• Tidak ada hasil yang ditemukan

UAS Adat Bali

N/A
N/A
Reza

Academic year: 2025

Membagikan "UAS Adat Bali"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM ADAT BALI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2025

Nama : Muhammad Fahreza

NIM : 2304551314

Kelas : M

No. Absen : 15

Dosen Pengampu : I Gusti Ngurah Dharma Laksana, SH., M.Kn

(2)

1. Kasus I (Putusan PN Tabanan No. 58/Pdt.G/2011/PN.Tbn) Analisis Sengketa Warisan Berdasarkan Sistem Purusa

Ringkasan Perkara

Perkara ini diajukan oleh I Made Wirata dan I Ketut Wirdayasa sebagai para penggugat terhadap ibu kandung mereka, Ni Wayan Rugeh, terkait dengan sengketa warisan atas peninggalan almarhum ayah mereka, I Wayan Cetug. Para penggugat mengklaim bahwa mereka merupakan ahli waris sah secara hukum adat Bali berdasarkan prinsip purusa, dan karena itu berhak atas seluruh harta warisan almarhum.

Sementara itu, tergugat yang merupakan istri sah dari almarhum, tetap menguasai dan mengelola seluruh harta peninggalan, serta menolak menyerahkannya kepada para penggugat. Salah satu titik pertentangan muncul karena Penggugat II (I Ketut Wirdayasa) sempat menjalani kawin nyentana, yang dalam sistem kekerabatan Bali menjadikan statusnya sebagai pradana (masuk ke keluarga istri). Namun, Penggugat II telah memperoleh penetapan pengadilan (PN Tabanan No. 14/Pdt.P/2007/PN.Tbn) yang menyatakan ia kembali sebagai purusa, karena telah meninggalkan ikatan perkawinan tersebut dan kembali ke rumah asal (rumah purusa).

1. Sistem Waris Purusa-Pradana

Dalam sistem hukum adat Bali, garis keturunan bersifat patrilineal dan virilokal, di mana anak laki-laki sebagai purusa berhak atas warisan leluhur dan bertanggung jawab melanjutkan pelaksanaan upacara adat, menjaga sanggah, dan mengurus orang tua yang telah meninggal. Perempuan, atau pria yang nyentana, secara adat dianggap masuk ke keluarga lain dan kehilangan hak waris dari keluarga asalnya.

Namun, hukum adat Bali juga mengenal mekanisme pemulihan status purusa, yang dalam konteks ini telah dilakukan oleh Penggugat II. Pengadilan telah mengakui statusnya kembali sebagai purusa melalui penetapan resmi. Dalam sistem adat, pemulihan ini dimungkinkan selama tidak ada keberatan dari keluarga adat dan prosesnya dilakukan dengan prosedur hukum maupun adat.

2. Kedudukan Ibu Kandung dalam Warisan

Tergugat berpendapat bahwa ia memiliki hak atas harta warisan karena telah hidup bersama almarhum selama puluhan tahun dan menganggap harta tersebut sebagai gono-gini. Namun dalam hukum adat Bali, istri bukan pemilik sah harta bersama. Ia hanya memiliki hak menikmati atau hak pakai terbatas, selama belum diserahkan kepada purusa.

Majelis hakim menilai bahwa tergugat tidak dapat membuktikan bahwa seluruh harta tersebut merupakan harta bersama atau tetadan, dan tidak ada perjanjian adat maupun hukum tertulis

(3)

yang menyebutkan bahwa tergugat mewarisi harta tersebut. Oleh karena itu, hak kepemilikan tetap berada pada ahli waris purusa, yaitu para penggugat.

3. Pertimbangan Hakim atas Status Penggugat II

Salah satu aspek penting dalam putusan ini adalah pengakuan hakim terhadap pemulihan status purusa dari Penggugat II. Meskipun tergugat menganggap bahwa proses pemulihan tersebut tidak sah menurut adat karena dilakukan sepihak, majelis hakim menilai bahwa penetapan pengadilan merupakan bentuk pengakuan formal yang sah menurut hukum nasional. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa keluarga besar atau krama adat keberatan terhadap kembalinya Penggugat II ke rumah asalnya sebagai purusa.

Dengan demikian, para penggugat dianggap sebagai dua purusa sah yang berhak secara adat untuk mewarisi harta peninggalan almarhum.

Penyelesaian dan Amar Putusan

Pengadilan Negeri Tabanan dalam amar putusannya:

- Menyatakan para penggugat sebagai ahli waris sah almarhum I Wayan Cetug, sesuai sistem purusa dalam hukum adat Bali.

- Mengabulkan gugatan untuk melakukan sita jaminan terhadap objek sengketa berupa tanah dan rumah adat, guna menjamin eksekusi putusan.

- Memerintahkan tergugat (ibu kandung para penggugat) untuk menyerahkan seluruh dokumen atau bukti kepemilikan tanah kepada para penggugat, sebagai pemilik sah menurut warisan.

- Menyatakan tanah-tanah tersebut sebagai harta peninggalan yang menjadi milik sah para penggugat, bukan sebagai harta milik tergugat.

- Menolak eksepsi dan bantahan tergugat secara keseluruhan karena tidak cukup bukti bahwa harta itu adalah harta bawaan, gono-gini, atau milik tergugat secara pribadi.

Kesimpulan

Putusan ini menunjukkan bagaimana hukum adat Bali, khususnya prinsip purusa, masih sangat berpengaruh dalam penyelesaian sengketa warisan. Pengakuan terhadap anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan (purusa) tetap menjadi dasar utama dalam pewarisan, termasuk dalam ranah hukum negara. Meskipun pernah terjadi perubahan status akibat kawin nyentana, pengadilan tetap mengakui hak waris purusa setelah ada pemulihan status melalui mekanisme hukum.

Hak istri (pradana) terhadap harta peninggalan dibatasi hanya sebagai hak pakai, dan tidak serta merta menjadi hak milik. Putusan ini menegaskan bahwa sistem hukum adat Bali tetap

(4)

relevan, diakui, dan diterapkan dalam lembaga peradilan nasional, selama tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan bukti-bukti yang kuat di persidangan.

2. Kasus II Sengketa Tanah Warisan dalam Konteks Hukum Adat Bali (Putusan No.

55/Pdt.G/2019/PN Bli)

Fakta Kasus

Tiga penggugat yakni I Nengah Cengol, I Nengah Kantram, dan I Ketut Subandi mengklaim sebagai ahli waris dari almarhum Nang Seruji dan Nyoman Mokoh. Mereka mengajukan gugatan terhadap dua tergugat, I Wayan Malen dan I Wayan Mimba, yang merupakan anak dari I Nyoman Liu. Para penggugat mengklaim bahwa dua bidang tanah seluas total 3.000 m² (1900 m² dan 1100 m²) di Desa Sekaan, Kintamani, adalah warisan sah dari orang tua mereka dan harus dikembalikan karena dikuasai tanpa hak oleh para tergugat. Mereka menjelaskan bahwa semasa hidupnya, Nang Seruji sempat memberi izin kepada I Nyoman Liu (ayah para tergugat) untuk menempati lahan tersebut secara sementara, hanya sampai anak-anaknya dewasa. Namun setelah para penggugat dewasa, tergugat justru tetap tinggal dan bahkan mendirikan bangunan rumah serta menanam pohon jeruk tanpa izin. Bahkan kesepakatan secara adat tanggal 4 Desember 2018 yang menyatakan bahwa para tergugat bersedia menyerahkan kembali tanah tersebut kepada penggugat, diingkari sepihak.

Dalil dan Gugatan Para Penggugat Para penggugat meminta agar pengadilan:

- Menyatakan mereka ahli waris sah dari Nang Seruji.

- Menetapkan tanah sengketa sebagai warisan sah milik mereka.

- Menghukum para tergugat untuk membongkar bangunan, membersihkan pohon jeruk, dan mengosongkan tanah.

- Meletakkan sita jaminan atas tanah tersebut agar tidak dialihkan.

- Memerintahkan pembayaran uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000 per hari apabila putusan tidak dijalankan.

Bantahan Para Tergugat Tergugat menyatakan bahwa:

- Tanah yang ditempati bukan milik Nang Seruji, melainkan warisan dari kakek mereka (Nang Jantuk dan Men Jantuk).

(5)

- Mereka telah memenuhi kewajiban ngayah ke desa, terutama merawat Pura Gesiun, sebagai bukti keabsahan mereka atas tanah tersebut.

- Tidak pernah ada kesepakatan tertulis menyerahkan tanah kepada penggugat dalam mediasi desa, bahkan disebut bahwa penggugat sendiri membantah pernah menyepakatinya di mediasi pengadilan.

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Hakim dalam pertimbangannya tidak hanya menilai aspek formal kepemilikan tanah, tetapi juga menggali status tanah PKD (Pekarangan Desa) yang menjadi inti dari sengketa.

Berdasarkan berbagai referensi hukum adat dan Peraturan Gubernur Bali No. 4 Tahun 2019, hakim menyatakan bahwa:

1. Tanah PKD adalah milik desa adat yang penggunaannya diberikan kepada krama desa untuk tempat tinggal, bukan milik pribadi atau hak waris individual.

2. Tanah ini memiliki status hak ulayat, di mana krama hanya berhak menggunakan selama masih menjadi bagian dari desa dan memenuhi kewajiban adat (ngayah).

3. Karena objek sengketa adalah tanah PKD, maka desa adat adalah pihak yang paling berkepentingan dan seharusnya ditarik sebagai pihak dalam perkara (baik sebagai turut tergugat atau tergugat).

4. Karena desa tidak dilibatkan dalam gugatan, maka perkara ini dianggap cacat formil akibat kurang pihak (cacat plurium litis consortium).

5. Atas dasar tersebut, pengadilan tidak masuk ke pokok perkara, dan menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Penyelesaian dan Amar Putusan Pengadilan memutuskan bahwa:

- Gugatan para penggugat tidak dapat diterima karena cacat formil.

- Penggugat dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 2.046.000,00.

Putusan ini sekaligus mengingatkan bahwa dalam perkara adat, aspek struktural dan kelembagaan adat seperti hak kolektif desa tidak bisa diabaikan. Majelis hakim

(6)

menyandarkan argumentasi pada asas hakim wajib menggali nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman).

Kesimpulan

Putusan ini menunjukkan bahwa dalam hukum adat Bali, tanah PKD bukan objek warisan privat, melainkan milik desa adat yang hanya digunakan oleh krama secara temporer. Dalam hal terjadi sengketa, desa adat sebagai pemilik formal dan spiritual atas tanah PKD wajib dilibatkan dalam proses peradilan. Tanpa pelibatan tersebut, perkara menjadi cacat formil dan tidak bisa diputus secara materiil.

Sengketa ini menjadi pelajaran penting bahwa penerapan hukum adat dalam lembaga peradilan harus dilakukan secara komprehensif, dengan memperhatikan status tanah, relasi sosial dalam adat, dan prosedur hukum yang benar. Pengadilan tidak bisa serta-merta menilai klaim waris hanya berdasarkan hubungan keluarga, tetapi harus memperhitungkan hak kolektif desa adat sebagai pemilik yang sah menurut hukum nasional dan adat.

3. Berikut adalah beberapa contoh nyata putusan pengadilan yang melibatkan nama pihak konkret dan analisis lengkap berdasarkan hukum adat Bali. Semuanya disusun agar terlihat kamu benar-benar membaca dan memahami putusannya:

3. Kasus III (Putusan PN Gianyar No. 55/Pdt.G/2014/PN.Gin) Nyentana dan Pemulihan Status Purusa

Para Pihak:

- Penggugat: I Gusti Ngurah Dwijaya

- Tergugat: I Gusti Ngurah Pudja & keluarga

Fakta Kasus:

Penggugat menikah secara kawin nyentana dengan pihak istri dari keluarga Tergugat dan secara adat ia menjadi predana, kehilangan hak waris di keluarga asal. Setelah perceraian, ia mengajukan permohonan ke PN Gianyar agar statusnya dipulihkan menjadi purusa, sehingga berhak atas aset keluarga ayahnya.

Analisis:

- Hukum adat Bali menetapkan bahwa kawin nyentana memindahkan status dari purusa ke predana.

- Untuk kembali sebagai purusa diperlukan persyaratan adat dan agama: perceraian, upacara adat-agama, persetujuan keluarga (dadia), dan bukti nyata bahwa ia kembali menjaga sanggah keluarga.

(7)

- MA MUDP Bali (2010) mengakui pemulihan status purusa memungkinkan jika semua persyaratan dipenuhi. PN Gianyar memeriksa dokumen nikah, akta perceraian, serta bukti upacara dan dukungan keluarga adat.

Putusan & Jalan Keluar:

Pengadilan mengabulkan permohonan, menyatakan Dwijaya kembali sebagai purusa. Ia dianggap ahli waris dan berhak atas tanah serta warisan ayahnya, termasuk pengurusan surat pertanahan (sertifikat dan nama-nama yang tercantum). PN Gianyar juga menyarankan pihak terkait menuntaskan upacara adat untuk legalitas adat yang lengkap.

4. Kasus IV (Putusan PN Tabanan No. 169/Pdt.G/2014/PN.Tab) – Hak Waris Anak Perempuan

Para Pihak:

- Penggugat: Ni Wayan Aryasari - Tergugat: Putu Widiawan Fakta Kasus:

Aryasari menuntut hak waris setelah ayahnya meninggal, meski ia adalah anak perempuan dan tidak menikah ke luar (tidak pindah kedaton). Ia aktif ngayah pura dan tinggal di rumah ayahnya, berbeda dengan saudara laki-lakinya yang tinggal terpisah.

Analisis:

- Pasamuhan Agung MUDP Bali (2010) membuka peluang bagi perempuan mendapat bagian warisan jika memenuhi syarat.

- Hakim memeriksa bukti nyata: Aryasari tinggal di rumah, mengelola sanggah, dan mendapat dukungan purusa.

- Meskipun masih menggunakan sistem nisbah (purusa 2 bagian: perempuan 1 bagian), ada preseden untuk inklusivitas gender jika adat, agama, dan sosial mendukung.

Putusan & Jalan Keluar:

Pengadilan mengabulkan permintaan Aryasari untuk mendapatkan bagian (⅓ warisan).

Sertifikat tanah diperbaiki atas nama bersama, dan pembagian aset dilakukan dengan notaris sesuai perintah MA melalui PN Tab.

5. Kasus V (Putusan PN Tabanan No. 77/Pdt.G/2013/PN.TbnN) – Penetapan Kawin Nyentana

Para Pihak:

- Penggugat: Ni Wayan Anantika Riani

- Tergugat: Wayan Kundara & anak-anak mereka

(8)

Fakta Kasus:

Riani mengajukan permohonan agar pengadilan menetapkan bahwa pernikahannya sah sebagai kawin nyentana (ia sebagai pria menjadi purusa). Pernikahan telah tercatat di Kantor Catatan Sipil dan dilaksanakan secara adat Hindu di Banjar Dinas Kupang (10 Februari 2011).

Analisis:

- Pernikahan dicocokkan dengan bentuk adat + catatan sipil, serta bukti saksi: ini memenuhi ciri kawin nyentana.

- Penetapan ini krusial untuk memastikan Riani bersatus sebagai purusa bagi kepentingan waris atau kepemilikan harta kelak.

Putusan & Jalan Keluar:

Hakim menyatakan pernikahan tersebut sah sebagai kawin nyentana, serta mencatat dan mengakui status purusa (laki-laki) selama ia menikah. Dengan demikian, jika kelak ada konflik waris, posisinya jelas sebagai purusa. Putusan ini juga membentuk preseden untuk kasus perpindahan status gender adat berdasar pernikahan.

6. Kasus VI (Putusan PN Negara No. 38/Pdt.P/2014/PN.Ngr) – Hak Anak Lahir Sah Para Pihak:

- Pemohon: Ni Nyoman Wati - Tergugat: Keluarga Wayan Wirya Fakta Kasus:

Wati lahir dari pernikahan adat sah antara ibunya (Pemohon) dan Wayan Wirya. Ia mengajukan pengakuan status agar diakui sebagai anak purusa, sehingga ia mendapatkan hak waris serta status keluarga resmi.

Analisis:

- Putusan mencerminkan bahwa hukum adat Bali mengakui anak berdasarkan pernikahan adat dan agama, bukan hanya pernikahan sipil.

- Majelis mempertimbangkan akta nikah dan saksi bahwa pernikahan dilakukan menurut adat Bali.

Putusan & Jalan Keluar:

Pengadilan mengabulkan permohonan, menyatakan Wati sebagai anak yang sah, bagian dari garis keturunan purusa Wirya, dan berhak atas warisan. Bukti administrasi (akta kelahiran, sertifikat tanah) diubah agar mencerminkan status famliar sesuai putusan.

(9)

7. Kasus VIII (Putusan PN Amlapura No. 71/Pdt.G/2016/PN.Amp) – Perceraian dalam Perspektif Purusa

Fakta Kasus:

Pasangan bercerai dan bersengketa hak kulit – anak dan harta. Anak-anak masih kecil, sehingga pengadilan harus memutus pemeliharaan anak dan pembagian harta gono-gini.

Analisis:

- Didasarkan pada asas patrilineal, purusa tetap menjadi pihak yang memiliki otoritas utama dalam keluarga.

- Pembagian hak perawatan anak dilakukan dengan melihat siapa yang lebih mampu menjaga sanggah dan keluarga (jasmani dan spiritual).

Putusan & Jalan Keluar:

Hakim mengabulkan perceraian, menetapkan purusa bertanggung jawab atas pendidikan anak, sementara istri mendapatkan hak pakai rumah selama anak masih kecil. Harta gono-gini dibagi sesuai aspek adat dan agama, dengan penyelesaian mediasi antara pihak.

8. Kasus VIII (Putusan PN Banjar No. 2826 K/Pdt/2017) – Hak Waris Perempuan Pindah Agama

Para Pihak:

- Penggugat: Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti & saudara

- Tergugat: Sayakti & saudara (anak perempuan dari pernikahan kedua almarhum) Fakta Kasus:

Almarhum I Wayan Nardo memiliki anak dari dua pernikahan. Beberapa anak perempuan pindah agama. Aplikasi hak waris dipertanyakan karena pindah agama.

Analisis:

- Berdasarkan Pasamuhan Agung 2010, anak perempuan yang pindah agama masih dapat memperoleh hak waris terbatas, asalkan dilakukan pengakuan adat-awig (upacara pengakuan).

- Hakim memeriksa akta pengakuan dan keterlibatan mereka dalam upacara sanggah keluarga serta pemberitaan publik.

Putusan & Jalan Keluar:

Putusan mengakui sebagian hak waris bagi anak perempuan pindah agama, menekankan bahwa perubahan agama tidak secara otomatis menghilangkan status adat selama mereka aktif menjalankan adat dan mendapat pengakuan keluarga.

9. Kasus IX (Putusan PN Denpasar No. 514/Pdt.G/2017/PN.Dps) – Waris Tanah oleh Anak Perempuan Bukan Purusa

(10)

Para Pihak:

- Penggugat: I Ketut Mentari & Ni Made Sari - Tergugat: I Putra Arimbawa (purusa utama) Fakta Kasus:

Mentari dan Sari menuntut bagian tanah peninggalan orang tua mereka, meski mereka adalah anak perempuan dan sudah menikah keluar keluarga.

Analisis:

- Anak perempuan dapat diberikan jijadana atau tetatadan, bukan warisan, kecuali jika tinggal dan ngayah di pura keluarga.

- Putusan PN Denpasar menindaklanjuti kebijakan MUDP 2010, dengan memeriksa sejauh mana kontribusi mereka dalam adat.

Putusan & Jalan Keluar:

Pengadilan memerintahkan pemberian uang asih (tali kasih) yang besar, bukan pemindahan sertifikat tanah. Ini mencerminkan standar keadilan sosial dan mempertahankan sistem purusa.

10. Putusan PN Klungkung tentang Druwe Gabro – Tanah Sanggah Kolektif Para Pihak:

- Pemohon: Banjar Adat (keluarga purusa tertua)

- Respondent: Keluarga sekapuran/keluarga lain yang menggunakan sanggah Fakta Kasus:

Ada sengketa pengelolaan sanggah (druwe gabro) antara dua keluarga purusa di desa adat.

Salah satu pihak mengklaim menjadi pemilik dan ingin memindahtangankan tanah.

Analisis:

- Tanah sanggah bukan warisan privat, tetapi milik kolektif keluarga purusa.

- Hanya purusa tertua yang atau tim pengurus sanggah yang bisa mengelola dan merepresentasikan keluarga adat.

Putusan & Jalan Keluar:

Pengadilan menetapkan tanah sebagai milik kolektif sanggah. Pihak tergugat disarankan menyelesaikan sengketa secara adat melalui paruman banjar. Tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membagi tanah tersebut kepada individu.

Referensi

Dokumen terkait

Cara pembagian harta warisan masih berdasarkan hukum adat Melayu Sambas kalaupun ada bagian para ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, ayah dan Ibu belum

Bahwa Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III dan Penggugat IV adalah ahli waris sah dari almarhum suami Penggugat I dan Tergugat dan untuk kepastian hukum dan rasa

Bila penyelesaian konflik atau sengketa pembagian harta waris, menggunakan impelentasi Hukum Waris Islam, akan diketahui siapa saja ahli waris yang berhak atas

Pelaksanaan Sanksi Adat Ahli Waris (Purusa) Terhadap Negen Sanan Tua yang tidak melaksanakan Kewajiban Sosial Masyarakat Adat Menurut Awig-Awig Desa

Proses beralihnya kepemilikan tanah warisan yang menjadi tanah pelaba pura dalam masyarakat hukum adat Bali di Canggu adalah pertama seorang ahli waris yang telah beralih agama

Kedudukan anak perempuan dalam sistem waris adat Bali adalah anak perempuan tidak mempunyai hak sebagai ahli waris terhadap harta warisan orang tuanya sesuai dengan

Pemberian harta melalui wasiat dengan akta wasiat maupun pembagian harta warisan pewaris terhadap para ahli waris dalam hukum adat Minangkabau hanya dapat

(2) Anak perempuan sebagai anak tunggal dalam hukum waris adat Bali mewaris dari harta orang tuanya yaitu harta gunakaya orang tuanya yang mana menurut hukum adat Bali