• Tidak ada hasil yang ditemukan

(1)ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS 1A AMBON PERKARA NOMOR: 129/Pdt.G/2022/Pa.Ab TENTANG KAWIN PAKSA PROPOSAL OLEH : WAJAHUDIN RUMAKAT NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "(1)ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS 1A AMBON PERKARA NOMOR: 129/Pdt.G/2022/Pa.Ab TENTANG KAWIN PAKSA PROPOSAL OLEH : WAJAHUDIN RUMAKAT NIM"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS 1A AMBON PERKARA NOMOR: 129/Pdt.G/2022/Pa.Ab TENTANG KAWIN PAKSA

PROPOSAL

OLEH :

WAJAHUDIN RUMAKAT NIM. 190102006

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON

2023

(2)
(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Batasan Masalah ... 16

F. Definisi Operesional ... 17

G. Penelitian Terdahulu Yang Relefan ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21

A. Perkawinan Menurut Hukum Positif ... 23

B. Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam... 32

C. Tinjauan Umum Tentang Kawin Paksa ... 33

D. Pembatalan Perkawinan ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

A. Tipe Penelitian ... 38

B. Subjek Penelitian ... 38

C. Instrument Penelitian ... 38

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 39

E. Teknik Analisis Data ... 39 DAFTAR PUSTAKA

(4)
(5)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia, baik laki-laki maupun perempuan pada fitrahnya akan memiliki rasa suka atau tertarik pada lawan jenis. Islam menjadikan pernikahan sebagai jalan terhormat untuk memformat kasih sayang di antara dua jenis manusia tersebut.

Dengan pernikahan itu pula akan terlahir keturunan secara terhormat. Maka dari itu wajar jika pernikahan merupakan suatu peristiwa yang diharapkan oleh mereka yang memiliki kesucian fitrah.

Manusia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup seorang diri. Manusia perlu menjalin hubungan dengan orang lain, baik itu dalam kehidupan masyarakat maupun berumah tangga. Sehingga bagi manusia melakukan perkawinan merupakan kebutuhan yang penting, agar seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain dan dapat menyalurkan kebutuhan biologis mereka. Nikah berasal dari bahasa arab, yaitu حك ن- حك ن ي- حك نا yang berarti sekumpulan, bisa juga diartikan

„aqd (perikatan) atau wat‟ (persetubuhan)1. Hidup bersama antara seorang lakilaki dan seorang perempuan (yang telah memenuhi persyaratan) inilah yang disebut perkawinan.

Berpasang-pasangan merupakan salah satu sunnatullah atas seluruh makhluk- Nya. Allah SWT. berfirman:

.

       

Artinya :

1 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung), 1990, hlm.

467

(6)

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 49)

Perkawinan itu merupakan salah satu peristiwa hukum yang diawali dengan pemberkatan nikah atau akad nikah dan dilanjutkan dengan pencatatan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagaimana dimaksudkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut sebagaimana dimaksudkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang artinya hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law).

Undang-Undang No 16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum yang berasal dari masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan sah apabila tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peratur;an perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan perkawinan dan merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.2

2 Ibid, hlm. 467

(7)

Perkawinan dalam masyarakat kita menganut hukum agama dan juga hukum adat sesuai dengan daerah masing-masing. Untuk menyatukan seluruh masyarakat maka negara kita membentuk hukum yang khusus mengatur tentang perkawinan dimana hukum yang dibuat ini juga untuk melengkapi keadministrasian. Hukum yang dibuat dan diberlakuan sampai sekarang yang mengatur khusus mengenai perkawinan ialah Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk kehidupan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Berdasarkan uraian Perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tersebut sudah jelas bahwa tujuan dari dilaksanakanya suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan diharapkan untuk selamanya terjadi satu kali seumur hidup.3

Begitu pentingnya arti dan tujuan perkawinan tersebut maka segala sesuatu yang berkenaan dengan perkawinan diatur dengan terperinci dan lengkap oleh Hukum Islam dan Negara. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur cara pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkawinan dan lain-lain.4

3 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 4

(8)

Asas kematangan untuk melangsungkan suatu perkawinan terdapat pada pasal 7 ayat 1 undang-undang no. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undangundang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa5

”Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.” Apabila dalam suatu perkawinan pelaksanaanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan seagai peristiwa yang dianggap tidak pernah ada. Perkawinan yang dapat dibatalkan atau diputuskan melalui pengadilan agama dikenal dengan istilah pembatalan perkawinan. Pembatalan dalam islam disebut Fasakh yang berarti merusakkan atau membatalkan. Fasakh adalah salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.6

Berdasarkan pasal 16 ayat 1 KHI yang menentukan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai kompilasi hukum islam merumuskan pasal 16 ayat 2 yang menyatakan bahwa :”bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selamanya tidak ada penolakan yang tegas”.

Pasal 36 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena 3 hal yaitu : kematian, perceraian, dan putusan pengadilan.

Pembatalan perkawinan termasuk dalam kategori putusan perkawinan atas dasar keputusan pengadilan. Pasal 71 (f) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan dilaksanakan dengan

5 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

6 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Prkawinan Islam, Ed.1.cet.9 UII Press, Yogjakarta,1999.

hlm. 85

(9)

paksaan. Dengan demikian paksaan dalam perkawinan atau kawin paksa dapat menjadi alasan pembatalan perkawinan. Seperti kasus yang terjadi pada kabupaten sirimau yaitu seorang wanita yang terpaksa menikah dengan seorang pria karena adanya paksaan dari orang tuanya. Sehingga wanita tersebut mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama Kelas 1A Ambon.

Hakim Pengadilan Agama Kelas 1A Ambon mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan tersebut, sehingga melahirkan Putusan Pengadilan Agama Kelas 1A Ambon dengan Nomor Perkara: 129/pdt.G/2022/PA.Ab. Pembatalan perkawinan menjadi penting untuk dikaji, hal ini disebabkan karena perkawinan putus, bukan karena kematian ataupun perceraian, tetapi perkawinan putus karena, dibatalkan oleh pihak pengadilan.

Berdasarkan permasalahan tersebut yaitu pembatalan perkawinan karena kawin paksa sehingga munculnya fenomena sosial yang berdampak pada angka persentase tingkat pencerayan, dengan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian permasalah diatas dengan judul: Analisis Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa Putusan Hakim Pengadilan Agama Kelas 1a Ambon Perkara Nomor: 129/Pdt.G/2022/Pa.Ab.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

(10)

1. Bagaimana bentuk pembatalan perkawinan terhadap kawin paksa di Pengadilan Kelas 1A Ambon berdasarkan peraturan Undang-Undang perkawinan?

2. Bagaimana analisis putusan hakim No 129/pdt.G/2022/PA.AB ? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penilitian ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk pembatalan perkawinan terhadap kawin paksa di Pengadilan Kelas 1A Ambon berdasarkan Undang-Undang perkawinan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim No 129/pdt.G/2022/PA.AB.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengetahuan tentang pembatalan perkawinan terhadap kawin paksa di Pengadilan Kelas 1A Ambon berdasarkan peraturan Undang-Undang No 16 Tahun 2019 dan mengetahui putusan hakim No 129/pdt.G/2022/PA.AB.

E. Batasan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang berkaitan dengan penelitian agar tidak menyimpang dan terarah kepada sasaran yang diharapkan, maka peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini yaitu penelitian ini difokuskan untuk melihat pembatalan perkawinan karena kawin paksa putusan hakim Pengadilan

Agama Kelas 1A Ambon perkara Nomor: 129/pdt.G/2022/PA.AB

(11)

F. Definisi Operesional

Agar tidak terjadi salah tafsir dalam penulisan ini, maka perlu menjelaskan beberapa istilah:

1. Perkawinan atau Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasaekan Ketuhanan yang Maha Esa, kemudian terbangun hubungan atau ikatan perajanjian hukum antara pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan, dimana hubungan tersebut merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita guna membina rumah tangga, yang merupakan kondisi terbaik dan kesempatan dalam hal pemenuhan hasrat perkawinan dan tabi’at dasar yang bersifat kemakhlukan yang manusiawi.

2. Batal adalah sesuatu perkara yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum syariat. Sedangkan definesi kata batal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tidak berlaku.

3. Kata paksa dalam kamus bahasa Indonesia artinya mengerjakan sesuatu yang harus dilakukan walaupun tidak mau, dengan cara memaksa atau kekerasan (menekan, mendesak).7

Kawin paksa dalam literature arab disebut juga dengan istilah ijbar, kata ijbar berasal dari kata Ajbara-yujbiru-ijbaaran kata ini memiliki arti yang sama dengan kata akraha. Artinya pemaksaan atau mengharuskan dengan cara memaksa dengan keras.8

7 Department Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 138

8 Ahmad Warson Munawwir, Almunawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Almunawir Krapyak, 1948), hlm. 164.

(12)

4. Analisis Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.9

G. Penelitian Terdahulu Yang Relefan

Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pembatalkan perkawinan karena kawin paksa. Penulis menemukan beberapa skripsi yang akan diteliti oleh penulis yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Kumala, Mahasiswa jurusan Ahwal al-Syahsiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011 yang berjudul “Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Jakarta timur Perkara Nomor: 530/Pdt.G/2008/PA.JT)”.

Dalam penelitian ini membahas pembatalan perkawinan yang disebabkan kawin paksa. Kawin Paksa adalah perbuatan yang dapat dijadikan alasan pembatal perkawinan. Dalam hal ini Pemohon (Suami) dipaksa untuk menikahi Termohon (Istri) oleh kedua orang tua Termohon dengan ancaman penghancuran karir dan akan dilaporkan ke polisi, bahkan mau dibunuh. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah sama-sama membahas pembatalan perkawinan karena kawin paksa. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa wilayah kejadian perkara tersebut terdapat di Pengadilan Agma Jakarta Timur, sedangkan penelitian penulis terdapat di Pengadilan Agama Kelas 1A

9 Moh. Taufik Makaroa, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, cet. I (Jakrta: PT. Rineka Cipta, 2024), hlm. 124.

(13)

Ambon. Selain itu dalam penelitian di atas menggunakan Pasal 71 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 72 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan membenarkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur. Sedangkan penelitian penulis lebih fokus pada Pasal 22 Undang-Undang No 1 Tahun 1947 dan Pasal 6 ayat (1).10

2. Skripsi Adibul Farah, Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. melakukan penelitian skripsi pada tahun 2008 yang berjudul “Kawin Paksa Sebagai Alasan Perceraian (Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Perkara No. 0044/Pdt.G/2006/PA.Kdl)”. skripsi ini membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kawin paksa sehingga mengakibatkan terjadinya perceraian. Sedangkan kefokosan penulis tentang Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa.11

3. Skripsi Dita Sundawa Putri mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah pun juga membahas kawin paksa dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Kawin Paksa Karena Adanya Hak Ijbar Wali (Studi Kasus Pada Dua Pasangan Keluarga di Kotagede Yogyakarta)”. Pada skripsi ini Dita Sundawa Putri lebih fokus pada Hukum Islam dengan pertimbangan adanya hak Ijbar wali terhadap

10 Kumala, Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Jakarta timur Perkara Nomor:530/Pdt.G/2008/PA.JT), (Jakarta: Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah), 2011.

11 Adibul Farah, Kawin Paksa Sebagai Alasan Perceraian (Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Kendal Perkara No. 0044/Pdt.G/2006/PA.Kdl), (Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo), 2008

(14)

kawin paksa. Sedangkan penulis akan menitik beratkan persoalan pada pembatalan perkawinan karenan kawin paksa.12

4. Abu Bakar, dalam artikel yang berjudul “Kawin Paksa:SebuahHegemoni Laki-laki atas Perempuan” Jurnal Al-Ihkam: Vol. 8 No. 1 bulan Juni tahun 2013. Abu Bakar mengatakan bahwa Ajaran agama berkaitan dengan bentuk- bentuk seperti kebebasan memilih, memutuskan, dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang positif. Sayan gnya, kebebasan sering menyebabkan masalah dalam implementasinya, seperti kebebasan memilih atau menentukan pasangan yang sering berakhir dengan praktik pernikahan paksa.

Ini adalah masalah relasional antara orang tua dan anak-anak mereka dalam menentukan pasangan anak-anak mereka, karena keduanya menjaga keinginan mereka ‘yang keras kepala’ yang mengklaim sebagai hak-hak mereka. Orang tua mereka berpikir bahwa mereka memiliki kewenangan dalam menentukan pasangan mereka kepada anak-anaknya karena mereka memiliki hak ijbâr. Karenanya, dalam konteks modern, sudah saatnya perlakuan otoritarianisme terhadap perempuan dihapuskan karena ia merupakan salah satu wujud dehumanisasi yang bertentangan dengan norma- norma agama, sosial,hukum, dan keadilan.13

12 Dita Sundawa Putri, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Kawin Paksa Karena Adanya Hak Ijbar Wali (Studi Kasus Pada Dua Pasangan Keluarga di Kotagede Yogyakarta), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga), 2003

13 Ahmad Munir, Kawin Paksa Perspektif Sosiologis dan Psikologis, dalam Justitia Islamica:

Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol.5/No.2/Juli-Des 2008, (Ponorogo: Jurusan Syari‟ah STAIN Ponorogo), 2008

(15)

11

TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan Menurut Hukum Positif

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.14

Pernikahan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kitab Undangundang Hukum Perdata. Undang-undang 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal sematamata, tetapi dilihat juga dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Dalam konsepsi hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam hukum keperdataan saja. UU hanya mengenal “ perkawinan perdata ”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.15

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang menimbulkan suatu akibat hukum antar dua pihak yaitu antara suami dan isteri, maka dari itu perlu adanya aturan dan undang-undang untuk mengaturnya, baik dari proses perkawinan sampai dengan perceraian. Akibat hukum tersebut diantaranya adalah hak dan kewajiban suami isteri, hak asuh anak, waris dan lain sebagainya. Untuk dapat mewujudkan tujuan

14 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, (Bandung: Rona Publishing, 2010), hlm. 8

15 Salim HS dan R.M Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta:

Sinar Grafika, T.th), hlm. 61.

(16)

perkawinan tersebut dengan baik, setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan menurut pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka harus memenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam UU No.Tahun 1974.16

Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 sebagai

berikut :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) ).

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6)).

3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)).

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8).

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9).

6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10).

7. tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan.

“Perkawinan harus didasarkan atas kedua calon mempelai”. Kemudian dalam

16 H. Riduan Syahrani, S.H., Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, Edisi Ketiga Cet I. 2006, hlm. 63

(17)

suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pola dengan hak asasi manusia.Maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.17

Pendapat Drs. H. Saidus Syahar,S.H. dalam bukunya yang berjudul Undang- undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam yang kemudian dikutip oleh H.Riduan Syahrani, S.H. dalam buku Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata menjelaskan sebagai berikut:

Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada keinginan masingmasing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benarbenar dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

B. Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian Dan Dasar Hukum

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.18 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari nikah (حاك ن ) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan

17 Ibid. hlm. 63

18 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), cet. Ke-4, hal. 456.

(18)

untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.19

Menurut istilah hukum Islam, pernikahan adalah akad yang ditetapkan syara‟

untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Pernikahan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan perkembangannya. Untuk itu Allah Swt melalui utusan-Nya memberikan suatu tuntunan mengenai pernikahan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar hukum perkawinan dalam Islam adalah firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat ArRuum ayat 21:

           

         

Artinya :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri- isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21 )20

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah,

19 Prof.Dr.Abdul Rahman Ghazali M.A, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke- 3, hlm. 7.

20 Departemen Agama R.I., Al Qur‟an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar, 2004), hlm.

(19)

menjadi fitrah atau naluri setiap manusia. Hal tersebut bisa diperoleh apabila pasangan (suami isteri) bisa menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai dengan ajaran yang telah disyari’atkan dalam agama Islam.

Menurut M.Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata sakinah itu terdiri dari tiga huruf asalnya sin, kaf, dan nun. Semua kata yang dibentuk oleh tiga kata ini menggambarkan ketenangan, setelah sebelumnya ada gejolak. Kata sakinah menurut Shihab diambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Sakinah dalam keluarga adalah ketenangan yang dinamis dan aktif. Jadi keluarga sakinah adalah keluarga yang mampu menciptakan suasana kehidupan berkeluarga yang tentram, dinamis, dan aktif, yang asih, asah dan asuh. Kata 'Sakinah' mempunyai beberapa pengertian:

a. Ketenangan b. Rasa Tentram c. Bahagia

d. Sejahtera Lahir Batin e. Kedamaian secara Khusus f. Hal yang memuaskan hati.

Kesakinahan merupakan kebutuhan setiap manusia. Karena keluarga sakinah yang berarti: keluarga yang terbentuk dari pasangan suami istri yang diawali dengan memilih pasangan yang baik, kemudian menerapkan nilai-nilai Islam dalam

(20)

mawaddah warahmah.21

Mawaddah yakni rasa cinta plus, rasa cinta yang membara, rasa cinta yg tumbuh di antara suami istri adalah Anugerah dari Allah SWT kepada kedua dan ini merupakan cinta yg sifat tabi’at. Tidaklah tercela orang yg senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidup yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yg semestinya disyukuri. Adapun mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Mawaddah juga merupakan al-Jima’ (hubungan badan)

Rahmah adalah rasa sayang terhadap sesama. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah SWT di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlakukannya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah SWT, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Selain sebuah amanah dari Allah SWT, dalam suatu rumah tangga kehadiran sang buah hatipun juga disebut rahmah. Sehingga menurut penulis rahmah disebut juga welas asih antara suami istri dan rasa kasih sayang terhadap anak kecil (yang lebih muda).22

21 M.Quraish Shihab, Peran Agama Dalam Membentuk Keluarga Sakinah, Perkawinan Dan Keluarga Menuju Keluarga Sakinah (Jakarta: Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan Pusat, 2005), hlm 3.

22 http://ummusalma.wordpress.com/sakinah-mawaddah-dan-rahmah/,Diakses:20 Oktober 2018.

(21)

untuk menikah yaitu:

“Dari Anas bin Malik r.a, bahwa Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjungNya. Kemudian beliau bersabda: “ Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku makan dan aku pun mengawini perempuan. Maka barang siapa yang tidak suka akan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari Muslim ).23

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya perkawinan tersebut di atas, maka bisa ditegaskan hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh). Namun berdasarkan „illat-nya atau dilihat dari segi kondisinya, maka perkawinan tersebut dapat berubah hukumnya menjadi wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah.

a. Nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib, apabila seseorang dipandang telah mampu benar mendirikan rumah tangga, sanggup memenuhi kebutuhan dan mengurus kehidupan keluarganya, telah matang betul pertumbuhan rohani dan jasmaninya. Dalam keadaan seperti ini, ia wajib melaksanakan perkawinan, sebab kalau ia tidak kawin ia akan cenderung berbuat dosa (zina).

b. Nikah dapat berubah hukumnya menjadi anjuran atau sunah, kalau dilakukan oleh seseorang yang pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup berumah tangga. Kalau ia kawin dalam keadaan yang

23 Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Hadits Sahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), cet.1. hlm. 429.

(22)

asal mampu menjaga dirinya ia tidak berdosa.

c. Nikah berubah hukumnya menjadi makruh bila dilakukan oleh orang-orang yang relatif maka (belum cukup umur), belum mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga. Kalau orang kawin juga dalam usia demikian, ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang, dalam keadaan ini, ia tidak berdosa dalam melaksanakan perkawinan, tetapi perbuatannya dapat dikelompokan ke dalam kategori perbuatan tercela.

d. Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki dengan maksud menganiaya wanita atau calon isterinya.

e. Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila ia melakukan perkawinan, ia tidak menelantarkan isterinya.

Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan sebagai suatu lembaga mempunyai banyak segi dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, misalnya dari sudut pandang agama, hukum masyarakat, dan sebagainya. Jika dipandang dari segi ajaran agama dan hukum Islam perkawinan adalah suatu lembaga yang suci.

(23)

(HKI).

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu yang termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkai pekerjaan itu.

Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang didalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.Adapun rukun nikah dalam pasal 14 KHI adalah:

a. Mempelai laki-laki;

b. Mempelai perempuan;

c. Wali;

d. Dua orang saksi dan Shigat ijab kabul.24

Pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun nikah yang disebutkan di atas, begitu pula sebaliknya apabila salah satu rukun tidak dipenuhi dalam melangsungkan pernikahan, maka pernikahan itu tidak sah. Dari kelima rukun nikah di atas, yang paling penting adalah Ijab dan Qabul.

Adapun syarat nikah ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.

Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan dalam Islam.

Apabila syarat-syaratnya itu terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri.

1. Syarat-syarat mempelai laki-laki (calon suami):

24 Kompilasi Hukum Islam.Bab IV, Rukun Dan Syrat Perkawinan. Hlm, 5.

(24)

b. Tidak terpaksa atas kemauan sendiri;

c. Orangnya tertentu, jelas orangnya;

d. Tidak sedang ihram.

2. Syarat-syarat mempelai perempuan (calon istri ):

a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang masa iddah;

b. Merdeka, atas kemauan sendiri;

c. Jelas orangnya; dan d. Tidak sedang berihram.

3. Syarat-syarat wali:

a. Laki-laki;

b. Baligh;

c. Tidak dipaksa;

d. Adil; dan

e. Tidak sedang ihram.

4. Syarat-syarat saksi:

a. Laki-laki (minimal dua orang);

b. Baligh;

c. Adil;

d. Tidak sedang ihram;

e. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.

5. Syarat-syarat ijab qalbu:

a. Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali b. Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami

c. Memakai kata-kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti

(25)

d. Antara ijab dan qabul, bersambungan, tidak boleh terputus;

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

f. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umrah;

g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.25

Uraian syarat-syarat nikah di atas merupakan hal yang mesti dipenuhi dari bagian rukun nikah yaitu, calon kedua mempelai yaitu suami isteri, wali, saksi dan shighat ijab qabul. Oleh karena itu jika ada salah satu syarat yang tidak dipenuhi, maka pernikahannya bisa dikategorikan batal atau tidak sah.

Adapun juga dalam pasal 2 KHI perkawinan menurut hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqon gholidzan untuk mentaati Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan pasal 3 menjelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujutkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, rahmah.

C. Tinjauan Umum Tentang Kawin Paksa

Kata paksa dalam kamus bahasa Indonesia artinya mengerjakan sesuatu yang harus dilakukan walaupun tidak mau, dengan cara memaksa atau kekerasan (menekan, mendesak).26

25 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), Cet.

ke-2, hlm. 57-58.

26 Department Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.(Jakarta:Balai Pustaka, 1988), H. 138

(26)

berasal dari kata Ajbara-yujbiru-ijbaaran kata ini memiliki arti yang sama dengan kata akraha. Artinya pemaksaan atau mengharuskan dengan cara memaksa dengan keras. Jadi kawin paksa adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga sebagai suami istri dengan paksaan dari orang tua tanpa izin dari seseorang yang berada dibawah perwalinya.27

Kesepakatan untuk hidup bersama harus diartikan secara totalitas,yakni perpaduan yang tidak hanya terbatas pada sisi lahiriah saja tetapi juga pada sisi rohaniah.

Islam telah memberi rambu-rambu untuk menuju suatu perkawinan yang penuh dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah) dan saling kasih sayang (ra hmah). Dengan begitu ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng tidaklah sesuai dengan ajaran Islam.

Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam memilih pendamping hidup masing-masing,dan Islam tidak pernah memberikan power berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk memaksa anaknya dalam menikah, melainkan Islam memberikan suatu peran bagi orang tua dalam berlakon sebagai penasehat, pemberi arahan dan petunjuk dalam masalah memilih calon pasangan anaknya dan tidak memaksa anaknya.

Selain itu, ilmu hukum hadir sebagai pengawasan seluru aktifitas manusia baik kalangan masyarakat kelas atas, menenga, maupun bawah. Agar tidak bertantangan dengan norma-norma kehidupan yang berlaku. Untuk mendapatkan tujuan hukum yang mewujudkan keadilan dalam masyarakat, sehingga bagi setiap

27 Ahmad Warson Munawwir, Almunawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Almunawir Krapyak, 1948), hlm. 164

(27)

secara adil.2829

Islam memberikan sebuah konsep atau aturan untuk melaksanakan perkawinan yang baik, diantaranya adalah perkawinan dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dan pertimbangan dari calon mempelai dan tidak ada paksaan. Perkawinan yang dilakukan secara paksa dalam Islam terjadi perbedaan pendapat dan mayoritas ulama sepakat bahwa perkawinan yang dilakukan secara paksa adalah tidak dibenarkan, jelas bertentangan dengan hakekat tujuan perkawinan yang tertera dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Begitu pula bertentangan dengan pasal 6 ayat (1) Undang-undang yang sama.

Telah menegaskan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Sedangkan dalam pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pekawinan yang sah.30

Selain itu hak asasi secara alami merupakan hak paling mendasar yang melekat pada manusia dan tanpa hak itu eksistensi kemanusian dipadang terasa rendah dari binatang. Di dalam Universal Declaration of Human Right dianggap bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam sedangkan dalam mukadima Universal Declaration of Human Right dikatakan sebagai sebuah pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak

28 H. Anang Kabalmay, Keadilan Sebagai Tujuan Hukum, Suatu Kajian Filsafat, ( Jurnal Syariah Dan Hukum Tahkim, Fakultas Syariah IAIN Ambon.,vol. VI, No. 1, Februari 2010 ), hlm.

29

30 Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Hak Asasi Manusia, pasal 28B Ayat ( 1 )

(28)

keluarga.31

D. Pembatalan Perkawinan

Adapun sahnya suatu perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu juga diperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam.

Apabila dikemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.32

Terjadinya fasakh menurut mazhab Syafi’iy dan Hanbaly, adalah karena:

1. Pisah karena cacat salah seorang suami istri.

2. Perceraian karena berbagai kesulitan (i’sar) suami.

3. Pisah karena li’an.

4. Salah seorang suami isteri itu murtad.

5. Perkawinan itu rusak (fasad).

6. Tidak ada kesamaam status (sekufu)33 Sedangkan menurut mazhab Hanafy, yaitu:

31 Mohdar Yanlua, Hak Asasi Manusia ( HAM ) Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jurnal Syariah Dan Hukum Tahkim, Fakultas Syariah IAIN Ambon, Vol. IV, No. Februari 2009 ), hlm.

32 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan. hlm. 85.

33 A. Rahman I Doi, Kharakteristik, Hukum Islam dan Perkawinan (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm. 309.

(29)

2. Perceraian karena perkawinan itu fasad(rusak).

3. Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak dapat dipertemukan.34

Adapun berdasarkan mazhab Maliky terjadinya fasakh yaitu:

1. Terjadinya li’an.

2. Fasadnya perkawinan.

3. Salah seorang pasangan itu murtad.34

Pembahasan tentang pembatalan perkawinan secara lengkap dan terperinci telah dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22, dinyatakan dengan tegas bahwa “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada pasal 70 sampai Pasal 76.

Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan adalah:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.

2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah.

3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.

4. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Namun walaupun terdapat alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan, tetapi tidak semua orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Sedangkan

34 A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum,..hlm. 309. 34 Ibid hlm. 310.

(30)

bersangkutan, antar lain karena anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri. Selain itu, dapat pula diajukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk atau orang lain yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.

Secara jelas tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan di dalam UU Perkawinan yaitu diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24.14 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 73.15 Pihak-pihak tersebut antara lain:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.

Misalnya bapak atau ibu dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami atau isteri.

b. Suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan (Pasal 16 ayat (2)), namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri.

d. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan.

(31)

27

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yakni penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Penelitian ini menggunakan literature kepustakaan baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian terdahulu.

B. Subjek Penelitian

Sebelum melakukan telaah bahan pustaka, peneliti harus mengetahui terlebih dahulu secara pasti tentang dari sumber mana informasi ilmiah itu akan diperoleh.

Adapun beberapa sumber yang digunakan antara lain;

Buku-buku, jurnal, Undang-undang, teks, jurnal ilmiah, refrensi statistik, hasil hasil penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, desertasi,dan internet, serta sumbersumber lainnya yang relevan.

C. Instrument Penelitian

Untuk mendapatkan data yang akurat, maka instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan tentang pembatalan

(32)

perkawinan kawin paksa putusan hakim Pengadilan Agama Kelas 1A Ambon perkara nomor: 129/pdt.g/2022/PA.AB

D. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Langkah persiapan

a. Peneliti mencari literatur berupa. Buku-buku, jurnal, Undang-undang, teks, jurnal ilmiah, refrensi statistik, hasil hasil penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, desertasi,dan internet, serta sumber-sumber lainnya yang relevan

2. Langkah pelaksanaan penelitian

a. Peneliti menganalisis literatur yang telah di temukan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka, menurut Nazir pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-buku, jurnal, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zabidi, Imam. 2002. Ringkasan Hadits Sahih Al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Amani, cet.1

Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Prkawinan Islam, Ed.1.cet.9 UII Press, Yogjakarta.

Doi, Rahman I. 1996. Kharakteristik, Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta:

Grafindo Persada.

Department Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Agama R.I. 2004. Al Qur‟an dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar.

Dep Dikbud. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,), cet.

Ke-4

Farah, Adibul. 2008. Kawin Paksa Sebagai Alasan Perceraian (Studi Atas Putusan Pengadilan Agama Kendal Perkara No.

0044/Pdt.G/2006/PA.Kdl), (Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo).

Ghazali, Abdul Rahman M.A. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. cet. Ke-3

http://ummusalma.wordpress.com/sakinah-mawaddah-dan-rahmah/,Diakses:

20 Oktober 2022.

Hasan, M. Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta:

Siraja,), Cet. ke-2, hlm. 57-58.

Kabalmay, H. Anang. 2010. Keadilan Sebagai Tujuan Hukum, Suatu Kajian Filsafat. Jurnal Syariah Dan Hukum Tahkim, Fakultas Syariah IAIN Ambon.,vol. VI, No. 1, Februari 2010.

Kompilasi Hukum Islam.Bab IV, Rukun Dan Syrat Perkawinan. Hlm, 5.

Kumala. 2011. Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Jakarta timur Perkara Nomor:530/Pdt.G/2008/PA.JT).

Jakarta: Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah.

Munir, Ahmad. 2008. Kawin Paksa Perspektif Sosiologis dan Psikologis, dalam Justitia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol.5/No.2/Juli-Des

(34)

Munawir, Ahmad Warson. 1948. Almunawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Almunawir Krapyak)

Makaroa, Moh. Taufik. 2004 Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT.

Rineka Cipta. cet. I

Putri, Dita Sundawa. 2003. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Kawin Paksa Karena Adanya Hak Ijbar Wali (Studi Kasus Pada Dua Pasangan Keluarga di Kotagede Yogyakarta). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Syahrani, H. Riduan, S.H. 2006. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT.

Alumni, Bandung, Edisi Ketiga Cet I.

Shihab, M. Quraish. 2005. Peran Agama Dalam Membentuk Keluarga Sakinah, Perkawinan Dan Keluarga Menuju Keluarga Sakinah. Jakarta: Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan Pusat.

Salim, HS dan R.M Sudikno Mertokusumo. 2010. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika.

Soemiyati. 2007. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan.

Liberty, Yogyakarta

UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, (Bandung: Rona Publishing, 2010)

Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Hak Asasi Manusia, pasal 28B Ayat ( 1 )

Yunus, Mahmud 2000 Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung

Yanlua, Mohdar. 2009. Hak Asasi Manusia ( HAM ) Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Syariah Dan Hukum Tahkim, Fakultas Syariah IAIN Ambon,

Vol. IV, No. Februari 2009

(35)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan menguji kembali pengaruh tax planning, tunneling incentive, intangible assets, leverage, dan profitabilitas terhadap keputusan

Di dalam kurung tulis bulan penerbitan jurnal dan tahun diakhiri dengan tanda koma dan tulis “hal.” atau “p.” sesuai dengan bahasa tulisan diikuti nomor halaman..

PT. Semen Tonasa Kabupaten Pangkep, dalam menjalankan kegiatan produksi semen selama ini maka perusahaan menggunakan anggaran statis sebagai alat pengendalian

(3) rata-rata persentase jumlah siswa yang melakukan aktivitas yang diharapkan mencapai 100% dan hal ini berarti aktivitas siswa telah mencapai kriteria aktif (4) angket respon

Dengan mengacu pada riset sebelumnya, penelitian ini mencoba untuk menemukan bukti adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi daerah dengan cakupan wilayah yang lebih sempit:

Arminareka Perdana disarankan untuk melakukan pengawasan kepada setiap mitra yang berada di berbagai daerah, karena meskipun praktik yang dilakukan pada perusahaan ini telah

5-9 Tabel 5.3 Identifikasi Indikasi Program RTRW Kabupaten Sumbawa Barat Terkait Pembangunan Infratsruktur Bidang Cipta Karya

Tanaman ini telah diteliti sebelumnya dan menunjukkan bahwa fraksi n -heksan dari ekstrak metanol yang diperoleh melalui metode kromatografi telah dilakukan uji aktivitas