• Tidak ada hasil yang ditemukan

WASIAT ATAS HARTA PUSAKA RENDAH MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.195.K/PDT/2001) TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WASIAT ATAS HARTA PUSAKA RENDAH MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.195.K/PDT/2001) TESIS. Oleh"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

WASIAT ATAS HARTA PUSAKA RENDAH MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO.195.K/PDT/2001)

TESIS

Oleh

MUHAMMAD FAUZAN ARJON 157011200 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

WASIAT ATAS HARTA PUSAKA RENDAH MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU (STUDI PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO.195.K/PDT/2001)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD FAUZAN ARJON 157011200 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Yefrizawati, SH, MHum

Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum 4. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA

(5)

ABSTRAK

Harta pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Sedangkan harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Pemberian harta melalui wasiat dengan akta wasiat maupun pembagian harta warisan pewaris terhadap para ahli waris dalam hukum adat Minangkabau hanya dapat dilakukan terhadap harta pusaka rendah, sedangkan harta pusaka tinggi tidak dapat diwasiatkan maupun diwariskan kepada para ahli waris, karena merupakan harta yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang dan diurus atau dipelihara oleh anak perempuan atau ninik mamak. Rumusan masalah dalam penelitian adalah Bagaimana ketentuan yang berlaku dalam hukum adat Minangkabau tentang wasiat atas harta pusaka rendah, bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung pada Putusan MA No.195.k/Pdt.2001 tentang Sengketa wasiat atas harta pusaka rendah dan Bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 195.K/Pdt.2001 tentang sengketa wasiat terhadap harta pusaka tinggi dalam sengketa.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dimana penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang timbul, lalu mencari jawaban yang benar sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan analisis data kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan pedoman wawancara sebagai alat pengumpulan data, terhadap Wakil Ketua Kerapatan Adat Negari Koto Selayan Bukit Tinggi yang dalam hal ini memiliki kapasitas sebagai informan dan nara sumber.

Hasil pembahasan dari permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah harta pusaka rendah merupakan harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung dan merupakan harta yang boleh diwariskan oleh orang tua kepada anak-anaknya baik anaklaki-laki maupun perempuan yang pewarisannya dilakukan menurut ketentuan hukum Islam. Ketentuan hukum yang berlaku dalam pembuatan wasiat terhadap harta pusaka rendah menurut hukum adat Minangkabau adalah bahwa orang tua yang paling berhak membuat wasiat adalah ibu kepada anak-anaknya baik anak laki-laki maupun anak perempuan dengan hak yang sama.

Pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung pada putusan No.195.K/Pdt/2001 adalah majelis hakim memiliki pandangan hukum bahwa harta yang disengketakan tersebut merupakan harta yang diperoleh oleh orang tua penggugat dan tergugat selama masa perkawinan dan dapat dibuktikan oleh penggugat melalui dokumen kepemilikan atas tanah tersebut. Akibat hukum putusan Mahkamah Agung No.195.K/Pdt/2001 adalah bahwa akta wasiat yang dibuat dengan menggunakan akta notaris tersebut harus dilaksanakan pembagiannya oleh penggugat dan tergugat sesuai ketentuan hukum yang termuat dalam akta autentik notaris tersebut.

Kata kunci :Wasiat, Harta Pusaka Rendah, dan Adat Minangkabau

(6)

ABSTRACT

Low inheritance refers to all properties that are collected from the result of own hard work and business, while high inheritance refers to the properties that are inherited from generation to generation in maternal linage. Inheriting properties through a will using a will deed or division of inheritance to all heirs in the customary law of Minangkabau can only be performed to low inheritance, whereas high inheritance must not be bequeathed or inherited to heirs because it is gained from generation to generation from ancestors and is managed or taken care of by daughters or tribal leaders (ninik mamak).

The research problems are how about the provisions prevailing in the customary law of Minangkabau that regulate a will of low inheritance, how about the legal considerations of Panel of Judges of the Supreme Court in the Verdict No. 195.K/PDT/2001 concerning a dispute over a will high inheritance.

This is a normative juridical research with descriptive analysis. It describes, explains, and analyzes the problem and find solutions to the problems. This research employs library research and qualitative data analysis. It also conduct interviews to collect data, with the Deputy Head of Customary Assembly Negari Koto SelayanBukittinggi which has capacity to be informants and information sources.

The result demonstrate that low inheritance refers to joint property that is acquired during a marriage and is inheritable from parents to their sons and daughters which is carried out in accordance with Islamic Laws. The legal provisions prevailing in making a will of low inheritance pursuant to the customary law of Minangkabau is that mother is the most rightful parent to inherit the property to either her sons or daughter equally. The legal considerations of the Panel of Judges of the Supreme Court in the verdict No.

195.K/PDT/2001is that disputed property belongs to the parents of plaintiff and defendant which was acquired during their marriage and it is proven by plaintiff with a document of land title ownership. The legal consequence of the verdict of the Supreme Court No.

195.K/PDT/2001 is that the will deed that is made using a notarial deed has to be divided by plaintiff and defendant in accordance with the prevailing laws as written in the notarial authentic deed.

Keywords : Will, Low Inheritance, and Customary Law of Minangkabau

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karenahanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul“WASIAT ATAS HARTA PUSAKA RENDAH MENURUT HUKUM ADAT MINANG KABAU (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.195.K/PDT/2001)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ingin menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Arjondan Ibunda Hj. Ifrianti yang selalu memberikan dukungan dan kesabaran tanpa batas serta menjadi semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin. Terimakasih atas doa dan pengorbanannya. Terimakasih kepada yang tercinta Nanda Rahayu, S.E., dan anakku tersayang Muhammad Faza Ukasya dan Kamil Rashya Ghiffari terimakasih dukungan dan semangat kepada penulis. Dan penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada saudara tercinta penulis yaitu Yunita DwiPutri ,S.E., Sugit Sanjaya Arjon, B.A, M.Sc., Indah Ayu Permata Arjon, Amd, RO.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

(8)

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Ketua Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan sekaligus selaku penguji yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

8. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum, selaku penguji yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

(9)

10. Para nara sumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, 20 Mei 2020 Penulis

Muhammad FauzanArjon

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Muhammad Fauzan Arjon

Tempat / Tgl. Lahir : Padang, 21 Juli 1990

Alamat : Jl. Beringin IV No. 20 Kel. Lolong Belanti Kec. Padang Utara Kota Padang Sumatera Barat

Status : Menikah

Agama : Islam

Ayah : H. Arjon

Ibu : Hj. Ifrianti

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Pertiwi 2 Padang Tahun Tamat 2002 2. SMPN 25 Padang Tahun Tamat 2005 3. SMA Don Bosco Padang Tahun Tamat 2008 4. S1Universitas Andalas Tahun Tamat 2012

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 19

3. Teknik dan Pengumpulan Data ... 20

4. Analisis Data ... 20

BAB II KETENTUAN YANG BERLAKU DALAM HUKUM ADAT MINANGKABAU TENTANG WASIAT ATAS HARTA PUSAKA RENDAH ... 22

A. Wasiat Menurut Hukum Adat Minangkabau ... 22

B. Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau 39 C. Harta Pusaka Rendah Dalam Masyarakat Adat Minangkabau 50 D. Wasiat Atas Harta Pusaka Rendah menurut Hukum Adat Minangkabau ... 59

(12)

BAB III PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM

MAHKAMAH AGUNG PADA PUTUSAN MA

NO.195.K/PDT.2001 ... 72

A. Kasus Posisi ... 72

B. Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim MA dalam Putusan Mahkamah Agung No.195.K/Pdt/2001 ... 76

C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung pada putusan Mahkamah Agung No.195.K/Pdt/2001 ... 81

BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 195.K/PDT.2001 TERHADAP PARA PIHAK ... 88

A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung No. 195.K/PDT.2001 tentang Sengketa Wasiat Terhadap Harta Pusaka Rendah ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(13)

DAFTAR ISTILAH

anak pisang : anak-anak dari saudara laki-laki

Bainai : memerahkan kuku pengantin dengan daun pacar/inai yang telah dilumatkan.

Baniah : Penjamuan untuk menentukan calon penghulu baru.

Baralek : Upacara Perkawinan

Basandiang : duduknya kedua pengantin di pelaminan Batagakpanghulu : upacara pengangkatan panghulu.

buyuang : anak laki-laki.

daro : pengantinwanita

Dituahcilakoi : diperbincangkanbaikburuknyacalondalamsebuahrapat.

Dunsanak : kekerabatan seseorang yang memiliki satu garis keturunan

Hari Rayo : perayaan Hari Raya besar Islam

Induakbako, : Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya

Maantapabukoan : menghantar makanan kepada ibu mertua sewaktu bulan Ramadan

makadang : Paman yang paling tua

Makanbajamba : makan dengan duduk Bersama dengan tempat makan yang sama

malewakan gala : Peresmian pengangkatan penghulu dilaksanakan dengan upacara adat.

Mamak : saudara laki-laki ibu

Manakokari : perencanaan kapan acara peresmiannya akan dilangsungkan.

Manjalang : acara puncak di rumah marapulai Manyabik : upacara menuai padi

minderjarige : orang yang belum cukup umur Panyarahanbaniah : penyerahan calon penghulu baru.

Pusako : pusaka yang diwarisi turun-temurun dari satu kaum berdasarkan garis keturunan ibu

Randah : dekat kebawah; tidak tinggi

Sako : segala kekayaan asal atau harta tua berupa hak atau kekayaantan pawujud

saparuik : seperut saudara seibu

Suarang : harta yang dimiliki Bersama suami istri atau harta bawaan

sumande : se-ibu

sumando : ipar atau semenda Surang : seorang.

Tabuik : perayaan di kota Pariaman pada 1-10 Muharam Tambilangameh : tembilan gemas

Tambilangbasi : tembilang besi

(14)

Tanah Ta Sirah : perlantikan seorang Datuk apabila Datuk yang sebelumnya meninggal dunia silang beberapa jam yang lalu (tidak payah didahului dengan upacara batagak pangulu)

Uda : kata sapaan untuk kakak laki-laki

Uni : kakak perempuan

upiak : orang yang lebih tua memanggil kepada anak perempuannya

(15)

Masyarakat adat Minangkabau adalah salah satu masyarakat adat yang unik dan beragam. Saat ini sistem kekerabatan di Indonesia yang masih menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah masyarakat adat Minangkabau. Sistem hukum adat Minangkabau yang bercorak matrilineal ini berfalsafahkan Adat basandi syara dan syara basandi kitabullah terus mengalami dinamika seiring dengan perkembangan jaman.

Masyarakat adat Minangkabau pada umumnya adalah beragama Islam.

Hal ini dikarenakan ajaran orang Minang dan ketentuan adat yang sudah menjadi pedoman turun temurun yang berpedoman pada ketentuan bahwa status orang Minangkabau akan dicabut kalau dia tidak beragama Islam. Falsafah Minangkabau yang menjadi ajaran fundamentalnya adalah adat basandi syara, syara basandi kitabullah itu dapat diartikan bahwa adat yang berlaku atau kebiasaan-kebiasaan ditengah masyarakat seperti jual beli, perkawinan, pembagian waris, dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan yang telah disyari’atkan di dalam Alquran. Konsekuensinya segala sesuatu tindakan masyarakat di Minangkabau yang dijadikan kebiasaan yang bertentangan dengan Alquran tidak bisa disebut adat.1

Masyarakat adat Minangkabau mengenal sistem pembagian harta warisan secara matrilineal yaitu harta warisan diperoleh oleh anak perempuan dari pewaris

1 Deni Hadiman, Pelaksanaan Hukum Waris Adat Minangkabau, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 98

(16)

garis keturunan ibu. Sedangkan sistem pembagian harta pewarisan menurut hukum Islam menganut sistem pembagian harta warisan berdasarkan garis keturunan ayah, dimana anak laki-laki berhak mendapatkan dua kali dari perempuan atas harta warisan dari orang tuanya. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam hal sistem pembagian harta warisan tersebut terdapat perbedaan antara sistem pembagian harta warisan menurut hukum waris adat Minangkabau dan sistem pembagian harta warisan menurut hukum Islam.

Meskipun demikian dalam pelaksanaan pembagian harta warisan dalam masyarat adat Minangkabau umumnya tetap berpedoman kepada hukum Islam.2

Pada dasarnya menurut pandangan sebagian pemuka adat Minangkabau bahwa harta masyarakat adat Minangkabau itu terbagi atas dua bahagian besar yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian. Sebagian pemuka adat lainnya tidak sependapat dengan pembagian harta tersebut, dan menyatakan bahwa harta masyarat adat di Minangkabau terbagi menjadi dua bagian besar yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Namun pandangan umum para pemuka adat masyarakat Minangkabau lebih cenderung menyatakan bahwa harta masyarakat adat di Minangkabau tersebut terbagi atas empat bagian besar yaitu:3 1. Harta Pusaka Tinggi

2. Harta Pusaka Rendah 3. Harta Pencaharian 4. Harta Suarang

2 Erwinantu, Etnomatematika dalam Aktivitas Adat Masyarakat Baduy. In Seminar Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2012, hal. 87

3 Arfian Piliang, Selayang Pandang Hukum Adat Minangkabau, Pustaka Ilmu Jakarta, 2015, hal. 39

(17)

Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbedaan pendapat. Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampung dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko (upaya/jerih payah) oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan setelah melewati lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.4

Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Di samping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako. Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka turun temurun), karena harta tersebut diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. Harta Pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris.

Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta pusaka rendah sebenarnya adalah harta pencaharian.

Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau

4 Gunawan Hartadi Sikumbang, Hukum Waris Adat Minangkabau Suatu Tinjauan Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2014, hal. 53

(18)

perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru. Pendapat yang kedua merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.5

Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas.

Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.

Harta suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan hak anak secara bersama-sama setelah harta itu lepas dari kekuasaan orang tua mereka, baik karena putusnya perkawinan akibat perceraian maupun karena kematian. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.6

Ada yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, ada beberapa istilah yang pewaris untuk diketahui seperti waris, pewaris, warisan dan

5 Firman Usmandi, Hukum Adat dan Hukum Waris, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2010,hal. 46

6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau Gunung Agung, Jakarta,2010, hal.32

(19)

ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang yang mewariskan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:7

1. Waris Nasab atau Waris Pangkat

Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal. Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan: "Ramo-ramo sikumbang jati katik endah pulanga bakudo patah tumbuah hilang baganti Pusako lamo baitu pulo Waris nasab", yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:

a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).

b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan) 8

2. Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).

Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti

7 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau Gunung Agung, Jakarta,2010, hal.33

8 Datuk Maruhun Batuah, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta, 2010, hal.32

(20)

karena bertali adat, berali buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:9 a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).

b. Warih Batali Buek (waris bertali buat) c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).

Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali adat untuk melanjutkan hak–hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru ditentukan oleh kerapatan adat nagari.10

Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat adat Minangkabau, sering ditemui suatu permasalahan hukum di mana harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris statusnya belum menimbulkan suatu kepastian hukum apakah harta warisan tersebut merupakan harta warisan dari hasil pencaharian dari pewaris atau apakah harta warisan tersebut merupakan harta pusaka rendah atau tinggi yang berasal dari harta ninik mamak yang berarti harta tersebut tidak dapat diwariskan kepada anak-anak pewaris maupun tidak dapat diperjualbelikan oleh pewaris itu sendiri.11

9 Iskandar Kemal, Beberapa Studi Tentang Minangkabau (Kumpulan Karangan), Fakultas Hukum dan Pengetahuan Universitas Andalas, Padang, 2010, hal. 9

10 Hamka, Adat Minangkabau Revolusi, Firma Tekad, Jakarta, 2011, hal. 35

11 Suwarsyah A., Suatu Kajian Tentang Hukum Waris Adat Masyarakat Bangku Jambi.

Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hal.87

(21)

Pelaksanaan pewarisan yang dilakukan oleh pewaris kepada ahli waris sering juga mengalami kendala karena ketidakpatuhan para ahli waris terhadap ketentuan hukum waris yang terdapat di dalam hukum adat Minangkabau yang pada prinsipnya ada perbedaan dengan sistem hukum kewarisan menurut Islam.

Dalam sistem hukum kewarisan menurut hukum adat Minangkabau maka sistem pewarisan yang berlaku yang digunakan dalam hukum adat Minangkabau adalah berdasarkan garis keturunan ibu (perempuan) atau disebut dengan sistem pewarisan matrilineal. Sedangkan sistem hukum kewarisan menurut Islam adalah sistem pewarisan patrilineal di mana sistem tersebut menggunakan garis keturunan ayah (laki-laki), sehingga dalam pelaksanaan pewarisan di masyarakat adat Minangkabau tersebut cenderung bersifat dualisme dalam sistem pewarisan yang diakui di masyarakat Minangkabau tersebut.12

Pelaksanaan sistem pewarisan yang terjadi di masyarakat Minangkabau adakalanya mengalami perselisihan diantara para ahli waris dalam hal pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut. Perselisihan tersebut diantaranya adalah ada ahli waris yang tidak menginginkan terjadinya pembagian harta warisan dan berusaha tetap membuat harta warisan tersebut terikat dalam satu kesatuan harta warisan. Namun ada juga ahli waris yang menginginkan harta warisan tersebut dibagi karena kebutuhan ekonomi diantara para ahli waris dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.13

Kehendak ahli waris yang menginginkan pembagian warisan dari pewaris disebabkan oleh kondisi ekonomi yang sulit bagi ahli waris tersebut, sedangkan

12 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau ,Pusaka Asli, Jakarta, 2010, hal.33

13 Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam, Grafika Aditama, Jakarta, 2010, hal. 12

(22)

bagi ahli waris yang kondisi ekonominya cukup mapan, maka pada umumnya ahli waris tersebut tidak menginginkan pembagian warisan dari pewaris tersebut. Dua kehendak yang bertentangan tersebut mengakibatkan terjadinya sengketa terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh ahli waris, dimana sebaiknya harta warisan tersebut memang harus dibagi diantara para ahli waris meskipun ada ahli waris yang tidak menginginkan pembagian tersebut. Oleh karena itu pembagian warisan yang ditinggalkan pewaris sering menimbulkan sengketa diantara ahli waris apakah hendak dibagi atau tetap dibiarkan dalam keadaan terikat pada boedel waris.14

Di dalam putusan Mahkamah Agung No.195.K/PDT/2011 tentang sengketa pembagian warisan melibatkan dua pihak yang saling bersengketa, yaitu pihak penggugat yang terdiri dari ahli waris R, SM, HS, HRK, ZS, dan NDAR (awalnya sebagai tergugat) yang menginginkan warisan tersebut dibagi dengan pihak tergugat yaitu ahli waris berinisial FAA, IA, AA, dan AAR, yang menolak terjadinya pembagian harta warisan karena memandang harta warisan bukan harta pencaharian orangtuanya tetapi harta pencaharian dari kakek/nenek dari para ahli waris. Sehingga pihak yang menolak pembagian harta warisan tersebut memandang harta warisan tersebut tidak boleh dibagi karena merupakan harta pusaka tertinggi.

Semasa hidupnya orangtua dari para penggugat dan tergugat telah membagi-bagikan kepada anak-anaknya harta warisan tersebut berdasarkan akta wasiat nomor 10 tanggal 8 Agustus 1986 yang dibuat secara autentik oleh

14 Soleman B. Taneko, Hukum Adat, PT.Ersco, Bandung, 2012, hal.22

(23)

notaris/PPAT AAL, akan tetapi para tergugat tidak menyetujui dilaksanakannya wasiat tersebut, sehingga para penggugat telah dirugikan karena tidak dapat menguasai apa yang telah menjadi hak para penggugat dan oleh karena itu para penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bukit Tinggi. Atas tidak setujunya para tergugat untuk melaksanakan pembagian warisan yang telah dilaksanakan oleh pewaris SD almarhum sebagai orang tua penggugat dan tergugat melalui akta wasiat No.10 Tahun 1986 tersebut.

Adapun harta-harta warisan berupa tanah yang merupakan hasil pencaharian dari almarhum SD semasa hidupnya menurut SD sebagai pewaris yang akan diwariskan terhadap anak-anaknya dalam hal ini sebagai penggugat dan tergugat melalui akta wasiat No.10 Tahun 1986 yang dibuat secara autentik oleh notaris/PPAT AAL tersebut masing-masing adalah :

1. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.514 yang terletah di Ipuh Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

2. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.515 yang terletah di Ipuh Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

3. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.315 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

4. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.316 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

5. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.317 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

(24)

6. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.318 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

7. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.511 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

8. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.512 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

9. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.513 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

10. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.509 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

11. Sebidang tanah perumahan Sertifikat Hak Milik No.310 yang terletah di Desa/Jorong Mandiangin Koto Selayan Kota Bukittinggi

Penolakan oleh para tergugat terhadap pelaksanaan pembagian harta warisan milik pewaris SD yang juga merupakan orang tua (ibu) dari para ahli waris baik tergugat maupun penggugat, terlebih dahulu telah dilakukan penyelesaian secara musyawarah mufakat diantara para tergugat dan penggugat yang difasilitasi oleh para pemuka oleh Minangkabau di tempat kediaman pemuka adat Minangkabau tersebut. Namun pelaksanaan musyawarah mufakat tersebut mengalami jalan buntu sehingga tidak tercapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pembagian warisan tersebut berdasarkan akta wasiat No.10 Tahun 1986 yang dibuat secara autentik oleh notaris/PPAT AAL tersebut. Oleh karena itu ahli waris SS sekaligus mewakili R, SM, HS, HRK, dan ZS mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bukit Tinggi dengan menggugat ahli waris lainnya

(25)

yang menolak pelaksanaan pembagian warisan tersebut yaitu FAA, IA, AA, AAR NDAR sebagai tergugat.

Atas putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi No.11/PM.G/1993/PNBT tanggal 18 Juli 1994 tersebut di atas maka para tergugat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Barat di Minangkabau dan putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat No. 12/Pdt.G/1995/PT.Pdg tanggal 10 April 1985 tanggal 18 Juli 1994. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat kemudian menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi dengan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian tersebut. Atas putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat tersebut maka para tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan melalui Putusan Mahkamah Agung No.195.K/Pdt/2001 dalam amar putusannya menyatakan bahwa menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi /dahulu tergugat /pembanding menghukum para kasasi /dahulu tergugat / terbanding pada tingkat kasasi ini untuk membayar biaya perkara sebesar Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian adalah sebagai berikut:

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan yang berlaku dalam hukum adat Minangkabau tentang wasiat atas harta pusaka rendah?

(26)

2. Bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung pada Putusan MA No.195.k/Pdt.2001?

3. Bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung No.

195.K/Pdt.2001?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis ketentuan yang berlaku dalam hukum adat Minangkabau tentang wasiat atas harta pusaka rendah.

2. Untuk menganalisis pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung pada Putusan MA No.195.k/Pdt.2001

3. Untuk menganalisis akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung No.

195.K/Pdt.2001 D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis di bidang hukum adat Minangkabau.

1. Secara Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran terhadap akademisi, praktisi dan mahasiswa fakultas hukum serta masyarakat luas untuk menambah wawasan di bidang hukum adat, khususnya pembagian warisan menurut hukum adat Minangkabau

(27)

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para akademisi, praktisi dan para mahasiswa fakultas hukum serta masyarakat luas dalam menyelesaikan permasalahan hukum tentang pembagian warisan menurut hukum waris adat Minangkabau.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Irlia Rozalin, NIM. 127011154/MKn USU, dengan judul tesis “Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Medan Area Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana pembagian harta warisan dalam masyarakat Minangkabau di Kecamatan Medan Area Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan?

b. Bagaimana faktor penyebab perubahan pandangan masyarakat Minangkabau di di Kecamatan Medan Area Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan?

2. Rizki Mutia, NIM. 147011037/MKn USU, dengan judul tesis “Perkembangan Hukum Waris Adat Minangkabau Dalam Pembagian Warisan Pada

(28)

Masyarakat Minangkabau di Aceh (Studi di Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana perkembangan hukum waris adat di Minangkabau di Tapaktuan?

b. Bagaimana pelaksanaan pembagian warisan dan masyarakat Minangkabau di Tapaktuan?

c. Bagaimana hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau di Tapaktuan?

3. Cahaya Masita Nasution, NIM. 047011007/MKn USU, dengan judul tesis

“Pelaksanaan Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat Minangkabau (Studi di Kabupaten Agam)”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana penerapan hukum waris adat dan hukum waris Islam pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agama?

b. Bagaimana peranan Mamak Kepala Waris dalam pembagian harta warisan pada masyarakat adat Minangkabau di Kabupaten Agama?

c. Bagaimana cara penyelesaian sengketa harta warisan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Kabupaten Agama?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. 15 Suatu teori harus dikaji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

16Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan pegangan teoritis.17

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Receptio in Complexudan Teori receptio a contrario.

Teori receptio a contrario ini dapat ditemukan dalam hubungan antara hukum agama dan hukum adat. Hukum agama (Islam) diterima secara keseluruhan oleh masyarakat sekitar Minangkabau yang memeluk agama tersebut.

Hukum adat Minangkabau mengikuti hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat Minangkabau yaitu agama Islam.18

Hukum Adat yang hendak diterapkan sebagai hukum, harus lebih dulu dipertanyakan dan diujikan kepada Syariat Islam, apakah ketentuan Hukum Adat yang hendak diterapkan dan diberlakukan itu tidak bertentangan dengan syariat.

Jika ternyata bertentangan, Hukum Adat tersebut harus disingkirkan. Dan untuk menguji bertentangan atau tidaknya Hukum Adat yang hendak diterapkan dengan

15 JJJ.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, FE UI Jakarta, 2006, hal.203

16 Eddy Warman, Methode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Pustaka Bangsa Press,, Medan, 2011, hal. 32

17 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.80.

18 Rahman Ardianto, Teori-Teori Penelitian hukum Adat dan penerapannya, Pustaka Ilmu Jakarta, 2009, hal.27.

(30)

Hukum Islam, para fungsionaris adat mempertanyakan dulu kepada ulama atau guru agama setempat.19

Hukum Adat timbul semata-mata dari hubungan kepentingan hidup kemasyarakatan yang ditaati oleh anggota masyarakat itu, yang apabila ada pertikaian atau konflik maka diselesaikan oleh penguasa adat dan hakim pada pengadilan negeri. Sementara itu, sengketa-sengketa yang berada dalam ruang lingkup Hukum Agama (Islam) diselesaikan di peradilan agama. Artinya, Hukum Adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan hubungan Hukum Agama yang dianut oleh agama masyarakat tersebut.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam suatu hubungan hukum adat dan hukum agama maka hukum adat mengikuti hukum agama dalam hal ini adalah agama Islam. Apabila hukum adat Minangkabau tersebut bertentangan dengan hukum Islam maka hukum adat Minangkabau tersebut tidak digunakan dalam ketentuan hukum adat Minangkabau tersebut.

Pembagian warisan menurut Hukum Adat Minangkabau maka pembagian maka pembagian warisan oleh pewaris kepada ahli waris yang sah tersebut harus berdasarkan asas keadilan, dimana para ahli waris memperoleh haknya masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum waris adat Minangkabau yang berlaku di masyarakat Minangkabau.

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan “definisi operasional”.20

19 Achmad Anwar, Hukum Adat, Alumni, Bandung, 2012, hal. 64

(31)

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:

a. Hukum adat adalah hukum /peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu kelompok masyarakat dan ditaati oleh kelompok masyarakat tersebut secara turun temurun dan apabila dilanggar akan memperoleh sanksi sosial dari pengetua adat maupun masyarakat hukum adat itu sendiri.21

b. Masyarakat hukum adat adalah komunikasi manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, dan jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi adat dari pemuka adat.22

c. Masyarakat hukum adat Minangkabau adalah kelompok masyarakat yang berasal dari daerah Minangkabau yang memiliki ketentuan hukum adat yang tidak tertulis namun berlaku secara turun temurun diantara kelompok masyarakat hukum adat Minangkabau tersebut.23

d. Hukum waris adalah suatu ketentuan hukum adat yang mengatur tentang tata cara pembagian harta warisan bagi pewaris dan ahli warisnya berdasarkannya

20 Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum, Harvarindo, Jakarta, 2013, hal.59

21 Imam Judiat, Pengantar Hukum Adat di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2003, hal. 29

22 Hendrawan Harsono, Hukum Adat dan Perkembangannya di Indonesia, Grafity Press, Jakarta, 2013, hal. 85

23 Zainul Imam Piliang, Hukum Adat Minangkabau, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 77

(32)

ajaran yang hidup dan berkembang secara turun temurun di dalam masyarakat adat tersebut. 24

e. Harta warisan adalah sesuatu harta yang ditinggalkan oleh pewaris yang telah meninggal baik berupa uang atau materi lainnya yang merupakan harta pencaharian dari pewaris tersebut.25

f. Wasiat adalah pemberian barang-barang tertentu oleh pewaris sebelum ia meninggal dunia kepada orang tertentu yang dilaksanakan secara tertulis dengan menggunakan akta autentik notaris, yang merupakan pernyataan sepihak dari pewaris tersebut dan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di bidang hukum wasiat. 26

g. Harta pusaka tinggi adalah harta yang diperoleh dari hasil kerjasama, gotong royong antara mamak dan kemenakan dalam suatu suku atau kaum pada masa lalu yang diperuntukkan manfaatnya bagi saudara dan kemenakan perempuan menurut suku atau kaum dari garis keturunan ibu sesuai konsep materilineal.27

h. Harta pusaka rendah adalah harta pencaharian yang diperoleh oleh pewaris selama masa hidupnya dari hasil pekerjaanya atau upayanya yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya sebagai ahli waris.28

24Sugondo Hardiman, Pengantar Hukum Waris Indonesia, Citra Ilmu, Jakarta, 2013, hal. 39

25 Ibid, hal. 40

26 Komara Rasmanto, Dasar-Dasar Hukum Wasiat di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 46

27 Zainul Imam Piliang, Op.Cit, hal. 78

28 Zainul Imam Piliang, Op.Cit, hal. 79

(33)

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, di mana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum adat pada umumnya dan hukum waris adat pada khususnya.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat, bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.29

2. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder,30 yang meliputi : a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan perauran

perundang-undangan yang berhubungan. Dalam penelitian ini bahan

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2006, hal.30.

30 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 14.

(34)

hukum primer Undang-Undang Peraturan Agraria No. 5 Tahun 1960, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Agung No.195.K/PDT/2001.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah tentang hukum adat pada umumnya, hukum adat Minangkabau dan hukum waris adat Minangkabau.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus adat, ensiklopedia.

3. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data primer yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah wasiat atas harta pusaka rendah menurut hukum Adat Minangkabau .

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang

(35)

disarankan oleh data.31 Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan- bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.32 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif.

Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian, yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri dari data yang ada, baik data sekunder yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier, sehingga menghasilkan kualifikasi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai permasalahan pelaksanaan prosedur dan tata cara pembagian wariasn menurut hukum waris adat Minangkabau yang hidup dan berkembang di masyarakat Minangkabau, hukum waris Islam serta Putusan Mahkamah Agung No.195.K/PDT/2001, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode deduktif, yaitu melakukan penarikan kesimpulan, diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan terhadap hal-hal yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

31 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media Malang, 2005, hal 81

32 Raimon Hartadi, Methode Penelitian Hukum Dalam Teori Dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, hal.16

(36)

BAB II

KETENTUAN YANG BERLAKU DALAM HUKUM ADAT MINANGKABAU TENTANG WASIAT ATAS HARTA

PUSAKA RENDAH

A. Wasiat Menurut Hukum Adat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata Minangkabau berarti kerbau yang menang. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.

Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya.

Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang aman). 33

Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat

33 http://ms.wikipedia.org/wiki/ Minangkabau, diakses pada tanggal 10 Oktober 2019, pukul. 18.23

(37)

mereka yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau.

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah ―Minangkabwa, ―Minangakamwa,

―Minangatamwan, dan ―Phinangkabhu. Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.34

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 500-2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut

34 http://roezyhamdani.blogspot.com/p/suku-Minangkabau .html, diakses pada tanggal 16 Oktober 2019, pukul. 15.18

(38)

terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis.

Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau, disebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut membentuk semacam konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima Puluah Koto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan;

Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo

(39)

Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.35

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu, berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam, Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain- lain.36

Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat 3 (tiga) unsur yang paling dominan, yaitu:

Pertama, garis keturunan menurut garis ibu. Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah

35Nursid Sumaatmadja, Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup, Alfabeta, Bandung, 2012, hal.86

36 Rismawan Abbas, Implementasi Putusan Mahkamah Agung No.179 K/SIP/1961 Tentang Bagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan (Studi di Kelurahan Rumah Kabanjahe Kecamatan Kabanjahe Kota), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2015, hal.

76

(40)

eksogami matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. 37

Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami, dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan.

Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.

Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masing-masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan.

37 Hastuti, Erny, dkk. Kearifan Lokal Sosial Budaya Masyarakat Minang Pedagang Rantau di Jakarta. Proceeding Pesat [Jurnal] (Psikologi, Ekonomi, Strata, Arsitektur & Teknik Sipil)., 2013, hal. 1-7

(41)

Dimana ayah atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih ada dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya. 38

Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau- surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki-laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki- laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi

38 Yahya Zohra, Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Untuk Anak Terhadap Harta Pusaka Rendah Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di Perantauan (Studi Di Kota Medan), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2016, hal. 87

(42)

mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun. 39

Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang sejajar dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab dalam kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.40

Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki- laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia. 41

39 Munir, Misnal. Hidup di Rantau dengan Damai: Nilai-Nilai Kehidupan Orang Minangkabau dalam Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan Budaya Baru [Jurnal] (Local Wisdom, Minangkabau, Damai, Rantau, Konflik) hal. 27

40 Ibid, hal.28

41Erwan Hardi, Pembagian Harta Waris (Studi Analisis Marga Mandailing di Kabupaten Pasaman Berdasarkan Konsep Dasar Sosiologi Hukum ), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2015, hal. 19

(43)

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Adat dan kebiasaan merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan diterimanya dan dipakainya istilah hukum adat yang kemudian menjadi salah satu cabang ilmu hukum. Tujuan dari mempelajari hukum adat untuk memelihara dan mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia serta berfungsi dalam mempertimbangkan dan menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mempunyai bentuk sistem kekerabatan dan sistem kewarisannya masing- masing. Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sistem kekerabatan ini terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang diwariskan, baik yang materil maupun immateril42

Pluralitas masyarakat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda-beda. Salah satunya hukum waris adat, juga dalam bidang-bidang hukum adat tertentu lainnya yang bergantung pada corak kekerabatan dari masing-masing masyarakat. Secara umum, istilah kekerabatan menggambarkan adanya hubungan darah antara

42 Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, Hal. 91.

(44)

seseorang dengan orang lain. Dalam masyarakat seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga setiap anak mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui bapak biasanya disebut patrilineal, kerabat yang melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal dan kerabat yang ditelusuri dari kedua belah pihak (ibu dan bapak) disebut parental/bilateral.43

Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) ditetapkan atau diturunkan hanya kepada mereka yang termasuk golongan kekerabatannya.

Sementara mereka yang berada diluar garis kekerabatan, misalnya status perempuan pada masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak terlalu diperhitungkan pada pembagian waris. Di Indonesia, hukum waris yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni hukum waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Yurisprudensi.44

Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat sekarang ini menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan masyarakat. Perkembangan itu dapat berupa kemajuan pendidikan, perkembangan teknologi, dan hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar provinsi dan antar suku bangsa, yang dapat dimungkinkan dengan hubungan perkawinan antar suku atau antar daerah, dan hal ini lah sebagian kecil yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat.45

43 Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Citra Harta Prima, Jakarta, 2010, hal. 45

44 Ibid, hal. 46

45 Sudirman, Hukum waris di Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 55

Referensi

Dokumen terkait

Cara pembagian harta warisan masih berdasarkan hukum adat Melayu Sambas kalaupun ada bagian para ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, ayah dan Ibu belum

Dalam hukum adat waris Jawa dalam hal pembagian waris harta orang tua tiri jika tidak ada saudara tiri atau ahli waris lain menurut hukum adat Jawa di

Sesuai pasal 195 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “ Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris

Ada beberapa permasalahan yang akan dibahas, yaitu faktor-faktor apa yang menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta warisan, bagaimana tindakan hukum yang dilakukan ahli

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan, telah adanya perkembangan hukum waris adat

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan, telah adanya perkembangan hukum waris adat

Pembagian warisan pada masyarakat muslim Tionghoa, wasiat adalah suatu wasiat yang diberikan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari

Warisan terbuka pada saat kematian pewaris, yang berakibat hukum terjadinya pecah waris, yaitu beralihnya harta warisan kepada seluruh ahli waris, hal ini mengakibatkan pemilikan