BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep TB Paru 2.1.1 Definisi TB Paru
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya ( Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksius yang menyerang paru- paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009)
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru Tuberkulosis dapat juga ditularkan kebagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe. (Suzanne C. Smeltzer &
Brenda G. Bare, 2002)
2.1.2 Etiologi TB Paru
Agen infeksius utama, M. tuberculosis adalah batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar matahari.
M.bovis dan M. avium adalah kejadian yang jarang yang berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya & Putri, 2013).
M. tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, salah satunya adalah Mycobacterium dan salah satu spesiesnya adalah M. tuberculosis. Bakteri ini berbahaya bagi manusia dan mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam.Bakteri ini memerlukan waktu untuk mitosis 12 – 24 jam. M.tuberculosis sangat rentan terhadap sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga dalam beberapa menit akan mati. Bakteri ini juga rentan terhadap panas – basah sehingga dalam waktu 2 menit yang berada dalam lingkungan basah sudah mati bila terkena air bersuhu 1000 C. Bakteri ini juga akan mati dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau Lisol 5%
(Danusantoso, 2012).
M. tuberculosis berbentuk batang berwarna merah dengan ukuran panjang 1-10 mikron, dan lebar 0,2- 0,6 mikron. Kuman mempunyai sifat tahan asam terhadap pewarnaan metode Ziehl Neelsen. Memerlukan media khusus untuk biakan contoh media lowenstein jensen dan media ogawa. Tahan terhadap suhu rendah dan dapat mempertahankan hidup dalam jangka waktu lama bersifat dorman ( tidur dan tidak berkembang ) pada suhu 4oC sampai – 700C. Kuman bersifat sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. Jika terpapar langsung dengan sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Kuman dalam dahak pada suhu antara 30 – 70oC akan mati dalam waktu kurang lebih 1 minggu (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
2.1.3 Tanda dan Gejala TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2006).
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan Tb paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala tambahan yang sering dijumpai (Asril Bahar.
2001):
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari demam influenza ini.
2. Batuk/Batuk Darah
Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada tiap penyakit tidaklah sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Keadaan yang adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
5. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat pada malam hari tanpa aktivitas. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
2.1.4 Klasifikasi TB Paru
Menurut Yohannes (2008) klasifikasi tuberkulosis antara lain 1. Tuberkulosis paru dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Tuberkulosis paru BTA positif (sangat menular)
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif
ii. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis aktif
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Pemeriksaan dahak negatif, foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis aktif. Positif negatif yang dimaksudkan disini adalah “hasilnya meragukan”, jumlah yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif.
2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru-paru, missal selaput paru, selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening (kelenjar, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing
2.1.5 Diagnosa TB Paru
Price (2005) menjelaskan perangkat yang dianjurkan untuk menentukan diagnosa tuberkulosis pada individu yang dicurigai menderita tuberkulosis adalah:
1. Tes Tuberculin Mantoux
Teknik standar tes ini adalah dengan menyuntikan tuberkulin (PPD) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit tuberculin secara intrakutan pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu 48-72 jam sesudah penyuntikan dan harus dibaca saat periode tersebut.Yang harus dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi (pembengkakan yang teraba) dalam satuan milimeter, pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah. Daerah indurasi sebesar 5 mm atau lebih dianggap positif. Tidak ada indurasi sebaiknya
dicatat sebagai 0 mm bukan negatif. Reaksi positif terhadap tes tuberkulin tes ini adalah alat diagnostic dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna untuk menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat.
2. Foto Thorax
Pemeriksaan radiologi seringkali tidak menunjukan TB Paru atau memberikan gambaran yang berbeda sehingga disebut tuberculosis is the greatest imitator. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat.
Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan gambaran penyakit yang menyebar yang biasanya bilateral. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal bagian paru atas adanya cairan pleura. Perubahan ini mengindikasi TB Paru yang lebih berat dapat menyebabkan area berlubang dan fibrosa.
3. Pemeriksaan Bakteriologi dan Histologi
Sputum adalah bahan untuk pemeriksaan bakteriologi yang paling penting untuk diagnosis TB untuk menemukan kuman BTA.Selain itu sputum dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Cara penegakan diagnosis yang paling tepat adalah memakai sputum cultur untuk memastikan keberadaan mycobacterium tuberculosis pada stadium aktif
Pemeriksaan 3 spesimen sputum yang berurutan berupa sewaktu-pagi- sewaktu (SPS)
a. S (Sewaktu) dahak dikumpulkan pada saat suspek TB dating berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah tempat sputum untuk mengumpulkan dahak pada hari kedua.
b. P (Pagi) dahak dikumpulkan pada hari kedua, segera setelah bangun tidur dan segera diantarkan ke tempat pemeriksaan
c. S (Sewaktu) dahak dikumpulkan di tempat pemeriksaan pada hari kedua saat menyerahkan dahak
2.1.6 Patofisiologi TB Paru
Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru (lobus atas).
Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi.Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara Mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru
yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang berbentuk seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.Perjalanan penyakit TB Paru secara lengkap dapat dilihat pada gambar 2.1.
2.1.7 Pathway
Terjadi proses peradangan Bakteri Mycobacterium
Tuberculosis Droplet Infection Masuk lewat jalan nafas
Menempel pada paru Dibersihkan oleh makrofag
Keluar dari tracheobronchial
bersama sekret
Menetap di jaringan paru
Sembuh tanpa pengobatan
Pengeluaran zat pirogen Mempengaruhi hipotalamus
Limfangitis lokal
Tumbuh dan berkembang di sitoplasma makrofag
Mempengaruhi sel point hipertermi
Afek primer
Menyebar ke organ lain (paru, saluran pencernaan, tulang) melalui media (bronchogen
percontinuitum, hematogen, limfogen
Limfadenitis regional Komplek primer
Sembuh sendiri tanpa pengobatan
Sembuh dengan bekas fibrosis
Radang tahunan di bronkus Pertahanan primer tidak adekuat
Pembentukan tuberkel Kerusakan membrane alveolar Menurunnya permukaan
efek paru alveolus Pembentukan sputum berlebihan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar
Bagian tengah nekrosis Membentuk jaringan keju
Secret keluar saat batuk
Gambar 2.1. Bagan tentang Perjalanan Penyakit TB Paru Sumber: Nurafif & Kusuma (2016)
2.1.8 Penatalaksanaan TB Paru
Menurut Pionas POM (2015) Pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan infeksi menjadi non infeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit.Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pemantauan hasil pengobatan dari pemeriksaan sputum dapat dilihat pada tabel 2.1
Alveolus mengalami konsolidasi dan eksudasi
Gangguan pertukaran gas
Batuk produktif Droplet infection
Batuk berat Distensi abdomen
Mual muntah Intake nutrisi kurang Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Terhirup orang sehat
Resiko infeksi
Tabel 2.1. Pemeriksaan Sputum untuk Pemantauan Hasil Pengobatan
Pengobatan Regimen 6 bulan Regimen 8 bulan Akhir fase intensif Akhir bulan kedua Akhir bulan kedua Akhir fase lanjutan Akhir bulan keempat Akhir bulan kelima Akhir pengobatan Akhir bulan keenam Akhir bulan kedelapan
Hasil pengobatan pada pasien BTA positif harus dipantau dengan pemeriksaan sputum. Pemeriksaan dengan cara lain bukan merupakan keharusan.
Untuk pasien BTA negatif dan TB ekstra paru, hasil pengobatan didasarkan pada pemeriksaan klinis.Biasanya diperlukan dua kali pemeriksaan ulang sputum.
Tabel di atas memperlihatkan saat-saat pemeriksaan sputum berdasarkan regimen pengobatan.
Obat antituberkulosis saat ini sudah tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap. Pemakaian obat antituberkulosis- kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Tablet OAT-KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.Paduan dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket OAT-KDT, sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Kategori pengobatan TB Paru dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kategori Regimen Pengobatan Kategor
i
Kasus Fase
intensif tiap hari
Fase
lanjutan 3x seminggu I Kasus baru BTA positif; BTA
negatif/rontgen positif dengan kelainan
2HRZE 4H3R3
parenkim luas; Kasus TB ekstra paru berat
II Relapse BTA positif; gagal BTA positif;
Pengobatan terputus
2HRZES
5H3R3E3 1HRZE
III Kasus baru BTA negatif/rontgen positif
sakit ringan; TB ekstra paru ringan 2 HRZ 4H3R3
Sisipan
Bila pada akhir fase intensif, pengobatan pasien baru BTA positif dengan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif.
1 HRZE
Keterangan:
a. E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid; S=Streptomisin.
b. Angka sebelum regimen menunjukkan lamanya pengobatan dalam bulan.
Angka indeks menunjukkan frekuensi pemberian per minggu. Bila tidak ada angka indeks sesudah obat berarti obat diberikan tiap hari.
c. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
d. Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk fase intensif, dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dosis kecil dan disatukan dalam 1 dus besar.
e. Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk fase intensif, dan 66 blister HRE untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dus kecil dan disatukan dalam 1 dus besar.
Disamping itu, disediakan 30 vial streptomisin @ 1,5 g dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan aquabides) untuk fase intensif.
f. Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk fase intensif, dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dus besar.
g. Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE dikemas dalam 1 dus kecil.
Kategori I (Kasus baru dengan BTA positif, kasus baru dengan BTA negatif/rontgent positif yang sakit berat dan ekstra paru berat):
Hasil negatif menunjukkan hasil yang baik.Pada akhir bulan kedua, sebagian besar pasien akan menjadi BTA negatif. Pasien tersebut dapat memasuki pengobatan fase lanjutan. Jika sputum masih positif, hal ini menunjukkan kemungkinan berikut:
a. Pengobatan fase intensif tidak diawasi dengan baik dan kepatuhan pasien buruk.
b. Konversi sputum yang lambat, misalnya akibat adanya kavitas yang luas dan jumlah kuman yang terlalu banyak pada awal terapi.
c. Kemungkinan adanya resistensi.
Apapun penyebabnya, bila sputum BTA masih positif pada akhir bulan kedua, maka pengobatan awal (intensif) harus diteruskan satu bulan lagi dengan obat sisipan dan pemeriksaan sputum diulangi pada akhir bulan ketiga.Jika sputum menjadi negatif maka pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.Jika pada akhir bulan kelima sputum BTA tetap positif, maka pengobatan dianggap gagal.Pasien ini harus didaftarkan dalam pengobatan yang gagal dan harus menjalani pengobatan ulang secara penuh sebagai kategori II.Dalam hal ini pasien perlu dirujuk ke unit perawatan spesialis dan dipertimbangkan untuk diobati dengan
obat sekunder.Bila tersedia fasilitas kultur, maka kultur sputum harus dilakukan pada awal pengobatan, di akhir bulan kedua dan pada akhir pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT pada kategori 1 dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel. 2.3. Dosis panduan OAT-KDT Kategori 1: 2HRZE / 4(HR)3
Berat badan (kg) Tahap intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Kategori II (Relapse BTA positif; gagal BTA positif; Pengobatan terputus):
Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir pengobatan fase intensif (akhir bulan ketiga), selama fase lanjutan (akhir bulan kelima) dan pada akhir pengobatan (akhir bulan kedelapan). Jika pada akhir bulan ketiga BTA masih positif, pengobatan intensif dilanjutkan sampai satu bulan lagi dengan obat sisipan dan sputum diperiksa lagi. Jika pada akhir bulan keempat sputum masih positif, maka sputum dikirim untuk kultur dan uji kepekaan. Selanjutnya diberikan pengobatan fase lanjutan. Jika hasil kultur dan uji kepekaan menunjukkan bahwa kuman resisten terhadap dua atau lebih dari tiga obat yang digunakan untuk fase lanjutan, maka pasien harus dirujuk ke unit perawatan spesialis untuk kemungkinan pemberian obat sekunder. Jika tidak tersedia fasilitas kultur dan uji kepekaan, pengobatan diteruskan sampai regimen pengobatan selesai.Dosis paduan OAT- KDT kategori dua dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel. 2.4. Dosis panduan OAT-KDT Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) 5(HR)3E3
Berat Badan Tahap intensif tiap hari (RHZE (150/75/400/275) +S Tahap lanjutan 3
(kg) kali seminggu RH (150/150)+E (400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg
streptomisin injeksi
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet etambutol 38-54 3 tablet 4KDT + 750 mg
streptomisin injeksi
3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet etambutol 55-70 4 tablet 4KDT + 1000 mg
streptomisin injeksi
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet etambutol
≥71 5 tablet 4KDT + 1000 mg streptomisin injeksi
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet etambutol
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas, dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan
b. Untuk wanita hamil, lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquades sebanyak 3,7 mL sehingga menjadi 4 mL (1 mL = 250 mg)
Kategori III (Kasus rontgen positif, pasien ekstra paru ringan):
Pemeriksaan sputum dilakukan pada akhir bulan kedua pengobatan karena dua kemungkinan berikut ini: kesalahan pemeriksaan pertama (BTA positif yang didiagnosis sebagai BTA negatif): dan ketidakpatuhan pasien. Jika pada mulanya pasien termasuk kategori III (sputum negatif) tapi pada akhir bulan kedua ternyata positif, maka pasien didaftarkan sebagai sputum positif dan dimulai pengobatan untuk kategori I.
Dosis KDT sisipan apabila pada akhir fase intensif, pengobatan pasien baru BTA positif dengan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif.Dosis KDT sisipan dapat dilihat pada tabel 2.5.
Tabel. 2.5. Dosis KDT Sisipan: (HRZE)
Berat badan (kg) Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor. Jika timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik.Jika timbul efek samping berat (mayor), maka pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek samping mayor harus ditangani pada pusat pelayanan khusus. Efek samping obat tuberkulosis dapat dilihat pada tabel 2.6.
Tabel 2.6. Efek samping obat tuberkulosis dan penanganannya Efek samping Kemungkinan
Penyebab Penanganan
Minor Teruskan obat, periksa
Anoreksia, mual, sakit perut
Rifampisin Berikan obat pada malam hari sesudah makan
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin
Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100mg/hari
Urin kemerahan Rifampisin Terangkan pada pasien
Mayor Hentikan obat
penyebab Gatal-gatal, kemerahan di Thiacetazone Hentikan obat
kulit
Ketulian Streptomisin Hentikan streptomisin,
ganti dengan etambutol
Pusing, vertigo,
nistagmus Streptomisin Hentikan streptomisin,
ganti dengan etambutol Ikterus (tanpa sebab lain) Berbagai anti TB Hentikan anti TB
Muntah, bingung
(kecurigaan gagal hati)
Berbagai anti TB Hentikan obat, segera periksa fungsi hati, dan waktu protrombin
Gangguan penglihatan Etambutol Hentika etambutol Syok, purpura, gagal
ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin
2.1.9 Pencegahan Penularan TB Paru
National Public Health Partnership (2006) menjelaskan bahwa konsep pencegahan merupakan suatu bentuk upaya sosial untuk promosi, melindungi, dan mempertahankan kesehatan pada suatu populasi tertentu. Dalam epidemiologi terdapat empat tingkat utama pencegahan penyakit, yaitu pencegahan tingkat awal, pencegahan tingkat pertama, pencegahan tingkat kedua, pencegahan tingkat ketiga. Pencegahan penularan TB Paru dapat dilakukan dengan cara:
1. Primordial prevention ( pencegahan tingkat awal )
Pada tahap awal penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT.
Sedangkan di tahap selanjutnya penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2. Primary prevention ( pencegahan tingkat pertama )
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan
standar kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang meliputi ;
a. Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada daerah dengan angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan lingkungan.
b. Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan dan tetap harus dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak
c. Pengontrolan Faktor Predisposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental.
3. Secondary prevention ( pencegahan tingkat kedua )
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama ;Agent, Host dan Lingkungan.Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan.Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga
ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis.
4. Tertiary prevention ( pencegahan tingkat ketiga )
Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC.
Dimulai dengan diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi.Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan jalan sebagai berikut :
1. Perkembangan media.
2. Metode solusi problem keresistenan obat.
3. Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4. Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel.
6. Studi lain yang intensif.
7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang terkontrol.
2.2 Konsep Keluarga 2.2.1 Definisi Keluarga
Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari individu-individu yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (friedman, 1998).
keluarga sebagai perkumpulan dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam peranannya masing- masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. (Effendy, 1998)
2.2.2 Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga antara lain:
1. Fungsi Afektif
Fungsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat mengembangkan konsep diri positif.
Menurut ( Murwani, 2007 ) komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah :
a. Saling mengasuh; cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling mendukung antar anggota keluarga, mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari anggota yang lain. Maka, kemampuannya untuk memberikan kasih sayang akan meningkat, yang pada akhirnya tercipta hubungan yang hangat dan saling mendukung. Hubungan intim di dalam keluarga merupakan modal dasar dalam memberi hubungan dengan orang lain diluar keluarga/masyarakat.
b. Saling menghargai. Bila anggota keluarga saling menghargai dan mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga serta selalu mempertahankan iklim yang positif, maka fungsi afektif akan tercapai.
c. Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan sepakat memulai hidup baru. Ikatan antar anggota keluarga dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua harus mengembangkan proses identifikasi yang positif sehingga anak-anak dapat meniru tingkah laku yang positif dari kedua orang tuanya.
2. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu, yang menghasilkan interaksi sosial. Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir.
Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi.
Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi.
Anggota keluarga belajar disiplin, belajar norma-norma, budaya, dan perilaku melalui hubungan dan interaksi keluarga.
3. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber daya manusia.Maka dengan ikatan suatu perkawinan yang sah, selain untuk memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan tujuan untuk membentuk keluarga adalah untuk meneruskan keturunan.
4. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Banyak pasangan sekarang kita lihat dengan penghasilan tidak seimbang antara suami dan istri hal ini menjadikan permasalahan yang berujung pada perceraian.
5. Fungsi Perawatan atau Pemeliharaan Kesehatan
Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga.
Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.
2.2.3 Tugas Kesehatan Keluarga
Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut : (Friedman, 1998) 1. Mengenal masalah kesehatan
2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat 3. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
4. Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat
5. Mempertahankan hubungan dengan ( menggunakan ) fasilitas kesehatan masyarakat
2.2.4 Peran Keluarga dalam Pencegahan TB Paru
Peran keluarga dalam pencegahan penularan TB Paru sangatlah penting, karena salah satu tugas dari keluarga adalah melakukan perawatan bagi anggota keluarga yang sakit dan mencegah penularan pada anggota keluarga yang sehat (Ali, 2010).
Pencegahan penularan TB Paru yang dapat dilakukan oleh keluarga antara lain: (Azmi, 2013 dalam Nurimawati, 2018)
1. Menganjurkan penderita menutup mulut ketika batuk/bersin
Menurut Azmi (2013) untuk mencegah penyebaran bakteri TB keluarga dapat menganjurkan penderita untuk melakukan etika batuk secara benar yaitu dengan cara: sedikit berpaling dari orang yang ada disekitar dan tutup hidung, mulut dengan menggunakan tisu/sapu tangan setiap kali merasakan dorongan untuk batuk atau bersin. Membuang tissue yang sudah dipakai pada tempat sampah yang sebelumnya sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik. Cuci tangan di kamar kecil terdekat atau menggunakan gel pembersih
tangan. Gunakan masker, masker yang telah dipakai, dimasukkan ke dalam plastik sebelum membuangnya.
2. Upaya penyediaan tempat khusus meludah/membuang dahak Menurut Azmi (2013) berikut cara membuang dahak:
a. Siapkan tempat pembuangan dahak yaitu kaleng/pot tertutup berisi cairan desinfektan yang dicampur dengan air (air sabun/detergen, air bayclin, air lisol) atau pasir
b. Isi cairan sebanyak 1/3 kaleng, buang dahak ke tempat tersebut, bersihkan kaleng/pot tiap 2 atau 3 hari sekali
c. Buang isi kaleng/pot bila berisi pasir kubur di bawah tanah, bila berisi air desinfektan buang di lubang WC dan siram lalu bersihkan kaleng dengan sabun.
3. Membuka jendela pada pagi hari
Menurut Depkes (2008) salah satu langkah yang digunakan untuk pencegahan penularan TB Paru adalah mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya di dalam rumah. Sinar matahari yang kurang masuk dalam rumah berisiko terjadi penularan TB Paru pada anggota keluarga yang lain. Hal ini disebabkan sinar matahari yang masuk memberikan pencahayaan yang baik dalam rumah dan membunuh kuman tuberculosis yang berkembang dalam rumah.
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai.Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang luas maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,
missal basil TB, oleh karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup, intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya beberapa dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya (Sinaga, dkk, 2014) 4. Menjemur alat tidur setiap hari
Menurut Utari (2016) Perilaku yang dapat dilakukan keluarga penderita TB Paru dalam mematikan bakteri yaitu menjemur alat tidur secara teratur di pagi hari.
5. Mengingatkan penderita minum obat
Menurut WHO (2009) Tahun 1995 Indonesia mulai menerapkan kebijakan nasional pengendalian tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course chemotherapy). Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawas langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO atau Pengawas Minum Obat (Depkes, RI , 2007)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muniroh, dkk (2013) menunjukan peran Pengawas Minum Obat (PMO) yang baik sesuai dengan pemenuhan tugas berpengaruh pada meningkatnya kepatuhan penderita TB untuk mengkonsumsi obat dengan rutin, motivasi/dorongan orang lain dibutuhkan oleh penderita TB Paru untuk sembuh.
6. Menyediakan makanan bernutrisi
Pemberian diet tinggi kalori tinggi protein dapat diberikan kepada seseorang yang menderita penyakit TB Paru (Almatsier, 2006). Pemberian
makanan bernutrisi dengan diet tinggi kalori tinggi protein merupakan diet yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, formula komersial, telur, dan daging. Diet ini diberikan bila pasien telah mempunyai cukup nafsu makan dan dapat menerima makanan lengkap.Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Selain itu, pemberian diet ini juga untuk menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal (Almatsier, 2004)
Menurut Almatsier (2004) keadaan pasien dapat diberikan salah satu dari dua macam diet Energi Tinggi Protein seperti dibawah ini
a. Diet Energi Tinggi Protein Tinggi I (ETPT I)
Energi: 2600 kkal, Protein: 100 g (2g/kg BB) b. Diet Energi Tinggi Protein Tinggi II (ETPT II)
Energi: 3000 kkal, Protein: 125 g (2,5 g/kg BB)
Menurut Almatsier (2004) dalam bukunya yang berjudul penuntun diet, terdapat bahan makanan yang dapat dikonsumsi dan yang tidak dapat dikonsumsi bagi penderita.Bahan makanan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.7.
Tabel 2.7.Bahan Makanan yang Dianjurkan dan yang Tidak Dianjurkan
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak dianjurkan
Sumber karbohidrat Nasi; roti, mie, macaroni dan hasil olahan tepung-tepungan lain, seperti cake, tarcis,
pudding, dan pastry;
dodol;ubi;karbohidrat sederhana seperti gula pasir
Sumber protein Daging sapi, ayam, ikan, telur, susu, dan hasil olah seperti keju dan yoghurt custard dan es krim
Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental
Sumber protein nabati Semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahnya, seperti tempe, tahu, dan pindakas
Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental
Sayuran Semua jenis sayuran, terutama jenis B, seperti bayam, buncis, dan daun singkong, kacang panjang, labu siam, dan wortel direbus, dikukus dan ditumis
Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental
Buah-buahan Semua jenis buah segar, buah kaleng, buah kering, dan jus buah
Lemak dan minyak Minyak goreng, mentega margarine, santan encer, salad dressing
Santan kental
Minuman Soft drink, madu, si rup, the dan
kopi encer Minuman rendah energi
Bumbu Bumbu tidak tajam, seperti
bawang merah, bawang putih, laos, salam, dan kecap
Bumbu yang tajam seperti cabe dan merica
Tjokroprawiro (2012) menjelaskan dalam penentuan status gizi pada penderita TB Paru dapat dilakukan dengan menghitung Percentage of Relative Body Weight (RBW) atau BBR (Berat Badan Relatif) dengan rumus:
BB : Berat Badan (kg) TB : Tinggi Badan (cm) Kriteria
•Kurus (underweight) : BBR < 90%
•Normal (ideal) : BBR 90 – 110%
•Gemuk (overweight) : BBR > 110%
•Obesitas : BBR > 120%
BB
BBR = X 100%
TB-100
Penentuan status gizi selain dengan menghitung BBR dapat juga dihitung dengan rumus Indek Massa Tubuh (IMT).
BB : Berat Badan (kg) TB : Tinggi Badan (meter)
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT (Indeks Masa Tubuh) dapat dilihat pada tabel 2.8.
Tabel 2.8. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT menurut Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) 15 Mei 2004 & PERKENI-2006
No Klasifikasi Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) (Kg/M2 )
1 Kurus (Underweight) < 18,5
2 Normal 18,5 – 22,9
3 Gemuk (Overweight) ≥ 23
4 Resiko Obesitas (At Risk) 23 – 24,9
5 Obesitas I 25 – 29,9
6 Obesitas II ≥ 30
Pencegahan penularan TB Paru dapat dilakukan dengan memisahkan peralatan makan dan minum penderita (Novel, 2017).Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dipersepsikan dapat menyebabkan seseorang terkena TB adalah penggunaan alat makan dan minum secara bersama-sama, bekerja terlalu keras, terpapar udara dingin, merokok, serta faktor keturunan. Faktor tersebut dipercaya sebagai faktor yang dapat menyebabkan seseorang terkena TB (Legesse, dkk 2010 dalam Herawati, dkk 2013)
7. Menganjurkan anggota keluarga tidak merokok BB
IMT = (TB)2
Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) menunjukan bahwa mereka yang merokok (termasuk mereka yang masih merokok dan yang telah berhenti merokok) mempunyai risiko menderita TB 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Paparan tembakau baik secara aktif maupun pasif dapat meningkatkan risiko terkena sakit TB. Risiko terkena TB akan meningkat 9 kali lipat bila ada satu perokok dalam satu rumah (Kemenkes RI, 2013)
2.3 Konsep Pendidikan Kesehatan 2.3.1 Definisi Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan.Pendidikan kesehatan merupakan suatu kegiatan untuk memberikan atau meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Konsep dasar pendidikan merupakan suatu proses belajar. Hal ini berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat, dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah kesehatan menjadi mampu mengatasi masalah kesehatan. Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup di dalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang lebih dewasa, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
2.3.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan
menurut Maulana (2009) rumusan tujuan pendidikan kesehatan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat oleh sebab itu, pendidikan kesehatan bertanggung jawab mengarahkan cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup masyarakat sehari–hari.
2. Mendorong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.
3. Mendorong penggunaan dan pengembangan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Mubarak (2007) menjelaskan bahwa tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu :
1. Menetapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri.
2. Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar.
3. Menurut Ida Bagus dan Tjitarsa (1992) dalam Mubarak (2007) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan kesehatan yakni untuk memutuskan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat.
2.3.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan masyarakat dapat dilihat dari tiga dimensi (Soekidjo Notoatmodjo, 1993 dalam Ali, H. Zaidin, 2010).
1. Dimensi Sasaran
a. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok masyarakat tertentu
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas 2. Dimensi Tempat Pelaksanaan
a. Pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sasaran pasien dan keluarga b. Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran pelajar
c. Pendidikan kesehatan di masyarakat atau tempat kerja dengan sasaran masyarakat atau pekerja
3. Dimensi Tingkat Pelayanan Kesehatan
a. Pendidikan kesehatan promosi kesehatan (Health Promotion), misalnya peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan, gaya hidup dan sebagainya
b. Pendidikan kesehatan untuk perlindungan khusus (Specific Protection), misalnya imunisasi
c. Pendidikan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment), misalnya pengenalan gejala dini penyakit melalui pendidikan kesehatan.
d. Pendidikan kesehatan untuk pembatasan cacat (Disability Limitation), misalnya dengan pengobatan yang layak dan sempurna dapat menghindari dari resiko kecacatan
e. Pendidikan kesehatan untuk rehabilitasi (Rehabilitation), misalnya dengan memulihkan kondisi cacat melalui latihan-latihan tertentu
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Kesehatan
Saragih (2010) menjelaskan ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pendidikan kesehatan dapat mencapai sasaran antara lain:
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang menerima informasi yang didapatnya.
2. Tingkat Sosial Ekonomi
Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin mudah pula dalam menerima informasi baru.
3. Adat Istiadat
Masyarakat kita masih sangat menghargai dan menganggap adat istiadat sebagai sesuatu yang tidak boleh diabaikan.
4. Kepercayaan Masyarakat
Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh orang- orang yang sudah mereka kenal, karena sudah ada kepercayaan masyarakat dengan penyampai informasi
5. Ketersediaan waktu di masyarakat
Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat aktivitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat dalam penyuluhan.
2.3.5 Metode Pendidikan Kesehatan
Menurut Notoatmojo (2012), berdasarkan pendekatan sasaran yang ingin dicapai, penggolongan metode pendidikan ada 3 (tiga) yaitu:
1. Metode berdasarkan pendekatan perorangan
Metode ini bersifat individual dan biasanya digunakan untuk membina perilaku baru, atau membina seorang yang mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau inovasi.Dasar digunakannya pendekatan individual ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut.Ada 2 bentuk pendekatannya yaitu Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and Counseling) dan Wawancara.
2. Metode berdasarkan pendekatan kelompok
Penyuluh berhubungan dengan sasaran secara kelompok. Dalam penyampaian promosi kesehatan dengan metode ini kita perlu mempertimbangkan besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran. Ada 2 jenis tergantung besarnya kelompok, yaitu :
a. Kelompok besar b. Kelompok kecil
3. Metode berdasarkan pendekatan massa
Metode pendekatan massa ini cocok untuk mengkomunikasikan pesan- pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat. Sehingga sasaran dari metode ini bersifat umum, dalam arti tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya, sehingga pesan-pesan kesehatan yang ingin disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa.
2.4 Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Kemampuan Keluarga dalam Pencegahan TB Paru
Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dan batasan ini tersirat unsure-unsur input (sasaran dan pendidik dari pendidikan), proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain) dan output (melakukan apa yang diharapkan). Hasil yang diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran dari promosi kesehatan. (Notoatmodjo, 2012)
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan dapat mempengaruhi dan atau mengajak orang lain, baik individu, kelompok, maupun masyarakat untuk melaksanakan perilaku sehat.Menurut Rahman (2014) dari hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peran keluarga dalam merawat pasien tb paru di wilayah kerja puskesmas rambipuji kabupaten jember didapatkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan peran keluarga dalam merawat pasien dengan TB paru.
Novrianda, dkk (2015) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya mengenai efektivitas pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan kemampuan ibu merawat balita ISPA di Puskesmas Padang Pasir dan Pauh didapatkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan ibu dalam merawat balita ISPA dipengaruhi oleh penggunaan metode dalam memberikan pendidikan kesehatan. Pemberian booklet setelah dilakukan pendidikan kesehatan dapat memperdalam dan mengingat
kembali terhadap materi pendidikan kesehatan yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga mendapatkan pengertian dan pengingatan yang lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Amin, dkk (2019) dalam penelitiannya tentang pengaruh edukasi keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan isolasi sosial didapatkan bahwa setelah diberikan tindakan berupa edukasi pada keluarga kemampuan keluarga semakin meningkat dari sebelumnya, pendidikan kesehatan yang diberikan menggunakan lembar balik.
Sesuai dengan teori perilaku kesehatan, bahwa pengetahuan dapat mendasari seseorang untuk bertindak melakukan pencegahan tuberculosis paru. Upaya dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap pencegahan penularan tuberculosis paru dilakukan melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan (Rahman, 2014)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti dapat disimpulkan bahwa pemberian pendidikan kesehatan dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan juga perilaku keluarga dalam melakukan perawatan anggota keluarga yang sakit.Hal tersebut juga dipengaruhi oleh metode serta media yang digunakan seperti booklet dan lembar balik.
2.5 Kerangka Konsep Konsep TB Paru 1. Pengertian TB Paru 2. Etiologi TB Paru 3. Tanda dan Gejala 4. Klasifikasi TB Paru 5. Diagnosa TB Paru 6. Patofisiologi TB Paru 7. Pathway
8. Penatalaksanaan TB Paru
9. Pencegahan Penularan TB Paru
Konsep Keluarga 1. Definisi keluarga 2. Fungsi keluarga 3. Tugas kesehatan
keluarga
Konsep Pendidikan Kesehatan
1. Definisi pendidikan kesehatan
2. Tujuan pendidikan kesehatan
3. Ruang lingkup pendidikan kesehatan 4. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pendidikan kesehatan 5. Metode pendidikan
kesehatan
Keterangan :
: Diteliti : Tidak Diteliti : Berhubungan
Cara pencegahan penularan TB Paru oleh keluarga:
1. Mengingatkan penderita cara batuk dan bersin yang benar
2. Menyediakan tempat khusus untuk membuang dahak 3. Memastikan sirkulasi dan ventilasi udara baik serta
menjemur alat tidur setiap hari 4. Mengingatkan penderita minum obat 5. Menyediakan makanan bernutrisi
Keluarga memiliki kemampuan dan pengetahuan cara pencegahan penularan penyakit TB Paru
pengaruh pendidikan kesehatan
Menggunakan metode wawancara dan obeservasi dengan media lembar balik dan leafleat