BAB AL-ADAB (1-8) MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Hadits Tematik”
Dosen Pengampu : Robitoh Widi Astuti M.Hum
Disusun oleh : Kelompok 1
Aljulisfa Zamrudah (126301211001)
Muhammad Khoirun Nasir (126301213111)
KELAS IAT 5A
JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2023
HADITS KE-2
َلَفْسَأ َوُه ْنَم ىَلإإ اوُرُظْنا ) ملسو هيلع ا ىلص إ ا َ ا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق هنع ا يضر َةَرْيَرُه يإبَأ ْنَعَو ( ْمُكْيَلَع إ ا َا َةَمْعإن اوُرَدْزَت َل ْنَأ ُرَد ْجَأ َوُهَف ,ْمُكَقْوَف َوُه ْنَم ىَلإإ اوُرُظْنَت َلَو ,ْمُكْنإم إهْيَلَع ٌقَفاتُم
1
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu karena hal itu lebih patut agar engkau sekalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”
(Muttafaq Alaihi : 1468).
Makna hadits secara global
Hadis ini mengajarkan kepada seorang muslim tentang sesuatu yang membuat hidupnya menjadi tenteram, bersyukur ke atas nikmat Allah, selamat daripada gangguan syaitan dan pintu-pintu kesedihan. Hadis ini mengajarkan kepada seseorang tentang cara memandang dunia, di mana dia dihendaki memandang orang yang lebih rendah daripada dirinya seperti melihat orang yang sakit, kemudian menatap kembali dirinya sendiri, memandang orang tuli, buta, bisu, dililit hutang dan difitnah, lalu lihat kembali dirinya yang masih diberi keselamatan dan kesehatan. Jika keadaan-keadaan itu sudah dilihat, barulah dia sedar betapa besar nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Dengan demikian, dia tidak berani menghina atau memandang remeh nikmat Allah yang selama ini dia rasakan dan ini akan membuat dirinya merasa tenang dan tenteram.
Makna Mufradat
"لفسأ "
orang yang nasibnya lebih malang.2" مكقوف "
lebih rendah daripada dirinya." ردجأ "
lebih berhak dan lebih layak." اوردزت "
menghinakan dan meremehkan.1 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Bandung: Kementerian Sosial Republik Indonsia, BPBI, 2012), p. 530.
2 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Jilid Keempat), ed. by Ustazah Sabrina Bakri (IIUM) (Kuala lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), p. 431.
Fiqh Al-Hadits
Hadis ini menghimbau untuk mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara melihat orang yang lebih rendah taraf kehidupannya.3
Kontekstualisasi
Hadits ini menganjurkan kita agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah Ta'ala.
Maksud orang yang di bawahmu adalah dalam urusan dunia. Seperti ketika kita melihat teman yang sedang menderita sakit, lalu kita bandingkan dengan diri kita sendiri yang masih diberi kesehatan. Kemudian ketika kita melihat orang yang cacat seperti buta, tuli dan bisu, lalu kita melihat diri kita sendiri yang masih sempurna tidak ada satu cacat pun pada tubuh kita. Dan ketika kita melihat orang yang tertimpa kefakiran dan menderita hutang selilit pinggang, sehingga kita mengetahui bahwa diri kita sendiri terlepas dari dua perkara tersebut dan dapat merasakan kenikmatan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada diri kita. Berapapun besar cobaan di dunia, baik cobaan itu berupa kesenangan maupun kesengsaraan, tidak ada satu cobaan pun kecuali ada orang yang menderita cobaan yang lebih berat dari pada cobaan yang kita derita. Dengan demikian kita dapat menghibur diri kita sendiri dan lebih bersyukur kepada Allah karena kita tidak menderita seberat penderitaan yang dialami oleh orang lain.
Dalam urusan keagamaan kita harus melihat ke atas, yaitu kepada orang yang memiliki kualitas agama yang lebih tinggi. Dengan demikian kita tahu betapa diri kita masih belum sungguh-sungguh dalam melaksanakan agamanya.
Cara memandang yang pertama akan menimbulkan rasa syukur kepada Allah Ta'ala dan cara memandang yang kedua dapat menimbulkan perasaan malu kepada Allah sehingga membukakan kembali pintu taubat dan penyesalan atas maksiat yang telah kita lakukan.
Yang pertama menimbulkan perasaan puas terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada diri kita dan yang kedua menimbulkan perasaan malu di hadapan Allah.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah Shallsllahu Alaihi wa Sallam bersabda,
ُهْنإم َلَفْسَأ َوُه ْنَم ىَلإإ ْرُظْنَيْلَف إقْلَخْلاَو إلاَمْلا يإف إهْيَلَع َلِضُف ْنَم ىَلإإ ْمُكُدَحَأ َرَظَن اَذإإ
3 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 431.
"Apabila salah seorang di antara kalian melihat seorang yang memiliki harta dan anak lebih banyak dari pada dirinya, maka lihatlah kepada orang yang ada di bawahnya"4
HADITS KE-3
؟ إمْثإ ْلاَو ِرإبْلَا ْنَع ملسو هيلع ا ىلص إ ا َا َلوُسَر ُتْلَأَس :َلاَق هنع ا يضر َناَعْمَس إنْب إسااوَنلَا ْنَعَو ( ُساانلَا إهْيَلَع َعإلاطَي ْنَأ َتْهإرَكَو ,َكإرْدَص يإف َكاَح اَم ُمْثإ ْلاَو ,إقُلُخْلَا ُنْسُح ّرإبْلَا ) :َلاَقَف
ٌمإلْسُم ُه َجَر ْخَأ
5
Dari An-Nawwas bin Sam’an radiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, Beliau bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah apa yang terlintas di jiwamu tetapi kamu benci/takut diketahui oleh orang lain” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim : 1469).
Makna hadits secara global
Nabi Muhammad SAW menginformasikan kepada kita bahwa kebaikan adalah merupakan bagian dari akhlak yang baik yang dapat diketahui melalui hati nurani kita sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain dimana Nabi Muhammad SAW menyarankan kepada kita agar kita minta “fatwa” kepada hati nurani kita ketika terjadi perkara yang samar-samar karena sesungguhnya kebaikan itu adalah kebalikan dari dosa tersebut yaitu apa yang membuat jiwa/hati nurani tenang dan tentram kepadanya. Artinya apabila jiwa/hati nurani kita tidak menolaknya begitu pertama kali ingin kita lakukan dan tidak ragu-ragu atau merasa takut untuk diketahui oleh orang lain alias tidak sembunyi- sembunyi melakukannya maka itu merupakan tanda bahwa hal tersebut adalah baik.
Begitu pula sebaliknya, apabila begitu pertama kali ingin kita lakukan terasa was- was dan kita dalam melakukannya, takut diketahui oleh orang lain atau timbul keraguan untuk melakukannya (seperti dalam riwayat yang lain) maka itu pertanda bahwa apa yang kita akan lakukan itu adalah dosa.
Makna Mufradat
4 Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihim (Jakarta: Ummul Qur’an, 2015), p.
316.
5 Ibnu Hajar Al-Asqalani, p. 530.
" ّرإبْلَا"
kebajikan. Inilah yang dapat dipahami dari hadis Rasulullah saw. tersebut, namun ia memerlukan uraian yang panjang. Al-Nawawi berkata: "Menurut ulama, kebajikan di sini bermaksud silaturahmi, sedekah, pergaulan yang baik atau amal ibadah. Jadi, kebaikan di sini merangkumi setiap amalan yang baik.6Dalam kaitan ini, Allah swt. berfirman :
ٌميإلَع ۦإهإب َ الٱ انإإَف ٍء ْىَش نإم ۟اوُقإفنُت اَمَو ۚ َنوّبإحُت اامإم ۟اوُقإفنُت ٰىات َح ارإبْلٱ ۟اوُلاَنَت نَل
"Kamu tidak sekali-kali akan dapat mencapai (hakikat) kebajikan dan kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu dermakan sebagian dari apa yang kamu sayangi. Dan sesuatu apa juga yang kamu dermakan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." ( Surah Ali
‘Imran : 92 )7
Menurut Ibn Mas'ud, Ibn Abbas dan tabi'in, kebajikan adalah surga. Ada pula yang mengatakan kebajikan ialah amal saleh dengan berlandaskan kepada hadis berikut:
ريلا ىلإإ ىإدْهَي ُهانإإَف إحإلااصلا إلمعلاب مكيلع
"Hendaklah kamu melakukan amal saleh, karena ia memberimu petunjuk menuju kebajikan."
Menurut 'Athiyyah al-'Awfi pula kebajikan ialah amal ibadah. Menurut Atha', kebajikan ialah kemuliaan dalam beragama dan ketakwaan. Menurut al-Qadhi 'Iyadh, berakhlak mulia adalah bergaul dengan orang lain dengan cara baik, menyayangi mereka, mengulurkan bantuan kepada mereka, sabar menghadapi tingkah laku mereka, tidak sombong dan tidak pula bersikap kasar.
Ada pula yang mengatakan kebajikan ialah akhlak yang mulia. Rasulullah SAW menakrifkan akhlak yang mulia sebagai berwajah ceria, tidak mengganggu orang lain dan menyebarkan salam.
"مثلا"
dosa, Rasulullah SAW menakrifkan kejahatan sebagai lawan kebajikan.6 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 432.
7 Al-Hafiz Abdul Aziz Abdul Rauf Lc., Al-Qur’an Hafalan Mudah Al-Hufaz, ed. by Cii Cordoba (Bandung, 2021), p. 62.
"كاح"
terlintas, menggerakkan dua bahu dan badannya ketika berjalan. Ibn al-Atsir mengatakan maksud perkataan ini ialah kotoran bagi sesuatu, yakni nafsu.Ada pula yang mengatakan perkataan ini bermaksud sesuatu yang pergi dan datang di dalam hati, di mana manusia tidak dapat mengabaikannya walau dengan apa jua sekalipun.
Fiqh Al-Hadits
1. Hendaklah umat Islam gemar beramal kebajikan dan meninggalkan kejahatan, bahkan meninggalkan perkara yang dianggap orang lain masih diragui sama ada halal atau sebaliknya. Dalam kaitan ini, Rasulullah saw. bersabda:
َكُبيإرُي َل اَم ىَلإإ َكُبيإرُي اَم عد
"Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu dan lakukanlah sesuatu yang tidak meragukanmu."
2. Manusia itu secara semula jadi menyukai kebajikan dan bencikan kejahatan, tetapi, syaitan yang membuat manusia itu menjauhi fitrahnya.8
Kontekstualisasi
Dalam hadits ini salah satu hal yang dapat kita ambil dari kehidupan kita sehari-hari, seperti melakukan sesuatau yang tidak meragukan semisal, ketika seseorang memastikan makanan atau minuman yang dikonsumsinya yaitu halal dan baik dari segi kualitasnya.
Maupun sebaliknya, ketika kita meninggalkan makanan atau minuman yang meragukan (syubhat) seperti yang tidak jelas status kehalalannya merupakan tindakan yang bijaksana dalam Islam. Yang semakna dengan perkara ini adalah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam:
كبيري ل اَم ىَلإإ َكإتايإرُي اَم ْعَد
8 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 433.
"Tinggalkan apa yang engkau ragukan dan kerjakan apa yang engkau tidak ragu."9
Jadi, menjaga agar makanan atau minuman yang dikonsumsi sesuai dengan aturan Islam merupakan contoh konkret tentang meninggalkan sesuatu yang meragukan dan melakukan sesuatu yang tidak meragukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan hadits ini juga membuktikan bahwa Allah Ta'ala telah menanamkan fitrah pada diri seseorang sehingga dapat membedakan perkara yang tidak halal dan yang tercela untuk dilakukan.
HADITS KE-4
ى َجاَنَتَي َلَف ,ًةَث َلَث ْمُتْنُك اَذإإ ) ملسو هيلع ا ىلص إ ا َا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق هنع ا يضر ٍدوُعْسَم إنْبإا ْنَعَو ( ُهُنإز ْحُي َكإلَذ انَأ إل ْجَأ ْنإم إساانلاإب اوُطإلَت ْخَت ىاتَح ,إرَخ ْلَا َنوُد إناَنْثإا
ٍمإلْسُمإل ُظْفاللاَو ,إهْيَلَع ٌقَفاتُم
10
Dari Ibnu Mas’ud r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila engkau bertiga maka janganlah dua orang berbisik tanpa menghiraukan yang lain, hingga engkau bergaul dengan manusia, karena yang demikian itu membuatnya susah.” (Muttafaq ‘Alaihi dan lafadznya di dalam Sahih Muslim : 1470).
Makna hadits secara global
Pada hadits ini melarang kepada suatu kumpulan yang terdiri daripada tiga orang, lalu satu orang daripada mereka tidak diajak berbicara sedangkan dua orang yang lain itu bercakap-cakap antara satu sama lain. Karena tindakan seumpama ini dapat membuat orang yang tidak diajak bercakap berkecil hati atau tersinggung. Islam datang untuk menjadikan manusia hidup saling mencintai dan saling membahagiakan, bukan malah yang sebaliknya.
Makna Mufradat
" ىجانتي "
musyawarah dan berbisik-bisik. Makna kedua lebih tepat dengan maksud hadisini.
Fiqh Al-Hadits
9 Imam Muhyiddin An-Nawawi, Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Solo: Pustaka Arafah, 2006), p. 38.
10 Ibnu Hajar Al-Asqalani, p. 531.
Dilarang bercakap antara dua orang dengan mengabaikan satu orang teman mereka supaya tidak mengikuti percakapan itu sedangkan mereka terdiri daripada tiga orang. Jika jumlah mereka melebihi tiga orang, maka itu tidak ada salahnya. Jumhur ulama berpendapat larangan ini tetap berlaku sama ada ketika dalam perjalanan ataupun ketika bermukim.11 Kontekstualisasi
Semisal ketika kita sedang berkumpul bersama yang terdiri dari 4 orang. Kemudian 3 orang tersebut ngobrol sendiri yang 1 orang tidak diajak ngobrol bersama, maka pembahasan ini juga termasuk dalam kategori hadits ini. Hal ini dilarang karena bisa menimbulkan kesedihan bagi 1 orang. Karena (sebab larangan) dari hadits ini adalah jangan samapai membuat sedih orang yang tidak diajak ngobrol tersebut. Jangan sampai menimbulkan prasangka yang buruk dalam diri orang tersebut. Kalau diajak ngobrol, kenapa dengan bahasa yang tidak dia pahami ? Maka hal tersebut membuat dia sedih, merasa dia tidak pantas atau merasa ada suatu rahasia yang berkaitan dengan dirinya atau lainnya, maksudnya jangan sampai kita mebuat sedih (kecewa) kepada saudara kita atau teman kita, dan kita harus berusaha menjaga perasaan saudara kita atau teman kita. Baik dari segi perkataan, perbuatan, dan sikap kita terhadapnya itu pun tidak boleh kita lakukan, karena bisa menyebabkan dia mersa sedih.
HADITS KE-5
ْنإم َلُجارلا ُلُجارلا ُميإقُي َل" :َمالَسَو إهْيَلَع ُ اا ىالَص إ اا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق اَمُهْنَع ُا َيإضَر - َرَمُع إنْبا إنَعَو إهْيَلَع ٌقَفَتُم ."اوُعاسَوَتَو اوُحاسَفَت ْنإكَلَو ،إهيإف ُسإل ْجَي امُث ،إهإسإل ْجَم
.Daripada Ibn Umar (r.a), beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seorang lelaki di antara kamu merebut tempat duduk orang lain, tetapi duduklah secara berjarak dan berilah tempat bagi orang lain untuk turut sama duduk.” (Muafaq ‘alaih : 1471).
Makna hadits secara global
Dalam Sahih Muslim ada satu hadis marfu’ yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian Kembali semula ke tempat itu, maka dia lebih berhak ke atas tempat duduknya itu.” Ini bagi orang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian
11 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 434.
kembali semula ke tempat duduknya itu, lalu bagaimana pula dengan orang yang masih duduk di tempat duduknya itu. Jadi, seseorang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian ada orang lain duduk di tempat itu maka orang itu dianggap mengambil hak duduk orang lain. Hadis ini mengajarkan supaya kita menghindari sesuatu yang mengakibatkan kita mengambil hak duduk orang lain, sebaliknya kita digalakkan meluaskan tempat duduk dan merenggangkannya supaya orang lain dapat duduk dengan selesa.12
Makna Mufradat
"ميقيل"
di dalam Sahih Muslim, lafaznya berbunyi:"نميقيل"
menggunakan kalimat larangan yang lebih ketat. Dengan demikian, larangan inibermaksud haram.
"سل هيف"
duduk di tempat itu, yakni orang yang berdiri sebelumnya."اوحسفت"
berjauhan dan meluaskan tempat sehingga kelihatan tempat duduk di antara kamu.Fiqh Al-Hadits
Barang siapa lebih dahulu mendapat tempat sama ada di masjid ataupun di tempat lain, maka dialah yang paling berhak ke atas tempat itu sedangkan orang lain diharamkan merebut tempat itu dari padanya, kecuali jika tempat yang ditemukannya itu sudah ada orang lain yang lebih dahulu bertempat, lalu dia pergi dan tidak lama kemudian kembali lagi. Maka, di sini orang lain itulah yang lebih berhak ke atas tempat itu dan dia berhak mengusir orang yang duduk di tempatnya.13
Kontekstualisasi
Hal ini adalah salah satu hadits yang berkaitan dengan etika dan tata tertib dalam berbagai konteks, termasuk dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan sosial. Hadits
12 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 434.
13 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 435.
ini menekankan pentingnya menghormati dan mempertahankan tempat duduk seseorang ketika seseorang berdiri sebentar dan kemudian kembali.
Semisal dalam Etika Sosial, dalam hadits ini mengajarkan etika dalam bersikap di lingkungan sosial. Ia mengingatkan kita untuk menghargai tempat duduk orang lain dan tidak mengambilnya tanpa izin ketika seseorang hanya berdiri sebentar. Pemberin Prioritas, dalam hadits ini juga mengajarkan konsep memberikan prioritas kepada orang yang telah duduk lebih dulu. Jika seseorang meninggalkan tempat duduknya dan kemudian kembali, mereka berhak untuk kembali ke tempat duduk tersebut. Menghindari Pertentangan, prinsip dalam hadits ini juga dapat membantu menghindari konflik atau ketegangan dalam situasi di mana tempat duduk menjadi terbatas atau saat ada banyak orang yang ingin duduk.
Jadi, hadits ini mengajarkan kepada umat Islam untuk mempraktikkan etika yang baik dalam interaksi sosial dan memberikan prioritas kepada orang yang telah duduk lebih dulu ketika mereka kembali ke tempat duduk mereka. Ini adalah bagian dari ajaran Islam tentang berperilaku baik dan menghormati orang lain.
HADITS KE-6
،اًماَعَط ْمُكُدَحَأ َلَكَأ اَذإإ" :َمالَسَو إهْيَلَع ُا ىالَص إا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق - اَمُهْنَع ُا َيإضَر - ساابَع إنْبا إنَعَو إهْيَلَع ُقَفاتُم ."اَهَقإعْلُي ْوَأ اَهَقَعْلَي ىات َح ،ُهَدَي ْحَسْمَي َلَف
Daripada Ibn ‘Abbas (r.a), beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu selesai makan, maka janganlah disapu tangannya sebelum menjilat tangan itu atau mengambil makanan yang jatuh lalu memakannya.” (Muafaq ‘alaih : 1472).
Makna hadits secara global
Dalam Sahih Muslim ada hadis marfu’ yang menegaskan bahwa sesungguhnya kamu tidak tahu mana makanan yang mengandungi keberkatan. Jadi, makruh membuang makanan karena dikhawatiri makanan itulah yang mengandungi keberkatan. Jika makanan itu jatuh dari mulutnya, maka hendaklah dia tetap mengambilnya lalu dibersihkan dan kemudian makanlah. Inilah akhlak Rasulullah SAW terhadap makanan. Inilah alasan pertama mengapa kita tidak boleh membuang atau menyia-nyiakan makanan sedangkan alasan kedua adalah Allah SWT menyuruh kita mensyukuri nikmat-Nya dan Tindakan
menyia-nyiakan sesuatu yang dikatakan nikmat Allah tidak disebut sebagai mensyukuri nikmat-Nya.14
Makna Mufradat
"اَهَقإعْلُي ْوَأ اَهَقَعْلَي"
menjilat atau memakan sesuatu yang sudah jatuh.Fiqh Al-Hadits
Disyariatkan menjilat jari atau sudu yang padanya masih ada sisa makanan, malah Ibn Hazm berpendapat perintah ini bermaksud wajib.
Kontekstualisasi
Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak mencuci tangan setelah makan dan boleh juga dengan cara mengelapnya. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya untuk menjilati jari sendiri. Alasannya, karena ia tidak tahu dimana letak keberkahan pada makanan tersebut.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa SaIIam memerintahkan agar menjilat jari dan nampan tempat makannya lantas beliau bersabda,15
"Kalian tidak tahu dimana letak keberkahannya."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaIIam juga menyuruh untuk memungut makanan yang terjatuh, membersihkan dan memakannya. Di dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda.
"Jika makanan salah seorang dari kamu jatuh maka hendaklah ia membuang kotoran yang menempel padanya (Ialu makanlah) janganlah ia membiarkannya dimakan oleh setan. "
Menurut zhahir hadits, perintah beliau untuk menjilat jari atau menyuruh orang lain untuk menjilatnya dan perintah untuk menjilat nampan tempat makan hukumnya adalah
14 Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, p. 435.
15 Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, subulus salam : Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2019), pp. 770.
wajib. Demikian pendapat Abu Muhammad bin Hazm, ia berkata, "Hukumnya adalah wajib."
Berkah adalah pertumbuhan, pertambahan dan kebaikan. Maksudnya makanan yang dikonsumsi tidak menimbulkan gangguan pada dirinya dan dapat memperkuat dirinya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Boleh jadi keberkahan ini didapatkan pada makanan yang masih menempel pada jari tangan atau pada tempat makan atau pada makanan yang terjatuh. Alasan lain mengapa makanan yang jatuh harus dipungut dan dimakan ialah agar tidak dimakan oleh setan.
Yang dimaksud dengan sabda beliau: tangannya yaitu jemari yang tiga.
Sebagaimana yang diriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam makan dengan tiga jari, tidak dengan empat atau lima jari. Kecuali jika hal itu dibutuhkan. Seperti ketika menyantap makan yang tidak bergumpal dan lain-lain.
Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur bahwasanya apabila Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam makan, beliau menggunakan lima jari.
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang meminta orang lain untuk menjilat jarinya, seperti istri, pembantu, anak dan lain-lain. Jika makanan yang jatuh itu terkena najis maka makanan tersebut dibersihkan dari najis yang menempel padanya. Jika tidak mungkin untuk dibersihkan maka hendaklah ia memberikan makanan tersebut kepada hewan. Jangan sampai ia membiarkannya dimakan oleh setan. An-Nawawi berpendapat boleh memberikan makanan yang bernajis kepada hewan. Dan menurut beliau, hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama salaf dan khalaf sebagaimana yang pernah disinggung.16
Kesimpulan
Dalam hadits diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Hadits yang ke-2 menyimpulkan bahwa hadis ini mengajarkan kepada seorang muslim tentang sesuatu yang membuat hidupnya menjadi tenteram, bersyukur ke atas nikmat Allah, selamat daripada gangguan syaitan dan pintu-pintu kesedihan.
16 Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, p. 771.
Hadits yang ke-3 menyimpulkan bahwa kebaikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang terletak di dalam hati/jiwa sedangkan pelakunya takut/benci diketahui oleh orang lain. Dalam menghadapi hal yang masih samar dan meragukan, kita dianjurkan untuk merujuk/meminta “fatwa” hati nurani dan hal ini bagi orang Mukmin yang dilapangkan hati/dadanya oleh Allah sangat mudah dilakukan olehnya sehingga mereka jarang terkelabui dalam membedakan antara hak dan bathil. Makna
" ّرإبْلَا"
sangat luas cakupannya begitu juga makna"مثلا"
dan masing-masing sudah memiliki karakteristik tersendiri yang dapat diidentifikasi. Hadits yang ke-4 menyimpulkan bahwa hadits ini melarang kepada suatu kumpulan yang terdiri daripada tiga orang, lalu satu orang daripada mereka tidak diajak berbicara sedangkan dua orang yang lain itu bercakap-cakap antara satu sama lain.
Hadits yang ke-5 menyimpulkan bahwa seseorang yang berdiri meninggalkan tempat duduknya kemudian ada orang lain duduk di tempat itu maka orang itu dianggap mengambil hak duduk orang lain.
Hadits yang ke-6 menyimpulkan bahwa bolehnya tidak mencuci tangan setelah makan dan boleh juga dengan cara mengelapnya, juga menunjukkan wajibnya untuk menjilati jari sendiri atau dijilat oleh orang lain. Alasannya, karena ia tidak tahu dimana letak keberkahan pada makanan tersebut.
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Abdul Rauf Lc., Al-Hafiz, Al-Qur’an Hafalan Mudah Al-Hufaz, ed. by Cii Cordoba (Bandung, 2021)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Bandung: Kementerian Sosial Republik Indonsia, BPBI, 2012)
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Ad-Durrah As-Salafiyyah Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah (Solo: Pustaka Arafah, 2006)
Mhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam : Syarah Bulughul Maram (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2019)
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Tathriz Riyadhus Shalihim (Jakarta: Ummul
Qur’an, 2015)
Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ’Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Jilid Keempat), ed. by Ustazah Sabrina Bakri (IIUM) (Kuala lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010)