• Tidak ada hasil yang ditemukan

UAS FILSAFAT HUKUM - Joshua, Kenneth, Nathan, Ryan

N/A
N/A
nathan abiel

Academic year: 2025

Membagikan "UAS FILSAFAT HUKUM - Joshua, Kenneth, Nathan, Ryan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK PERLINDUNGAN KONSUMEN PRODUK KOSMETIK PALSU DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN HUKUM UTILITARIANISME DANSOCIOLOGICAL

JURISPRUDENCE

Joshua Greenspan, Kenneth Louis, Nathanael Abiel, Ryan Giovanni Christianto Universitas Pelita Harapan

[email protected],[email protected],[email protected], [email protected]

Abstract

Cosmetics or also known as makeup is one of many beauty products used by almost all groups of people in Indonesia with the aim of beautifying themselves. Although it is generally used by women, not a few men also use cosmetic products for various reasons. With the development of technology, access to the various marketplace has become easier. It has also enabled people to purchase cosmetic products online. Producers also use all kinds of various promotions rangin from social media to endorsements deals with influencers and content creators. With the increasing demand for beauty products, there is also a need for more supplies of cosmetic products. This opens up space for crime by such business actors by producing and selling fake cosmetic products that can harm consumers. The purpose of this writing is to review consumer protection against the sale of counterfeit cosmetic products, which can be seen from legal theories and applicable laws and regulations, namely Law no. 8 of 1999 about Consumer Protection. One of the legal theories used in this paper is the theory of utilitarianism, a theory that explains that the law creates happiness for as many people as possible, or can be said to be

"the greatest happiness of the greatest number." So, the law must exist in order to protect society with the aim of creating happiness for as many people as possible.

Keyword:Legal Protection, Consumer Protection, Counterfeit/Fake Cosmetics, Utilitarianism

Abstrak

Kosmetik atau juga dikenal dengan istilah makeup merupakan salah satu produk kecantikan yang digunakan hampir oleh seluruh golongan masyarakat di Indonesia dengan tujuan untuk mempercantik diri. Meski digunakan pada umumnya oleh wanita, tidak sedikit juga pria yang menggunakan produk-produk kosmetik dengan berbagai macam alasan. Dengan berkembangnya teknologi, akses terhadap marketplace menjadi lebih mudah. Hal ini juga mempermudah akses bagi setiap orang untuk membeli produk-produk kosmetik secara daring. Promosi yang digunakan kun menjadi beragam dari media sosial hingga endorsement dari influencer maupun content creator. Dengan semakin banyaknya permintaan terhadap produk kecantikan, otomatis diperlukan juga pasokan produk kosmetik yang lebih banyak. Hal ini membuka ruang terhadap kejahatan para pelaku usaha dengan membuat dan menjual produk-produk kosmetik palsu yang dapat membahayakan konsumen. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meninjau perlindungan konsumen terhadap penjualan produk kosmetik palsu, yang dilihat dari teori-teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang

(2)

Perlindungan Konsumen. Salah satu teori hukum yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori utilitarianisme, sebuah teori yang menekankan bahwa hukum haruslah menciptakan kebahagiaan bagi sebanyak-banyak orang, atau dapat dikatakan sebagai “the greatest happiness of the greatest number.” Maka, hukum haruslah ada demi untuk melindungi masyarakat dengan tujuan menciptakan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang.

Kata Kunci:Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen, Kosmetik Palsu, Utilitarianisme

A. Pendahuluan

Setiap individu memiliki keinginan serta kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kemampuan finansialnya masing-masing. Kebutuhan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi tiga yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Seiring berkembangnya zaman, kebutuhan-kebutuhan tersebut juga mengalami perkembangan serta peningkatan permintaan. Fenomena unik mengenai perkembangan kebutuhan manusia adalah peningkatan permintaan suatu jenis produk yang hampir menyamakan permintaan kebutuhan primer. Selain permintaan, pemakaian jenis produk tersebut pun hampir menyamakan kebutuhan primer. Salah satu contoh jenis produk yang Tim Penulis angkat sebagai bahan penulisan ini adalah produk kosmetik.

Dilansir dari data Badan Pusat Statistik pada kuartal I 2020, pertumbuhan industri kimia, farmasi, dan obat tradisional termasuk kosmetik tumbuh 5,59%.1 Bahkan, berdasarkan riset Statista.com, industri kosmetik diperkirakan akan bertumbuh sekitar 6,46% setiap tahunnya (2021-2025).2 Pertumbuhan industri kosmetik dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

Pertama, peningkatan transaksionline selama masa pandemi COVID-19. Dinamika perdagangan barang dan jasa mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca pandemi COVID-19. Situasi pandemi memaksa masyarakat untuk mengubah kebiasaan berbelanjaon the spotmenjadi berbelanjaonline. Hal ini dibuktikan oleh data Badan Pusat Statistik, yang menunjukkan selama 7 (tujuh) bulan pandemi terdapat peningkatan 480% transaksionline.3

3Badan POM, “Badan POM Ungkap Peredaran Lebih dari 10 Miliar Rupiah Kosmetik Ilegal di Jakarta dan Jawa

Barat”. Diakses pada tanggal 25 Juni

2Fimela, “Melihat Perkembangan Industri Kosmetik di Indonesia Pasca Covid-19”. Diakses pada tanggal 25 Juni 2022.

https://www.fimela.com/beauty/read/4578615/melihat-perkembangan-industri-kosmetik-di-indonesia-pasca-covid-1 9

1 Kata Data, “Industri Kosmetik Tumbuh 5,59%”. Diakses pada tanggal 25 Juni 2022.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/05/industri-kosmetik-tumbuh-559-persen-ini-merek-perawatan-t ubuh-terlaris-pada-agustus-2021

(3)

Pada tahun 2021, produk kosmetik menduduki posisi kedua sebagai produk yang paling diminati konsumen HARBOLNAS (Hari BelanjaOnlineNasional).

Kedua, pengaruh lingkungan serta tuntutan sosial yang mengikutinya. Berangkat dari data-data diatas bahwa terdapat proses pembentukan kebiasaan baru, baik itu transaksi onlinemaupun penggunaan kosmetik. Dalam kehidupan masyarakat, penggunaan kosmetik sudah menjadi “new normal” yang mana mayoritas masyarakat sudah menggunakan kosmetik dalam berkegiatan sehari-hari. Sama halnya dengan pakaian, kosmetik juga menduduki posisi yang sama yaitu digunakan setiap hari untuk menunjang penampilan.

Selain itu, lingkungan serta daya serap masyarakat terhadap kebiasaan baru juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap penggunaan kosmetik. Hal ini mempengaruhi perspektif individu-individu lain yang berujung pada perubahan kebiasaan massal dan kemudian membentuk standar baru di kehidupan masyarakat. Data-data diatas berujung pada suatu konklusi bahwa penggunaan kosmetik sudah menjadi standar baru bagi masyarakat.

Ketiga, perkembangan zaman dan teknologi informasi. Peran sosial media yang seakan memberikan gambaran dan atmosfer baru dalam melihat trendsetter terbaru serta minat atau hal yang disukai individu, termasuk peminat produk kosmetik. Faktor ini menjadi suatu refleksi bahwasanya kecantikan tidak hanya sekedar pemenuhan terhadap kecantikan dan perawatan terhadap diri sendiri saja, tetapi lebih menitikberatkan pengakuan dari lingkungan sekitar. Timbulnya tuntutan di lingkungan masyarakat sekitar ini memiliki keterkaitan dengan opini publik, terutama kesadaran secara sosial akan pengakuan yang orientasinya lebih kepada tampilan fisik individu di media sosial dan lingkungan sekitarnya.

Hadirnya media sosial sebagai platform dimanfaatkan sebagai sumber atau media dalam menginterpretasikan sarana aktualisasi diri tersebut. Dengan mempercantik diri menggunakan kosmetik dan barang-barang perawatan lainnya, tentunya seseorang ingin mempercantik dirinya sendiri, agar mendapatkan respons dan pengakuan positif dari orang dan masyarakat di lingkungannya.

Secara umum, tujuan penggunaan kosmetik adalah meningkatkan kepercayaan diri dengan mempermak wajah pengguna serta sarana mengekspresikan diri bagi pengguna yang

2022.https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/580/Badan-POM-Ungkap-Peredaran-Lebih-dari-10-Miliar-Rupiah -Kosmetik-Ilegal--Di-Jakarta-dan-Jawa-Barat.html

(4)

membutuhkan. Namun, seiring berjalannya waktu penggunaan kosmetik berubah menjadi suatu new normal bagi masyarakat. Perubahan itu diikuti dengan peningkatan permintaan produk kosmetik yang menjadi jalan bagi produsen untuk berinovasi menciptakan produk kosmetik yang sesuai dengan kondisi finansial pengguna kosmetik. Sehingga secara langsung, hadirnya variasi kosmetik - dari segi kualitas, harga serta jenis - justru menstimulasi peningkatan penggunaan kosmetik oleh masyarakat. Hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan informasi dan teknologi yang berpengaruh pada kemudahan aksesibilitas produk kosmetik melalui marketplace, baik itu pembelian produk serta informasi detail mengenai produk kosmetik yang bersangkutan.

Berangkat dari faktor ketiga diatas, bahwa media sosial juga dimanfaatkan sebagai suatu platform oleh produsen dan konsumen kosmetik. Dalam perspektif produsen, media sosial yang dapat secara mudah diakses oleh konsumen memberikan keuntungan terkait pemasaran kosmetik. Produsen kerap memilih public figure sebagai brand ambassador produk kosmetik yang kerap disebut “endorser”. Produsen memanfaatkan ketenaranpublic figure untuk meningkatkanbrand awareness kepada para “pengikut”public figuretersebut.

Sebagai kiat memasarkan produk kosmetik, endorser menggunakan berbagai platform media sosial untuk memberikan informasi mengenai produk kosmetiknya. Salah satu platformmedia sosial yang kerap digunakan adalah YouTube.

Dalam perspektif konsumen, media sosial digunakan sebagai sumber informasi mengenai suatu produk kosmetik. Melalui platform media sosial para endorser, calon konsumen dapat menggali informasi secara detail mengenai produk kosmetik yang dijual produsen kosmetik. Hal ini mempermudah calon konsumen untuk memastikan ekspektasi mereka mengenai produk kosmetik yang terkait.4Tidak hanya “endorser”,sosial media juga dapat digunakan para konsumen untuk membagikan pengalaman mereka setelah menggunakan suatu produk kosmetik. Konsep ini disebut ulasan atau electronic word of mouth (EWOM), yang mana bertujuan untuk memberikan calon konsumen gambaran mengenai produk kosmetik yang ingin dibeli. EWOM menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen untuk menyampaikan opininya terlebih lagi didukung dengan tingkat

4Judith A. Chevalier, and Dina Mayzlin. “The Effect of Word of Mouth on Sales: Online Book Reviews.”Journal of Marketing Research43, no. 3 (August 2006): 345–54.https://doi.org/10.1509/jmkr.43.3.345

(5)

aksesibilitas yang luas.5 Ulasan yang merupakan opini para konsumen terdahulu kemudian menjadi preferensi para calon konsumen produk kosmetik yang sangat mempengaruhi penjualan produk kosmetik.6

Saat ini para konsumen dan endorser, yang juga marak disebut sebagai YouTube content creator, mengimplementasikan komunikasi EWOM dengan menuangkannya dalam konten YouTube mereka. Hal ini tentu didukung dengan visualisasi yang disajikan YouTube bagi penonton (calon konsumen) memberikan pengalaman yang lebih nyata. Para penonton diberikan gambaran mengenai situasi paracontent creatoryang menggunakan kosmetik dan kemudian dapat memproyeksikan produk kosmetik yang dicari. Para penonton tentu menilai produk kosmetik yang bersangkutan melalui komentar dan ulasan yang disampaikan para content creator. Atas pengaruh itu kemudian para calon konsumen akan memutuskan apakah produk kosmetik itu sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka atau tidak.

Paracontent creator, baik itu brand ambassadoratau endorserserta para konsumen yang berbagi pengalamannya melalui kanal YouTube, memiliki tanggung jawab atas validitas ulasannya tersebut. Walaupun dibuat dalam bentuk opini, para content creator harus tetap memperhatikan keabsahan opininya. Hal ini dikarenakan pengalaman mereka dijadikan preferensi publik untuk menilai suatu produk kosmetik, sehingga penilaian mereka akan mempengaruhi para calon konsumen dan penjualan produk kosmetik terkait.

Mengingat bahwa content creator berasal dari seluruh lapisan masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda-beda, maka pertanggungjawaban kontennya pun berbeda. Maka hal yang perlu diperhatikan adalah siapa pembuat konten ulasan produk kosmetik dan bagaimana penyampaiannya. Jika konten ulasan dibuat oleh seseorang yang berprofesi dalam bidang kosmetik, maka kontennya layak dijadikan acuan preferensi. Mengenai bagaimana penyampaian ulasan, perlu diperhatikan agar tidak menjatuhkan citra brand kosmetik yang berdampak pada penurunan penjualan produk kosmetik.

Munculnya transisi kebiasaan berbelanja dari on site menjadi online; peningkatan permintaan produk kosmetik; serta berkembangnya teknologi yang mempermudah akses informasi mengenai produk kosmetik bak dua sisi mata uang. Dinamika tersebut berdampak

6 Annisa Widya Nurrahmi, “Pengaruh Atribut Produk Terhadap Preferensi Konsumen Bedak Muka”. (Skripsi Sarjana, Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, 2016) hal. 3.

5Rosmaya Adriyati, and Farida Indriani. "Pengaruh Electronic Word of Mouth terhadap Citra Merek dan Minat Beli Pada Produk Kosmetik Wardah." Diponegoro Journal of Management 6, no. 4 (2017):

908-921.https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/djom/article/view/18046

(6)

positif terhadap perekonomian negara namun beriringan dengan dampak negatif lain.

Beberapa oknum melihat dinamika ini sebagai peluang untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menjual kosmetik palsu. Maraknya penjualan kosmetik palsu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap suatu produk kosmetik yang diperjual belikan. Kendati sudah terdapat konsep EWOM serta penggunaan jasa brand ambassadoratauendorser,penjualan kosmetik palsu masih kerap terjadi.

Adapun kemudian bentuk perlindungan konsumen dari produk kosmetik palsu sejatinya ditujukan untuk menciptakan kebahagiaan kepada setiap konsumen produk kosmetik di Indonesia. Adanya tujuan kebahagiaan yang bersifat universal ini sejatinya dapat dikatakan selaras dengan adanya teori utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Keberadaan teori utilitarianisme beranjak dari dua faktor yang sangat mempengaruhi hidup dan perilaku manusia di kehidupan sehari-hari yaitu penderitaan dan kebahagiaan.7 Oleh sebab itu, pada jurnal ilmiah ini, Tim Penulis akan membagi penelitian ini menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: (1) Bagaimana hak-hak konsumen dalam mewujudkan perlindungan hukum terhadap konsumen produk kosmetik palsu di Indonesia; dan (2) Bagaimana perlindungan konsumen dari produk kosmetik palsu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ditinjau melalui teori utilitarianisme dansociological jurisprudence.

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif, sehingga data yang digunakan adalah data yang bersifat sekunder yang didapat melalui metode studi pustaka. Adapun penelitian ini akan berfokus pada implementasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta teori hukum utilitarianisme dansociological jurisprudence.

B. Pembahasan

B.1. Konsep Hak-Hak Perlindungan Bagi Konsumen

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai sebuah perlindungan yang dilakukan dengan sarana hukum ataupun suatu bentuk perlindungan yang diberikan melalui hukum dengan tujuan ataupun juga bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan

7 Dwi Edi Wibowo, “Penerapan Konsep Utilitarianisme Untuk Mewujudkan Perlindungan Konsumen yang Berkeadilan Kajian Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan”,Jurnal Syariah,Vol. 19, No. 1, (2019): 16,http://dx.doi.org/10.18592/sy.v19i1.2296

(7)

warga negara.8 Bentuk manifestasi dari adanya perlindungan hukum ini dapat dilihat salah satunya melalui perlindungan konsumen yang mana menurut Mochtar Kusumaatmadja dapat diartikan sebagai keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan juga permasalahan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan barang ataupun jasa konsumen di kehidupan bermasyarakat.9 Oleh sebab itu, pada hakikatnya perlindungan terhadap konsumen dapat dikatakan sebagai sebuah garansi yang dapat menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi konsumen dan juga pelaku usaha. Apabila dilihat melalui perspektif global, maka sejatinya semangat perlindungan terhadap konsumen telah menjadi fokus dari negara-negara internasional secara menyeluruh. Hal ini dapat dilihat melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/284 pada Tahun 1985, yang mana mencakup adanya kepentingan-kepentingan konsumen yang wajib untuk dilindungi, yang antara lain adalah: (a) perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan serta keamanannya; (b) promosi serta perlindungan kepentingan sosial ekonomi bagi konsumen; (c) ketersediaan informasi yang memadai bagi konsumen agar mereka dapat memilih dengan tepat sesuai dengan kebutuhan dan kehendak masing-masing; (d) pendidikan bagi konsumen; (e) upaya ganti rugi yang efektif; dan (f) kebebasan untuk membentuk sebuah organisasi konsumen.10 Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).

Sebagaimana termaktub dalam UUPK, diartikan bahwasanya perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang memberikan jaminan kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UUPK dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk semangat pemerintah dalam mengatur, mengawasi, serta mengontrol agar tercipta sebuah sistem yang kondusif dan saling terintegrasi antara satu dengan lain guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.11

UUPK dibentuk atas dasar pertimbangan pemerintah yaitu pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur

11Celine Tri Siwi Kristiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1.

10Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,Hukum Perlindungan Konsumen,(Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 3.

9Mukti Fajar, Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hal.

6-7.

8Harjono,Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hal. 357.

(8)

secara merata baik secara materil dan spiritual di dalam era demokrasi ekonomi yang dilandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Pancasila; pembangunan perekonomian nasional di dalam era globalisasi yang harus mampu untuk mendukung tumbuhnya lingkungan berusaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang mampu mendorong kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian bagi konsumen; pasar nasional yang semakin terbuka yang terjadi dikarenakan proses globalisasi ekonomi yang mana harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;

peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab; dan belum adanya ketentuan hukum untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia. Melihat umurnya yang sudah begitu tua, dapat pula dikatakan bahwa UUPK menjadi acuan utama dalam melihat hak perlindungan bagi konsumen.

Adapun kemudian UUPK secara gamblang telah memberikan ketentuan akan apa saja yang termasuk sebagai konsumen maupun pelaku usaha dan apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi kedua pihak tersebut. Konsumen sejatinya dapat diartikan sebagai setiap orang yang secara sah mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu.12 Merujuk pada UUPK, pengertian konsumen dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 yang mana diartikan sebagai setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan juga makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan. Kemudian membahas mengenai lawan dari konsumen, maka UUPK telah memberikan definisinya sebagai pelaku usaha dan bukan produsen agar dapat mencakup jangkauan makna yang lebih luas ketimbang produsen, dimana pelaku usaha dapat pula diartikan sebagai produsen, kreditur (penyedia dana), penyalur, penjual maupun terminologi lain yang lazim untuk diberikan.13 Apabila dilihat berdasarkan UUPK, maka pelaku usaha dapat

13Sidharta,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: PT Grasindo, 2000), hal. 5.

12Az. Nasution,Konsumen dan Hukum,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 69.

(9)

ditemukan definisinya pada Pasal 1 angka 3 yaitu orang perseorangan ataupun badan usaha baik badan hukum maupun bukan yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik secara sendiri maupun bersama-sama melalui sebuah perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Oleh sebab itu, apabila dilihat melalui dua definisi tersebut, maka sejatinya konsumen dan pelaku usaha merupakan dua aspek dalam kegiatan usaha yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam melaksanakan perlindungannya kepada konsumen, UUPK memberikan lima asas penting yang harus diperhatikan yang termaktub di dalam Pasal 2. Adapun asas-asas tersebut adalah: (a) asas manfaat, yaitu asas yang mengamanatkan segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan bagi konsumen haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; (b) asas keadilan yang mana hal ini perlu untuk diperhatikan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen maupun pelaku usaha untuk mendapatkan haknya serta melaksanakan kewajibannya secara adil; (c) asas keseimbangan yang mana dimaksudkan agar tercipta sebuah keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah baik dari segi material maupun secara spiritual; (d) asas keamanan serta keselamatan konsumen yang mana dimaksudkan agar ada sebuah jaminan baik dari aspek keamanan maupun juga keselamatan kepada konsumen dalam hal penggunaan, pemakaian serta pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi ataupun digunakan; dan (e) asas kepastian hukum yang mana dimaksudkan agar konsumen maupun konsumen harus menaati hukum dan mendapatkan keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara sebagai penjamin adanya kepastian hukum.

Setelah melihat asas-asas yang ada dalam UUPK, maka sejatinya dalam konsep perlindungan konsumen terdapat dua hal yang perlu menjadi fokus, yaitu pertama, hak perlindungan bagi konsumen dan kedua, bagaimana perlindungan terhadap konsumen tersebut masih tetap melihat keseimbangan derajat antara konsumen dan juga pelaku usaha. Apabila berbicara mengenai hak perlindungan konsumen, maka sejatinya perlu dirujuk pula pada konsep perlindungan konsumen yang menjadi akar pengembangan dari konsep-konsep perlindungan konsumen modern yang kita kenal pada saat ini, yaitu

(10)

resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection). Resolusi ini menjadi salah satu konsep awal yang kemudian juga memercik api semangat perlindungan konsumen di Indonesia yang kemudian dimanifestasikan dengan UUPK.

Adapun konsep-konsep perlindungan konsumen yang tercantum dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: (a) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keamanannya; (b) kepentingan ekonomi sosial konsumen yang perlu terus untuk dipromosikan dan dilindungi: (c) ketersediaan informasi yang mutakhir dan terpercaya bagi konsumen agar konsumen mampu untuk memilih sesuai dengan kehendak maupun juga kebutuhan pribadinya; (d) pendidikan bagi konsumen; (e) ketersediaan upaya ganti rugi yang efektif bagi kedua belah pihak; dan (f) kebebasan bagi konsumen untuk membentuk sebuah organisasi konsumen ataupun organisasi lain yang relevan serta pemberian kesempatan bagi organisasi tersebut untuk mampu mengeluarkan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan organisasi tersebut.14

Sejatinya terdapat empat konsep dari hak-hak konsumen yang mendasar dan melekat. Hak-hak tersebut antara lain adalah: (a) hak untuk mendapatkan keamanan (right to safety); (b) hak untuk mendapatkan informasi (right to be informed); (c) hak untuk memilih (right to choose); dan (d) hak untuk didengar (right to be heard).15 Apabila merujuk pada pendapat Zoemrotin K. Susilo, maka hak-hak milik konsumen yang perlu untuk dilindungi adalah: hak untuk memperoleh keamanan dan keselamatan;

hak untuk memperoleh informasi yang benar serta jujur; hak untuk memilih barang/jasa sesuai dengan kebutuhan; hak agar pendapatnya didengar; hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih serta sehat.16

Adapun konsep hak-hak perlindungan terhadap konsumen ini dimanifestasikan ke dalam UUPK, tepatnya pada Pasal 4 yang menjabarkan apa-apa saja yang menjadi hak bagi konsumen di Indonesia. Hak-hak tersebut antara lain adalah: (a) hak untuk

16Zoemrotin K. Susilo,Penyambung Lidah Konsumen,(Jakarta: Puspa Swara, 1996), 4

15Sidharta,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: PT Grasindo, 2000), hal. 16

14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), 27-28.

(11)

memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan atau mengkonsumsi barang dan/atau jasa; (b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; (d) hak untuk didengar pendapat serta keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; (e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; (f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; (g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; (h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan (i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

B.2. Hak Perlindungan Bagi Konsumen Kosmetik Palsu

Seperti yang telah dipaparkan dalam bagian latar belakang, maka tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan produk kosmetik semakin marak dan meningkat secara signifikan akibat pengaruh globalisasi. Hal ini membuat konsumen mempunyai banyak sekali pilihan kosmetik baik yang berasal dari dalam negeri/domestik maupun juga luar negeri. Tentunya hal ini membawa adanya keuntungan dan kerugian, dimana keuntungannya adalah konsumen menjadi mudah untuk mendapatkan barang lintas wilayah bahkan sampai ke mancanegara, tetapi juga terdapat kerugian dimana semakin sulit dalam pengawasan di bidang standarisasi mutu barang terkhusus dalam produk kosmetik. Pasar bebas di Indonesia ini memberikan celah bagi pelaku usaha yang tidak beritikad baik dan menjual produk-produk kosmetik yang palsu dan tidak aman untuk digunakan oleh konsumen.

Meski begitu, berdasarkan apa yang telah Tim Peneliti paparkan pada bagian sebelumnya, UUPK telah memberikan berbagai hak-hak milik konsumen yang perlu untuk dilindungi. Apabila berbicara mengenai hak-hak tersebut dan relevansinya terhadap produk kosmetik palsu, maka ada beberapa hak-hak yang patut untuk diperhatikan.

Adapun hak tersebut yang pertama adalah “hak atas kenyamanan, keamanan serta keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa” yang termaktub dalam Pasal 4

(12)

ayat (1). Keberadaan ayat ini menandakan bahwa sudah seharusnya setiap produk yang beredar di masyarakat yang dalam konteks ini adalah kosmetik, diawasi peredarannya oleh pemerintah sehingga setiap kosmetik yang beredar merupakan kosmetik yang sesuai dengan standar yang berlaku. Selain itu juga pelaku usaha sudah seharusnya menjual produk kosmetik yang sesuai dengan standar yang berlaku dan telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini agar setiap konsumen yang menggunakan produk kosmetik terlepas dari asal produknya, tetap mendapatkan kenyamanan dan keselamatan dan kesehatannya tidak terganggu.

Kemudian hak konsumen yang perlu untuk diperhatikan baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah adalah “hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa” yang termaktub dengan jelas pada Pasal 4 ayat (3). Adapun dengan keberadaan asas ini, maka sejatinya setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai produk yang akan dikonsumsi atau digunakan olehnya. Perwujudan dari ayat ini di dalam kehidupan bermasyarakat tentunya perlu untuk diperhatikan oleh pelaku usaha, terkhusus bagi yang bergerak dalam bidang kosmetik. Hal ini dikarenakan umumnya kandungan yang terdapat di dalam kosmetik merupakan kandungan-kandungan yang belum tentu diketahui oleh orang awam. Oleh sebab itu kejujuran pelaku usaha memegang peran integral dalam pelaksanaan ayat ini. Sudah sepantasnya setiap pelaku usaha penjualan kosmetik memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sejujur-jujurnya akan produk yang dijual. Ketidakjujuran pelaku usaha penjualan kosmetik kepada konsumen dapat berakibat fatal apabila kosmetik yang dijual merupakan kosmetik palsu, kaleng-kaleng atau tidak sesuai dengan deskripsi. Selain itu, tentunya ketelitian konsumen juga memegang hal penting dalam memperhatikan produk-produk yang hendak dibeli dan mempunyai hak untuk bertanya kepada pelaku usaha.

Hak bagi konsumen berikutnya yang patut untuk diperhatikan dan dilindungi adalah “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan” yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (4). Adapun sejatinya ayat ini memberikan kepastian hukum bagi konsumen untuk mengemukakan pendapatnya serta keluhannya atas barang atau jasa yang didapat dari pelaku usaha. Hak yang tentunya perlu untuk dilindungi berikutnya adalah “Hak untuk mendapatkan advokasi,

(13)

perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang dilakukan secara patut”. Adapun hak ini tercantum di dalam Pasal 4 ayat (5). Penjualan produk kosmetik palsu tentunya akan berdampak secara langsung bagi konsumen, khususnya secara materil. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pemerintah menjamin adanya bentuk rehabilitasi bagi konsumen yang terdampak dari produk kosmetik palsu. Adapun salah satu bentuk pelaksanaan dari ayat ini adalah dibentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dapat memberikan bantuan hukum bagi konsumen.

Terakhir dan tidak kalah penting, “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya” yang termaktub pada Pasal 4 ayat (8).

Dalam praktek penjualan kosmetik palsu, seringkali pelaku usaha melakukan praktek iklan yang tidak sesuai dengan realita. Adapun dalam pelaksanaan praktek ini, pelaku usaha kerap kali menggunakan jasa content creator untuk melakukan endorse dari produknya. Tentunya praktek ini merupakan bentuk yang diperbolehkan apabila kosmetik yang diiklankan sesuai dengan produk sebenarnya. Tetapi apabila kosmetik yang diiklankan tidak sesuai dengan produk sebenarnya dan menimbulkan kesesatan bagi konsumen, maka sejatinya konsumen mempunyai hak untuk meminta ganti rugi akan hal tersebut. Di sisi lain, hak bagi konsumen ini juga menimbulkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen baik secara materil maupun immateril.

B.3. Teori Hukum Utilitarianisme

Teori utilitarianisme merupakan sebuah teori yang digagas oleh 3 (tiga) filsuf yaitu Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Adapun dari ketiga filsuf tersebut, masing-masing memiliki pandangan tersendiri terhadap konsep utilitarianisme. Teori hukum utilitarianisme menurut Jeremy Bentham memiliki sebuah slogan yaitu “the greatest happiness of the greatest number” yang artinya kebahagian terbesar dari mayoritas orang. Oleh sebab itu, terlihat bahwa pada hakikatnya tujuan dari teori hukum utilitarianisme menjunjung tinggi kemanfaatan hukum dan kebahagiaan yang sifatnya meluas dan mendalam kepada umat manusia melalui hukum. Adapun teori hukum utilitarianisme memberikan 4 (empat) tujuan hukum yaitu: (1) memberikan

(14)

penghidupan yang layak; (2) memberikan kelimpahan; (3) memberikan perlindungan;

dan (4) memberikan persamaan di hadapan hukum.17Jeremy Bentham mengamini bahwa sarana untuk mencapai kemanfaatan dan keadilan guna memberikan kebahagiaan secara meluas kepada masyarakat adalah keterkaitan antara negara dan instrumen hukum yang dibentuk oleh negara tersebut.18 Sejatinya apabila melihat ajaran ini lebih jauh, maka terdapat unsur individualistis dari teori utilitarianisme menurut Jeremy Bentham. Hal ini dikarenakan kebahagiaan menurut teori ini tidak memiliki batasan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, perlu diingat bahwa secara hakikatnya, ajaran ini memberikan petunjuk bagi manusia agar bisa untuk saling menghormati dan menghargai kepentingan individu yang lain agar tidak tercipta sebuah kondisi homo homini lupus.19 Oleh sebab itu, empati dan simpati merupakan dua faktor paling penting dalam menjamin adanya kebahagiaan individu dan masyarakat.20

Sedangkan apabila melihat teori utilitarianisme menurut Rudolf von Jhering, maka sejatinya fondasi kehidupan sosial dijamin dan dipelihara melalui hukum. Hal ini dikarenakan peluang terjadinya permasalahan di masyarakat akan mengecil atau bahkan menghilang dengan adanya koordinasi. Rudolph von Jhering meyakini bahwa hukum hadir untuk memberikan perlindungan atas kepentingan-kepentingan masyarakat serta mengurangi terjadinya konflik. Eksistensi hukum adalah untuk menjunjung tinggi kepentingan masyarakat luas dibandingkan konflik individual.21Adapun menurut Rudolf von Jhering, suatu hukum memerlukan kekuasaan negara agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sehingga dapat dikatakan bahwa unsur mendasar dari suatu hukum adalah kekuasaan tersebut. Analogi yang dikemukakan oleh Jhering terhadap hal ini adalah suatu hukum memerlukan kekuasaan, karena tanpa kekuasaan, maka hukum tersebut bagaikan api yang tidak panas.22 Oleh sebab itu, apabila melihat

22Teguh Prasetyo,Ilmu Hukum dan Filsafat, 104 - 105

21 Fahrani, et.al., Filsafat Hukum: Merangkai Paradigma Berfikir Hukum Post Modernisme, (Solo: Kafilah Publishing, 2018), 93.

20 Nazaruddin Lathif, “Teori Hukum Sebagai Sarana/ Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat,”

Pakuan Law Review, Vol. 3, No. 1 (2017): 74,https://doi.org/10.33751/palar.v3i1.402

19I Gede Agus Kurniawan, “Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Perspektif Filsafat Utilitarianisme”, Jurnal USM Law Review, Vol. 5, No. 1 (2022): 291, http://dx.doi.org/10.26623/julr.v5i1.4941

18 Frederikus Fios, “Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer,”

Humaniora 3, no. 1 (April 2012): 299,https://doi.org/10.21512/humaniora.v3i1.3315

17Teguh Prasetyo,Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 100.

(15)

teori utilitarianisme menurut Jhering, maka tujuan sosial adalah tujuan terakhirnya. Hal ini berarti kepentingan individu melebur menjadi bagian dari tujuan sosial.23 Teori utilitarianisme menurut Rudolf von Jhering dapat pula dibagi menjadi 3 (tiga) pokok pikiran, yaitu:24 (1) kebahagiaan terbesar haruslah menjadi tujuan utama dalam setiap tindakan yang dilakukan; (2) penderitaan harus dihindari; (3) pengejaran terhadap kebahagiaan dan penderitaan yang harus dihindari haruslah dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku.

B.4. TeoriSociological Jurisprudence

Teori sociological jurisprudence adalah suatu teori hukum yang mengidealkan hukum yang sejatinya seimbang dengan aspek kehidupan dalam masyarakat. Teori sociological jurisprudence mulai berkembang sedari satu abad yang lalu, teori ini merupakan salah satu klasifikasi Modern Theories of Law25. Teori ini muncul dan memikat untuk dianut pada masyarakat modern yang demokratis karena secara struktural negara yang menganut sistem demokratis memiliki orientasi kebijakan dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga teori sociological jurisprudence ini sangat cocok sebab teori ini bertitik pusat pada pencarian hubungan kausalitas antara hukum dengan masyarakat. Pengertian frasa “hubungan kausalitas antara hukum dengang masyarakat”

dapat kita gali lebih dalam sebagai hukum yang esensinya harus mengikuti nilai-nilai di masyarakat, agar suatu hukum untuk diterima dan ditaati masyarakat maka sejatinya hukum tidak boleh bertentangan dengan segala nilai yang sudah ada dalam masyarakat.26

Dalam perjalanan memahami teori sociological jurisprudence, kita dapat menilik lebih dalam kepada tokoh-tokoh terkemuka dalam pengembangan teori ini. Eugen Ehrlich dalam pandangannya menekankan bahwa hukum positif secara hakiki dapat dimengerti melalui norma sosial dari living law, ia menyambung pandangannya dengan pernyataan bahwa titik berat gravitasi atas perkembangan hukum adalah bukan dari

26Wempy S. Hernowo, Zaid, M. A. S. Pratama Erawan, “Peran Sociological Jurisprudence Dalam Menciptakan Keefektivitasan Hukum Melalui Living Law”, Legalitas: Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, Juni. (2021): 46 https://doi.org/10.33087/legalitas.v13i1.243

25Přibáň, J. Roger Cotterrell, “Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social Inquiry”, Journal of Law and Society, Vol. 45, No. 2, (2018): 337https://doi.org/10.4324/9781315167527

24Arif Firmansyah Hamid dan Rayno Dwi Adityo, “Penerbitan Kartu Nikah Digital Perspektif Teori Utilitarianisme Hukum Rudolf von Jhering”,Jurnal Sakina,Vol. 6, No. 2 (2022): 9,https://doi.org/10.18860/jfs.v6i2.1778

23Ibid.

(16)

legislasi, juristic-science, atau bahkan putusan hukum melainkan pada masyarakat itu sendiri.27 Ada juga Roscoe Pound yang adalah seorang ahli hukum asal Amerika Serikat yang menggiatkan pandangan sociological jurisprudence, ia dalam pandangannya mengemukakan kalimat yang sampai sekarang sering dikutip dalam kajian pembelajaran akademik yaitu: “Law is a tool for social engineering.”. Pandangan ini menggiring perspektif hukum yang berorientasi pada alat rekayasa sosial (masyarakat), alat rekayasa sosial yang dimaksud adalah bagaimana hukum tidak hanya menyelesaikan permasalahan/sengketa/konflik melainkan juga dapat membenahi dan mencari titik seimbang penerapan hukum yang terimplementasi pada masyarakat.28

Roscoe Pound berteori bahwa atas dasar fungsi hukum maka perlindungan kepentingan merupakan kunci yang krusial bagi penerapan hukum itu sendiri.

Kepentingan-kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan negara, kepentingan publik, dan kepentingan pribadi (individu). Kepentingan negara dapat dijelaskan atas dasar karena negara merupakan guardian of social interest, dimana negara mempunyai tugas untuk menjaga dan memastikan kepentingan publik berjalan pada hakikatnya.

Kepentingan publik dapat dijelaskan sebagai tuntutan, permintaan, kehendak, dan aspirasi masyarakat beradab untuk mewujudkan kehidupan sejahtera bagi dirinya yang dapat kita korelasikan pada jaminan-jaminan yang ditanggung negara. Kepentingan pribadi dapat dijelaskan sebagai kepentingan masing-masing orang yang ada dalam lingkup masyarakat seperti kepentingan atas kepribadian (hak-hak individu), kepentingan domestik (rumah tangga), kepentingan substansi (tindakan hukum individu). Ketiga kepentingan ini dipandang sebagai satu kesatuan yang seharusnya diseimbangi dan diharmonisasikan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya demi mencegah terjadinya konflik kepentingan di dalam legal operasional dalam masyarakat. Maka dari itulah Roscoe Pound memberikan suatu pandangan pendukung yaitu konsep social engineering tadi,

28Marsudi D. Putra, “Kontribusi Aliran Sociological Jurisprudence Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Indonesia”, LIKHITAPRAJNA Jurnal Ilmiah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Vol. 16, Nomor 2, September. (2014):http://likhitapradnya.wisnuwardhana.ac.id/index.php/likhitapradnya/article/view/38.

27Terjemahan bebas dari:Positive law cannot be understood apart from the social norms of the 'living law.'”~ “At the present as well as at any other time, the center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself.”

E. Bodenheimer,Jurisprudence: The Philosophy and Method of the Law, (London: Harvard University Press, 1947), 114

(17)

dimana seorang ahli hukum harus bertindak sebagai suatu insinyur yang membangun jembatan yang kokoh dan seimbang antar kepentingan tersebut.29

B.5. Perlindungan Konsumen Terhadap Kosmetik Palsu Dilihat Melalui Teori Utilitarianisme

Setelah mengupas mengenai esensi dari teori utilitarianisme, maka dapat dipahami bahwa sifat utilitarian adalah konsekuensialis yang mana harus mengakui bahwa hukum tentunya memiliki sebuah konsekuensi bagi pelaku dan masyarakat dan menyatakan bahwa kebaikan yang diperoleh dari produk hukum harus lebih banyak dibandingkan kejahatan yang diperbuat. Jika melangkah dari teori utilitarianisme, maka hukum yang berlaku haruslah hukum yang memberikan perlindungan, dalam hal ini bagi para konsumen di Indonesia. Di sini terlihat adanya sentuhan utilitarianisme yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering, dimana pemerintah selaku pihak yang berkuasa memberlakukan dan menegakkan hukum perlindungan konsumen bagi masyarakat agar tercipta sebuah kondisi bahagia yang sifatnya universal. Masyarakat haruslah dilindungi dari kosmetik palsu yang dapat menyebabkan berbagai macam kerugian secara materiil maupun immateriil. Oleh sebab itu, hukum yang ada haruslah melindungi hak dari masyarakat, yang pada nantinya akan menciptakan sebuah kebahagiaan karena masyarakat merasa yakin terhadap produk-produk kosmetik yang ada di pasar sehingga tidak perlu cemas dan khawatir.

Adapun apabila melihat kembali ketentuan-ketentuan pada UUPK dalam hal perlindungan konsumen dari produk kosmetik palsu, maka dapat kita kaji lebih dalam melalui pandangan teori utilitarianisme, baik berdasarkan Jeremy Bentham maupun Rudolf von Jhering. Perlindungan yang pertama yaitu “hak atas kenyamanan, keamanan serta keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa” yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (1). Adapun pasal ini apabila dilihat melalui pendekatan gramatikal maka sejatinya sudah mencakup adanya prinsip utilitarianisme, yaitu adanya tujuan untuk memberikan kenyamanan, keselamatan serta keamanan bagi konsumen. Adapun tentunya secara demografi, sudah jelas bahwa jumlah konsumen lebih banyak ketimbang pelaku

29Atip Latipulhayat, “Khazanah: Roscoe Pound”, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), Vol. 1, Nomor 2.

(2014): 416 DOI:10.22304/pjih.v1n2.a12

(18)

usaha. Hal ini berarti adanya perlindungan hak dalam Pasal 4 ayat (1) merupakan regulasi yang ditujukan demi kemaslahatan umum dan kebahagiaan masyarakat luas.

Kemudian kajian utilitarianisme dapat pula kita lihat pada hak perlindungan konsumen dari produk kosmetik palsu yang berikutnya, yaitu “hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa” yang tercantum pada Pasal 4 ayat (3) UUPK. Tujuan dari adanya hak ini adalah agar konsumen tidak termakan informasi palsu yang dapat merugikan dirinya sendiri. Apabila dilihat melalui pandangan utilitarianisme, maka sejatinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh utilitarianisme, yaitu kebahagiaan menyeluruh di segala lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan apabila masyarakat luas selaku konsumen terhindar dari adanya informasi palsu, maka perlindungan bagi konsumen akan melahirkan kebahagiaan yang sifatnya menyeluruh.

Berikutnya adalah “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan” yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (4) UUPK. Apabila melihat hak perlindungan ini melalui lapisan luarnya, maka terlihat bahwa tidak begitu ada unsur utilitarianisme dari pasal ini. Meski begitu sejatinya apabila kita kembali melihat apa yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham atas tujuan dari teori utilitarianisme, yaitu adanya penghormatan atas kepentingan individu yang lain agar tercipta situasi damai dan menghindari situasihomo homini lupus.Maka pada hakikatnya apa yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (4) UUPK merupakan suatu bentuk atas penghormatan kebahagiaan individu tersebut. Hal ini dikarenakan apabila pendapat masing-masing pihak didengar, maka akan tercipta situasi damai yang saling toleran akan satu dengan yang lainnya, sehingga akan menciptakan situasi damai dan kebahagiaan yang meluas sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh teori utilitarianisme.

Hak berikutnya yang dilindungi oleh UUPK berkaitan dengan perlindungan terhadap produk kosmetik palsu adalah “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang dilakukan secara patut”

yang termaktub dalam Pasal 4 ayat (5). Tentunya hak perlindungan ini merupakan hak yang sejalan dengan teori utilitarianisme menurut Rudolf von Jhering yang menekankan adanya kekuasaan negara dalam menegakkan hukum demi terciptanya kebahagiaan.

Tentunya dalam pelaksanaan penegakkan hukum, akan ada gejolak-gejolak pelanggaran

(19)

hukum. Meski begitu negara sudah sejatinya harus bisa menyelesaikan permasalahan tersebut dan kembali menegakkan hukum sesuai dengan apa yang semestinya. Hal ini apabila dikaitkan kepada konteks perlindungan konsumen dari produk kosmetik palsu, maka dapat dikatakan bahwa negara sudah sepatutnya memberikan penyelesaian sengketa dari hasil jual-beli kosmetik palsu tersebut demi terciptanya supremasi hukum yang dapat menjamin adanya kebahagiaan masyarakat secara menyeluruh di segala lapisan masyarakat.

Terakhir adalah “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya” yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (8) UUPK.

Tentunya hal ini hampir sama dengan penjelasan terhadap perlindungan hak yang sebelumnya. Menurut teori hukum utilitarianisme, maka sejatinya hukum selain harus dapat menciptakan kebahagiaan, tapi juga harus dapat menjauhkan penderitaan. Hal ini dikarenakan kebahagiaan baru bisa dapat tercapai apabila penderitaan tidak ada, sehingga kedua hal tersebut berjalan secara beriringan. Oleh sebab itu apabila kita kaji kembali pada konteks perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik palsu, maka sejatinya adanya penjaminan terhadap ganti rugi atau penggantian bagi konsumen yang merasa dirugikan, merupakan sebuah bentuk restorasi dari penderitaan yang datang akibat kerugian tersebut sehingga kebahagiaan yang sempat terganggu tersebut dapat kembali tercapai. Apabila jaminan hak untuk mendapatkan ganti rugi tidak ada, maka tidak akan ada kebahagiaan di masyarakat. Tentunya apabila dilihat secara sekilas, maka hal ini bersifat individualistis. Meski begitu, kembali ditekankan adanya teori utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang meyakini bahwa toleransi akan hak individu yang lain, akan menciptakan sebuah kondisi bahagia pada seluruh lapisan masyarakat dan memperkecil adanya tindakan-tindakan yang melanggar norma dan nilai etika yang berlaku.

B.6. Perlindungan Konsumen Terhadap Kosmetik Palsu Dilihat Melalui Teori Sociological-Jurisprudence

Selanjutnya melalui penjelasan mengenai teori hukumsociological jurisprudence kita dapat mengkorelasikan dalam isu empiris yang baru-baru marak terjadi dalam

(20)

masyarakat Indonesia, yaitu penipuan konsumen atas kosmetik palsu. Seperti penjelasan konsep, modus dan kronologi pada bagian sebelumnya mengenai penipuan kosmetik palsu, kita dapat memulai tinjauan dengan kecocokan teori sociological jurisprudence Roscoe Pound mengenai pembagian kepentingan dengan konsep dari hak-hak perlindungan hukum konsumen. Terlebih dahulu kita tinjau dari perspektif perlindungan hukum pada umumnya, dimana seperti namanya hukum perlindungan konsumen sejatinya memberikan “perlindungan hukum” bagi para konsumen. Perlindungan hukum yang dimaksud merupakan perisai hukum yang bertujuan untuk melindungi setiap kepentingan-kepentingan masyarakat.

Dalam hukum perlindungan konsumen, kita dapat melihat pengaturan yang dihasilkan tertuju pada tiap-tiap individu masyarakat. Entah pengaturan tersebut kepada pelaku usaha ataupun konsumen, tetapi pada dasarnya kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan pribadi (individu) dengan kita mengacu pada teori kategorisasi kepentingan hukum Roscoe Pound. Sebagai contoh berdasarkan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/284 pada Tahun 1985 yang menjadi kerangka dasar perlindungan konsumen dalam setiap poin-poinnya berfungsi untuk melindungi kepentingan tiap-tiap konsumen, seperti perlindungan atas bahaya pada kesehatan konsumen, upaya ganti rugi yang efektif, ketersediaan informasi bagi konsumen, dan sebagainya. Penekanan perlindungan kepentingan seperti ini termasuk dalam perlindungan kepentingan pribadi yang berorientasi kepentingan kepribadian dan substansi. Maka idealnya berbicara tujuan formulasi hukum perlindungan konsumen dunia sudah pada jalurnya yang jelas.

Masuk ke pengaturan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu UUPK.

Dalam formulasi pengaturan UUPK Indonesia mengambil basis acuan dari Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/284 pada Tahun 1985. Hal ini membuat sistem perumusan hukum perlindungan hukum Indonesia dengan konsep Top to Bottom. Dapat dilihat melalui bagian Menimbang dalam UUPK, konsep Top to Bottomadalah tindakan pemerintah terlebih dahulu untuk menyelenggarakan (enforce) produk hukum demi menyadarkan masyarakat akan perlindungan konsumen. Dengan pemerintah Indonesia mengambil acuan dan menerima arahan dari tatanan Organisasi Internasional seperti PBB. Menurut perspektif Penulis, seharusnya dalam melaksanakan teori sociological

(21)

jurisprudence masyarakat diharapkan lebih proaktif untuk perkembangan sistem hukum negaranya berdasarkan kenyataan empiris di masyarakat terlebih dahulu. Dengan begitu diharapkan, pengaturan yang disusun juga menjadi lebih cocok kepada isu-isu riil yang berkembang di masyarakat demi menegakkan hak-haknya (dalam kasus ini sebagai konsumen). Takutnya perumusan hukum yang mengacu pada arahan Organisasi Internasional ataupun sekedarnya melalui diskresi pemerintah saja, hukum tersebut terkesan sepihak dan bisa tidak begitu cocok dengan kenyataan masyarakat tiap negara yang berbeda-beda, memiliki keunikan, dan pendekatan berbeda dalam implementasi hukumnya.

Dalam konten substansi UUPK terdapat 5 asas yang memberikan landasan dasar untuk penerapan hukum. Asas yang hendak Penulis tinjau dari segi teori sociological jurisprudence adalah yakni; (a) asas kepastian hukum, (b) asas keadilan, (c) asas keseimbangan. Dari ketiga asas ini kita dapat menemukan suatu korelasi dengan konsep hukum sebagai alat rekayasa sosial. Karena melalui asas ini mengharuskan hukum untuk bertindak sebagaiguardian dan penjamin penerapan hukum berjalan semestinya. Dengan begitu peran pemerintah sebagai insinyur dari hukum ini sendiri seyogianya membuat peraturan yang berfungsi menjembatani kepentingan negara, kepentingan publik, sampai dengan kepentingan pribadi rakyatnya. Kunci utama menurut teori ini ialah dengan mencari keseimbangan dari seluruh aspek kepentingan hukum yang ada.

Kembali pada permasalahan utama, yakni perlindungan konsumen atas kosmetik palsu. Dapat kita ketahui bahwa globalisasi membawa perkembangan dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal perdagangan. Dengan kemudahan yang dibawa oleh globalisasi, membuat suplai kosmetik menjadi mudah di pasaran Indonesia. Sebagai tugas dan fungsi pemerintah untuk melindungi masyarakat, mengikuti konsep kepentingan umum maka pemerintah membuat batasan untuk menanggulangi celah pelaku usaha yang menjual kosmetik palsu dan tidak aman untuk digunakan karena menyangkut kesehatan publik. Maka pemerintah dalam produk hukumnya mengatur dengan jelas hak dan kewajiban antar konsumen dengan pelaku usaha. Seperti melalui Pasal 4 ayat (1) UUPK menjelaskan keseriusan pemerintah dalam melaksanakan kepentingan publik untuk menyediakan jaminan atas kesehatan dan kelangsungan hidup masyarakatnya.

(22)

Dalam Pasal 4 ayat (4) UUPK menjelaskan mengenai hak konsumen untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas perihal isu-isu nyata yang mereka dapati dengan pelaku usaha. Disambung dengan Pasal 4 ayat (5) UUPK yang mengatur atas penyediaan lembaga negara yang menangani isu perlindungan konsumen sebagai tempat konsultasi dan advokasi keresahan masyarakat (dalam hal ini konsumen). Melalui forum yang diberikan UUPK untuk masyarakat, menandakan bahwa teori sociological jurisprudence terimplementasi melalui UUPK. Pengaturan seperti ini memberikan ruang improvisasi hukum yang dimulai secara empiris terlebih dahulu dalam pengaturan hukum perlindungan konsumen, apabila pemerintah konsisten sedikit demi sedikit penyelesaian atas isu ini bisa menjadi kebiasaan hukum Indonesia yang lama kelamaan dari kebiasaan tersebut dapat bergeser menjadi cikal bakal hukum normatif.

Terakhir adalah hak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian yang diatur Pasal 4 ayat (8) UUPK. Pasal ini memberikan batasan atas tindakan pemasaran atas produk kosmetik palsu dimana kebanyakan konsumen Indonesia termakan buaian influencer/content creator dalam iklan produk tersebut. Adanya aturan Pasal 4 ayat (8) UUPK ini memberikan jaminan kepentingan pribadi yang menurut konsep teorisociological jurisprudencedibagi lebih spesifik yaitu kepentingan substansi.

Karena pada dasarnya konsumen ingin membela keadilan akan tindakan hukumnya yaitu jual-beli untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian yang semestinya.

C. Kesimpulan

Filsafat hukum sebagai sebuah konsep cabang keilmuan dan pengetahuan yang mempelajari dan membedah mengenai konsep dan hakikat hukum sehingga menciptakan suatu order atau ketertiban hukum di antara masyarakat. Salah satu cabang keilmuan atau teori yang dikaji tim penulis adalah teori utilitarianisme, sebuah etika normatif yang menginterpretasikan kemanfaatan sebagai sebuah tujuan dari adanya hukum. Adapun kemudian dalam keterkaitannya dengan kasus terhadap perlindungan konsumen dalam kasus kosmetik ini, utilitarianisme berperan sebagai sebuah konsep dimana sebuah hukum memiliki sebuah tanggung jawab dan konsekuensi bagi para pelaku usaha dan konsumen. Keberlakuan hukum harus sebagai sebuah payung yang melindungi, apa yang

(23)

menjadi hak bagi para konsumen di Indonesia. Adapun kemudian peranan pemerintah sebagai instrumen penyelenggaraan kekuasaan harus bisa mengaplikasikan hukum dan aturan yang mengatur terhadap perlindungan konsumen ini yang kemudian menjadi dasar lahirnya UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Hal ini kemudian agar tercipta sebuah kondisi yang nyaman dan aman serta memiliki aspek legalitas yang jelas bagi masyarakat apalagi berkaitan dengan kasus kosmetik palsu ini. Hukum harus bisa memproteksi hak para konsumen serta menghindari dan meminimalisir segala macam kerugian baik secara materil maupun immateril. UUPK kemudian merupakan sebuah produk regulasi yang mengakomodir kebutuhan dan hak masyarakat tersebut, seperti yang tercantum di Pasal 4 ayat 1, Pasal 4 ayat 3, Pasal 4 ayat 4, Pasal 4 ayat 5 dan Pasal 4 ayat 8, sehingga masyarakat memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan atau mengkonsumsi barang dan/atau jasa sesuai kemudian dengan hakikat dari utilitarianisme itu sendiri yaitu (the greatest happiness for the greatest number of people) atau bisa dikatakan bahwa aturan yang dibuat harus bisa mengakomodir harkat dan hak bagi masyarakat secara luas.

Berkaitan dengan teori social jurisprudenceyang erat keterkaitannya dengan konsep

Law is a tool for social engineering.”. Dimana merupakan perspektif hukum yang mengkonsepkan bahwasanya hukum tidak hanya menyelesaikan permasalahan/sengketa/konflik melainkan juga dapat membenahi dan mencari titik seimbang penerapan hukum yang terimplementasi pada masyarakat. Dalam keterkaitannya dengan UUPK bisa dikatakan bahwa tujuan dari manifestasi UUPK sendiri ialah berkaitan dengan memberikan perlindungan terhadap apa yang menjadi hak dan tanggung jawab serta kepentingan masyarakat, khususnya konsumen dalam pembahasan penulisan paper ini. Dalam UUPK, kategorisasi pengaturan tertuju kepada perlindungan terhadap tiap individu dan masyarakat. Ini selaras dengan konsep dari sociological jurisprudence serta sesuai dengan konsep kepentingan hukum itu sendiri menurut Roscoe Pound dimana Ia menyatakan bahwa sebuah fungsi utama hukum, yaitu melindungi kepentingan hukum bagi masyarakatnya. Hal ini berkaitan misal seperti perlindungan atas bahaya produk terhadap kesehatan konsumen, upaya ganti rugi yang efektif, ketersediaan informasi yang transparan bagi konsumen dan lain-lainnya.

(24)

Daftar Pustaka Buku

Az. Nasution,Konsumen dan Hukum.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Celine Tri Siwi Kristiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen.Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

E. Bodenheimer,Jurisprudence: The Philosophy and Method of the Law. London: Harvard University Press, 1947.

Fahrani, et.al., Filsafat Hukum: Merangkai Paradigma Berfikir Hukum Post Modernisme.Solo:

Kafilah Publishing, 2018.

Mukti Fajar, Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju, 2000.

Mukti Fajar, Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019.

Sidharta,Hukum Perlindungan Konsumen.Jakarta: PT Grasindo, 2000.

Teguh Prasetyo,Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007.

Zoemrotin K. Susilo,Penyambung Lidah Konsumen.Jakarta: Puspa Swara, 1996.

Jurnal

Arif Firmansyah Hamid dan Rayno Dwi Adityo, “Penerbitan Kartu Nikah Digital Perspektif Teori Utilitarianisme Hukum Rudolf von Jhering”,Jurnal Sakina,Vol. 6, No. 2 (2022): 9, https://doi.org/10.18860/jfs.v6i2.1778

Atip Latipulhayat, “Khazanah: Roscoe Pound”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), Vol. 1, Nomor 2. (2014): 416 DOI:10.22304/pjih.v1n2.a12

Annisa Widya Nurrahmi, “Pengaruh Atribut Produk Terhadap Preferensi Konsumen Bedak Muka”. (Skripsi Sarjana, Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, 2016) hal. 3.

Badan POM, “Badan POM Ungkap Peredaran Lebih dari 10 Miliar Rupiah Kosmetik Ilegal di Jakarta dan Jawa Barat”. Diakses pada tanggal 25 Juni 2022.https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/580/Badan-POM-Ungkap-Peredaran-L ebih-dari-10-Miliar-Rupiah-Kosmetik-Ilegal--Di-Jakarta-dan-Jawa-Barat.html

Dwi Edi Wibowo, “Penerapan Konsep Utilitarianisme Untuk Mewujudkan Perlindungan Konsumen yang Berkeadilan Kajian Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:

1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal Syariah,Vol. 19, No. 1, (2019): 16,http://dx.doi.org/10.18592/sy.v19i1.2296

Fimela, “Melihat Perkembangan Industri Kosmetik di Indonesia Pasca Covid-19”. Diakses pada

tanggal 25 Juni 2022.

https://www.fimela.com/beauty/read/4578615/melihat-perkembangan-industri-kosmetik- di-indonesia-pasca-covid-19

Frederikus Fios, “Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum

Kontemporer,” Humaniora 3, no. 1 (April 2012): 299,

https://doi.org/10.21512/humaniora.v3i1.3315

(25)

I Gede Agus Kurniawan, “Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Perspektif Filsafat Utilitarianisme”, Jurnal USM Law Review, Vol. 5, No. 1 (2022): 291,http://dx.doi.org/10.26623/julr.v5i1.4941

Judith A. Chevalier, and Dina Mayzlin. “The Effect of Word of Mouth on Sales: Online Book Reviews.”Journal of Marketing Research43, no. 3 (August 2006): 345–54.

https://doi.org/10.1509/jmkr.43.3.345

Kata Data, “Industri Kosmetik Tumbuh 5,59%”. Diakses pada tanggal 25 Juni 2022.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/05/industri-kosmetik-tumbuh-559-pe rsen-ini-merek-perawatan-tubuh-terlaris-pada-agustus-2021

Marsudi D. Putra, “Kontribusi Aliran Sociological Jurisprudence Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Indonesia”, LIKHITAPRAJNA Jurnal Ilmiah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Vol. 16, Nomor 2, September. (2014):

http://likhitapradnya.wisnuwardhana.ac.id/index.php/likhitapradnya/article/view/38.

Nazaruddin Lathif, “Teori Hukum Sebagai Sarana/ Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat,” Pakuan Law Review, Vol. 3, No. 1 (2017): 74, https://doi.org/10.33751/palar.v3i1.402

Přibáň, J. Roger Cotterrell, “Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social Inquiry”, Journal of Law and Society, Vol. 45, No. 2, (2018): 337

https://doi.org/10.4324/9781315167527

Rosmaya Adriyati, and Farida Indriani. "Pengaruh Electronic Word of Mouth terhadap Citra Merek dan Minat Beli Pada Produk Kosmetik Wardah." Diponegoro Journal of

Management 6, no. 4 (2017):

908-921.https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/djom/article/view/18046

Wempy S. Hernowo, Zaid, M. A. S. Pratama Erawan, “Peran Sociological Jurisprudence Dalam Menciptakan Keefektivitasan Hukum Melalui Living Law”, Legalitas: Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, Juni. (2021): 46https://doi.org/10.33087/legalitas.v13i1.243

Skripsi

Annisa Widya Nurrahmi, “Pengaruh Atribut Produk Terhadap Preferensi Konsumen Bedak Muka”. (Skripsi Sarjana, Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, 2016) hal. 3.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai struktur hukum, peran-peran lembaga negara sangat urgen dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen mengingat asas keselamatan konsumen tidak serta

Yang dimaksud dengan “asas kebermanfaatan” adalah penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam harus bertujuan memberikan manfaat

a. Negara menjamin pemanfaatan sumberdaya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masakini

(4) Asas manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah sistem penerimaan/ pembayaran Non Tunai dalam APBD harus memberikan manfaat sebesar-besarnya

Dalam upaya mewujudkan negara hukum, Indonesia telah memberikan perlindungan kepada Konsumen dengan memberlakukan UUPK yang bertujuan mengangkat kedudukan konsumen

Berdasarkan asas tanggung jawab negara, negara akan menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat,

(4) Asas manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c adalah sistem pembayaran non tunai dalam belanja APBD harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

Landasan filosofis bahwa lembaga OJK memberikan perlindungan hukum adalah asas-asas yang mendasari OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yaitu: a Asas independensi, yakni