dalam praktiknya Pemerintah Daerah kadang kala mendelegasikan kewenangan di bidang keamanan tersebut bukan kepada lembaga yang berada di pemerintahan. Sebagai contoh yang ada di Provinsi Bali, bahwa Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pecalang untuk menjaga keamanan dan ketertiban walaupun terbatas pada wilayah di wewidengan desa pakraman. Hal tersebut sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 20 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali yang berbunyi:

“Pecalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pecalang, adalah satuan tugas keamanan tradisional Bali yang

dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah di wewidangan Desa Adat.”

Dengan berlandaskan pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara pada dasarnya memiliki kewenangan yang eksklusif di bidang keamanan, akan tetapi tidak bersifat mutlak. Hal ini karena adanya keterlibatan oleh pihak-pihak di luar lembaga pemerintahan yang turut menjalankan tugas di bidang keamanan.

2.2. Pelaksanaan Tugas Pengamanan Yang Dilakukan Oleh Pecalang

Secara konseptual, pecalang bukan merupakan kategori aktor negara, akan tetapi tugas yang dilakukan oleh pecalang bukanlah suatu bentuk pelanggaran sebagaimana amanat dari Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, ketentuan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hal pengamanan yang dilakukan oleh pecalang tidaklah suatu pelanggaran karena negara memang mengakui adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang dalam hal ini pecalang diatur dalam

(8)

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dijelaskan bahwa “Pecalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pecalang, adalah satuan tugas keamanan tradisional Bali yang dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah di wewidangan Desa Adat.”, yang artinya pecalang memang memiliki tugas mengamankan suatu wilayah desa pakraman walaupun dalam hal ini pecalang bukan merupakan alat negara.

Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dijelaskan bahwa:

“Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:

a. kepolisian khusus;

b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.”

Perlu untuk dipahami bahwa salah satu tugas dari kepolisian sebagaimana disebutkan di dalam pasal tersebut adalah berupa pemeliharaan keamanan serta ketertiban masyarakat. Hal ini sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menentukan bahwa “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Namun, perlu ditegaskan pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c tersebut bahwa fungsi kepolisian tersebut tidak hanya terbatas dilakukan oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan tetapi turut menyertakan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”. Dalam kaitannya dengan maksud dari pengamanan swakarsa dapat dilihat melalui penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menentukan bahwa

“Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.”

Perlu untuk dipahami bahwa pecalang merupakan salah satu pihak yang masuk ke dalam kategori bentuk pengamanan swakarsa yang diakui oleh negara. Hal ini didasari

(9)

pada ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa yang menentukan bahwa:

“Pengamanan Swakarsa yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa:

a. Pecalang di Bali;

b. Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat;

c. Siswa Bhayangkara; dan d. Mahasiswa Bhayangkara.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tugas pengamanan yang dilakukan oleh pecalang bukanlah suatu bentuk pelanggaran, sepanjang pecalang yang bersangkutan telah memperoleh pengukuhan dari pihak Kakorbinmas sebagai komponen pengamanan swakarsa. Akan tetapi, kewenangan pengamanan tersebut hanya berlaku secara terbatas pada wilayah desa pakraman yang bersangkutan.

2.3. Kedudukan Pecalang Sebagai Tim Keamanan Atas Suatu Hotel Milik Investor Yang Berada Pada Wilayah Desa Pakraman Berdasarkan Perspektif HAM

Berdasarkan Pasal 1 angka (20) Peraturan Daerah Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali Pecalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pecalang, adalah satuan tugas keamanan tradisional Bali yang dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah di wewidangan Desa Adat. Definisi pecalang pada Pasal 1 angka (17) Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman juga tidak berbeda jauh dengan ketentuan Pasal 1 angka (20) Peraturan Daerah Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, dimana Pacalang adalah satgas (satuan tugas) keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik di tingkat banjar pakraman dan atau di wilayah desa pakraman.

Selanjutnya mengenai pecalang yang diatur dalam Pasal 17 Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, yang menyebutkan bahwa:

(1) Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman dilaksanakan oleh pacalang.

(2) Pacalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa pakraman dalam hubungan pelaksanaan tugas adat dan agama.

(3) Pacalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman desa

(10)

Jika dilihat dari pengertian pecalang serta tugas pecalang yang terdapat dalam Perda Desa Pakraman (Desa Adat Bali), maka tentunya pecalang berhak untuk menjadi bagian dari tim keamanan investor, karena hotel tersebut terletak dalam wilayah desa pakraman dari pecalang yang bersangkutan, dimana dalam hal ini pecalang memiliki wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam wilayah desa pakramannya.

Selain itu, adapun tugas pecalang untuk melakukan pengamanan di wilayah desa pakraman telah diatur secara eksplisit di dalam Pasal 47 ayat (1) Perda Provinsi Bali No.

4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali yang menyebutkan bahwa “Pacalang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf d melaksanakan tugas dalam bidang keamanan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat dalam Wewidangan Desa Adat.” Di samping ketentuan tersebut, pada dasarnya pecalang telah diakui oleh negara sebagai komponen swakarsa yang dapat menjalankan fungsi Polri, salah satunya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, serta Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pengamanan Swakarsa. Dari uraian tersebut pasal diatas, kedudukan pecalang sangat dimungkinkan untuk menjadi bagian dari tim keamanan hotel yang dimiliki investor.

Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan perspektif Hak Asasi Manusia, hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditentukan bahwa “dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah” yang mengandung penjelasan hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang- undangan.

Keberadaan pecalang sebagai satuan tugas keamanan tradisional yang dibentuk oleh Desa Pakraman memiliki tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban khususnya di wilayah Wewidangan Desa Pakraman. Jadi berdasarkan hal tersebut wewenang pecalang yaitu menjaga keamanan dan ketertiban dalam wilayah desa pakramannya haruslah dilindungi oleh pemerintah sepanjang eksistensi pecalang dalam desa pakraman masih ada dan maka dari itu secara tidak langsung pun pecalang sebagai salah satu komponen di

(11)

dalam suatu desa pakraman sangat dimungkinkan untuk menjadi bagian dari tim keamanan hotel milik investor di wilayah desa pakramannya.

2.4. Kedudukan Investor Ketika Pihak Pecalang Hendak Menjadi Bagian Dari Sistem Keamanan Investor Berdasarkan Perspektif HAM

Mengenai kedudukan investor terkait memberi izin atau menolak keinginan desa pakraman yang menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan investor yang ada di wewengkon (wilayah) desa pakraman dilihat dari perspektif HAM, sebelumnya kita terlebih dahulu memperhatikan ketentuan Hak Asasi Manusia baik nasional maupun internasional. Dalam peraturan nasional, ketentuan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa “...Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya…”. Selanjutnya dalam ketentuan internasional termuat dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights, yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu”.

Dari ketentuan di atas, pada dasarnya investor memiliki hak dan kebebasan dalam mengambil keputusan untuk menghendaki atau tidak menghendaki pecalang sebagai bagian dari sistem keamanan pada hotel yang dimilikinya, walaupun hotel yang dimilikinya berada di wilayah desa pakraman. Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai hak kebebasan pribadi yang dalam hal ini investor pun berhak untuk menolak keinginan desa pakraman yang menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan investor biarpun sesungguhnya hal tersebut merupakan wewenang pecalang sepanjang investor menghendakinya dan desa pakraman pun melalui pecalang tidak dapat memaksakan hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Namun, bila mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa pecalang merupakan salah satu komponen dari bentuk pengamanan swakarsa yang dapat menjalankan fungsi kepolisian layaknya Polri untuk menjaga keamanan dengan skala yang bersifat terbatas. Dari hal tersebut, jika bertumpu pada ketentuan Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan

(12)

bahwa “...Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas…”

Jika dilihat pada ketentuan tersebut, memiliki arti bahwa kebebasan hak asasi manusia tidaklah bersifat tanpa batas. Dimana setiap kebebasan dari suatu pihak, akan dibatasi oleh hak asasi manusia dari pihak lainnya. Dalam hal investor untuk memutuskan sendiri suatu tindakannya telah dibatasi oleh hak asasi dari masyarakat di desa pakraman setempat untuk memperoleh keamanan atas ancaman yang dapat atau akan timbul dari penghuni hotel yang dimiliki oleh investor tersebut. Maka, demi keselamatan dan keamanan yang merupakan hak asasi dari masyarakat desa pakraman setempat, pada dasarnya pihak investor tidak dapat menolak keinginan dari desa pakraman setempat dalam hal melibatkan pecalang sebagai bagian dari sistem keamanan pada hotel milik investor.

(13)

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan dapat dibuktikan melalui Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian kewenangan tersebut diatribusikan kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya dapat dilaksanakan sendiri dan/atau didelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Akan tetapi, dalam praktiknya Pemerintah Daerah kadang kala mendelegasikan kewenangan di bidang keamanan tersebut bukan kepada lembaga yang berada di pemerintahan. Sebagai contoh yang ada di Provinsi Bali, bahwa Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pecalang untuk menjaga keamanan dan ketertiban walaupun terbatas pada wilayah di wewidengan desa pakraman. Hal tersebut sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 20 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Dengan berlandaskan pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara pada dasarnya memiliki kewenangan yang eksklusif di bidang keamanan, akan tetapi tidak bersifat mutlak. Hal ini karena adanya keterlibatan oleh pihak-pihak di luar lembaga pemerintahan yang turut menjalankan tugas di bidang keamanan.

Secara konseptual, pecalang bukan merupakan kategori aktor negara, akan tetapi tugas yang dilakukan oleh pecalang bukanlah suatu bentuk pelanggaran sebagaimana dijelaskan pada Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hal pengamanan yang dilakukan oleh pecalang tidaklah suatu pelanggaran karena negara memang mengakui adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang dalam hal ini pecalang, sepanjang pecalang yang bersangkutan telah memperoleh pengukuhan dari pihak Kakorbinmas sebagai komponen pengamanan swakarsa. Akan tetapi, kewenangan pengamanan tersebut hanya berlaku secara terbatas pada wilayah desa pakraman yang bersangkutan.

Dalam hal kedudukan pecalang sebagai tim keamanan atas suatu hotel milik investor yang berada pada wilayah desa pakraman sangat memungkinkan untuk menjadi bagian dari tim keamanan hotel milik investor yang berada di wilayah desa pakraman. Hal tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada Pasal 47 ayat (1) Perda Provinsi Bali No. 4

(14)

Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali yang menyebutkan bahwa “Pacalang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf d melaksanakan tugas dalam bidang keamanan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat dalam Wewidangan Desa Adat.” Serta jika dilihat dari perspektif HAM telah atur pula pada Pasal 6 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditentukan bahwa “dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah” yang mengandung penjelasan hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Lalu dalam hal kedudukan investor sebagai pemilik hotel tidak berhak untuk menolak keinginan desa pakraman yang menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan investor yang ada di wewengkon (wilayah) desa pakraman. Hal tersebut didasari pada peraturan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya menyebutkan bahwa setiap kebebasan dari suatu pihak, akan dibatasi oleh hak asasi manusia dari pihak lainnya. Dalam hal ini, hak investor untuk memutuskan sendiri suatu tindakannya telah dibatasi oleh hak asasi dari masyarakat di desa pakraman setempat untuk memperoleh keamanan atas ancaman yang dapat atau akan timbul dari penghuni hotel yang dimiliki oleh investor tersebut.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

A’raf, Al. (2015). Dinamika Keamanan Nasional. JURNAL KEAMANAN NASIONAL, 1(1), 27-40.

Ningrum, Putu Ary Prasetya. (2020). Eksistensi Pecalang Dan Banjar Adat Dalam Upaya Pencegahan COVID-19 Di Tanggahan Tengah. Pariksa: Jurnal Hukum Agama Hindu 4(2), 62-72.

Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Pembelajaran Abad 21 Dan Pengembangan Program Studi Filsafat Hindu Di Stahn Mpu Kuturan Singaraja. PINTU: Jurnal Penjaminan Mutu, 1(2).

Susila, I. N. A., & Karmini, N. N. (2019). NILAI-NILAI PANCASILA DALAM CERITA RAKYAT BALI SEBAGAI PEMBELAJARAN DAN PENANAMAN KARAKTER BANGSA. Suluh Pendidikan, 17(2), 101-114.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Universal Declaration of Human Rights.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.

Referensi

Dokumen terkait

pelaksanaan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap patung Bali Sebagai Karya Tradisional Masyarakat Adat Bali yaitu, Masih lemahnya

Desa pegayaman merupakan salah satu desa adat yang ada di Bali dengan masyarakat mayoritas beragama islam. Dalam pemerintahannya menggunakan dualisme kepemimpinan yakni

Adapun yang dimaksud dengan Desa Pakraman dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang menyebutkan

32 tahun 2004 yang mengakui keberadaan desa pakraman sesuai dengan asal usul dan adat-istiadat setempat, seperti ditentukan pada pasal 1 ayat 12 yang berbunyi: desa

Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali mengatur tentang langkah meregistrasi Pararem

Parisada Hindu Dharma PHDI Provinsi Bali juga mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh umat Hindu di Bali melalui Desa Adat untuk melaksanakan persembahyangan bersama untuk

Penetapan suatu desa adalah desa adat ditentukan oleh peraturan daerah provinsi.36 Desa, baik desa berdasarkan undang-undang tentang desa dan desa adat, merupakan kesatuan masyarakat

Kemudian manfaat praktis yang diharapkan adalah dapat diabdikan kembali pada masyarakat khususnya warga/krama desa adat di Bali untuk memberdayakan dirinya dalam memanfaatkan potensi