• Tidak ada hasil yang ditemukan

UUPK menyatakan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang 1 N.H.T

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "UUPK menyatakan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang 1 N.H.T"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Konsumen

Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer. Dalam bahasa Belanda, istilah konsumen disebut dengan consument. Konsumen secara harfiah adalah “orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.”1 Istilah lain yang dekat dengan konsumen adalah “pembeli”

(Inggris: buyer, Belanda: koper). Istilah koper ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli. Bahkan,jika disimak secara cermat pengertian konsumen sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, di dalamnya tidak ada disebut kata pembeli.15

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia, menjelaskan istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UUPK). UUPK menyatakan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

1 N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet.

ke-1, Grafika Mardi Yuana, Bogor 2005, hlm. 23.

15Ibid., hlm. 24.

(2)

13 tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”2

Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000).

Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen yaitu “Setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.”3Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy yang mengatakan bahwa, “Consumers by definition include us all.”4Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius, menyimpulkan para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en diensten).Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

Konsumen dalam arti luas mencakup pada kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Di

2 Zulham, S.Hi, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 15.

3 Lihat lebih lanjut pada Pasal 1 huruf o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

4 Mariam Darus Badruldzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Pandang Perjanjian Baku (Standar), dalam BPHN. Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 57.

(3)

14 Perancis, berdasarkan doktrin dengan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains good or services for personal or family purposes.” Sedangkan di Spanyol pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu “Any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or real property, products, services, or activities, regardless oh whether the seller, supplier, or producer is a public or private entity, acting alone or collectively.”Pengertian konsumen dapat dibagi sebanyak 3 (tiga) macam yakni:

1. Konsumen secara umum adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).23

Terhadap barang dan/atau jasa yang digunakan, tergantung pada konsumen mana yang dimaksudkan. Bagi konsumen antara barang dan jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Jika dia distributor atau pedagang, berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi dagangan utamanya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen. Sedangkan bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa konsumen yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya

(4)

15 (produk konsumen). Barang atau jasa ini pada umumnya diperoleh di pasar- pasar, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga masyarakat.5 Unsur tersebut untuk membuat barang atau jasa lain dan atau diperdagangkan kembali merupakan pembeda antara lain konsumen antara (produk kapital) dan konsumen akhir (produk konsumen), yang penggunaannya bagi konsumen akhir adalah untuk diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, unsur inilah yang pada dasarnya merupakan pembeda dari kepentingan masingmasing konsumen yaitu, penggunaan sesuatu produk untuk keperluan atau tujuan tertentu yang menjadi tolok ukur dalam menentukan perlindungan yang diperlukan.6

Konsumen diartikan tidak hanya pada individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual-beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukkan sangat beragamnya pengertian konsumen, masingmasing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Tampaknya perlakuan hukum yang lebih bersifar mengatur dengan diimbuhi perlindungan tersebut, merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Pada umumnya, diperoleh di pasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga masyarakat.7 Untuk

5 Ibid.

6 Ibid., hlm. 15.

7 Ibid.

(5)

16 itu dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam pasal 1 angka 2 UUPK. Konsumen adalah :

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya, orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk

“pelaku usaha” dalam pasal 1 angka 3 UUPK yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon diatas, dengan menyebutkan katakata : “orang perseorangan atau badan usaha.” Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum. UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “konsumen.” untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual dan terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.

(6)

17 2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 1 angka 2UUPK “pemakai”

menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.

Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Dapat dilihat bahwa konsumen tidak hanya sekedar sebagai pembeli saja tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Keterkaitan disini adalah dimana pelaku usaha dan konsumen tidak hanya sebatas pada transaksi jual beli saja melainkan di saat konsumen tersebut ikut dalam menikmati manfaatdari barang atau jasa yang diberikan oleh si pelaku usaha, sehingga pada saat suatu nanti apabila dia merasa dirugikan maka dapat mengajukan klaim atas ketidaknyamanan terhadap barang atau jasa yang didapatnya dari pelaku usaha tersebut. Dapat disimpulkan bahwa konsumen berdasarkan directive adalah pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi,

(7)

18 konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi.”

3. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa, semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud ataupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UndangUndang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilahistilah

“dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.” Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dari individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu

(8)

19 menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen, si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.

4. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (lihat juga bunyi pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK).

Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembangan (developer) perusahaan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading,keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan.

Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu untuk diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian

(9)

20 unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi.

Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

6. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batasbatas seperti itu.8

Berkaitan dengan itu maka konsumen dalam mendapatkan barang atau jasa yang diinginkannya tersebut berasal dari pelaku usaha, istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.

Pengusaha adalah “setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan, atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen”, pengusaha memilki

8 Shidarta,Op.Cit.,hal. 16-27.

(10)

21 arti luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.9

B. Pengertian Dan Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan istilah yang seringkali disama artikan. Ada yang beranggapan bahwa hukum konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya, dengan berpendapat bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain. Konsumen berada pada posisi yang lemah, maka konsumen harus dilindungi oleh hukum yang sifat dan tujuannya adalah memberikan perlindungan atau pengayoman terhadap masyarakat. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik batasannya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas.

Az. Nasution berpendapat bahwa “hukum konsumen yang memuat asas- asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.” Adapun, menurut Az. Nasution yang dimaksud dengan hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

9 Mariam Darus Badruldzaman,Op.Cit., hal. 57.

(11)

22 bermasyarakat.”10 Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikannya sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”11

Dalam pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan : “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” Karena itu, menyangkut tentang perlindungan konsumen bahwasanya hal ini mempunyai cakupan luas meliputi perlindungan konsumen dalam memperoleh barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Pemberlakuan UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen dan melindungi kepentingan konsumen serta mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang berkualitas.12Undang-undang tentang perlindungan konsumenmemiliki ketentuan yang menyatakan bahwa semua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh

10 Az. Nasution, Op.Cit.,hal. 22.

11 Ibid.

12 Rahmadi Usman, SH,Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Djambatan, Jakarta, 2000, hal. 195.

(12)

23 undangundang. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan perlindungan konsumen tersebut.

Asas hukum tersebut dianggap tidak memenuhi fungsi pengaturan perlindungan konsumen sehingga tanpa disadari tidak diadakan dengan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tersebut.Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan “menyeimbangkan kedudukan” di antara para pihak pelaku usaha dan konsumen bersangkutan.13

C. Tinjauan Tentang Perjanjian Jual Beli 1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” 14 Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah:

a. Suatu perbuatan.

b. Antara sekurangnya dua orang.

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

13 Az. Nasution, Op.Cit., hal. 30.

14 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta: 2008, hlm. 338.

(13)

24 Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan kepada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata- mata.15

Menurut Abdulkadir Muhammad, ketentuan Pasal 1313 sebenarnya kurang tepat karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, yaitu sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah

“persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Perngertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya

15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali, Jakarta, 2010, hlm. 7-8.

(14)

25 hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan. Dari definisi tersebut jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak, untuk melaksanakan sesuatu hal, mengenai harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang.16 Secara sederhana, pengertian perjanjian adalah apabila dua pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan mengenai harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

2. Unsur-Unsur Perjanjian

Apabila dirinci, perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Essentialia, ialah unsur yang mutlak harus ada bagi terjadinya perjanjian.

Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah, merupakan syarat sahnya perjanjian. Unsur essentialia dalam perjanjian mewakili ketentuan- ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya, Bandung, 2000, hlm. 224-225.

(15)

26 membedakankannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essentialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.

b. Naturalia, yaitu unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. Unsur naturalia pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essentialia diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essentialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Sehubungan dengan hal itu, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”17

c. Accidentalia, yaitu unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak, merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.

Dengan demikian, maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan

17 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 118-119.

(16)

27 suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.18

3. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu: tidak terlarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

b. Asas Pelengkap

Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan- ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak saja.

c. Asas Konsensual

18 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 85-90

(17)

28 Perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihakpihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

d. Asas Obligator

Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering).

4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Untuk sahnya perjanjian- perjanjian, diperlukan 4 (empat) syarat:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan artinya persetujuan kehendak pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan sehingga tercapai persetujuan antara kedua belah pihak.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

(18)

29 Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin meskipun belum berumur 21 tahun dan tidak di bawah pengampuan.

c. Suatu pokok persoalan tertentu

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya.

Selagi pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka.

d. Suatu sebab yang tidak terlarang (Causa yang Halal).

Sebab adalah suatu yang menyebabkan atau mendorong seseorang membuat perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, melainkan memperhatikan isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak, bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.19

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian.

Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi

19 Subekti dan Tjitrosudibio, Op.Cit., hlm 339.

(19)

30 objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum.20

5. Akibat Perjanjian yang Sah

Akibat hukum perjanjian yang sah berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yakni yang memenuhi syarat-syarat pada pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak pembuatnya, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.21

Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak.

Perjanjian tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup

20 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 228-232.

21 Ibid

(20)

31 menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur subjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si pembuatnya. Namun dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu, undang-undang pun tidak memberikan perumusannya, karena itu tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.22

Perjanjian memiliki kaitan yang erat dengan jual beli, dimana jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang. Sedang pihak yang lain (si

22 Ibid., hlm. 99.

(21)

32 pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari persoalan milik tersebut.

6. Pengertian Jual Beli

Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga.23

7. Unsur dalam Jual Beli

Terdapat 2 unsur penting dalam jual beli, yaitu:

1. Barang/benda yang diperjualbelikan

Bahwa yang harus diserahkan dalam persetujuan jual beli adalah barang berwujud benda/zaak. Barang adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan.

Menurut ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata, hanya barang-barang yang biasa diperniagakan saja yang boleh dijadikan objek persetujuan.

KUHPerdata mengenal tiga macam barang dalam Pasal 503-Pasal 505 KUHPerdata yaitu:

23 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT Alumni, Bandung, 2010, hlm. 243.

(22)

33

 Ada barang yang bertubuh dan ada barang yang tak bertubuh.

 Ada barang yang bergerak dan ada barang yang tak bergerak.

Ada barang yang bergerak yang dapat dihabiskan, dan ada yang tidak dapat dihabiskan; yang dapat dihabiskan adalah barang-barang yang habis karena dipakai. Penyerahan barang-barang tersebut diatur dalam KUHPerdata sebagaimana berikut:

Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu (Pasal 612 KUHPerdata). Untuk barang tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan pengumuman akta yang bersangkutan yaitu dengan perbuatan yang di namakan balik nama di muka pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama (Pasal 616 dan Pasal 620 KUHPerdata).

Untuk barang tidak bertubuh dilakukan dengan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain (Pasal 613 KUHPerdata).

2. Harga

Harga berarti suatu jumlah yang harus dibayarkan dalam bentuk uang.

Pembayaran harga dalam bentuk uang lah yang dikategorikan jual beli.

Harga ditetapkan oleh para pihak.24 Pembayaran harga yang telah disepakati merupakan kewajiban utama dari pihak pembeli dalam suatu perjanjian jual

24 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, PT Alumni, Bandung, 1986, hlm. 182.

(23)

34 beli. Pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan memakai metode pembayaran sebagai berikut:

a. Jual Beli Tunai Seketika

Metode jual beli dimana pembayaran tunai seketika ini merupakan bentuk yang sangat klasik, tetapi sangat lazim dilakukan dalam melakukan jual beli. Dalam hal ini harga rumah diserahkan semuanya, sekaligus pada saat diserahkannya rumah sebagai objek jual beli kepada pembeli.

b. Jual Beli dengan Cicilan/Kredit

Metode jual beli dimana pembayaran dengan cicilan ini dimaksudkan bahwa pembayaran yang dilakukan dalam beberapa termin, sementara penyerahan rumah kepada pembeli dilakukan sekaligus di muka, meski pun pada saat itu pembayaran belum semuanya dilunasi. Dalam hal ini, menurut hukum, jual beli dan peralihan hak sudah sempurna terjadi, sementara cicilan yang belum dibayar menjadi hutang piutang.

c. Jual Beli dengan Pemesanan/Indent

Merupakan metode jual beli perumahan dimana dalam melakukan transaksi jual beli setelah indent atau pemesanan (pengikatan pendahuluan) dilakukan, maka kedua belah pihak akan membuat suatu

(24)

35 perjanjian pengikatan jual beli yang berisi mengenai hak-hak dan kewajiban keduanya yang dituangkan dalam akta pengikatan jual beli.25 3. Kewajiban Penjual

Bagi penjual ada kewajiban utama, yaitu: Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.26

Konsekuensi dari jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Dan mengenai cacat tersembunyi maka penjual menanggung cacat-cacat yang tersembunyi itu pada barang yang dijualnya meskipun penjual tidak mengetahui ada cacat yang tersembunyi dalam objek jual beli kecuali telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penjual tidak diwajibkan menanggung suatu apapun.

Tersembunyi berarti bahwa cacat itu tidak mudah dilihat oleh pembeli yang normal.

25 Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 25.

26 Subekti, Aneka Perjanjian, PT Alumni, Bandung, 1982, hlm. 8.

(25)

36 4. Kewajiban Pembeli

Menurut Abdulkadir Muhammad, kewajiban pokok pembeli itu ada dua yaitu menerima barang-barang dan membayar harganya sesuai dengan perjanjian diaman jumlah pembayaran biasanya ditetapkan dalam perjanjian.27 Sedangkan menurut Subekti, kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut haruslah sejumlah uang meskipun hak ini tidak ditetapkan dalam undangundang.28

27 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Op.Cit., hlm. 257-258.

28 Subekti, Op.Cit., hlm. 20.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Djaslim Saladin (2006:54) pasar konsumen adalah terdiri dari semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang dan jasa untuk

Dari definisi di atas maka pengendalian kualitas menurut penulis adalah pengawasan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan dalam menjaga kualitas dari barang atau jasa

a) Menggunakan data/informasi antara lain, harga pasar di desa setempat; atau harga di desa terdekat dari desa setempat, dalam hal barang/jasa yang dibutuhkan tidak ada

INTRACORPORATE TRANSFERS Menjual barang atau jasa kepada perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan di luar negri INTERNASIONAL LICENSING Cara lain untuk masuk ke pasar luar