• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wasiat Atas Harta Pusaka Rendah menurut Hukum Adat Minangkabau Masalah pewarisan dalam hukum adat Minangkabau telah disepakati dan

PUSAKA RENDAH

D. Wasiat Atas Harta Pusaka Rendah menurut Hukum Adat Minangkabau Masalah pewarisan dalam hukum adat Minangkabau telah disepakati dan

diputuskan dalam Musyawarah Besar Urang Nan Ampek Jinih seluruh Sumatera Barat pada tanggal 2-4 mei 1952 di Bukittinggi dan dipertegas kembali dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau pada tanggal 21-25 Juli 1968 di Padang yang menetapkan:79

1. Harta Pusaka tinggi di Minangkabau merupakan harta badan hukum diurus dan diwakili oleh Mamak Kepala Waris.

79 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau Gunung Agung, Jakarta,1984, hal.289

2. Harta Pusaka Rendah diwariskan menurut hukum faraid. Harta pencaharian adalah seperdua dari harta yang didapat selama dalam perkawinan ditambah dengan harta bawaan sendiri yaitu milik pribadi, bukan milik kaum.

3. Seseorang dibenarkan berwasiat kepada kemenakan atau kepada yang lain , hanya sebanyak banyaknya sampai dari sepertiga dari harta pencaharian itu.

Harta pusaka rendah merupakan harta pencarian bapak bersama ibu selama dalam ikatan perkawinan. Serta pemberian dari mamak dan tungganai kepada kemanakannya dari hasil pencariannya sendiri. Yang dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak seperti sawah, ladang, rumah tempat tinggal, toko dan kendaraan bermotor atau benda yang dibeli melalui pihak lain.

Dan apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan dari harta pusaka ini dengan tidak dijual dan dibagi-bagi, hingga pada waktunya diwariskan kepada generasi berikut secara terus menerus maka harta pusaka rendah ini akan beralih menjadi harta pusaka tinggi.80

Dalam sistem kekerabatan matrilineal pada masyarakat adat Minangkabau, kedudukan anak perempuan dianggap kuat. Perempuan dilindungi dimana rumah diperuntukkan bagi anak perempuan. Ikatan antara ibu dan anak perempuan cenderung bersifat sangat kuat.81

Namun pada masa sekarang ini hukum pewarisan di pada masyarakat adat Minangkabau sudah mengalami dinamika. Ada upaya untuk mendobrak hukum adat yang berlaku. Praktek warisan adat Minangkabau termasuk sistem pewarisan

80 Yaswirman, Hukum Keluarga, Rajawali Press, Jakarta,2013, hal. 155

81 Gisna Verawati, Kajian Hukum Waris Suatu Pengantar, Eressco, Bandung, 2012, hal.65

dan hibah-wasiat telah menarik perhatian para sarjana sejak dulu. Indikasinya terlihat dari banyaknya buku yang membahas putusan-putusan adat Minangkabau.

Perhatian juga tertuju pada kedudukan posisi kaum perempuan dalam masyarakat adat Minangkabau sudah menjadi perhatian besar para ahli, terutama berkaitan dengan hubungan yang cukup sulit antara sistem kekerabatan matrilineal dengan karakteristik Islam yang patriarkat. Kekerabatan matrilineal berarti anak keturunan dan harta warisan diatur menurut garis ibu atau pihak perempuan dalam keluarga. Prinsip hukum bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah selalu dijadikan acuan dalam memberikan wasiat maupun pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau. Secara umum ada empat cara memperoleh harta di Minangkabau, yakni:82

a. Pusako (pusaka), berupa warisan yang diterima kemenakan dari mamak;

b. Tambilang basi (tembilang besi), harta yang diperoleh dengan hasil usaha sendiri, seperti dengan membuka sawah atau ladang;

c. Tambilang ameh (tembilang emas), dengan cara pembelian. Karena harta di Minangkabau tidak dapat dibeli, maka dilakukan dengan memegang gadai;

d. Hibah, harta yang diperoleh sebagai pemberian.

Harta yang dapat dihibahkan bukan harta pusaka kaum, tetapi harta yang diperoleh seseorang dengan usaha sendiri. Dalam hal harta bersama (harta suarang), jika suami meninggal, maka harta itu dibagi dua antara isteri dengan ahli waris suami (kemenakannya).

82 Chairusdi, Sejarah Kebudayaan Minang Kabau, Bukit Tinggi : KristalMultimedia, 2009, hal. 42

Kemenakan laki-laki dan perempuan sama-sama berhak menerima warisan dengan kewajiban berbeda. Gelar diwarisi laki-laki, dan harta pusaka diwarisi oleh perempuan. Namun dewasa ini ada pergeseran dalam hukum kewarisan maupun hibah dalam masyarakat adat Minangkabau akibat pengaruh Islam di Sumatera Barat.

Ketentuan umum yang diterima dalam masyarakat adat Minangkabau bahwa sepanjang sudah memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, misalnya Pasal 194-196 Kompilasi Hukum Islam, maka prosedur wasiat itu bisa dianggap sah. Tetapi keabsahan secara yuridis, baik formal maupun material, wasiat yang disusun oleh pewasiat sepenuhnya tergantung pada ketentuan hukum yang berlaku dalam wasiat. Jika ternyata ada ahli waris yang tak menyetujui pembagian itu, maka ia berhak mengajukan permohonan pembatalan. 83

Harta warisan yang dapat diwasiatkan oleh pewasiat adalah diwasiatkan kepada wasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari seluruh harta yang dimiliki oleh si pewasiat. Harta waris yang dapat diwasiatkan kepada wasiat adalah harta pusaka rendah atau harta pencaharian dari si pewasiat bersama pasangan hidupnya, dan bukan harta warisan yang berasal dari leluhurnya yang disebut dengan harta pusaka tinggi. Harta pusaka tinggi hanya boleh diwariskan kepada anak-anak perempuan dan anak laki-laki hanya dalam status mengawasi dari harta pusaka tinggi tersebut dan tidak dapat memperoleh harta pusaka tinggi tersebut. Harta pusaka tinggi tidak dapat diwasiatkan kepada ahli waris dari si pewasiat, karena

83 Muhammad Alfiyanto Piliang, Pewasiatan dalam Hukum Adat Minangkabau Sesuai dengan Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hal. 49

harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang tidak boleh diwasiatkan atau dijualbelikan tetapi diwariskan secara turun temurun kepada keturunan perempuan dari pewaris (ibu). 84

Pembagian wasiat pada masyarakat adat Minangkabau pada umumnya pewasiat terlebih dahulu membicarakannya bersama ahli waris lain, agar pewasiat dapat memperoleh persetujuan dan kedudukan hukum yang kuat dalam pelaksanaan wasiat tersebut. Apabila pembuatan wasiat oleh pewasiat tersebut tidak disetujui oleh ahli waris lainnya maka pembuatan wasiat tersebut dapat dimohonkan pembatalannya oleh ahli waris yang tidak setuju tersebut sehingga melemahkan kedudukan hukum dari wasiat tersebut. Dalam pembuatan wasiat menurut hukum adat Minangkabau, memperbolehkan pewasiat menarik mencabut wasiatnya jika calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan, atau sudah setuju tetapi kemudian menarik kembali persetujuan itu.85

Pada masyarakat matriarkat seperti Minangkabau, penghibahan harta merupakan wewenang ibu kepada anak-anaknya. Pada masyarakat Minangkabau, harta pusaka yang berasal dari pencaharian suami hanya diwarisi oleh kaumnya.

Jika bentuknya hibah-wasiat, yang berlaku setelah pewasiat meninggal, umumnya berlaku prinsip semua anak mendapatkan bagian yang layak dan tidak boleh melenyapkan bagian yang lain. Bagian yang layak berarti setiap ahli waris memperoleh hak yang sama. Harta yang dihibahkan bukan harta pusaka kaum, tetapi harta yang diperoleh seseorang dengan usaha sendiri. Dalam hal harta

84Wawancara dengan Rusydi Usman DT. Gunung Kayo, Wakil Ketua Kerapatan Adat Negari Koto Selayan Bukit Tinggi hari Senin 28 Oktober 2019, dikediamannya.

85 Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan The Minangkabau Foundaction Press, 2004, hal. 20

bersama (harta suarang), jika suami meninggal, maka harta itu dibagi dua antara isteri dengan ahli waris suami (kemenakannya).86

Wasiat dalam bentuk hibah-wasiat, yang berlaku setelah pewasiat meninggal, umumnya berlaku prinsip semua anak mendapatkan bagian yang layak dan tidak boleh melenyapkan bagian yang lain. Bagian yang layak berarti setiap ahli waris memperoleh hak yang sama. Layak di sini pengertiannya adalah dipertimbangkan secara konkrit. Artinya adalah bahwa si pewasiat dalam akta wasiat tersebut harus membagi harta pusaka rendah yang dimilikinya yang dapat berupa barang bergerak, seperti perhiasan emas, mobil, motor ataupun barang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan kepada ahli waris yaitu anak-anaknya dengan pembagian yang proporsional dan adil baik bagi anak laki-laki maupun kepada anak perempuan. 87

Pembagian yang proporsional dan adil dalam hal ini adalah bahwa seluruh anak-anak sebagai ahli waris tersebut memperoleh bagian dari harta pusaka rendah tersebut melalui isi akta wasiat yang dibuat oleh si pewasiat, meskipun secara nilai ekonomi, pembagian harta pusaka rendah yang dilakukan melalui akta wasiat tersebut bisa saja mempunyai nilai yang berbeda antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain. Apabila ada salah seorang ahli waris tersebut yang keberatan dengan isi akta wasiat yang dibuat dengan menggunakan akta autentik notaris tersebut, maka ahli waris yang keberatan tersebut dapat saja mengajukan gugatan pembatalan terhadap akta wasiat tersebut ke pengadilan agama dengan

86 A.A.Navis, Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Grafiti Press, Jakarta, 2011, hal. 57.

87 Taufik Abdullah, Budaya Tradisional Minangkabau, Usaha Ikhlas, Bukittinggi, 1988, hal. 76

mengajukan alat bukti yang kuat bahwa akta wasiat tersebut dibuat dengan menyalahi ketentuan hukum yang berlaku.88

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kewenangan membuat akta wasiat atas pusaka rendah merupakan kewenangan berdasar kesepakatan suami dan istri dan agar diberikan harta tersebut kepada anak kandung si pewasiat.

Perihal pewarisan harta pencaharian yang menetapkan sebagai berikut: 89 a. Harta Pusaka Tinggi di Minangkabau merupakan harta badan hukum diurus

dan diwakili oleh Mamak Kepala Waris.

b. Harta Pusaka Rendah diwariskan menurut hkum faraid. Harta pencaharian adalah seperdua dari harta yang didapat seseorang selama perkawinannya ditambah dengan harta bawaan sendiri yaitu milik pribadi bukan milik kaum c. Seseorang dibenarkan berwasiat baik kepada kemenakannya maupun kepada

yang lainnya hanya sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta pencaharian.

Harta pusaka rendah yang lain yaitu bagian orang tuanya atas harta serikat dan harta suarang yang akan mewarisi adalah anak-anak yang dapat mereka bagi diantara sesama. Al-qur'an, Hadist dan Ijma' (ijthad) menjabarkan ada 23 orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan yang di golongkan menjadi ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan: 90

a). Ahli waris laki-Iaki:

1. Anak laki laki;

88 Rismandi, Pembagian Wasiat Menurut Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 76

89Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Lingkungan Adat Minangkabau Gunung Agung, Jakarta,1984, hal.289

90 Ibid, hal 67

2. Cucu laki-Iaki;

3. Bapak;

4. Kakek laki-Iaki sekandung;

5. saudara Iaki-Iaki sekandung;

6. saudara Iaki-Iaki sebapak;

7. saudara laki-Iaki seibu;

8. anak laki-Iaki dari saudara laki-Iaki sekandung;

9. anak laki-Iaki dari saudara sebapak;

10. paman (saudara laki-Iaki bapak sekandung);

11. paman (saudara laki-Iaki bapak yang sebapak);

12. anak laki-Iaki dari paman sekandung dengan ayah;

13. anak laki Iaki dari paman yang sebapak dengan ayah;

14. suami;

b). Ahli waris perempuan:

1. Anak perempuan;

2. Cueu perempuan(anak perempuan dari anak laki-Iaki);

3. Ibu;

4. Nenek (ibu dari ibu/bapak);

5. nenek (ibu dari ibu dan seterusnya keatas);

6. Saudara perempuan sekandung;

7. Saudara perempuan seibu;

8. Saudara perempuan sebapak;

9. Istri.

Apabila ahli waris tersebut seluruhnya ada, maka yang berhak memperoleh bagian dari harta peningalan hanya lima saja yaitu : 91

1. Suami atau Istri;

2. Ibu;

3. Bapak;

4. Anak Laki-Iaki;

5. Anak perempuan.

Keseluruhan ahli waris di atas mendapatkan bagian yang besarnya telah di tentukan oleh AI-Qur'an. Dalam hukum faraid, ahli waris yang berhak mewaris juga berlandaskan pada asas keutamaan dan asas penggantian. Kelompok keutamaan lebih rendall akan tertutup atau terhijab oleh kelompok keutamaan lebih tinggi. Bagi mereka yang telah meninggal tersebih dabulu maka berlaku asas penggantian (mawali). Bagian-bagian ahli waris telah ditentukan oleh AI-qur'an dalam surat dalam surah IV: 11,12,176, hadist dan ijma.

c). Ahli waris harta serikat

Harta serikat atau sekutu akan di warisi secara faraid dengan ketentuan bahwa harta terse but terlebih dahulu harus dilakukan pemurinian dari hak orang lain. Ada bermacam-macam kondisi harta peninggalan pada saat pewaris meninggal yang berkaitan dengan harta serikat yaitu, kondisi dimana harta peninggalan pewaris tersebut dahulu setengah modalnya berasal dari harta pusaka dan ada pula yang sepenuhnya berasal dari harta pusaka. 92

91 Sudarmanto, Ahli Waris, Rineka Cipta, Jakarta, 2016, hal. 65

92 Gisna Verawati, Kajian Hukum Waris Suatu Pengantar, Eressco, Bandung, 2012, hal.65

Bila terjadi keadaan demikian maka bila seseorang meninggal dalam keadaan sedang mengusahakan tanah yang seluruhnya harta pusaka kaum, maka yang menjadi harta peninggalan dari si yang meninggal adalah hasil tanahnya.

Hasil tanah itulah yang kemudian dapat diwariskan berdasarkan hukum faraid, sedangkan atas bendanya yaitu tanah kaum, harus di kembalikan kepada kaum sebagai pemilik modal.

Apabila modal usaha berasal dari menggadaikan harta pusaka sepenuhnya maka, harta peninggalan tersebut harus dimurnikan dengan cara menggembalikan modal dalam bentuk mengganti harta pusaka yang terjual atau menebus harta yang digadaikan itu. Atau bila kesuksesan seseorang tersebut dari ilmu yang didapatnya, dimana dalam rangka memperoleh ilmu itu diusahakan dari harta pusaka, maka orang tersebut harus menyisihkan harta pencariannya dan memberikan secara hibah atau wasiat kepada kemenakan. Setelah hak orang lain di keluarkan dari harta peninggalan yang berasal dari serikat dengan cara pemurnian diatas maka sisa harta tersebut baru dapat di wariskan secara hukum faraidl Hukum Islam. 93 d). Ahli waris harta suarang

Sama halnya dengah harta serikat, harta suarang yang merupakan hasil dari usaha bersama-sama antara suami dan istri dalam mengusahakan tanah ulayat kaum, apabila terjadi perceraian baik karena cerai mati maupun cerai hidup, maka harus ada pemurnian harta peninggalan tersebut dengan mengembalikan tanah yang diusahakan. Hasil dari tanah itulah yang dapat dijadikan harta peninggalan

93 Chairusdi, Sejarah Kebudayaan Minangkabau, Bukit Tinggi : KristalMultimedia, 2009, hal. 42

pewaris yang sarna derajatnya dengan harta pencaharian yang di wariskan kepada anak-anak sesuai hukum faraid. 94

Hak-hak orang lain yang ada dalam harta harus di selesaikan dan dikembalikan pada waktu terjadinya peristiwa kematian. Hak hak orang lain tersebut harus di keluarkan dari kumpulan harta peninggalan seseorang. Bila hak orang lain dalam segala bentuknya telah dikelurkan, maka yang tertinggal itulah yang merupakan hak milik murni dari yang meninggal dan telah memenuhi syarat untuk diserahkan kepada ahli waris yang berhak menurut hukum faraid. Meskipun pewarisan secara faraid di dalam prakteknya tidak dilakukan secara murni, tetapi unsur-unsur sistem kewarisan individual bilateral tetap ada pada pewarisan harta pusaka rendah dimana yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan maupun laki-laki yang mencerminkan usur bilateral serta harta pusaka rendah itu berstatus hak milik mencerminkan asas individual yang terdapat dalam hukum faraid. 95

Pedoman yang dipegang oleh orang Minangkabau dalam pewarisan harta pusaka rendah ialah diwariskan berdasarkan Syara' menurut alue jo patuik (alur dan patut) artinya bahwa pewarisan tersebut harus sesuai dengan alur (ketentuan) yaitu hukum faraid dengan mempertimbangkan kepatutan berdasarkan pada keadaan para ahli waris. Prinsip terpenting dari pewarisan harta pusaka di Minangkabau adalah adanya kala mufakal dari seluruh ahli waris. Pewarisan harta melalui pemufakatan ini tidak menyalahi hukum Islam, karena dalam Islam sejauh

94 Halimy Safrudin Duski, Adat Minang Kabau dalam Perspektif Hukum Islam Analisa Fiqh Terhadap Sistem Matrilinial, Larangan Kawin Sasuku dan Hukum Waris Adat Minangkabau, Padang : Hayfa Press, 2005, hal. 10

95 Muhammad Alfiyanto Piliang, Pewasiatan dalam Hukum Adat Minangkabau Sesuai dengan Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hal. 49

yang menyangkut hak Allah, kerelaan hamba tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap hukum yang di tentukan Allah.

Berdasarkan apa yang dijelaskan di atas tampak jelas bahwa harta pusaka tinggi yang di dalamnya terdapat pusako kebesaran maupun pusako haralo diwariskan secara adat dengan sistem kewarisan kolektif Matrilinial, sedangkan harta pusaka rendah yang di dalamnya terdapat harta pencaharian, harta serikat dan suarang wariskan berdasarkan syara' dengan sistem kewarisan individual bilateral. Hal ini membuktikan bahwa masuknya Islam ke Minangkabau tidak menghancurkan nilai-nilai masyarakat Minangkabau yang Matrilinial, namun kenyataannya dapat memperkaya nilai-nilai masyarakat Minangkabau tersebut.

Sehingga pertentangan pertentangan antara agama dengan adat tidak perlu terjadi karena pewarisan berdasarkan 2 sistem kewarisan ini telah jelas pembagian hartanya dan siapa ahli warisnya.

Wasiat Jika bentuknya hibah-wasiat, yang berlaku setelah pewasiat meninggal, umumnya berlaku prinsip semua anak mendapatkan bagian yang layak dan tidak boleh melenyapkan bagian yang lain. Bagian yang layak berarti setiap ahli waris memperoleh hak yang sama. Layak di sini pengertiannya adalah dipertimbangkan secara konkrit. Artinya adalah bahwa si pewasiat dalam akta wasiat tersebut harus membagi harta pusaka rendah yang dimilikinya yang dapat berupa barang bergerak, seperti perhiasan emas, mobil, motor ataupun barang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan kepada ahli waris yaitu anak-anaknya

dengan pembagian yang proporsional dan adil baik bagi anak laki-laki maupun kepada anak perempuan. 96

Pembagian yang proporsional dan adil dalam hal ini adalah bahwa seluruh anak-anak sebagai ahli waris tersebut memperoleh bagian dari harta pusaka rendah tersebut melalui isi akta wasiat yang dibuat oleh si pewasiat, meskipun secara nilai ekonomi, pembagian harta pusaka rendah yang dilakukan melalui akta wasiat tersebut bisa saja mempunyai nilai yang berbeda antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain. Apabila ada salah seorang ahli waris tersebut yang keberatan dengan isi akta wasiat yang dibuat dengan menggunakan akta autentik notaris tersebut, maka ahli waris yang keberatan tersebut dapat akta mengajukan gugatan pembatalan terhadap akta wasiat tersebut ke pengadilan agama dengan mengajukan alat bukti yang kuat bahwa akta wasiat tersebut dibuat dengan menyalahi ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa dikarenakan harta pencaharian maka pembuatan wasiat harus berdasarkan kesepakatan suami istri sebelum melakukan pembuatan wasiat melalui akta otentik

96 Ramayulis, Pengantar Ilmu Pendidikan The Minangkabau Foundaction Press, 2004, hal. 20

BAB III

PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM MAHKAMAH AGUNG