• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSAKA RENDAH

A. Wasiat Menurut Hukum Adat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata Minangkabau berarti kerbau yang menang. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.

Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya.

Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang aman). 33

Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat

33 http://ms.wikipedia.org/wiki/ Minangkabau, diakses pada tanggal 10 Oktober 2019, pukul. 18.23

mereka yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau.

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah ―Minangkabwa, ―Minangakamwa,

―Minangatamwan, dan ―Phinangkabhu. Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.34

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 500-2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut

34 http://roezyhamdani.blogspot.com/p/suku-Minangkabau .html, diakses pada tanggal 16 Oktober 2019, pukul. 15.18

terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis.

Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau, disebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut membentuk semacam konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima Puluah Koto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan;

Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo

Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.35

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu, berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam, Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain-lain.36

Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat 3 (tiga) unsur yang paling dominan, yaitu:

Pertama, garis keturunan menurut garis ibu. Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah

35Nursid Sumaatmadja, Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup, Alfabeta, Bandung, 2012, hal.86

36 Rismawan Abbas, Implementasi Putusan Mahkamah Agung No.179 K/SIP/1961 Tentang Bagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan (Studi di Kelurahan Rumah Kabanjahe Kecamatan Kabanjahe Kota), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2015, hal.

76

eksogami matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. 37

Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami, dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan.

Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.

Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masing-masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan.

37 Hastuti, Erny, dkk. Kearifan Lokal Sosial Budaya Masyarakat Minang Pedagang Rantau di Jakarta. Proceeding Pesat [Jurnal] (Psikologi, Ekonomi, Strata, Arsitektur & Teknik Sipil)., 2013, hal. 1-7

Dimana ayah atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih ada dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya. 38

Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau-surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi

38 Yahya Zohra, Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Untuk Anak Terhadap Harta Pusaka Rendah Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di Perantauan (Studi Di Kota Medan), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2016, hal. 87

mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun. 39

Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang sejajar dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab dalam kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.40

Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia. 41

39 Munir, Misnal. Hidup di Rantau dengan Damai: Nilai-Nilai Kehidupan Orang Minangkabau dalam Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan Budaya Baru [Jurnal] (Local Wisdom, Minangkabau, Damai, Rantau, Konflik) hal. 27

40 Ibid, hal.28

41Erwan Hardi, Pembagian Harta Waris (Studi Analisis Marga Mandailing di Kabupaten Pasaman Berdasarkan Konsep Dasar Sosiologi Hukum ), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2015, hal. 19

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Adat dan kebiasaan merupakan salah satu dari sumber hukum. Dengan diterimanya dan dipakainya istilah hukum adat yang kemudian menjadi salah satu cabang ilmu hukum. Tujuan dari mempelajari hukum adat untuk memelihara dan mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia serta berfungsi dalam mempertimbangkan dan menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Setiap masyarakat hukum adat di Indonesia mempunyai bentuk sistem kekerabatan dan sistem kewarisannya masing- masing. Hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sistem kekerabatan ini terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta warisan yang diwariskan, baik yang materil maupun immateril42

Pluralitas masyarakat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda-beda. Salah satunya hukum waris adat, juga dalam bidang-bidang hukum adat tertentu lainnya yang bergantung pada corak kekerabatan dari masing-masing masyarakat. Secara umum, istilah kekerabatan menggambarkan adanya hubungan darah antara

42 Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, Hal. 91.

seseorang dengan orang lain. Dalam masyarakat seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga setiap anak mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui bapak maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui bapak biasanya disebut patrilineal, kerabat yang melalui ibu biasanya dinamakan matrilineal dan kerabat yang ditelusuri dari kedua belah pihak (ibu dan bapak) disebut parental/bilateral.43

Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) ditetapkan atau diturunkan hanya kepada mereka yang termasuk golongan kekerabatannya.

Sementara mereka yang berada diluar garis kekerabatan, misalnya status perempuan pada masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak terlalu diperhitungkan pada pembagian waris. Di Indonesia, hukum waris yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat ada 4 (empat) macam, yakni hukum waris berdasarkan Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Yurisprudensi.44

Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat sekarang ini menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan masyarakat. Perkembangan itu dapat berupa kemajuan pendidikan, perkembangan teknologi, dan hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar provinsi dan antar suku bangsa, yang dapat dimungkinkan dengan hubungan perkawinan antar suku atau antar daerah, dan hal ini lah sebagian kecil yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat.45

43 Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Citra Harta Prima, Jakarta, 2010, hal. 45

44 Ibid, hal. 46

45 Sudirman, Hukum waris di Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 55

Kelompok Etnis Minangkabau, secara historis dan geografis, dianggap sebagai komunitas yang menyerupai budaya pesisir. Padahal, masyarakat Minangkabau pada dasarnya termasuk kedalam komunitas kelompok pedalaman, karena menempati daerah seputar pegunungan Bukit Barisan (pedalaman Sumatera). Salah satu ciri masyarakat pedalaman adalah kecenderungan menjadikan pertanian sebagai sumber penghidupan mereka. Tetapi, ciri tersebut tidak sepenuhnya melekat pada komunitas Minangkabau. Dalam perspektif perdagangan, komunitas Minangkabau telah berperan penting dalam perdagangan merica (lada) dan emas yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat pesisir.46

Seiring dengan berkembangnya zaman, menyebabkan terjadinya angka perpindahan penduduk yang semakin besar, sehingga dengan mudahnya seseorang atau sekelompok orang dapat berpindah dari suatu daerah ke daerah lainnya.

Namun meski perpindahan penduduk itu dapat terjadi dengan mudah, tidak demikian dengan hukum adat atau kebiasaan yang berlaku dapat ikut berubah juga, sehingga seseorang atau sekelompok orang yang berpindah ke daerah baru, harus menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan yang berlaku di daerah baru yang mereka tempati. Dengan kata lain faktor lingkungan tempat tinggal juga turut mempengaruhi keadaan hukum masyarakat terhadap hukum adatnya.47

Reformasi budaya dan Agama di Minangkabau terjadi sejak kembalinya Syekh Burhanuddin Ulakan dari Aceh pada abad ke-17. Ia menyebarkan dan mengembangkan serta menyiarkan ajaran Islam melalui sistem pendidikan surau

46 Mochtar Naim (ed), Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Adat, Center for Minangkabau Studies press, Padang, 1968, Hal. 85

47 Erwan Hardi, Pembagian Harta Waris (Studi Analisis Marga Mandailing di Kabupaten Pasaman Berdasarkan Konsep Dasar Sosiologi Hukum ), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2015, hal. 19

secara damai di Minangkabau. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh kepercayaan Animistik dan budaya Hindu-Budha, serta menghapus kebiasaan-kebiasaan anak nagari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa yang terdapat di Sumatera Barat yang dalam konsep Van Vollenhoven termasuk kedalam 19 lingkungan hukum adat, merupakan masyarakat adat yang sangat kuat dalam hal penerapan hukum adatnya, hal ini salah satunya dapat dilihat pada sistem kewarisannya, walaupun masyarakat Minangkabau hampir keseluruhan beragama Islam, namun dalam hal pembagian warisan Pusako Tingginya tetap menggunakan hukum adat sebagai aturannya, kewarisan Hukum Islam hanya dipergunakan terhadap harta pusako Randahnya saja.

Pada dasarnya, selagi masyarakat Minangkabau taat memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam ketentuan Adat nan sabana Adat dan Adat nan Diadatkan akan lestari sepanjang masa. Dan sebagai konsekuensinya, seorang Minangkabau, harus mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan dalam adat tersebut. Demikian juga struktur masyarakat Minangkabau yang disusun menurut garis keturunan ibu dimana pewarisan sako dan pusako yang telah dimantapkan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, akan tetap menurut garis ibu.48

Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Minangkabau adalah sistem matrilineal, yang memiliki ciri adanya keterikatan orang Minangkabau

48 Rita Sastra, Sertifikat Sebagai Bukti Kepastian Hak Atas Tanah, Makalah Pertanahan.

2010, hal. 44

pada ibunya, dan rumah serta pusaka keturunan ibunya. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan bundo kanduang, yang juga menjadi peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki.49

Dalam hukum adat Minangkabau juga dikenal dengan sistem wasiat terhadap harta pusaka rendah. Konsep wasiat yang terdapat dalam adat Minangkabau ini berlaku atas pemberian harta dari orang tua kepada anaknya, atau dari keluarga ayah kepada si anak, yang dalam sistem adat Minangkabau biasa disebut Wasiat Bako ka Anak Pisang (Wasiat /pemberian keluarga ayah kepada si anak) dengan syarat harus mendapat persetujuan semua ahli waris dalam kaum tersebut. Wasiat tersebut ada yang bersifat tetap dan abadi untuk selamanya (Wasiat Laleh), dan ada yang bersifat hanya untuk sementara dengan ketentuan yang berlaku (Wasiat Bakeh dan Wasiat Pampeh).

Pembuatan akta wasiat dengan menggunakan akta autentik notaris dapat dilakukan terhadap harta warisan pusaka rendah yaitu harta yang diperoleh si pewasiat selama masa perkawinan berlangsung bersama suami/istrinya, yang merupakan orang tua kandung dari para ahli waris yang merupakan anak-anak kandung dari si pewasiat. Pembuatan akta autentik ini berdasarkan kesepakatan oleh suami dan istri semasa masih hidup yang pembagiannya berdasarkan kehendak dari pewasiat untuk anak kandung pewasiat. Akta wasiat tersebut merupakan pernyataan terakhir si pewasiat untuk membagi-bagikan harta

49 Irlia Rozalin, Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan Medan Area Kelurahan Tegal Sari III Kota Medan, Tesis Universitas Sumatera Utara, 2016, hal. 64

pencahariannya selama perkawinan berlangsung, agar setelah si pewasiat meninggal duni maka isi akta wasiat tersebut dilaksanakan.

Sedangkan konsep wasiat yang ada dalam fiqh adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain ketika dia masih hidup atas dasar sesuatu dan lain hal.

Wasiat ini bisa saja dari orang tua kepada anak, antar saudara, kepada orang lain dan sebagainya. Wasiat dalam hukum Islam adalah penyerahan hak milik kepada orang lain semasa hidup yang mempunyai hak tanpa ada suatu imbalan. Usaha pengalihan itu dibatasi oleh sifat-sifat yang menjelaskan hakikat dari wasiat itu.

Pertama, kata “hak milik” yang berarti bahwa yang diserahkan itu adalah materi dari harta, sehingga kalau yang diserahkan itu manfaatnya saja, perbuatan itu disebut pinjaman. Kata “selagi hidup” mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan itu berlaku sewaktu yang punya hak masih hidup dan beralih hak itu secara efektif selama dia masih hidup, sedangkan “tanpa adanya imbalan” berarti bahwa perbuatan itu adalah semata-mata kehendak sepihak dan tanpa mengharapkan apa-apa.50

Bila diperhatikan hakikat wasiat sebagaimana dijelaskan di atas dan dibandingkan dengan pengertian wasiat yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau, maka akan terlihat jelas bahwa yang berlaku di Minangkabau selama ini adalah wasiat yang terdapat dalam hukum Islam itu sendiri. Ini berarti bahwa wasiat yang telah melembaga dalam lingkungan adat Minangkabau adalah pengaruh Islam, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku

50 Munawar Ali, Hukum Waris Adat Minangkabau, Raja Grafindo Persada, 2010, hal 49.

di Minangkabau.51 Untuk mengetahui sejauh mana penyesuaian wasiat dalam adat Minangkabau dapat diketahui dari unsur pokok dan prinsip-prinsip wasiat dalam hukum Islam. Diantara unsur pokok dari wasiat serta syaratnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq adalah seperti berikut :

1. Orang yang mewasiat kan (Al-Wahib). Adapun syaratnya adalah cukup umur (baligh), pemilik harta yang akan diwasiat kan, dapat bertindak sendiri, serta melakukan perbuatan itu atas kemauan sendiri (tidak dipaksa). Hal ini juga terdapat dalam pokok-pokok wasiat di Minangkabau, dimana yang berhak memberikan wasiat adalah si pemilik harta kalau harta tersebut adalah pusaka rendah, dan orang sekaum kalau harta tersebut adalah pusaka rendah.

2. Orang yang diberi wasiat (Al-Mauhub Lahu). Adapun syaratnya adalah hadir pada waktu akad wasiat dilangsungkan. Hal ini juga sama dengan pokok wasiat di Minangkabau, dimana dijelaskan bahwa wasiat dilangsungkan dengan disaksikan orang yang diberi wasiat beserta penghulunya.

3. Barang yang diwasiat kan (Al-Mauhub). Adapun syaratnya adalah barang yang nyata, bernilai serta dapat dimiliki. Sedangkan di dalam Kompilasi

3. Barang yang diwasiat kan (Al-Mauhub). Adapun syaratnya adalah barang yang nyata, bernilai serta dapat dimiliki. Sedangkan di dalam Kompilasi