BAB AL-ADAB
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Tematik Dosen Pengampu :
Robitoh Widi Astuti
Disusun oleh : Kelompok 1
Aljulisfa Zamrudah (126301211001)
Muhammad Khoirun Nasir (126301213111)
JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
MARET 2023
HADITS KE-2
َلَفْسَأ َوُه ْنَم ىَلإإ اوُرُظْنا ) ملسو هيلع ا ىلص إ ا َ ا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق هنع ا يضر َةَرْيَرُه يإبَأ ْنَعَو ( ْمُكْيَلَع إ ا َا َةَمْعإن اوُرَدْزَت َل ْنَأ ُرَد ْجَأ َوُهَف ,ْمُكَقْوَف َوُه ْنَم ىَلإإ اوُرُظْنَت َلَو ,ْمُكْنإم إهْيَلَع ٌقَفاتُم
1
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu karena hal itu lebih patut agar engkau sekalian tiak menganggap rendah nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.” Muttafaq Alaihi.
Makna hadits secara global
Hadis ini megajarkan kepada seorang muslim tentang sesuatu yang membuat hidupnya menjadi tenteram, bersyukur ke atas nikmat Allah, selamat daripada gangguan syaitan dan pintu-pintu kesedihan. Hadis ini mengajarkan kepada seseorang tentang cara memandang dunia, di mana dia dihendaki memandang orang yang lebih rendah daripada dirinya seperti melihat orang yang sakit, kemudian menatap kembali dirinya sendiri, memandang orang tuli, buta, bisu, dililit hutang dan difitnah, lalu lihat kembali dirinya yang masih diberi keselamatan dan kesihatan. Jika keadaan-keadaan itu sudah dilihat, barulah dia sedar betapa besar nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Dengan demikian, dia tidak berani menghina atau memandang remeh nikmat Allah yang selama ini dia rasakan dan ini akan membuat dirinya merasa tenang dan tenteram.
Makna Mufradat
"للفسأ "
orang yang nasibnya lebih malang.2" مكقوف "
di atas daripada kam dari keselesaan hidup." ردجأ "
lebih berhak dan lebih layak." اوردزت "
menghinakan dan meremehkan.Fiqh Al-Hadits
Hadis ini menghimbau untuk mensyukuri nikmat Allah (s.w.t) dengan cara melihat orang yang lebih rendah taraf kehidupannya.3
Kontekstualisasi
Hadits ini menganjurkan seorang hamba agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah Ta'ala. Maksud orang yang di bawahmu adalah dalam urusan dunia. Seperti melihat orang
1 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Bandung: Kementerian Sosial Republik Indonsia, BPBI, 2012), p. 530.
2 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Jilid Keempat), ed. by Ustazah Sabrina Bakri (IIUM) (Kuala lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), p. 431.
3 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 431.
yang menderita sakit, lalu ia bandingkan dengan dirinya yang masih diberi kesehatan.Ia perhatikan orang cacat seperti buta, tuli dan bisu, lalu ia lihat dirinya yang masih sempurna tidak ada satu cacat pun pada tubuhnya. Ia lihat kepada orang yang sangat cinta kepada dunia dan perhiasannya sehingga ia enggan memberikan hak-hak orang lain yang seharusnya wajib ia berikan. Dengan demikian ia mengetahui bahwa dirinya lebih baik dalam memberikan hak orang lain ketimbang orang tersebut. Ia juga mengetahui walau dirinya yang sederhana dan memiliki harta yang sedikit memiliki nilai lebih dibanding orang tersebut. Ia lihat orang yang tertimpa kefakiran dan menderita hutang selilit pinggang, sehingga ia mengetahui bahwa dirinya terlepas dari dua perkara tersebut dan dapat merasakan kenikmatan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada dirinya. Betapapun besar cobaan dunia, baik cobaan itu berupa kesenangan maupun kesengsaraan, tidak ada satu cobaan pun kecuali ada orang yang menderita cobaan yang lebih berat dari pada cobaan yang ia derita. Dengan demikian ia dapat menghibur dirinya dan lebih bersyukur kepada Allah karena ia tidak menderita seberat penderitaan yang dialami oleh orang lain.4
Dalam urusan keagamaan ia harus melihat ke atas, yaitu kepada orang yang memiliki kualitas agama yang lebih tinggi. Dengan demikian ia tahu betapa dirinya masih belum sungguh-sungguh dalam melaksanakan agamanya.
Cara memandang yang pertama akan menimbulkan rasa syukur kepada Allah Ta'ala dan cara memandang yang kedua dapat menimbulkan perasaan malu kepada Allah sehingga membukakan kembali pintu taubat dan penyesalan atas maksiat yang telah ia lakukan. Yang pertama menimbulkan perasaan puas terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya dan yang kedua menimbulkan perasaan malu di hadapan Allah.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah Shallsllahu Alaihi wa Sallam bersabda,
ُهْنإم َلَفْسَأ َوُه ْنَم ىَلإإ ْرُظْنَيْلَف إقْلَخْلاَو إلاَمْلا يإف إهْيَلَع َلِضُف ْنَم ىَلإإ ْمُكُدَحَأ َرَظَن اَذإإ
"Apabila salah seorang di antara kalian melihat seornng yang memiliki harta dan anak lebih banyak dari pada dirinya, maka lihatlah kepada orang yang ada di bawahnya"5
HADITS KE-3
؟ إمْثإ ْلاَو ِرإبْلَا ْنَع ملسو هيلع ا ىلص إ ا َا َلوُسَر ُتْلَأَس :َلاَق هنع ا يضر َناَعْمَس إنْب إسااوَنلَا ْنَعَو ( ُساانلَا إهْيَلَع َعإلاطَي ْنَأ َتْهإرَكَو ,َكإرْدَص يإف َكاَح اَم ُمْثإ ْلاَو ,إقُلُخْلَا ُنْسُح ّرإبْلَا ) :َلاَقَف
ٌمإلْسُم ُه َجَر ْخَأ
6
4 Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam : Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2019), pp. 993-994.
5 Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihim (Jakarta: Ummul Qur’an, 2015), p.
316.
6 Ibnu Hajar Al-Asqalani, p. 530.
Dari An-Nawwas bin Sam’an radiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, Beliau bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah apa yang terlintas di jiwamu tetapi kamu benci/takut diketahui oleh orang lain”, diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Makna hadits secara global
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menginformasikan kepada kita bahwa kebaikan adalah merupakan bagian dari akhlak yang baik yang dapat diketahui melalui hati nurani kita sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyarankan kepada kita agar kita minta ‘fatwa’ kepada hati nurani kita ketika terjadi perkara yang samar-samar karena sesungguhnya kebaikan itu adalah kebalikan dari dosa tersebut yaitu apa yang membuat jiwa/hati nurani tenang dan tentram kepadanya.
Artinya apabila jiwa/hati nurani kita tidak menolaknya begitu pertama kali ingin kita lakukan dan tidak ragu-ragu atau merasa takut untuk diketahui oleh orang lain alias tidak sembunyi-sembunyi melakukannya maka itu merupakan tanda bahwa hal tersebut adalah baik.
Begitu pula sebaliknya, apabila begitu pertama kali ingin kita lakukan terasa was- was dan kita dalam melakukannya, takut diketahui oleh orang lain atau timbul keraguan untuk melakukannya (seperti dalam riwayat yang lain) maka itu pertanda bahwa apa yang kita akan lakukan itu adalah dosa.
Makna Mufradat
" ّرإبْلَا"
kebajikan. Inilah yang dapat difahami dari hadis Rasulullah (s.a.w) tersebut, namun ia memerlukan huraian yang panjang. Al-Nawawi berkata: "Menurut ulama, kebajikan di sini bermaksud silaturrahim, sedekah, pergaulan yang baik atau amal ibadah. Jadi, kebaikan di sini merangkumi setiap amalan yang baik.7Dalam kaitan ini, Allah (s.w.t) berfirman :
ٌميإلَع ۦإهإب َ الٱ انإإَف ٍء ْىَش نإم ۟اوُقإفنُت اَمَو ۚ َنوّبإحُت اامإم ۟اوُقإفنُت ٰىات َح ارإبْلٱ ۟اوُلاَنَت نَل
"Kamu tidak sekali-kali akan dapat mencapai (hakikat) kebajikan dan kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu dermakan sebahagian dari apa yang kamu sayangi. Dan sesuatu apa jua yang kamu dermakan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." ( Surah Ali ‘Imran : 92 )8
7 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 432.
8 Al-Hafiz Abdul Aziz Abdul Rauf Lc., Al-Qur’an Hafalan Mudah Al-Hufaz, ed. by Cii Cordoba (Bandung, 2021), p. 62.
Menurut Ibn Mas'ud, Ibn Abbas dan tabi'in, kebajikan adalah syurga. Ada pula yang mengatakan kebajikan ialah amal soleh dengan berlandaskan kepada hadis berikut:
ريلا ىلإإ ىإدْهَي ُهانإإَف إحإلااصلا إلمعلاب مكيلع
"Hendaklah kamu melakukan amal soleh, kerana ia memberimu petunjuk menuju kebajikan."
Menurut 'Athiyyah al-'Awfi pula kebajikan ialah amal ibadah. Menurut Atha', kebajikan ialah kemuliaan dalam beragama dan ketaqwaan. Menurut al-Qadhi 'Iyadh, berakhlak mulia adalah bergaul dengan orang lain dengan cara baik, menyayangi mereka, menghulurkan bantuan kepada mereka, sabar menghadapi tingkah laku mereka, tidak sombong dan tidak pula bersikap kasar.
Ada pula yang mengatakan kebajikan ialah akhlak yang mulia. Rasulullah (s.a.w) mentakrifkan akhlak yang mulia sebagai berwajah ceria, tidak mengganggu orang lain dan menyebarkan salam.
"مثلا"
dosa, Rasulullah (s.a.w) mentakrifkan kejahatan sebagai lawan kebajikan."كاح"
terlintas, menggerakkan dua bahu dan badannya ketika berjalan. Ibn al-Atsir mengatakan maksud perkataan ini ialah kotoran bagi sesuatu, yakni nafsu.Ada pula yang mengatakan perkataan ini bermaksud sesuatu yang pergi dan datang di dalam hati, di mana manusia tidak dapat mengabaikanya walau denga apa jua sekalipun.
Fiqh Al-Hadits
1. Hendaklah umat Islam gemar beramal kebajikan dan meninggalkan kejahatan, bahkan meninggalkan perkara yang dianggap orang lain masih diragui sama ada halal atau sebaliknya. Dalam kaitan ini, Rasulullah (s.a.w) bersabda:
َكُبيإرُي َل اَم ىَلإإ َكُبيإرُي اَم عد
"Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukanmu."
2. Manusia itu secara semula jadi menyukai kebajikan dan bencikan kejahatan, tetapi, syaitan yang membuat manusia itu menjauhi fitrahnya.9
Kontekstualisasi
An-Nawawi Rahimahullah berkata, "Para ulama mengatakan bahwa kebaikan disini dapat diartikan sebagai menghubungkan tali silaturahmi, jujur, lembut, bersikap baik, bergaul dengan cara yang baik dan dapat diartikan juga dengan ketaatan."10
9 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 433.
10 Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, p. 995.
Iyadh berkata bahwa kebaikan itu adalah berakhlak mulia terhadap orang lain, mencintai dan menyayangi mereka, membantu dan sabar atas gangguan mereka, tidak bersikap sombong dan tidak menganiaya mereka, menghindari sikap kasar, marah dan memaafkan mereka.
Dikisahkan bahwa para ulama berselisih pendapat apakah hal itu berkaitan dengan watak atau memang suatu usaha untuk mewujud- kannya? Pendapat yang benar adalah ada yang merupakan watak dan ada juga yang berupa usaha untuk berakhlak baik dan menjadi tauladan buat orang lain.
Asy-Syarif berkata dalam kitab At-Ta'rifaat, "Akhlak adalah tabi'at yang terpendam kuat sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang mulia yang dilakukan dengan mudah tanpa perlu berfikir dan tidak membutuhkan dalil."
Ada yang mengatakan bahwa akhlak mulia terkumpul pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam:
قلخلا نسح فورعملا لدبو ىذلا فكو هجولا ةقلط.
"Menunjukkan wajah yang berseri, menahan diri agar tidak menyinggung orang lain dan berusaha berbuat baik merupakan akhlak yang mulia."
Sabda beliau, "Sesuatu yang mengganjal dalam hatimu dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya." Yakni terlintas dalam benakmu perasaan ragu untuk melakukan atau meninggalkannya. Hati tidak tenang karena khawatir akan mendapat celaan dari Allah Ta'ala atau dari orang lain. Hati tidak tenang melakukannya karena hal itu perbuatan dosa.
Jika demikian, ketahuilah, bahwa sudah sepatutnya untuk meninggalkan perkara yang masih diragukan antara boleh dan tidaknya (syubhat). Yang semakna dengan perkara ini adalah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam:
كبيري ل اَم ىَلإإ َكإتايإرُي اَم ْعَد
"Tinggalkan apa yang engkau ragukan dan kerjakan apa yang engkau tidak ragu."11
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan, cucu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam.
Hadits ini juga membuktikan bahwa Allah Ta'ala telah menanamkan fitrah pada diri seseorang sehingga dapat membedakan perkara yang tidak halal dan yang tercela untuk dilakukan.
HADITS KE-4
11 Imam Muhyiddin An-Nawawi, Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Solo: Pustaka Arafah, 2006), p. 38.
ى َجاَنَتَي َلَف ,ًةَث َلَث ْمُتْنُك اَذإإ ) ملسو هيلع ا ىلص إ ا َا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق هنع ا يضر ٍدوُعْسَم إنْبإا ْنَعَو ( ُهُنإز ْحُي َكإلَذ انَأ إل ْجَأ ْنإم إساانلاإب اوُطإلَت ْخَت ىاتَح ,إرَخ ْلَا َنوُد إناَنْثإا
ٍمإلْسُمإل ُظْفاللاَو ,إهْيَلَع ٌقَفاتُم
12
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila engkau bertiga maka janganlah dua orang berbisik tanpa menghiraukan yang lain, hingga engkau bergaul dengan manusia, karena yang demikian itu membuatnya susah.” Muttafaq ‘Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.
Makna hadits secara global
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila ada tiga orang maka yang dua dilarang untuk berbisik tanpa mengikut sertakan yang ketiga. Namun apabila mereka lebih dari tiga orang maka tidak mengapa kalau yang dua berbisik, karena pada kondisi seperti ini tidak ada lagi alasan untuk tidak dibolehkannya. Yaitu akan timbul perasaan sedih karena terasing sendirian dan memberi kesan bahwa ia tidak layak untuk mendengar rahasia tersebut atau mungkin timbul pra sangka bahwa dirinyalah yang sedang dibicarakan. Jadi apabila mereka berempat maka hal-hal seperti ini dapat dihindari dan dua orang dari mereka tidak terlarang berbisik karena alasan larangannya sudah tidak ada.
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa hukum larangan tersebut bersifat umum, baik ketika mukim (menetap) maupun di saat musafir (dalam perjalanan). Demikianlah pendapat Ibnu lJmar, Malik dan jumhur ulama. Sebagian mereka ada yang mengklaim bahwa hadits ini sudah mansukh, hanya saja tidak ada dalil yang membuktikan klaim tersebut.
Adapun ayat yang tertera dalam surat Al-Mujadilah adalah larangan yang ditujukan kepada orang yahudi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Humaid dan Ibnul Mundzir dari Mujahid tentang firman Allah Ta'ala:
"Apakah tidak kamu perhatikan orang-zrang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia." (QS. Al-Mujadilah: 8)
Mereka berkata, "Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi." Diriwayatfcan oleh Abu Hatim dari Muqatil binHibban, ia berkata, "Pernah terjadi perjanjian damai antara orang Yahudi dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika ada shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaIIam yang melintas, mereka duduk dan saling berbisik di antara mereka, sehingga seorang mukmin mengira bahwa mereka berencana untuk membunuhnya atau melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Apabila seorang mukmin melihat mereka, muncul perasaan khawatir dan melintas dari jalan lain hingga akhirnya Nabi Shallsllahu Alaihi wa Sallam melarang orang-orang Yahudi untuk berbisik-bisik. Namun orang-orang
12 Ibnu Hajar Al-Asqalani, p. 531.
Yahudi tidak mengindahkan larangan Nabi Shallallahu Alaihiwa Sallam tersebut hingga turunlah firman Allah Ta'ala: "Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia." (QS. Al-Mujadilah: 8)
Makna Mufradat
" ىجانتي "
musyawarah dan berbisik-bisik. Makna kedua lebih tepat dengan maksud hadis ini.Kontekstualisasi
Dilarang bercakap antara dua orang dengan mengabaikan satu orang teman mereka supaya tidak mengikuti percakapan itu sedangkan mereka terdiri daripada tiga orang. Jika jumlah mereka melebihi tiga orang, maka itu tidak ada salahnya. Jumhur ulama berpendapat larangan ini tetap berlaku sama ada ketika dalam perjalanan ataupun ketika bermukim.13
HADITS KE-5
ْنإكَلَو ،إهيإف ُسإل ْجَي امُث ،إهإسإل ْجَت ْنإم َلُجارلا ُلُجارلا ُميإقُي َل» : إ اا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق نم َرَمُع إنْبا إنَعَو ﷺ إهْيَلَع ٌقَفاتُم «اوُعَسَوَتَو اوُحاسَفَت
.Daripada Ibn Umar (r.a), beliau berkata: Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Janganlah seorang lelaki di antara kamu merebut tempat duduk orang lain, tetapi duduklah secara berjarak dan berilah tempat bagi orang lain untuk turut sama duduk.” (Mu�afaq ‘alaih: 1471).
Makna Hadits
Dalam Sahih Muslim ada satu hadis marfu’ yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah bahawa Rasulullah (s.a.w) bersabda:
“Barangsiapa berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian Kembali semula ke tempat itu, maka dia lebih berhak ke atas tempat duduknya itu.” Ini bagi orang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian kembali semula ke tempat duduknya itu, lalu bagaimana pula dengan orang yang masih duduk di tempat duduknya itu. Jadi, seseorang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian ada orang lain duduk di tempat itu maka orang itu dianggap mengambil hak duduk orang lain. Hadis ini mengajarkan supaya kita menghindari sesuatu yang mengakibatkan kita mengambil hak duduk orang lain, sebaliknya kita digalakkan meluaskan tempat duduk dan merenggangkannya supaya orang lain dapat duduk dengan selesa.(ibanatul ahkam hal 434)
Analisis Lafadz
13 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 434.
“ميقيل“di dalam Sahih Muslim, lafaznya berbunyi: “ menggunakan ,”نميقي ل kalimat larangan yang lebih ketat. Dengan demikian, larangan ini bermaksud haram.
“سل هيف“, duduk di tempat itu, yakni orang yang berdiri sebelumnya.“اوحسفت“, berjauhan dan meluaskan tempat sehingga kelihatan tempat duduk di antara kamu.
Kontekstualisasi
Barangsiapa lebih dahulu mendapat tempat sama ada di masjid ataupun di tempat lain, maka dialah yang paling berhak ke atas tempat itu sedangkan orang lain diharamkan merebut tempat itu daripadanya, kecuali jika tempat yang ditemukannya itu sudah ada orang lain yang lebih dahulu bertempat, lalu dia pergi dan tidak lama kemudian kembali lagi.
Maka, di sini orang lain itulah yang lebih berhak ke atas tempat itu dan dia berhak mengusir orang yang duduk di tempatnya. .(ibanatul ahkam hal 435)
HADITS KE-6
ْوأأ ،اأهأقأعْلأي ىّتأح ،ُهأدأي ْحأسْمأي ألأف ،اًماأعأط : ْمُكُدأحأأ ألأكأأ اأذإإ» : إ ّا ُلوُسأر ألاأق :ألاأق نإم ٍساّبأع إنْبا إنأعأو ﷺ إهْيألأع ٌقأفّتُم اأهأقإعْلُي
Daripada Ibn ‘Abbas (r.a), beliau berkata: Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu selesai makan, maka janganlah disapu tanganya sebelum menjilat tangan itu atau mengambil makanan yang jatuh lalu memakannya.” (Mu�afaq ‘alaih: 1472).
Makna Hadits
Dalam Sahih Muslim ada hadis marfu’ yang menegaskan bahawa sesungguhnya kamu tidak tahu mana makanan yang mengandungi keberkatan. Jadi, makruh membuang makanan kerana dikhuatiri makanan itulah yang mengandungi keberkatan. Jika makanan itu jatuh dari mulutnya, maka hendaklah dia tetap mengambilnya lalu dibersihkan dan kemudian makanlah. Inilah akhlak Rasulullah (s.a.w) terhadap makanan. Inilah alasan pertama mengapa kit tidak boleh membuang atau menyia-nyiakan makanan sedangkan alasan kedua adalah Allah (s.w.t) menyuruh kita mensyukuri nikmat-Nya dan Tindakan menyia-nyaikan sesuatu yang dikatakan nikmat Allah tidak disebut sebagai mensyukuri nikmat-Nya. .(ibanatul ahkam hal 435)
Analisis Lafadz
“ اأهأقإعْلُي ْوأأ ،اأهأقأعْلأي ” menjilat atau memakan sesuatu yang sudah jatuh.
Kontekstualisasi
Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak mencuci tangan setelah makan dan boleh juga dengan cara mengelapnya. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya untuk menjilati jari sendiri atau dijilat oleh orang lain. Alasannya, karena ia tidak tahu dimana letak keberkahan pada makanan tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa SaIIam memerintahkan agar menjilat jari dan nampan tempat makary lantas beliau bersabda,(subulussalam hal 770)
"Kalian tidok tahu dimana letak keberkahannya."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaIIam juga menyuruh untuk memungut makanan yang terjatuh, membersihkan dan memakannya. Di dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda.
"Jika makanan salah seorang dari kamu jatuh maka hendaklah ia membuang kotoran yang menempel padanya (Ialu makanlah) janganlah ia membiarkannya dimakan oleh s etan. "
Menurut zhahir hadits, perintah beliau untuk menjilat jari atau menyuruh orang lain untuk menjilatnya dan perintah untuk menjilat nampan tempat makan hukumnya adalah wajib. Demikian pendapat Abu Muhammad bin Hazm, ia berkata, "Hukumnya adalah wajib."
Berkah adalah pertumbuhan, pertambahan dan kebaikan. Maksudnya makanan yang dikonsumsi tidak menimbulkan gangguan pada dirinya dan dapat memperkuat dirinya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Boleh jadi keberkahan ini didapatkan pada makanan yang masih menempel pada jari tangan atau pada tempat makan atau pada makanan yang terjatuh. Alasan lain mengapa makanan yang jatuh harus dipungut dan dimakan ialah agar tidak dimakan oleh setan.
Yang dimaksud dengan sabda beliau: tangannya yaitu jemari yang tiga.
Sebagaimana yang diriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam makan dengan tiga jari, tidak dengan empat atau lima jari. Kecuali jika hal itu dibutuhkan. Seperti ketika menyantap makan yang tidak bergumpal dan lain-lain.
Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur bahwasanya apabila Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam makan, beliau menggunakan lima jari.
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang meminta orang lain untuk menjilat jarinya, seperti isteri, pembantu, anak dan lainlain. Jika makanan yang jatuh itu terkena najis maka makanan tersebut dibersihkan dari najis yang menempel padanya. Jika tidak mungkin untuk dibersihkan maka hendaklah ia memberikan makanan tersebut kepada hewan. Jangan sampai ia membiarkannya dimakan oleh setan. An-Nawawi berpendapat boleh memberikan makanan yang bernajis kepada hewan. Dan menurut beliau, hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama salaf dan khalaf sebagaimana yang pernah disinggung. , (subulussalam hal 771)
Kesimpulan
Dalam hadits diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Hadits yang ke-2 menyimpulkan bahwa hadis ini megajarkan kepada seorang muslim tentang sesuatu yang membuat hidupnya menjadi tenteram, bersyukur ke atas nikmat Allah, selamat daripada gangguan syaitan dan pintu-pintu kesedihan.
Hadits yang ke-3 menyimpulkan bahwa kebaikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang terdetik di dalam hati/jiwa sedangkan pelakunya takut/benci diketahui oleh orang lain. Dalam menghadapi hal yang masih samar dan meragukan, kita dianjurkan untuk merujuk/meminta “fatwa” hati nurani dan hal ini bagi orang Mukmin yang dilapangkan hati/dadanya oleh Allah sangat mudah dilakukan olehnya sehingga mereka jarang terkelabui dalam membedakan antara hak dan bathil. Makna
" ّرإبْلَا"
sangat luas cakupannya begitu juga makna"مثلا"
dan masing-masing sudah memiliki karakteristik tersendiri yang dapat diidentifikasi. Hadits yang ke-4 apabila ada tiga orang maka yang dua dilarang untuk berbisik tanpa mengikut sertakan yang ketiga. Namun apabila mereka lebih dari tiga orang maka tidak mengapa kalau yang dua berbisik, karena pada kondisi seperti ini tidak ada lagi alasan untuk tidak dibolehkannya.
Hadits yang ke-5 menyimpulkan seseorang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian ada orang lain duduk di tempat itu maka orang itu dianggap mengambil hak duduk orang lain.
Hadits yang ke-6 bolehnya tidak mencuci tangan setelah makan dan boleh juga dengan cara mengelapnya, juga menunjukkan wajibnya untuk menjilati jari sendiri
atau dijilat oleh orang lain. Alasannya, karena ia tidak tahu dimana letak keberkahan pada makanan tersebut.
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Abdul Rauf Lc., Al-Hafiz, Al-Qur’an Hafalan Mudah Al-Hufaz, ed. by Cii Cordoba (Bandung, 2021)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Bandung: Kementerian Sosial Republik Indonsia, BPBI, 2012)
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Solo: Pustaka Arafah, 2006)
Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam : Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2019)
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihim (Jakarta: Ummul Qur’an, 2015)
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Jilid Keempat), ed. by Ustazah Sabrina Bakri (IIUM) (Kuala lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010)