Negara Indonesia ialah Negara Hukum, atau Negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan kekerasan belaka. Sehingga baik dalam proses penyelenggara Negara seluruh organ pemerintahan juga Rakyatnya harus berdasarkan hukum, sebagai Negara hukum jaminan perlindungan hak-hak warga Negara diatur dan dilindungi oleh seluruh penyelenggara Negara.1
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat Manusia, sejak zaman dahulu hingga kini karena perkawinan merupakan masalah yang actual untuk dibicarakan didalam maupun diluar peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak mereka, dari perkawinana mereka memiliki harta kekayaan, dan yang menimbulkan hubungan hukum perkawinan antara mereka dan harta kekayaan tersebut.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengatur pergaulan hidup yang sempurna,bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak terlalu dapat di capai. Bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata
1. HAW Widjaja, Hukum Tata Negara Jakarta Universitas Terbuka 2005 Hlm,225
sepakat atau karena olehnya satu pihak ataupun perilaku kedua bela pihak yang tidak mendapat kata sepakat.2
Pasal 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, disisi lain perkawinan sendiri memiliki tujuan. Tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-istri perlu saling, membantu dan saling melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejateraaan spiritual dan materil, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 Ayat(1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Prinsip lainnya calon suami-istri harus telah matang secara kejiwaan dan raga untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir percaraian dan mendapat keturunan yang sehat.3 Perkawinan sebelum dilaksanakan harus memenuhi beberapa syarat, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974. Tentang syarat-syarat sah perkawinan sebagai berikut :
2Bakri. A. Rahman Hukum Perkawinan Indonesia Jakarta. Hidakarya Hlm,21.
3Suwarma Undang-Undang Hukum Perkawinan dalam Perspektif Adat di Indonesia Jakarta universitas terbuka Hlm,35.
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur paksaan.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,maka izin di maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sesuai hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Tahun dan Pihak Wanita mencapai umur 16 Tahun.
Secara umum masalah perkawinan dalam kehidupan masyarakat Indonesia memiliki Perbedaan. Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan tersendiri soal perkawinan begitupula dengan masyarakat Maluku. Proses perkawinan dimulai ketika memenuhi kata sepakat oleh kedua belah pihak.
Daerah Buru Selatan merupakan salah satu kebupaten di provinsi maluku
yang telah dimekarkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2008 : Masyarakat buru selatan tinggal dan hidup berdampingan dengan suku adat yang masih hidup.
Masyarakat Indonesia yang berada di desa-desa termasuk pada daerah Buru Selatan masih mempertahankan kebiasaan lama yaitu perkawinan antara seorang anak perempuan yang masih di bawah umur dengan anak laki-laki yang berusia jauh lebih tua. Hal ini Sesuai dengan peraturan adat yang berlaku pada masyarakat ini yang memperbolehkan orang tua menjodohkan anaknya terutama anak perempuan berdasarkan hukum adat setempat. Perkawinan yang di dasarkan pada hukum adat setempat merupakan legitimasi terhadap proses pelaksanaan suatu perkawinan walaupun calon istri masih tergolong di bawah umur. Menurut ukuran suatu peraturan hukum yang tertulis yaitu UU No 1 Tahun 1974. Adapun perkawinan menurut hukum adat setempat yaitu melalui suatu proses ritual dengan makan siri pinang menandakan suatu perbuatan hukum yang di sepakati kedua belah pihak sebelumnya.
Praktek perkawinan yang di dahului perjodohan oleh keluarga kedua belah pihak merupakan suatu cara untuk segera menikahkan seorang anak perempuan yang dianggap telah memenuhi persyaratan menurut ketentuan hukum adat setempat. Menurut hukum adat syarat kedewasaan tidak didasarkan pada ukuran usia tertentu sebagaimana diatur didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, ukuran kedewasaan menurut hukum adat, hukum adat mengenal secara incidental apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut di anggap cakap atau tidak cakap, mampu
atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingan sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya, melainkan di dasarkan pada :
Menurut Soepomo hubungan individu dan Masyarakat didalam Hukum Adat, menyatakan “individu dianggap sebagai suatu anggota masyarakat, suatu mahluk hidup bersama untuk mencapai tujuan masyarakat, sebab setiap individu baik didalam suatu keluarga atau masyarakatn luas akan mengalami proses kedewasaan.4
Selanjutnya Soepomo dalam bukunya Hukum Adat Jawa Barat menyatakan bahwa “di dalam hukum adat mengenai batas umur yang pasti seperti hukum nasional, untuk menentukan yang pasti saat orang menjadi dewasa tidaklah ada.5 Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingan sendiri. Cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingan sendiri. Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. Sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.
Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertiannya, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia. Merujuk dari Kamus
4Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat didalam Hukum Adat,(Jakarta, Pradnya Paramita, 1978, Hlm 12
5Soepomo, Hukum Adat Jawa Barat Bandung, Djambatan,1982, Hlm 21
Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.6
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh.
Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya”.7 Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk social yang paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kaliru tempatkan dalam posisi yang paling di rugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak- haknya.8
Pada masyarakat desa Masnana Kecamatan Namrole masih dapat ditemui praktek perkawinan yang dilakukan terhadap anak perempuan di bawah umur, adalah perkawinan antara RL dengan EN. EN adalah anak
6.W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka : Amirko, 1984), Hlm. 25.
7R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, (Bandung :Sumur, 2005) , Hlml. 113
8Arif Gosita, Masalah perlindungan Anak, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), Hlm.. 28
perempuan berusia 11 tahun pada saat menikah dengan RL yang telah berusia 27 tahun, karena telah ada kesepakatan antara kedua keluarga, padahal anak tersebut tidak ingin untuk kawin sebab anak ini masih di bawah umur dan masih ingin bersekolah lebih lanjut sedangkan berinisial RL yang berusia 27 tahun dari segi usia sudah memenuhi syarat perkawinan sesuai pasal 6 ayat 1 sampai 6 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU No 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 di jelaskan dalam beberapa pasal tentang pembatalan perkawinan, yakni dalam pasal sebagai berikut : Bahwa perkawinan dapat di batalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU No 1 Tahun 1974). Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarata-syarat untuk melangsungkan perkawiana.
Sedangkan mengenai Syarat-Syarat untuk melangsungkan perkawinan ada pada pasal 6 Ayat 1 : Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.9
Berdasarkan Latar Belakang di atas maka Judul yang diangkat pada Penulisan ini adalah : Analisis Terhadap Perkawinan Paksa Anak diBawah Umur Bawah Umur Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
9.Marwan H, Undang-Undang No 1 tahun 1974tentang perkawinan, Jakarta:
Sinarsindo 2015 Hlm.. 12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang diangkat pada penulisan ini adalah : Bagaiman Perkawinan Paksa Pada Anak Di bawah Umur Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Latar Belakang dan Rumusan Masalah yang telah diuraikan maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang pembatalan Perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 adalah perkawinan paksa di (Desa Masnana) Kecamatan Namrole Kabupaten Buru Selatan.
2. Sebagai salah satu persyaratan akademik dalam menyelesaikan Studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya dan bermanfaat bagi perkembangan sistem hukum perkawinan berkaitan dengan proses perkawinan paksa di Desa Masnana Kecamatan Namrole Kabupaten Buru Selatan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjamin kepastian hukum kepada masyarakat berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dan sekaligus dapat menjadi referensi tambahan bagi segenap pembaca yang tertarik untuk meneliti permasalahan ini lebih lanjut.
D. Kerangka Konseptual 1. Konsep Perkawinan Paksa
Perkawinan paksa adalah sebuah perkawinan dimana salah satu pihak atau lebih dinikahi tanpa sepengetahuannya atau bertentangan dengan kehendaknya. Perkawinan paksa berbeda dari perkawinan perjodohan, dimana kedua belah pihak saling mengetahui melalui bantuan orangtua mereka atau pihak kecil (seperti mak comblang) dalam pengidentifikasian seorang pasangan. Pernikahan paksa masih dilakukan di berbagai budaya di seluruh dunia, terutama di sebagian Asia Selatan dan Afrika. Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang pernikahan paksa sebagai bentuk dari pelecehan hak asasi manusia, karena dianggap melanggar prinsip kebebasan dan otonomi seseorang. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa seorang wanita berhak untuk memilih seorang pasangan dan bebas memasukkan pernikahan dalam kehidupannya.10
Perkataan Nikah merupakan perkataan umum bagi masyarakat di Indonesia. Nikah adalah perjodohan laki-laki dan perempuan untuk menjadi
10"Ethics - Forced Marriages: Introduction". BBC. 1 January 1970. Diakses tanggal 10Februari 2019
suami istri.11 Sedangkan kata paksa dapat diartikan sebagai perbuatan (seperti tekanan, desakan dan sebaginya) yang mengharuskan (mau tidak mau atau dapat tidak dapat harus, misalnya sesungguhnya bukan karena cinta melainkan karena menjalankan, melakukan tekanan (desakan) keras.
Berdasarkan uraikan secara umum tentang pengertian nikah (pernikahan) dan pengertian paksa, maka penulis dapat menarik kesimpulan dari dua arti tersebut untuk menjadi sebuah pengertian yaitu bahwa nikah paksa ialah perjanjian (ikatan) antara dua pihak calon mempelai suami dan istri karena ada faktor yang mendesak, menuntut, dan mengharuskan adanya perbuatan (dalam melaksanakan pernikahan) tersebut serta tidak ada kemauan murni dari kedua calon mempelai itu di mana tidak ada kekuatan untuk menolaknya.
2. Konsep Anak Dibawah Umur
Setiap negara memiliki defenisi yang tidak sama tentang anak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau KHA menerapkan defenisi anak sebagai berikut: "Anak
berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang- undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal".
Semestinya setelah lahir Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex spesialist, semua ketentuan lainnya
11Poerwodarminta, kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta: balai pustaka, Cet. Ke-8, 1985, Hlm. 453.
tentang defenisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak.12
Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri.13
Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).14
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun kecuali berdasarkan undang-undang lain yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.15
Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksanaan pembangunan
12.Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Bandung, PT. Refika Aditama. 2010. Hlm. 27
13Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa, 2006, Hlm. 36
14.Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: CV.
Novindo Pustaka Mandiri, 2001.Hlm. 5
15.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi onvensi Hak Anak
yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tak terkecuali indonesia.16
3. Perkawinan anak di bawah umur
Pernikahan di bawah umur dapat diartikan sebagai pernikahan muda atau tidak mencapai batas usia yang telah ditetapkan oleh hukum. Dalam kitab Undang-Undang hukum perdata: Burgerlijk Wetboek menentukan batas usia laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan yaitu : Seseorang laki-laki yang belum mencapai umur genap delapan belas (18) tahun dan seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas (15) tahun, tidak dibolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan sementara itu, dalam hal adanya alasan-alasan yang penting, presiden berkuasa mentiadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi.17
Ketentuan yang dimuat dalam hukum perdata di atas menentukan batas usia untuk menikah lebih muda dibandingkan yang di tentukan oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Dengan demikian, pengertian perkawinan dibawah umur menurut ketentuan ini adalah bahwa usia kedua mempelai belum mencapai usia yang ditentukan di atas, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang sahnya perkawinan menyebutkan bahwa batas usia menikah 19 tahun untuk laki-laki dan 16
16 Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada2011. Hlm..1.
17R.Soebekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :Pradnya Paramita, 2008), Hlm. 2951
tahun untuk perempuan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 Undang- Undang No. 1 tahun 1974 yang berbunyi :
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah berumur 19 tahundan pihak wanita sudah berumur 16 tahun.
2. Dalam hal penyimpangan ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria dan pihak wanita.18
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan calon mempelai yang belum mencapai batas usia yang ditentukan undang-undang No. 1 tahun 1974, yaitu laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun.
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ini adalah bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Menurut Moh Idris Ramulyo, sebaiknya calon pengantin lakilaki berusia usia 25 tahun sedangkan calon pengantin perempuan harus sudah berusia 20 tahun atau sekurang-kurangnya 18 tahun, tentunya pendapat ini tidak mutlak, harus dilihat pula situasi dan kondisi fisik dan psikis para calon mempelai itu.
Baliq dan berakal, maksudnya ialah dewasa dan bertanggung jawab terhadap
18Hasbullah, Bakhry, Kumpulan Lengkap Udang-Undang dan PeraturanPerkawinan di Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1985), Cet. III, hal. 552
sesuatu perbuatan apalagi terhadap akibat-akibat perkawinan, suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.19 setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 penentuan batas usia dewasa untuk melaksanakan perkawinan diatur secara tegas dan diberlakukan secara keseluruhan bagi calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1) yangberbunyi : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.20
Menurut pendapat Ahmad Ichsan juga mengatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur tinggi.21
Berhubungan dengan itu maka Undang-Undang Perkawinan menentukan batas umur untuk menikah laki-laki 19 tahun sedangkan untuk wanita 16 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pasal 7 Undang- Undang No. 1 tahun 1974 berusaha menciptakan suatu aturan tentang pencegahan perkawinan di bawah umur, mengurangi angka perceraian pada usia muda. Pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang berbunyi : “ dalam hal penyimpangan terdapat ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain”, sebagai upaya
19Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisa Dari UndangUndang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),Hlm.51
20Hasbullah Bkhry, Op.,Cit.Hlm.. 553
21Ibid.,Hlm2254
hukum untuk mencari jalan keluar apabila ada masalah mengenai perkawinan yang mendesak dalam keadaan darurat.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam Penelitian ini adalah penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa penelitian hukum adalah sesuatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang di hadapi.22
2. Tipe Penelitian
Adapun tipe yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan mengunakan wawancara dilapangan dengan tujuan untuk melengkapi bahan hukum primer sehingga dapat mengambarkan secara keseluruhan tentang perkawinan paksa anak dibawah umur di Desa Masnana Kecamatan Namrole Kabupaten Buru Selatan
3. Sumber Bahan Hukum
Penulisan ini menggunakan Sumber Bahan Hukum yang terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier yakni : a). Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer ialah bahan hukum utama yang dipakai dalam penulisan ini mencakup :
1. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
22.Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Perdana Media Group,Edisi Pertama Cetakan Ke Empat, Jakarta, 2008, hal. 35
2. Undang-undang Republik Indonesia No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan b). Bahan Hukum Sekunder :
Bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, sehingga dapat membantu mendeskripsikan dan menganalisa guna memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yaitu dengan cara menelaah undang-undang, buku-buku literatur, laporan penelitian, skripsi, tesis dan majalah-majalah mengenai hal-hal yang sesuai dengan permasalahan yang diamati.
c). Bahan Hukum Tersier :
Bahan hukum yang menunjang dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum tersier berguna untuk menjelaskan dan mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum, Kamus Bahasa Indonesia.23
4. Teknik Pengumpulan Dan Analisis Bahan Hukum
23Soerjono Mahmud Marzuki, Pengantar Penelitian Hukum( Jakarta : Rineka Cipts 1986 ) Hlm. 55
a. Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan teknik studi kepustakaan dokumen berupa buku, karya ilmiah yang berkaitan dengan perkawinan paksa yang merupakan bahan lapangan yang diperoleh melalui wawancara, melakukan tanya jawab, dalam hal ini tokoh-tokoh adat setempat terhadap permasalahan yang diteliti.
b. Analisis Bahan Hukum
Dalam pengelolaan dan teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan secara jelas keadaan-keadaan nyatanya, sedangkan yang dimaksud kualitatif adalah analisis terhadap apa yang ditanyakan kepada narasumber kemudian diuraikan dianalisis sehingga diperoleh suatu pengertian.24
F. Sistematika Penulisan
24Dewi Nurul Mustari, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Progresif”, Media Hukum, 20:309, Desember 2013
Dalam penulisan proposal penelitian ini yang nantinya akan dijadikan dalam sebuah skripsi akan mengunakan sistimatika penulisannyaterdiri dari empat bab yaitu, Bab I: Latar Belakang, Rumusan Masalah,Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan, Bab II : Tinjauan Pustaka, terdiri dari : Gambaran Umum Tentang Perkawinan, Gambaran Umum Tentang Perkawinan Adat, Bentuk Perkawinan dan Tata Cara Pelaksanaan perkawinan Menurut Hukum Adat. Bab III : Hasil dan Pembahasan antara lain : Gambaran Umum Masyarakat Desa Masnana, Keabsahan Perkawinan Paksa di Desa Masnana Dikaitan Dengan Undang- Undang no 1 tahun 1974. Bab IV : Penutup yang berisikan : Kesimpulan dan Saran. Disertai dengan Daftar Pustaka.