Fresh Ijtihad sebagai Upaya dalam Meretas Tertutupnya Pintu Ijtihad (Studi Perkembangan Hukum Islam pada Masa Kontemporer)
Joni Zulhendra
[email protected] Universitas Tamansiswa Padang Jl. Tamansiswa No.9 Padang, Indonesia
Abstract: This paper aims to describe the development of Islamic law and fresh ijtihad as an effort to break open the closed door of ijtihad. The focus of this research is how is the development of Islamic law regarding the closing of the door to ijtihad and how is the paradigm of fresh ijtihad? This type of research is library research on Islamic fiqh books, articles, and journals. The results of the study show that the closing of the door to ijtihad has implications for the development of Islamic law, namely the development of fiqh after the door to ijtihad is closed. The implication of closing the door of ijtihad is the main reason for the weakness of creativity in ijtihad, not only because of the spread of the spirit of piety, but also because of the decline of civilization in Islam. Systematic and epistemic fresh ijtihad thinking is needed, so as not to get trapped in the dogmatism of certain fiqh schools.
Keywords: Fresh Ijtihad, Contemporary, Islamic Law.
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dan ijtihad segar sebagai upaya mendobrak pintu ijtihad yang tertutup. Fokus penelitian ini adalah bagaimana perkembangan hukum Islam atas tertutupnya pintu ijtihad dan bagaimana paradigma fresh ijtihad ? Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan buku fikih Islam, artikel, dan jurnal. Hasil kajian bahwa tertutupnya pintu ijtihad berimplikasi pada perkembangan hukum Islam, yaitu pada perkembangan fikih setelah pintu ijtihad ditutup.
Implikasi tertutupnya pintu ijtihad menjadi penyebab utama lemahnya kreativitas dalam ijtihad, bukan hanya karena merebaknya semangat taklid, tetapi juga karena merosotnya peradaban dalam Islam. Diperlukan pemikiran ijtihad segar yang sistematis dan epistemis, agar tidak terjebak dalam dogmatisme mazhab fikih tertentu.
Kata kunci: Fresh Ijtihad, Kontemporer, Hukum Islam.
Pendahuluan
Fenomena kehidupan manusia pada saat ini, mengalami perubahan seacara signifikan. Penyebabnya adalah terjadinya perubahan sistem sosial,1 gaya hidup, perubahan teknologi, dan persoalan hidup semakin lama semakin kompleks.2 Hal ini menyebabkan tiap kepercayaan atau agama menghendaki penyesuaian atau menyesuaikan diri terhadap kepentingan manusia tersebut.3 Perubahan ini tidak dapat dipungkiri, apalagi perubahan kehidupan masyarakat sangat dirasakan pada abad ini dengan berbagai macam kemajuan. Maka sebuah keyakinan akan dijauhkan atau ditinggalkan begitu saja bagi para pengikut-pengikutnya, apabila tidak sanggup memberikan jawaban terhadap persoalan kehidupan masyarakat itu.
Dalam ilmu sosiologi dijelaskan bahwa setiap kehidupan masyarakat mengalami suatu perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi itu merupakan fenomena sosial
1 Eunice Dwi Evania, “Perubahan Sosial Tentang Modernisasi Dan Perubahan Sosial, Globalisasi Dan Perubahan Sosial,” preprint (Open Science Framework, 19 Oktober 2022), 1–3, https://doi.org/10.31219/osf.io/bk6nt.
2Hasan Bisri, ‘Hukum Islam Dan Perubahan Sosial: Telaah Atas Ijtihâd Fardi Dan Jamâ’i’,TAJDID, 26.2 (2019), 187 <https://doi.org/10.36667/tajdid.v26i2.314>.
3 Mohammad Sulthon, “Peranan Maslahah Mursalah Dan Maslahah Mulghah Dalam Pembaruan Hukum Islam,” Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 25, no. 1 (Juni 2022): 59.
yang wajar.4 Perubahan-perubahan itu akan semakin jelas terlihat ketika mulai dibandingkan antara tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang lama dengan masyarakat yang baru.5 Dalam konsep Us}u>l Fiqh, guna menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber itu, para ulama melakukan ijtihad.6
Dalam kajian sejarahnya, dimasa dinassti Abasiyah disebut juga masa terbentuknya mazhab-mazhab Fikih. Periode inilah banyak melahirkan kemajuan- kemajuan dalam ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu fiqh.7 Namun justru pada masa setelahnya, semangat dan keinginan ulama-ulama telah kurang dalam mengembangkan dan menggali hukum islam, sehingganya para ulama tidak berkeinginan kuat dalam menjadi mujtahid mutlak, seperti Abu Hanifah, Syafii, Malik, dan Hanbali. Para ulama tersebut telah merasa cukup dalam menerima pendapat yang diwariskan dari imam- imam mujtahid sebelumnya. Keadaan dan kondisi seperti inilah berawal munculnya masa taqli>d dalam hukum Islam.8
Berdasarkan latar belakang tersebut, muncullah masa taqli>d dan istilah tertutupnya pintu ijtihad. Oleh karenanya berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam. Pertanyaan penelitian bagaimana perkembangan hukum islam pada masa taqli>d yang disebabkan oleh tertutupnya pintu ijtihad dan bagaimana paradigma fresh ijtihad dalam meretas tertutupnya pintu ijtihad tersebut?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan. Penelitian ini lebih memfokuskan pada sumber informasi yang bersumber dari buku politik hukum, artikel, jurnal dan literatur yang relevan dan sinkron dengan objek penelitian penelitian ini.
Pendekatan penelitian merupakan alat analisis yang digunakan untuk menginterpretasikan data yang telah dipilih dan diolah yang diperlukan untuk terwujudnya suatu orientasi penelitian yang telah ditentukan.9 Pendekatan adalah keseluruhan unsur yang dipahami untuk mendekati suatu bidang ilmu dan memahami pengetahuan yang terorganisir, bulat, mencari sasaran yang dipelajari oleh ilmu tersebut.
Ijtihad dan Faktor Kemundurannya
Ijtihad adalah suatu metode dalam mengetahui sesuatu hukum terhadap dalil nas}s}, yaitunya Qur’an dan Hadis melalui metode istinbat.10 Ijtihad digunakan dalam rangka menemukan hukum yang berlum terdapat secara jelas dalam ketentuan al-quran dan hadist.11 Istilah ijtihad dan taqli>d adalah dua makna kata yang berlawanan makna dan artinya. Kaitannya terhadap hukum Islam, taqli>d menggambarkan statis dan kejumudan serta sangat kurangnya upaya kreatifitas dalam menggali ilmu pengetahuan, atau kurangnya meng-istinba>t}-kan hukum dari dalil atau nas}s} al-quran dan hadits.
4 Holis, “Taqli>ddan Ijtiha>ddalam Lintasan Sejarah Perkembangan Hukum Islam,” Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 22, no. 1 (Juni 2019): 74.
5Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 94.
6 Darmawan, “Konsep Istihsan Al-Shatiby dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam,” Al- Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 11, no. 2 (t.t.): 279.
7Fathur Rohman, ‘Kontribusi Para Fuqaha Periode Taqli>d’,Jurnal Studi Hukum Islam, 1.1 (2017), 76–83.
8 Holis, “Taqli>ddan Ijtiha>ddalam Lintasan Sejarah Perkembangan Hukum Islam,” 76.
9Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), 68.
10Abdul Wahhab Khallaf, Ijtihad dalam syariat Islam, trans. oleh Rohidin Wahid, Cetakan 1 (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2015), 4.
11Abd Wafi Has, ‘Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam’,Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 8.1 (2013), 89–112 <https://doi.org/10.21274/epis.2013.8.1.89-112>.
Kemudian di lain hal, istilah ijtihad menggambarkan terdapatnya motivasi yang kuat dan upaya kreatifitas dari ulama syara’ untuk menemukan atau mengistinbatkan hukum islam, dari nas}s} yang telah ada. Tentunya periode jumud berawal dengan lemahnya daya pikir terhadap hukum-hukum Islam yang dilatarbelakangi banyak factor, sehinggaa dinilai oleh sebagian kalangan bahwa dalam hukum Islam itu bersifat tetap dan tidak mampu menjawab suatu perkembangan dalam kehidupan zaman yang semakin kompleks.12
Bermula pada ke 4 (empat) Hijriah sampai kepada abad ke-11 M, pengetahuan yang terkait dengan ilmu Islamterhenti perkembangannya. Penyebabnya pada penghujung/diakhir pemerintah ‘Abbasiyah. Pada masa Abbasiyah ahli hukum/ulama hanya membatasi diri dan mempelajari pemikiran-pemikiran para ulama sebelumnya yang telah terdapat dalam buku-buku berbagai imam mazhab. Persoalan yang dipermasalahkan tidak terdapat pada masalah-masalah pokok, seperti pada hal-hal yang menyangkut dengan aqidah, tauhid, dan lain sebagainya. Melainkan permasalahan yang sifatnya khila>fiyyah dan berada pada wilayah ijtiha>dy, yang biasa disebut dengan istilah furu>’ (cabang).
Dalam hal ini, yang menjadi kharakhteristik pola pemikiran dalam hukumIslam pada masaa ini yaitu ulama bukan lagi memusat kan upayanya dalam memaknai perinsip atauu dalil-dalil nas}s}yang termuat dalam Qur’an dan hadist Rasulullah Muhamad Saw. Namun pemikirannya bertumpu terhadap pemahaman-pemahaman, hasil perkataan para imamm mazhabnya.13 Kehidupan masyarakat berkembang secara meneerus kemudian masalah-masalah hukum pun yang muncul pada periode tersebutbukan ditujukan kepada hukum-hukum sehingga tidak dapat diselesaikan seperti pada masa-masa yang lalu. Dalam berkembangnyadan berlanjutnya kehidupan masyarakat, tidak diselesaikan dan dipecahkan berdasarkan kemampuan ulama dalam memikirkan hukum.
Istilah lainnya adalah, kehidupan masyarakat selalu berkembang sedangkan pemikiran terhadap istinba>t} hukum terhenti. Maka terjadi kemunduran berkembanya aturan-aturan hukum Islam14. Banyak faktor yang menyebabkan kemunduran oleh seseorang dalam mengeluarkan pemikirannya.. Adapun faktor-faktor ataupun hal yang menjadi penyebab mundurnya atau kurangnya semangat berfikir terhadap aturan hukum pada periode itu adalah sebagai berikutt :
1. Luasnya wilayah islam, menjadi retak karena bermunculan negara baru, baik di negara Eropaa, Asia, Afrikaa Utara, dan diwilayah negara bagian timur tengah.
Dengan adanya negara-negara baru tersebut menjadikan ketidakstabilan situasi politik. Inilah yang menyebabkan kegiatan dalam berfikir para ulama sulit dalam menemukan atau mengistinbatkan hukum Islam.
2. Kondisi politic yang tidak stabil, menjadikan kurangnya keleluasaan para ulama dalam berfikir, sehingga para ulama tidak memiliki kebebasan dalam mengutarakan ide dan pendapatnya. Oleh karena pada masa sebelumnya telah terbentuk mazhab- mazahab atau aliran-aliran pemikiran hukum diisitilah dengan pemikiran 4 Imam Mazhab. Para ahli dalam hukum pada periode atau masa ini hanya tinggal memilih
12 Holis, “Taqli>ddan Ijtiha>ddalam Lintasan Sejarah Perkembangan Hukum Islam,” 74–75.
13Misno, ‘Redefenisi Ijtihad Dan Taklid’,Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, p. 391
<https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/viewFile/133/131>.
14Asmawi Asmawi, ‘Epistemologi Hukum Islam: Perspektif Historis, Sosiologis Dalam Pengembangan Dalil’,Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 32.1 (2021), 57–76
<https://doi.org/10.33367/tribakti.v32i1.1393>.
saja (ittiba>’)/mengikutii (taqli>d) kepada salah satu di antaranya, memperjelas, memperkuat, hal-hal yang ada terdapat di dalam madzabnya. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai macam penafsiran dan berbagai macam cara. Sikap-sikap seperti inilah yang menyebabkan jiwa atauu ruh ijtihad yang menyala-nyala pada zaman sebelumnya menjadi padam. Selain itu juga para ualama atau ahli hukum mengikuti saja pendapat atau paham yang telah ada dalam madzhabnya.
3. Pecah atau rusaknya keharmonisan dalam bernegara, menjadikan kurangnya wibawa dalam meng-istinba>t}-kan hukum. Kemudian bermunculan orang yang tidak memiliki ilmu dan kapasitas berijtihad, akan tetapi tetap saja masyarakat menjadi bingung terhadap hasil pemikiran atau fatwa yang dikeluarkan oleh orang tersebut.
Kesimpang siuran hasil fatwa dan keputusan yang sering kali tidak sesuai atau bertentangan, hal ini menyebabkan pemerintah yang berkuasa mengintruksikan kepada para qa>dy/para hakim untuk melaksanakannya saja hasil keputusan yang ada pada saat sebelumnya. Dengan adanya langkah-langkah yang menjadikan kesimpang siuran tersebut, maka pemikiran hukum terhenti. Hal ini yang menjadikan kebekuan pemikiran hukum Islam ditengah-tengah masyarakat.
Kemudian selanjutnya dikumandangkan istilah bahwa pintuu ijtihat telah tertutup.
Muncullah kelesuan dan kemalasan dalam berfikir, karena paraulama hukum Islam dalam menjawab perkembangan kondisi social masyarakat tidak mendapatkan kebebasan dalam berfiki dan tidak mendapatkan keleluasan dalam mengeluarkan pemikiran. Hal inilah yang menjadikan perkembangan hukum Islam pada masa itu kurang bersemangat dan tidak memiliki sandaran dalam menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat.
Garis besarnya, hal yang menyebabkan terjadi adanya taqli>d yang bersumber dari terjadinya kejumudan ialah:15
1. Tingginya tingkat penghargaan kepada para tokoh mazhab yang menjadi panutann.
Ini terlihat tethadap dokttrin-doktrin yang berkembang pada kehidupan masyarakat. Pernyataan bahwa pada orang-orang yang telah dewasa wajib untuk mengikuti mazhab imam mereka dan haram hukumnya menentang dan keluar dari mazhhab yang telah diikutinya.
2. Merebaknya kiitab-kitab Fiqh hasil pemikiran tokoh mazhab, sehingga terjadinya kejumudan.
3. Minimnya dukungan dan perhatian negara/pemerintaah terhadap adanya kegiatann-kegiatan keilmuan.
4. Terdapatnya keputusan dari pemerintah/negara untuk menjalankani maazhab imam yang telah dianut.
5. Para ulama beranggapan bahwa hasil karya tokoh mazhab telah benar dan wajib untuk dilaksanakan.
Pintu Ijtihad Tertutup: Penyebab dan Implikasinya terhadap Perkembangan Hukum Islam
Istilah pintu ijtihad tertutup tidak bisa diketahui waktu munculnya pertama sekali, kemudian siapa orang mengawali istilah atau menggagaskan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Pernyataan semacam ini yang dikemukakan oleh Fazhur Rahmaan16 dalam menjelaskan 1 (satu) bagian pembahasan mengenai ijjtihad di masa yang lalu
15Ilyas Supena M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Jakarta: Gama Media, 2003), 212–13.
16“Kontribusi Para Fuqaha Periode Taqli>d.”
dengan karyanya yaitu Islamyc Methodology In History. B. Hallaq mengungkapkannya juga pada karyanya yang menyebutkan, bahwa insiidad babul ijtihad menjelaskan bahwa ketidak jelasan siapa tokoh memberikan pernyataan tertutupnya pintuu ijjtihad, kemudian terhadap siapa saja pintuu ijjtihad tersebut ditutup.17
Fazhur Rahmaan berkesimpulan bahwa kejelasan terhadap tertutupnya pintu ijjtihad tidaklah dinyatakan tertutup oleh siapa pun dikalangan dunia Islam. Akan tetapi pernyataan ini secara lambat laun melanda kepada seluruh penjuru, sehingga upaya dalam menggali hukum terhenti.
Ibrahim Zarwi yang termuat pada kitabnya Nazriyah ijjtihad fiil Islamiyah menyebutkan lima factor,18 yaitu:
1. Terpecahnya wilayah negara Islam yang terjadi pada abad ke-4 H kepada kerajaan- kerajaan kecil ditambah lagi adanya perpecahan yang sangat panjang.
2. Hilangnya sikap percaya diri dan munculnya fanatisme terhadap mazhab tertentu.
3. Rusaknya moralitas pada kalangan ulama islam.
4. Berkembangnya sikap pragmatis para ulama, sehingga para ulama tersebut motif dari pemikirannya adalah keuntungan yang diterima, kemudian hasil ijtihadnya tidak mampu memberikan jawaban terhadap perkembangan kehidupan masyarakat.
5. Munculnya sikap khawatir yang berlebihan, sehingga merebaknya fatwa-fatwa yang dihasilkan tidak berkualitas, hal ini disebabkan karena tidak memiliki kualitas ilmu dalam mengistinbatkan hukum.
Dalam mencari jawaban penyebab tertutupnya pintu ijtihad merupakan hal yang sulit untuk dijawab. Karena data yang akurat tidak dapat ditemukan siapa, kemudian kapan pertama kali orang memproklamirkan ditutupnya pintuu ijtihaad tersebut.
Alhasil, jawabannya hanya dari adanya analisa terhadap situasi dan kondisi internal serta eksternal yang dialami oleh umat Islam ketika itu. Menurut penulisistilah ditutupnya pinntu ijtihad penyebabnya tidaklah dari 1 (satu) faktor, melainkan dari banyaak factor secara integrall yang sangatlah komplek.
Adanya perbedaan-perbedaan terhadap pernyataan ditutupnya pinntu ijjtihad, dalam pembahasan sebelumnya digambarkan, bahwa para ulama dalam mengistinba>t}kan hukum seakan-akan bersepakat terhadap pernyataan pintu ijjtihad tersebut sudahditutup. Dapat disimpulkan bahwa hingga abad 6 Hijriyah tidaklah didapatkan satu orang yang ahli dalam bidang hukum islam yang mempersoalkan pernyataan tersebut hingga muncullah Ibnu ‘Aql dari mazhab Hambali yang menegaskan bahwa ba>b al-Qad}a>’ tidaklah pernah ditutup. Kendatipun pendapat dari Ibnu ‘Aql bisadidebatkan, hal ini disebabkan oleh adanya penerapan hasil keputusan pengadilan (al-qad}a>’) yang berbeda, akan tetapi hakim telah memperlihatkan dalam pelaksanaan aktivitas ijtihad hukum masih juga terlaksana.
Implikasinya terhadap tertutup pintu ijtihad tersebut, terjadinya perpecahan terhadap kerajaan-kerajaan islam, ulama-ulama bersikap taqli>d dan mempercayai adanya mazhab yang dianutnya dan hilangnya rasa saling menghormati antar maazhab.
Banyak munculnya perdebatan yang tidak bermanfaat serta munculnya hakim-hakim yang tidak memiliki kapasitas dalam keilmuan. Penutupan pintu ijtihad tersebut
17Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?,” International Journal of Middle East Studies 16, no. 1 (Maret 1984): 3–41, https://doi.org/10.1017/S0020743800027598.
18Ibrahim Abbas al-Zarwy, Nazriyyat al-Ijtihad fi Asysya al-Islamiyah Alih Bahasa oleh Said Agil Husein al- Munawwar Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam (Semarang: Dina Utama, 1983), 42.
menyebabkan umat islam tidak lagi memiliki hak kebebasan dalam berpikir, sehingga ijtihad menjadi lenyap dan tidak berkembang.
Terlepaas adanya perbedaan terhadap istilah ditutupnya pintu berijtihad tersebut diatas, terdapat pula klaim dari para ulama-ulama dimasa abat pertengahaan, bahwa pernyataan piintu ijtihad sudah ditutup ternyaata berefek kepada perkembangan ilmu fiqih pada periode-periode selanjutnya, yakni:
1. Berkembangnya fiqih pasca ditutupnya pintuu ijjtihad
Dalam bahasan sebelumnya sudah dijelaskan, perkembangan pertumbuhan fiqih Islaam, yang erat kaitannya kepada kemajuan yang diperoleh dalam kehidupan masyarakat Islam itu sendiri. Akan tetapi dengan kurangnya kekuatan umat Islam dan lambat laun hancur akibat hancurnya Negara Bagdad, fiqih Islampun mengalami kemunnduran.19
Pada waktu itulah berkembangnya semangat taqli>d, dimana dalam menghadapi bermacam-macam persoalan yang muncul dalam hukum, ulama-ulama fiqih berkurang dalam menggunakan pemikirannnya, melainnkan lebiih kepada mengikatkan dirinya terhadap hasil ijtihad ulama-ulama sebelumnya. Seakan-akan, situasi dan keadaan kehidupan sosial yang dialami pada waktu itu, memiliki persamaan dengan kehidupan yang dialami oleh para tuan gurunya tersebut.
Pernyataan yang dijelaskan oleh Farouq Abu Zaid. Dia menjelaskan, bahwa:
“Ulama-ulama fuqaha menilai bahwa ide dan hasil ijtihad guru atau imaam mazhab mereka diambil dari nas}s}-nas}s} yang baku tidaklah dapat dilakukan perubahan, diganggu gugat, ataupun diganti, dan seakan-akan pendapat ulama mereka wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Ulama fakih (ahli fiqih) diwajibkan hukumnya untuk melaksanakan aturan-aturan hukum itu, diharuskan melakukan ijtihad dan menggunakan ide pemikiran guna memahami dan mengistinbatkan hukum sesuai dengan situasi dan keadaan pada kehidupan yang dialami umat yang sesuai dengan zaman.”20
Metode pendekatan yang digunakan bagi para ulaama fiqih pada waktu itu, penyelesaian persoalan baru yang dimunculkan pada kehidupan masyarakaat berkiblat terhadap pendapaat para tokoh mazhaab, memnunculkan kesenjangaan antaraa fiqih dengan kehidupan nyata masyarakat. Permasalahan yang perlu untuk dijawab ialah, bagaimaana fiqih yaang pemahamannya secara tekstual melihat kepada argumentasi tokoh mazhab dan dapat menjelaskan setiap macam masalah hidup sosial masyarkat yang berkembang.
Para ahli sejarah fiqih seringkali memberikan pendapat dan argumentasi seirama bahwa akibat dari adanya istilah ditutupnya pintu ijtihad yang terjadi sekitar abaad pertengahan tersebut ialah menjalarnya dan bersemangatnya untuk taqli>d, bukan saja diikuti oleh yang kurang ilmu saja, akan tetapi juga sampai pada yang ahli dan dianggap paham terhadap islam/‘ulama. Akibatnya taklid, yang diikuti oleh ulama waktu itu tidaklah mampuu menciptakan hasil tulisan yang berharga seperrti juga yang telah dihasillkan oleh ‘ulama sebelumnya.
Implikasi terhadap ditutupnya pintuu ijtihad, alasan utamanya adalah lemahnyaa upaya kreatifitas dalam berijtihad, tidaklah disebabkan oleh menjalarnya motivasi dalam taklid saja,akantetapi juga mundurnyaa peradabaan dalam Islam. Akumulasi adanya 2 factor tersebut, aturan-aturan hukum mengalaami kemunduran pesat jika
19Anang Sholikhudin, ‘Mjbi, 3.1 (1970) <https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/
index.php/pai/article/view/898>[accessed 19 December 2022].
20Abu Zaid Farouq, Hukum Islam: Antara Tradisionalis Dan Modernis (Jakarta: P3m, 1986), 48–49.
dibandingkan pada masa sebelumnyaa. Kendatipun demikian, penting juga dipahami bahwa mundurnya hukum Islam bukan berartii pada aktifitas ijtihad dapat terhentii sama sekali. Para ulama dalam periode ini, tetap masih melaksanakan ijtihad, walaupun pada tingkat intensitas yang rendah sekali.
Melakukan tarjih dan pemahaman dari berbagaii argumentasi imam mazhaab, mempertahankan mazhab dengann menguatkan alasan menggunakan dalil yang ada, juga menyempurnakan dan merumuskan terhadap kaedah-kaedah ushuliyyah.
2. Tradisi penulisan fiqih setelah ditutupnya pintu ijtihad
Dalam buku pendidikan ilmu Islam menjelaskan, fiqih pada awal periodee telah mendapatkaan tempat istimewa dalam menggali pendidikaan Islam, karenaa pembahasannya terkait kepada kenyataan masyarakat Islam dalam kehidupan keseharian. Akan tetapi menurut hemat penulis belum mendapatkan literatur, bahwa fiqih sudah ditulis pada periode paliing awal, hingga munculnya Imam Malik bin Anas melalui kitabnya al-Muwatta’’.
Sebagai perumpamaan yang dikemukakan di sini, walapun di dalam perkembangan sejarah fiqh, fuqaha ahli Madinaah yang cukup dikenal, akan tetapi mereka tidak meninggalkan tulisan yang bisa dibaca hingga kini. Kemungkinan saja ada menuliskan hasil pemikiran fiqhnya, akan tetapi karya tersebut tidaklah sampai kepada kita.
Berdasarkan hal ini, apa penyebab Imam Malik bin Anas dikatakan tokoh pertama dalam menulis al-kitab al-hadis dengan systematika ba>b al-fiqih, bahkan sebahagian ulama menyebutnya sebagai al-kitab fiqih yang dimasa Khalifah Abu Jakfar al-Mansur, imam Malik pernah diminta dan dijadikan sebagai kitab pegangan21 secara resmi oleh negara di bidang ilmu fiqih Islam.
Perkembangan berikutnya menunjukkan, bahwa penulisan kitab fiqih semakiin sering dilkasanakan dibanyak kalangan imam-imam mazhab. Sebenarnyaa bukan saja di bidang fiqih, dibidang ilmu lainpun mengalami perkembangan yang signifikan dalam penulisan. Perkembangan lain sangat pesat adalah ilmu kalam, hadits, dan tafsir. Berkembangnya fenomena kebiasaan-kebiasaan dalam penulisan tersebut, beriringan dengan kemajuan pada peradaban yang diperoleh oleh masyarakat islam, sekaligus juga hasil dari interaksi positip terhadap kalangan di dunia luar.
Kaitannya dalam kebiasaan penulisan fiqih, hingga kepada paruh pertama abad pertengahan, sudah berkembang tiga jenis penulisan fiqih, yaitu :
a. Tulisan fiqih yang bercampur dengan hadits dan argumentasi para sahabat dan taabi’in.
b. Penulisan fiqh secara terpisah dari alhadis c. Penulisan fiqh secara komparatif.
Dua (2) metode terakhir yang disebutkan di atas, mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak terdapat kitab-kita fiqih yang ditulis dalam menjelaskan pemikiran terhadap satu mazhab. Fenomena dalam penulisan fiqih komparatif dan Usul Fiqih, juga termasuk salah satu bentuk perkembangan yang pesat adalah ilmu ushul fiqh.
Menurut hemat penulis, di antara alat ukur yang dapat gunakan untuk melihat sejauh mana perkembangan terhadap suatu ilmu adalah dari sisi kuantitas
21Salamah Noorhidayati, “Posisi kitab al-Muwatta dalam sejarah hukum Islam: analisis atas pandangan Yasin Dutton,” Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 14, no. 1 (30 Juni 2014): 101, https://doi.org/10.18326/ijtihad.v14i1.101-117.
(banyaknya) karya-karya ilmiah yang lahir pada setiap masa dan seberapa jauh pula terjadinya pengembangan dan kritikan yang dimunculkan dari adanya karya-karya sebelumnya. Dua (2) sudut pandang inilah sangat penting untuk mengukur suatu kreatifitas oleh ulama pada waktu tertentu.
Fresh Ijtihad dalam Paradigma Hukum Islam
Fresh ijtihad merupakan pemikiran Islam yang berkemajuan dan tidak terjebak pada dogmatiisme mazhab fiqh atau paham teologi tertentu.22 Fresh ijtihad memiliiki cara kerja yang sistematis dan epistemik supaya tidak mengalami deviasi atau bias, juga pembajakan makna dan orientasi dalam proses pembumiannya.23 Cara kerja yang siistematis dan epistemik tersebut juga diperlukan untuk mengatasi kesenjangan antara cita ideal Islam yang berkemajuan. Upaya memahami ide Islam yang berkemajuaan secara utuh berdasarkan kerangka studi Islam yang sistematis juga memerlukan penelusuran secara historis.
Dalam perkembangan hukum Islam, Islam menolak bahwa pandangan statis lama dan mendukung pandangan yang dinamis. Dalam Islam progresif,24 al-Qur’an memiliki fungsi sosial. al-Qur’an berdialektika dalam ruang aktual-sosial kemasyarakatan. Bukan semata-mata menempatkan posisi wahyu dalam lingkup yang kecil teologis-episteme saja. Oleh karena itu tidak diragukan lagi oleh siapa pun dari kalangan kaum Muslimin bahwa ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang senantiasa sangatlah diperlukan pada setiap waktu. Keabadian eksistensi syariat Islam tidak terlepas dari adanya peranan dari ijtihad para mujtahid.
Menurut Abdullah Saeed, dalam pemikiran fresh ijtihad tetap menjadikan Nas}s}
termasuk teks (pemikiran ulama klasik) yang merupakan sebagai sumber yang harus tetap dijadikan rujukan dalam menjawab problem kontemporer. Hanya saja, harus dikontekskan atau nas}s} dan teks haruslah didialogkan dengan keadaan saat ini, bukan nas}s} dan teks secara otomatis harus menundukkan semua keadaan sesuai kehendaknya.
Oleh karena itu, Abdullah Saeed memaparkan tujuh prinsip dalam proses kentekstualisasi teks atau menafsirkan teks atau nas}s}; Al-Qur’an dan Hadist, yaitu sebagai berikut:
1. Menaruh atensi mendalam pada konteks dan dinamika sosio-historisnya.
2. Menyadari bahwa ada beberapa topik yang tidak dicakup oleh al-Qur’an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya al-Qur’an.
3. Menyadari bahwa setiap pembacaan atas teks kitab suci harus dipandu oleh prinsip kasih sayang, justice dan fairness.
4. Mengetahui bahwa al-Qur’an mengenal hirarki nilai-nilai dan prinsip.
5. Mengetahui bahwa dibolehkan berpindah dari satu contoh yang kongkret pada generalisasi atau sebaliknya.
6. Kehati-hatian harus dilakukan ketika menggunakan teks lain dari tradisi klasik, khususnya yang berkaitan dengan otentisitasnya.
22Imam Mustofa, “Ijtihad Kontemporer sebagai Upaya Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia,” Al- Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 7, no. 2 (23 Desember 2013): 207–24, https://doi.org/10.24090/mnh.v7i2.565.
23Fadhlurrahman Fadhlurrahman dan Yusuf Hanafiah, “Paradigma Ijtihad Dalam Hukum Islam; Kritik Atas Epistemologi Berfi Kir Kaum Kontemporer,” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 18, no. 2 (15 September 2020): 250, https://doi.org/10.21111/klm.v18i2.4873.
24Yunita Furi Aristyasari, ‘Pendidikan Islam Progresif Muhammad Iqbal’,Al Ghazali, 2.2 (2019)
<https://www.ejournal.stainupwr.ac.id/index.php/al_ghzali/article/view/121> [accessed 19 December 2022].
7. Fokus utama pada kebutuhan muslim kontemporer.25
Dari pemikiran di atas, Abdullah Saeed menawarkan hal maju dari sisi memposiskan nas}s} setara dengan problem kontemporer untuk dikontekskan; dibaca dan dinilai, menggunakan alat dan ilmu-ilmu modern. Bukan sebaliknya, Problem kontemporer dan ilmu-ilmu modern harus dibaca dan dinilai dengan menggunakan nas}s}
atau turast. Bahkan salah satu syarat yang paling maju ditawarkan Abdullah Saeed adalah “keberanian mujtahid untuk mengakui dan menyadari bahwa ada beberapa topik yang tidak dicakup oleh al-Qur’an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya al-Qur’an”.26 Hal ini dimaksudkan agar tidak memaksakan bahwa semua problem modernitas harus dicarikan rujukan teksnya secara spesialisnya pada nas}s}
(ayat berapa, suarat apa), melainkan dicukupkan dengan maqa>s}id al-shari>’ah yang output-nya adalah pertimbangan kemashlahatan manusia menurut manusia.
Dalam hal ini Jasser Auda berbeda pandangan. Pola pikir atau worldview keagamaan ini telah menjadi preunderstanding, habits of mind, taqalid dan bahkan menjadi affective history-nya umat Islam dimanapun mereka berada. Itulah yang menjadi penghambat berat yang harus dihadapi oleh Jasser Auda.
Berikut ini akan dicoba untuk diurainya kembali asal-usul, perubahan dan perkembangannya lewat pendekatan sistem, sebagai berikut:
1. Pendekatan kronologis dan historis
Pendekatan pertama adalah melihat historis proyek pengembangan pemikiran hukum Islam. Dari era Islam tradisional, dari Islam modern hingga Islam postmodern. Pertama, tradisionalisme Islam. Ada 4 tampilan di sini, yaitu:
a. Tradisionalisme akademik, dicirikan oleh ketaatan pada salah satu aliran fikih tradisional sebagai sumber hukum tertinggi, dan praktik ijtihad ketika tidak ada peraturan hukum yang harus diikuti oleh aliran tersebut.
b. Akademik neo-tradisionalisme, terbuka bagi semua mazhab untuk dijadikan acuan bagi suatu undang-undang. Ada beberapa jenis keterbukaan yang berlaku, mulai dari sikap terhadap semua mazhab fikih dalam Islam, hingga sikap keterbukaan hanya terhadap mazhab Sunni atau Syiah.
c. Neo-literaryism, neo-literasi ini muncul baik pada Sunni maupun Syiah.
Literalisme klasik (versi Ibnu Hazm) adalah literalisme klasik yang lebih terbuka pada kumpulan hadits yang berbeda-beda, sedangkan neoliberalisme hanya bergantung pada kumpulan hadits dalam satu mazhab, mazhab tertentu.
Neoskriptivisme ini masih memiliki kesamaan dengan skripturalisme klasik dalam penolakannya untuk memasukkan maqasid sebagai sumber hukum yang sah (legitimate).27
d. Pemikiran berorientasi teori. Aliran ini termasuk tradisionalis yang dekat dengan postmodernisme dalam hal mengkritisi rasionalitas modern dan nilai-nilai yang berpusat pada Barat.28 Salah satu sikap mazhab ini adalah menolak sistem
25Lien Iffah Naf’atu Fina, ‘Interpretasi Kontekstual: Studi Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Abdullah Saeed’,ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 12.1 (2011), 159–80
<https://doi.org/10.14421/esensia.v12i1.707>.
26Hatib Rachman, ‘Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Quran Abdullah Saeed’,Afkaruna, 9.2 (2013), 148–61 <https://doi.org/10.18196/aiijis.2013.0025.148-161>.
27Deri Wanto, Rahmad Hidayat, dan R. Repelita, “Maqasid shariah’s Change as Theory: From Classical to Cotemporary Maqasid Shariah,” Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam 6, no. 2 (11 November 2021): 427, https://doi.org/10.29240/jhi.v6i2.3122.
28 Jasser Auda, Maqasid Al-Shariah As Philosophy Of Islamic Law; A Systems Approach. London: The International Institute Of Islamic Thought., 2007, 162–68.
demokrasi karena dipandang bertentangan terhadap sistem dalam hukum Islam.
Pendekatan kefilsafatan dalam studi hukum Islam.
Pendekatan filosofis kajian hukum Islam melalui lensa pendekatan sistem. Sistem adalah disiplin independen baru yang melibatkan beberapa sub-disiplin yang berbeda. Teori sistem adalah pendekatan filosofis lain yang dikenal sebagai antimodernitas, yang mengkritik modernitas dengan cara yang berbeda dari yang biasa digunakan oleh teori-teori postmodernitas.
Konsep inti yang biasa digunakan dalam analisis dan pendekatan sistem antara lain melihat masalah secara keseluruhan, tetap terbuka terhadap berbagai kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan (keterbukaan), yang membentuk hirarki saling ketergantungan, melibatkan aspek yang berbeda (multidimensi) dan mengutamakan tujuan utama. (sasaran). Konsep klasifikasi atau klasifikasi serta sifat kognitif hukum akan digunakan untuk mengembangkan konsep dasar teori hukum Islam. Uraian tersebut dijelaskan oleh al-Jabiry dalam bukunya “Bunyah al-
‘Aql al-‘Araby: Dira>sah Tah}li>liyyah Naqdiyyah li Nuz}um al-Ma'rifah fi Thaqa>fah al-
‘Arabiyyah, yang dapat dirangkum dalam 10 faktor sebagai asal mula, metode (proses dan prosedur pemikiran), pendekatan, kerangka teori (theory framework), fungsi dan peran argumentasi, jenis argumen dalam komunikasi, standar nilai ilmiah, prinsip dasar, dukungan kelompok ilmiah dan hubungan antara subjek dan objek.
Jasser Auda juga memaparkan secara rinci persoalan epistemologi hukum Islam dengan enam ciri yang akan dibahas secara singkat di bawah ini:
a. Persepsi (sifat kognitif) hukum Islam
Pada dasarnya fikih adalah hasil penalaran (ijtihad) manusia atas teks (teks suci).
Sebagai bentuk upaya untuk menangkap makna dan implikasinya yang tersembunyi. Ulama fiqh dan kalam (mutakallimu>n) sepakat bahwa Tuhan tidak disebut faqih (pengacara ), karena tidak ada yang tersembunyi dari Tuhan. Jadi, fikih adalah bagian dari persepsi manusia atau masalah persepsi manusia (idra>k) dan pemahaman (fahm). Meminjam istilah yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah, hukum fikih ini merupakan pengertian atau hasil pembentukan kognitif para ahli agama atau ahli hukum (fi zhihn al-faqi>h). Sehingga sangat mungkin terdapat kelemahan dan kekurangan dalam setiap ijtihad. Di bidang filsafat ilmu kontemporer, isu-isu yang berkaitan dengan pertanyaan ini disebut falibilitas atau kemampuan modifiabilitas pengetahuan; Teori bisa cacat dan tidak akurat.
Dengan demikian, pemahaman fikih pada era tertentu dapat diperdebatkan dan dapat berubah ke arah yang lebih baik dan benar (qa}bil li al-niqa>sh wa al- taghyi>r).29 Mohammad Arkoun telah menyatakan bahwa deskripsi atau ciri sifat kognitif hukum Islam ini penting dalam menegaskan perlunya pemahaman pluralistik dari semua mazhab fikih.
b. Integritas (integrity; penyelarasan antar komponen atau unit yang ada)
Salah satu alasan Jasser Auda menganggap pentingnya integritas adalah kecenderungan sebagian ahli hukum Islam untuk membatasi pendekatan ideologisnya pada pendekatan reduksionis dan fundamentalis makna atomik (sering digunakan dalam Ushul al-Fiqh). Para sarjana Ushul al-Fiqh kuno, seperti al-Razi, memahami hal ini. Maka, al-Razi mengkritisi tren atomik ini semata-mata
29 Mulizar Mulizar, Asmuni Asmuni, dan Dhiauddin Tanjung, “Maqashid Sharia Perspective of Legal Sanction for Khalwat Actors in Aceh,” Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam 7, no. 1 (30 Mei 2022): 161, https://doi.org/10.29240/jhi.v7i1.3587.
berdasarkan unsur ketidakpastian, yang bertolak belakang dengan kepastian pemikiran fikih.
c. Keterbukaan (self-innovation)
Teori sistem membedakan antara sistem terbuka dan tertutup. Sistem hidup adalah sistem terbuka. Ini juga berlaku untuk organisme hidup, serta sistem apa pun yang ingin bertahan hidup. Sistem hukum Islam adalah sistem terbuka.
Semua mazhab dan sebagian besar ulama fikih selama berabad-abad telah sepakat bahwa ijtihad adalah inti dari hukum Islam. Pada dasarnya nas}s} terbatas, sedangkan kejadiannya tidak terbatas (al-nus}u>s} mutana>hiyah wa al-waqa>i' ghair mutana>hiyah; skenario khusus terbatas dan peristiwa tidak terbatas). Terakhir, metode Ushul al-Fiqh mengembangkan mekanisme tertentu untuk menangani kasus baru. Tata cara penetapan hukum dalam Islam seperti Qiyas, Maslahah dan hadis pendukung (i'tibar al-urf) adalah beberapa contohnya.
d. Hirarki saling bergantung
Terdapat dua alternatif teori untuk menjelaskan klasifikasi manusia, yaitu klasifikasi berbasis ciri dan klasifikasi berbasis konsep. Jasser Auda memilih taksonomi berbasis konsep untuk diterapkan pada Usul al-Fiqh. Keunggulan teori ini adalah mencakup pendekatan yang terpadu dan sistematis.30 Selain itu, konsep disini tidak hanya tentang baik dan buruk, tetapi juga mengandung kriteria multi-dimensi,31 sehingga menggabungkan beberapa kategori secara bersamaan untuk jumlah fitur yang sama.
Teori maqa>s}id merupakan masa yang paling tepat bagi perkembangan dan pembaruan hukum Islam. Teori maqasid memenuhi landasan metodologi baku, yaitu prinsip rasionalitas, utilitas, keadilan, dan etika. Upaya ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan teori Ushul al-Fiqh dan sekaligus menunjukkan beberapa kekurangannya (kekurangan).
Penutup
Penyebab terjadinya istilah pintu ijtihad tertutup, karena adanya taqli>d yang merupakan sumber dari terjadinya kejumudan, yaitupenghargaan yang sangat berlebihan terhadap Imam mazhab yang menjadi panutan. Hal ini terlihat dari adanya doktrin-doktrin yang berkembang pada kalangan masyarakat, bahwa pada orang dewasa diwajibkan untuk menganut salah satu imam mazhab dan diharamkan untuk keluar dari mazhab yang telah dianutnya. Munculnya berbagai macam kitab-kitab Fiqh sebagai buah karya para Imam mazhab, sehingga terjadinya kejumudan. Dogma sebagian para ulama yang beranggapan bahwa pendapat lmam mazhab/Mujtahid benar dan mesti untuk diikuti. Tertutupnya pintu ijtihad berimplikasi kepada perkembangan hukum Islam, yaitu kepada perkembangan fiqh dan lemahnya upaya kreativitas dalam berijtihad, tidak hanya disebabkan oleh menjalarnya semangat dalam taqli>d tetapi penyebabnya juga oleh mundurnya peradaban dalam Islam.
Dalam rangka meretas tertutupnya pintu ijtihad tersebut diperlukan pemikiran fresh ijtihad yang sistematis dan epistemik, agar tidak terjebak pada dogmatisme
30Ah. Soni Irawan, “MaqāShid al-Sharīah Jasser Auda Sebagai Kajian Alternatif Terhadap Permasalahan Kontemporean,” The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law 3, no. 1 (26 April 2022): 39–55, https://doi.org/10.51675/jaksya.v3i1.192.
31 Suansar Khatib, “Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-Ghazali Dan Al- Syathibi,” Jurnal Ilmiah Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan 5, no. 1 (30 Desember 2018), https://doi.org/10.29300/mzn.v5i1.1436.
mazhab fiqh atau paham teologi tertentu. Tokohnya adalah Abdullah Saeed yang menyatakan bahwa setiap perilaku ummat Islam harus berjalan berdasarkan hukum Islam, kapanpun dan dimanapun. Diperlukan kreativitas dalam berijtihad, bahwa antara Islam dan kontemporer tidak akan pernah ada masalah, selama ukurannya adalah kemashlahatan umum. Berbeda dengan Jasser Auda memaparkan secara rinci persoalan epistemologi hukum Islam. Oleh karenanya teori maqa>s}id merupakan masa yang paling tepat bagi perkembangan dan pembaruan hukum Islam. Teori maqasid memenuhi landasan metodologi baku, yaitu prinsip rasionalitas, utilitas, keadilan, dan etika.
Daftar Pustaka
Abdulsyani. Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Anang Sholikhudin. “Merebut Kembali Kejayaan Islam Analisis Internal Dan Eksternal Penyebab Kemunduran Islam.” Jurnal Al-Murabbi 3, no. 1 (1 Januari 1970).
https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai/article/view/898.
Asmawi, Asmawi. “Epistemologi Hukum Islam: Perspektif Historis, Sosiologis dalam Pengembangan Dalil.” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 32, no. 1 (25 Januari 2021):
57–76. https://doi.org/10.33367/tribakti.v32i1.1393.
Bisri, Hasan. “Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Telaah atas Ijtihâd Fardi dan Jamâ’i.” TAJDID 26, no. 2 (12 Oktober 2019): 187. https://doi.org/10.36667/tajdid.v26i2.314.
Darmawan. “Konsep Istihsan Al-Shatiby dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam.”
Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 11, no. 2 (t.t.): Desember 2008.
Evania, Eunice Dwi. “Perubahan Sosial Tentang Modernisasi Dan Perubahan Sosial, Globalisasi Dan Perubahan Sosial.” Preprint. Open Science Framework, 19 Oktober 2022.
https://doi.org/10.31219/osf.io/bk6nt.
Fadhlurrahman, Fadhlurrahman, dan Yusuf Hanafiah. “Paradigma Ijtihad Dalam Hukum Islam;
Kritik Atas Epistemologi Berfi Kir Kaum Kontemporer.” Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 18, no. 2 (15 September 2020): 250.
https://doi.org/10.21111/klm.v18i2.4873.
Farouq, Abu Zaid. Hukum Islam: Antara Tradisionalis Dan Modernis. Jakarta: P3m, 1986.
Fathur Rohman. “Kontribusi Para Fuqaha Periode Taqlid.” Jurnal Studi Hukum Islam 1, no. 1 (2017): 76–83.
Fina, Lien Iffah Naf’atu. “Interpretasi Kontekstual: Studi Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Abdullah Saeed.” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 12, no. 1 (22 Januari 2011): 159–
80. https://doi.org/10.14421/esensia.v12i1.707.
Hallaq, Wael B. “Was the Gate of Ijtihad Closed?” International Journal of Middle East Studies 16, no. 1 (Maret 1984): 3–41. https://doi.org/10.1017/S0020743800027598.
Has, Abd Wafi. “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam.” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 8, no. 1 (7 Juni 2013): 89–112.
https://doi.org/10.21274/epis.2013.8.1.89-112.
Hermawan Warsito. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Holis. “Taqli>ddan Ijtiha>ddalam Lintasan Sejarah Perkembangan Hukum Islam.” Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 22, no. 1 (Juni 2019).
Ibrahim Abbas al-Zarwy. Nazriyyat al-Ijtihad fi Asysya al-Islamiyah Alih Bahasa oleh Said Agil Husein al-Munawwar Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam. Semarang: Dina Utama, 1983.
Jasser Auda. Maqasid Al-Shariah As Philosophy Of Islamic Law; A Systems Approach. London: The International Institute Of Islamic Thought., 2007.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ijtihad dalam syariat Islam. Diterjemahkan oleh Rohidin Wahid. Cetakan 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Khatib, Suansar. “Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-Ghazali Dan Al-Syathibi.” Jurnal Ilmiah Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan 5, no. 1 (30 Desember 2018). https://doi.org/10.29300/mzn.v5i1.1436.
M. Fauzi, Ilyas Supena. Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Jakarta: Gama Media, 2003.
Misno. “Redefenisi Ijtihad dan Taklid.” Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, t.t.
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/viewFile/133/131.
Mulizar, Mulizar, Asmuni Asmuni, dan Dhiauddin Tanjung. “Maqashid Sharia Perspective of Legal Sanction for Khalwat Actors in Aceh.” Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam 7, no. 1 (30 Mei 2022): 161. https://doi.org/10.29240/jhi.v7i1.3587.
Mustofa, Imam. “Ijtihad Kontemporer sebagai Upaya Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia.”
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 7, no. 2 (23 Desember 2013): 207–24.
https://doi.org/10.24090/mnh.v7i2.565.
Noorhidayati, Salamah. “Posisi kitab al-Muwatta dalam sejarah hukum Islam: analisis atas pandangan Yasin Dutton.” Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 14, no.
1 (30 Juni 2014): 101. https://doi.org/10.18326/ijtihad.v14i1.101-117.
Rachman, Hatib. “Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Quran Abdullah
Saeed.” Afkaruna 9, no. 2 (2013): 148–61.
https://doi.org/10.18196/aiijis.2013.0025.148-161.
Soni Irawan, Ah. “MaqāShid al-Sharīah Jasser Auda Sebagai Kajian Alternatif Terhadap Permasalahan Kontemporean.” The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law 3, no.
1 (26 April 2022): 39–55. https://doi.org/10.51675/jaksya.v3i1.192.
Sulthon, Mohammad. “Peranan Maslahah Mursalah Dan Maslahah Mulghah Dalam Pembaruan Hukum Islam.” Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 25, no. 1 (Juni 2022).
Wanto, Deri, Rahmad Hidayat, dan R. Repelita. “Maqasid shariah’s Change as Theory: From Classical to Cotemporary Maqasid Shariah.” Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam 6, no. 2 (11 November 2021): 427. https://doi.org/10.29240/jhi.v6i2.3122.
Yunita Furi Aristyasari. “Pendidikan Islam Progresif Muhammad Iqbal.” Al Ghazali 2, no. 2 (20
Desember 2019).
https://www.ejournal.stainupwr.ac.id/index.php/al_ghzali/article/view/121.