• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kontrol Pola Asuh dalam Mengembangkan Kemampuan Literasi Dasar Anak Autis di Kota Tuban

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Kontrol Pola Asuh dalam Mengembangkan Kemampuan Literasi Dasar Anak Autis di Kota Tuban"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Kontrol Pola Asuh dalam Mengembangkan Kemampuan Literasi Dasar Anak Autis di Kota Tuban

Parenting Control in Developing Basic Literature Capabilities of Autist Children in Tuban City

Nur Lailatul Fitri1 Vita Fitriatul Ulya2

12 IAI Al Hikmah Tuban

1ila.elfitri88@gmail.com; 2 vitaf3@gmail.com

Abstract

A good parenting pattern is one where there is synergy between parenting, the environment, and the school. How to control parenting in developing basic literacy (speaking, listening, reading, writing, and counting) in autistic children is the main problem that will be answered in this study. The type of research used is qualitative- phenomenological research using the purposive sampling technique for sampling.

There are different types of parenting between parents, family, environment, and schools for the care of autistic children. The ability to listen and speak is more influenced by parenting patterns of parents and family while at home, while the ability to read, write and count is mostly obtained from parents at school. In addition, parenting control is also influenced by the education and knowledge of parents or people who take care of the children. The experience and knowledge gained from his educational history can influence his way of thinking, behaving, and behaving. Likewise, knowledge, raising children is not enough with the instinct of love, but good knowledge and skills are needed.

Keyword: Parenting Control, Basic Literacy, Autistic Children Abstrak

Pola asuh yang baik adalah yang terdapat sinergitas antara pola asuh orang tua, lingkungan dan sekolah. Bagaimana kontrol pola asuh dalam mengembangkan literasi dasar (berbicara, mendengar, membaca, menulis, dan berhitung) anak autis menjadi pokok permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif-fenomenologis dengan menggunakan teknik purposive sampling untuk pengambilan sampel. Terdapat jenis pola asuh yang berbeda antara orangtua, keluarga, lingkungan dan sekolah terhadap pengasuhan anak autis. Adapun kemampuan mendengarkan dan berbicara cenderung dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan keluarga selama di rumah, sedangkan kemampuan dalam membaca, menulis, dan berhitung banyak diperoleh dari pola asuh saat di sekolah. Selain itu kontrol pola asuh juga

Article doi: https://doi.org/10.33367/jiee.v4i2.2936

Submission: 2022-09-13 Review: 2022-09-27 Revision: 2022-09-27 Accepted: 2022-09-27

(2)

dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan orangtua atau orang yang turut serta mengasuh anak. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari riwayat pendidikannya, dapat mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berperilaku.

Begitu juga pengetahuan, membesarkan anak tidak cukup dengan naluri kasih sayang saja, namun diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik.

Kata Kunci: Kontrol Pola Asuh, Literasi Dasar, Anak Autis Pendahuluan

Setiap orang tua menginginkan anaknya lahir secara normal dan tidak terdapat kecacatan, baik secara fisik maupun mental. Namun tidak semua anak terlahir dengan normal. Karena factor tertentu mengakibatkan beberapa anak terlahir dengan memerlukan suatu penanganan khusus sesuai kebutuhannya.

Sehingga disebut anak berkebutuhan khusus karena anak tersebut mengalami gangguan baik dari segi fisik maupun mentalnya yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangannya yang menjadikan anak tersebut berbeda dengan anak pada umumnya. Perbedaan yang dialami anak berkebutuhan khusus terhadap anak yang normal mengaki- batkan adanya perbedaan pula pada pola asuh khususnya dalam hal pendidikannya.

Disebut pola asuh yang baik apabila terdapat sinergitas antara pola asuh orang tua, lingkungan dan sekolah.

1 Rosmala Dewi dan Rischa Yullyana,

“PENGALAMAN ORANGTUA DALAM MENGASUH

Gangguan autism merupakan salah satu bentuk gangguan pada anak ber- kebutuhan khusus. Autism merupakan jenis gangguan neurologis atau syaraf yang mengakibatkan terjadi ketidakmam- puan dalam berinteraksi dengan orang lain. Mayoritas penyebab autism adalah karena faktor genetika atau keturunan.

Jenis gangguan yang dimaksud misalnya tertundanya penguasaan dalam berbah- asa, ecocalia, mutism, pembalikan kalimat, repetitive dan stereotipik dalam aktivitas bermain, daya ingat kuat, dan adanya sikap obsesif dalam mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya1. Menu- rut Wall dalam Joko Yuwono, menyebut- kan bahwa “autism is a lifelong develop- mental disability that prevents individual from properly understanding what they see, hear, and otherwise sense. This result in severe problem of social relationship,

ANAK AUTIS DI KOTA BANDA ACEH,”

Psikoislamedia Jurnal Psikologi 3 (2018): 14.

(3)

communication and behavior2. Dengan demikian yang dinamakan autism adalah keadaan individu yang tidak memiliki kemampuan dalam memahami apa yang dilihat, didengar dan dipikirkan. Hal ini mengakibatkan terjadinya masalah dalam hal interaksi social, komunikasi dan perilakunya.

Beberapa karakteristik yang mun- cul pada anak autisme terkait gangguan interaksi sosial diantaranya sikap meng- hindari kontak mata bahkan menolaknya, tidak memberikan respon ketika dipang- gil, lebih asik bermain sendiri, abai terha- dap aktivitas orang lain di sekitarnya, dan sulit dalam berkomunikasi. Adapun gang- guan komunikasi ditandai dengan sikap sulit dalam berkomunikasi baik berupa kalimat verbal maupun non-verbal.

Menurut Yosvan Azwandi dalam Rosmala Dewi anak autis yang mengalami keter- lambatan berbahasa dan berbicara menca- pai sekitar 50%3. Sementara gangguan perilaku anak autis ditunjukkan pada pola tingkah laku, minat terhadap sesuatu, terbatasnya mobilitas atau kegiatan yang dilakukan, pengulangan kegiatan dan ste-

2 J. Yuwono, Memahami Anak Autis Berkebutuhan Khusus. Alfabeta. (Bandung: Alfabeta, 2009).

3 Dewi dan Yullyana, “PENGALAMAN ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK AUTIS DI KOTA BANDA ACEH.”

reotipik. Hal ini mengakibatkan perilaku cenderung monoton, sering mengoceh, apabila menginginkan sesuatu cenderung senang menarik tangan orang dewasa dan seringkali bersikap acuh terhadap sekitarnya.

Menurut Marilyn dan William D.

Bursuck autism pertama kali diidentifikasi sebagai sebuah gangguan pada tahun 1943 oleh Dr. Leo Kanner. Saat ini para ahli menyatakan bahwa autism merupa- kan gangguan yang unik yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan untuk menggambarkan karakternya yang beragam biasanya digolongkan sebagai gangguan spektrum autism (autism spec- trum disorder [ASD]). Gangguan ini lebih banyak mempengaruhi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio perbandingan 4:1 hingga 5:1. Anak autism biasanya juga dibarengi dengan gangguan yang lain misalnya tunagrahita atau hambatan yang lainnya4. Namun disebutkan oleh Adcock & Cuvo dalam Marilyn bahwa tidak semua anak autism mengalami hambatan pada tingkat intele- gensinya, sebagian lainnya cerdas dan

4 M. Bursuck, Menuju Pendidikan Inklusi Panduan Praktis untuk Mengajar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).

(4)

berbakat5. Untuk itu diperlukan sebuah penanganan dan pengasuhan khusus untuk anak gangguan autisme yang meli- batkan banyak pihak secara sinergis, baik dari pihak keluarga maupun lingkungan sekitarnya.

Keluarga memiliki peran vital dalam upaya mengembangkan kemam- puan anak, karena keluarga adalah lingkungan pertama dan utama yang menjadi wadah bagi anak dalam mela- kukan komunikasi dan interaksi. Pemben- tukan dan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh peran keluarga. Salah satu indikator bahwa keluarga dikatakan memiliki peran penting dalam pemben- tukan kepribadian anak adalah praktik pengasuhan anak. Menurut Tarmuji yang dimaksud pola asuh orang tua yaitu kegiatan interaksi yang melibatkan orang tua dan anak selama proses pengasuhan.

Termasuk kegiatan pengasuhan meliputi proses mendidik, membimbing dan mendisiplinkan anak sehingga ia dinyata- kan siap terjun dalam masyarakat dengan melaksanakan norma-norma yang ada dan

5 Ibid.

6 Dewi dan Yullyana, “PENGALAMAN ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK AUTIS DI KOTA BANDA ACEH.”

dianggap telah dewasa dalam menjalani kehidupan6.

Pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak berbeda-beda. Menurut Stewart dan Koch dalam Laily Hidayati, ada tiga kecenderungan pola pengasuhan orang tua yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif7. Yang dimaksud pola asuh otoriter menu- rut Santrock merupakan pola asuh yang memaksakan anak untuk mengikuti kehendak orang tua dan adanya penega- san kekuasaan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Anak-anak terikat ruang geraknya dan terbatasnya kesempatan dalam bertindak sesuai dengan kemauan- nya. Sementara itu yang dimaksud pola asuh demokratis adalah pola asuh yang mendorong kemandirian anak sehingga anak diberikan kebebasan bertindak namun dengan tetap memberikan bata- san-batasan dan bertanggung jawab atas apa yang dikerjakannya. Sedangkan yang dimaksud pola asuh permisif merupakan pola asuh yang memberikan kesempatan luas bagi anaknya untuk beraktivitas sebebas-bebasnya dengan sedikit sekali

7 L. Hidayati, Asuh Asah Asih: Dual Career Family (1st ed.) (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga., 2017).

(5)

kontrol yang diberikan orang tua. Dengan demikian pola asuh demokratis dianggap sebagai pola asuh yang disarankan untuk para orang tua.

Pendekatan yang digunakan oleh Baumrind dalam Dinar Widyana menye- butkan pola pengasuhan anak oleh orang tua ada dua dimensi utama, yaitu parental responsiveness (penerimaan orang tua) dan parental demandigness (tuntutan orang tua)8. Penerimaan atau responsi- vitas orang tua terdiri atas: 1) Clarity of communication (menuntut anak berkomu- nikasi secara jelas), yaitu sikap orang tua ketika anak menuntut pemenuhan kebutu- hannya adalah dengan cara meminta pen- dapat anak yang disertai alasan yang jelas.

2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu sikap orang tua yang memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan anak dengan cara memberikan suasana kehar- monisan, kehangatan, dan kasih sayang agar anak merasa bangga akan prestasi yang diraihnya9. Jadi sikap penerimaan atau responsivitas orang tua adalah sikap merespon dengan jalan menerima dan mendukung kebutuhan anak.

8 D. Widiana dan K. D. Ambarwati, “Pola Asuh Orangtua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (Tunarungu) di Boyolali,” ADIWIDYA 2, no.

1 (2018): 10–15.

Sedangkan tuntutan orang tua atau demandingness adalah sikap orang tua yang terus mengontrol perkembangan kemampuan anak baik dari segi inte- lektual dan sosial hingga anak mencapai kompetensi yang diharapkan sehingga pemberian kasih sayang saja dalam mengarahkan anak dirasa tidak cukup.

Orang tua memiliki kontrol penuh dalam membimbing anak. Menurut Baumrind dalam Dinar Widiana, tuntutan atau demandingness terdiri atas: 1) Demand for maturity (tuntutan orang tua dalam kedewasaan anak), yaitu penekanan orang tua dalam pengoptimalan kemampuannya agar menjadi lebih dewasa dalam semua hal. 2) Control (tuntutan orang tua dalam kontrol anak), yaitu penekanan orang tua dalam hal kedisiplinan anak. Sebelumnya orang tua sudah membuat patokan dan kriteria yang akan diterapkan kepada anak sehingga anak memiliki sikap disiplin tinggi10. Dengan demikian dapat disim- pulkan bahwa tuntutan atau demanding- ness orang tua adalah sikap tuntutan orang tua dalam hal tanggung jawab dan tingkah laku anaknya. Dari kedua pendekatan pola

9 Ibid.

10 Ibid.

(6)

pengasuhan yang ada terlihat bahwa orang tua memiliki sikap variatif dalam mengasuh anak-anaknya. Adanya perbe- daan pola asuh disebabkan oleh beberapa faktor antara lain latar belakang pendi- dikan, sosial budaya, status sosial eko- nomi, dan lingkungan tempat tinggal orang tua.

Pola asuh orang tua dinilai berkua- litas atau kurang berkualitas dapat dilihat dari kebersamaan orang tua dengan anaknya dalam pemberian sebuah stimu- lus atau penyediaan kesempatan sehingga anak bisa belajar sesuai dengan tumbuh kembangnya tanpa ada paksaan atau tuntutan yang dapat membatasi ruang gerak anak11. Jenis pengasuhan terhadap anak normal dan anak berkebutuhan khusus sangat berbeda, baik dalam pembentukan kepribadiannya maupun perkembangan literasinya.

Kata literasi menurut Webster’s English Dictionary berasal dari kata literacy yang diartikan sebagai kemam- puan anak dalam membaca dan menulis.

Namun menurut Kuder dan Hasit literasi tidak hanya sebatas kemampuan menulis dan membaca saja akan tetapi juga

11 Hidayati, Asuh Asah Asih: Dual Career Family (1st ed.).

mencakup kemampuan membaca, menu- lis, berbicara, mendengar, membayangkan dan melihat.

Ada banyak aktivitas yang dapat dilakukan orang tua dalam mengem- bangkan literasi anak dalam kegiatan sehari-hari, antara lain membacakan buku secara teratur, memancing anak menceri- takan kegiatannya, mengajak bernyanyi, bermain sosio drama, memanfaatkan ber- bagai fasilitas pendukung literasi dan memberikan motivasi kepada anak untuk meningkatkan aktivitas dan minat literasi.

Pemanfaatan fasilitas dalam praktek literasi yang kurang tepat dan dalam kondisi yang belum siap maka tidak akan memberikan pengaruh pada motivasi dan minat anak dalam aktivitas literasi.

Sebaliknya jika pemanfaatan fasilitas bervariasi dan dilakukan secara kontinyu maka praktek literasi akan efektif dan dapat meningkatkan minat literasi anak.

Selain itu menjadi hal penting dalam meningkatkan minat literasi anak adalah pola interaksi yang bersahabat misalnya dengan cara membimbing secara hangat, tidak dengan kemarahan, bentakan, pak- saan, ancaman, dan tuntutan sehingga

(7)

justru akan menurunkan minat literasi anak. Pola interaksi hangat misalnya juga dengan memakai bahasa dan tutur kata lemah lembut, menyisipkan candaan, sam- bil bermain dan sesekali memberikan pujian sehingga minat anak meningkat.

Minat literasi anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan keterlibatan orang tua dalam pendam- pingan anak. Keluarga yang memiliki budaya literasi dan senantiasa melibatkan anak dalam setiap aktivitas literasi secara otomatis akan membuka peluang dalam menumbuhkan minat literasi anak. Seba- liknya keluarga yang sebenarnya memiliki budaya literasi tapi tidak melibatkan anak di dalamnya hanya akan memberikan peluang kecil dalam menumbuhkan lite- rasi anak. Adanya kesadaran orang tua akan pentingnya literasi dan kebutuhan dalam menumbuhkan minat literasi dalam mendukung bentuk keterlibatan yang dila- kukan oleh orang tua. Orang tua memahami pentingnya literasi akan terlibat dengan lebih bervariasi, baik secara fasilitas, aktivitas dan kebiasaan yang dibangun.

12 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

“Panduan Gerakan Literasi Nasional.

Kemendikbud,” 2017.

Menurut Kemendikbud ada 3 jenis ketrampilan yang harus dimiliki oleh seluruh bangsa di dunia di abad ke-21, yaitu literasi dasar, kompetensi dan karakter. Keterampilan literasi dasar mencakup kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh Bangsa Indonesia antara lain literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya atau kewargaan12.

Dari beberapa kemampuan dasar literasi yang ada, penelitian ini memfo- kuskan pada literasi dasar bahasa dan numerasi pada anak autisme. Disebutkan dalam Rosmala Dewi bahwa jumlah anak autis meningkat dan tingginya angka autism ini menjadi mendapat perhatian luas dari masyarakat maupun profes- sional. Terkait jumlah anak autis di Indonesia belum ada data resmi, namun lembaga sensus Amerika Serikat mela- porkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autis atau GSA di Indonesia mencapai 475.000 orang13. Studi tentang anak autis telah banyak dikaji oleh para peneliti dari berbagai aspek. Dari beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa tidak sedikit orang tua

13 Dewi dan Yullyana, “PENGALAMAN ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK AUTIS DI KOTA BANDA ACEH.”

(8)

yang menolak keadaan dimana anaknya mendapat gangguan autisme. Sikap peno- lakan dan penerimaan orang tua tentang keberadaan anak autis sangat dipengaruhi oleh latar belakang agama, tingkat pendidikan, budaya dan kebiasaan kelu- arga, kondisi perekonomian, usia dan respon yang diberikan masyarakat sekitar terhadap pengasuhan anak autis. Dari beberapa penelitian yang disebutkan masih sedikit sekali yang memfokuskan pada kajian pengembangan literasi dasar anak autisme melalui proses pengasuhan yang tepat.

Ada 5 permasalahan literasi yang menjadi objek kajian pada penelitian ini, meliputi kemampuan menulis, membaca, berhitung, berbicara dan mendengar.

Berdasarkan hasil obeservasi awal yang dilakukan oleh peneliti di lembaga SE Tuban, sebuah lembaga di Kota Tuban yang menangani anak berkebutuhan khusus, bahwa dari 27 anak didik di lembaga SE terdapat 12 anak yang tergolong autism. Angka tersebut menun- jukkan bahwa ada hampir 50% anak yang memiliki hambatan autism dan angka tersebut terbilang cukup besar. Namun

14 John W. Creswell, Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five Approaches, 3. ed (Los Angeles: Sage, 2013).

yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 2 keluarga yang terdiri dari orang tua dan anggota keluarga lain yang tinggal satu atap dengan anak autism usia sekolah dasar.

Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif-fenomenologis yang bertujuan untuk mengetahui fenomena pengasuhan anak autis dan bagaimana pola asuh orang tua yang tepat dalam mengembangkan kemampuan literasi dasar anak dengan hambatan autism.

Penelitian kualitatif merupakan studi yang mengkaji fenomena yang menggambarkan makna pengalaman secara langsung dan dialami oleh sejumlah individu tentang sebuah konsep atau fenomena. Atau bisa dikatakan penelitian kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang bertujuan untuk mengeksplor dan memahami makna yang dialami oleh sejumlah individu atau sekelompok orang yang dianggap sebagai sumber masalah sosial atau kemanusiaan14. Sedangkan penelitian fenomenologis merupakan strategi penelitian dimana peneliti mengiden-

(9)

tifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu, kemudian memahami pengalaman-penga- laman hidup manusia, selanjutnya menjadikan filsafat fenomenologi sebagai suatu metode yang prosedur-prosedurnya mengharuskan peneliti untuk mengkaji sejumlah subjek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna15.

Adapun teknik pegambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menentukan subjek/objek sesuai tujuan penelitian16. Peneliti memilih subjek/objek sebagai unit analisis dan disesuaikan dengan topik penelitian. Peneliti memilih unit analisis berdasarkan kebutuhannya dan mengang- gap bahwa unit analisis tersebut representatif. Metode pengambilan datanya menggunakan metode wawan- cara, yaitu melakukan tanya jawab ke informan untuk mendapatkan informasi.

Melalui wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpre- tasikan situasi dan fenomena yang terjadi.

15 Ibid.

Selain wawancara, metode observasi juga dilakukan untuk pengumpulan data.

Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap pola asuh orang tua dalam mengembangkan literasi dasar anak autis menjadi sumber informasi juga dalam penelitian ini. Pengumpulan data penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai pada bulan Februari hingga April 2021. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah 2 keluarga yang memiliki anak dengan hambatan autisme denan rentang usia sekolah dasar.

Temuan dan Pembahasan Temuan penelitian

Untuk mendapatkan gambaran tentang kontrol pola asuh terhadap kemampuan literasi dasar pada anak autis, peneliti memilih 2 keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (autism) untuk dilakukan observasi dan wawancara tentang kontrol pola asuh, baik dari orang tua, keluarga, sekolah, maupun peneri- maan masyarakat sekitar terhadap ke- mampuan literasi dasar anak.

Dari hasil observasi dan wawancara, ada 2 model pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dan keluarga.

16 D. Satori, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010).

(10)

Keluarga pertama adalah keluarga ‘Tn’, model pengasuhan orang tua bersifat otoriter, hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan ibu kepada anak bersifat memaksa, apabila perintah ibu tidak dituruti, ibu tidak segan untuk mencubit bahkan memukul anak. Sebagai contoh, informan (orang tua) akan mengawal anaknya ketika ia mengaji, disebabkan perilaku anak yang hiperaktif, sering loncat dari jendela, bermain di lingkungan yang jauh dari rumah dll. Menurut Baumrind17 pola asuh otoriter adalah orang tua yang menghargai kontrol dan kepatuhan tanpa banyak tanya. Mereka berupaya memaksa anak mematuhi standar perilaku yang dibuat serta secara tegas akan menghukum anak jika melakukan pelanggaran. Dalam kesem- patan ini, informan menjelaskan bahwa ia bersikap tegas sebagai bentuk kasih sayang, lebih baik ia mencubit anaknya sendiri daripada dicubit orang lain. Lain waktu, apabila anak di rumah, informan akan membebaskan anak bermain gadget sesuka hati, melihat TV tanpa ditemani.

Oleh karenanya, bahasa yang dipakai anak sehari-hari adalah bahasa Indonesia,

17 D. E. Papalia, S. W. Olds, dan R. D. Feldman, Human Development (10th ed.) (McGraw-Hill, 2008).

meskipun orang tuanya berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Dalam hal literasi, anak lebih banyak belajar dari gadget, ia mengingat, mengkomunikasikan bahasa yang diperoleh (lebih sering membeo), sedangkan kemampuan membaca, menu- lis dan berhitung lebih banyak diperoleh dari sekolah (SDLB)

Lain orang tua, lain pula keluarga dalam model pengasuhannya. Jika orangtua ‘Tn’ model pengasuhan lebih bersifat otoriter, maka keluarga ‘Tn’

(bude) lebih bersifat permisif. Ciri umum model pengasuhan permisif ini adalah membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin18, sementara, masyarakat sekitar beberapa ada yang tidak bisa menerima kondisi serta perilaku anak yang sering masuk kedalam rumah-rumah untuk mencari lampu, hp dll.

Keluarga kedua, model pengasuhan orang tua ‘IA’ bersifat permisif. Ibu ‘IA’

adalah single parent yang bekerja sebagai guru. Pengasuhan anak lebih banyak diserahkan kepada kakek dan neneknya.

Dalam pengasuhan, antara orangtua dan

18 Ibid.

(11)

keluarga saling bekerjasama. Pemahaman ibu ‘IA’ tentang anak autis disampaikan kepada keluarganya, termasuk jenis makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan kepada si anak. Ibu ‘IA’ juga menyediakan gadget dan permainan edukatif yang bisa merangsang kemam- puan literasi dasar anak, seperti mem- biarkan anak melihat youtube dengan pengawasan, sehingga anak tidak hanya bermain tapi juga belajar huruf, angka, serta belajar mengingat. Adapun masyara- kat sekitar mampu menerima dan mema- hami kondisi dan perilaku anak.

Dari data yang diperoleh, kemampuan literasi dasar anak autis dipengaruhi oleh pola asuh yang permisif.

Susanto menyatakan pola asuh permisif lebih cenderung memberi kebebasan ser- ta control yang longgar pada anak, seperti memanjakan anak secara berlebihan, segala permintaan anak dituruti, anak dibiarkan semaunya sendiri, orangtua tidak banyak mengatur, dan lain sebagai- nya19. Dalam hal ini, keluarga ‘Tn’, orangtua pola pengasuhannya lebih kea- rah otoriter, namun jika bersama dengan

19 A. Susanto, Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak (1st ed.) (Jakarta: Kencana, 2015).

bude atau keluarga yang lain, lebih kearah permisif, sebab anak diberikan kesem- patan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya jika berada didalam rumah, misalnya saja saat bermain hp, hanya akan berhenti jika baterainya habis. Begitu juga dengan keluarga ‘IA’, kakek-neneknya sangat menyayangi sang cucu, sehingga segala kemauan dituruti. Namun demikian masih ada kontrol dari ibu ‘Ia’ tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak, termasuk melakukan diet makanan.

Literasi dasar terdiri atas kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, menghitung, persepsi, mengkomunikasikan, serta menggamba- rkan informasi berdasarkan pemahaman dan kesimpulan pribadi20. Adapun ke- mampuan mendengarkan dan berbicara cenderung dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan keluarga selama di rumah, sedangkan kemampuan dalam membaca, menulis, dan berhitung banyak diperoleh dari pola asuh saat di sekolah. Hasil wawancara dari orangtua, saat di sekolah anak tidak hanya diajarkan tentang bina

20 Kemendikbud, “Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” 2016.

(12)

diri, tetapi juga yang berkaitan dengan literasi dasar, seperti pengenalan angka dan huruf, membaca dengan media gambar, serta menulis, ibu ‘Tn’ menga- takan jika di rumah anak lebih banyak belajar dari apa yang dilihat baik dari Youtube maupun TV. Sementara informasi yang diperoleh dari ibu ‘IA’, sebelum sekolah di sekolah umum, anak ‘IA’

terlebih dahulu mengikuti terapi selama 2 tahun. Ilmu yang diperoleh dari terapis kemudian diterapkan di rumah, misalnya pemahaman pada instruksi, latihan kontak mata, dan komunikasi dua arah. Adapun kemampuan berhitung anak dari angka 1- 10 (meskipun dengan suara yang kurang jelas) diperoleh dari melihat tayangan lagu anak-anak di youtube.

Dapat disimpulkan bahwa kontrol pola asuh juga dipengaruhi oleh pen- didikan dan pengetahuan orangtua.

Melalui pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh orangtua dari riwayat pendidikannya, dapat mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berperilaku. Begitu juga pengetahuan, membesarkan anak tidak cukup jika hanya dengan membe- rikan kasih sayang saja, namun diperlukan

21 Hidayati, Asuh Asah Asih: Dual Career Family (1st ed.).

pengetahuan serta ketrampilan yang baik dalam pengasuhan. Pengetahuan tersebut tidak hanya didapat dari bangku pendidikan formal saja, akan tetapi bisa juga diperoleh dari media massa baik cetak maupun elektronik, dari artikel, ataupun dari pengalaman orang lain21.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, untuk meningkatkan literasi dasar pada anak autis diperlukan pendekatan yang memanfaatkan sensori visual (penglihatan), auditori (pendenga- ran), dan kinestetik-taktil (gerakan – peraba) untuk meningkatkan daya ingat dan mempermudah proses pembelajaran.

Secara gamblang, model literasi multisen- sory ini memberikan pengetahuan bagi para pendidik, orang tua, maupun orang yang terlibat dalam pengasuhan untuk lebih sering mengajak anak berbicara, membacakan buku cerita bergambar, membacakan dongeng, menstimulasi anak untuk menggambar tokoh dan kejadian dalam buku cerita, mengajak anak bermain sambil diajak berbicara, menyanyi, menulis, bermain peran dan lain sebagainya22.

22 Lisnawati Ruhaena, “Model Multisensori: Solusi Stimulasi Literasi Anak Prasekolah,” Jurnal

(13)

Secara spesifik literasi multisensory bisa dikembangkan dalam beberapa ben-

tuk kegiatan23. Perhatikan tabel dibawah ini:

Jenis gangguan Metode Literasi multisensory

Media Materi

Autisme Melihat, mengamati dan menyebutkan objek dengan teknik prompt (memberikan instruksi dengan bicara dan gerakan)

Bercakap-cakap

Melipat, menempel, mewarnai

Puzzle

Kartu bergambar

CD lagu/film animasi pendek

Pensil warna, lem, kertas

Kepatuhan dan kontak mata

Pemahaman pada instruksi

Pengenalan huruf dan kata

Komunikasi 2 arah

Interaksi

Ketrampilan motorik

Latihan bina diri

Psikologi 42, no. 1 (1 April 2015): 47, https://doi.org/10.22146/jpsi.6942.

23 N. L. Fitri, “Pengembangan literasi multisensori pada anak usia dini berkebutuhan khusus,” Al

Hikmah Proceedings on Islamic Early Childhood Education 1 (2018): 503–12.

(14)

Dalam implementasinya, literasi multisensory ini menggunakan metode, media, dan materi yang dapat menstimulasi semua sensorik anak.

Sedmentara isi materi disesuaikan dengan kebutuhan anak. Metode multisensory ini digunakan sebagai solusi literasi pada anak autis, sebab diajarkan dengan melihat, meraba, mendengar, serta mengucapkan bunyi huruf. Hal ini dimaksudkan agar hambatan yang dialami anak autis bisa diminimalisir. Namun demikian, apapun metode yang digunakan, akan semakin mudah diajarkan pada anak autis jika mereka mampu patuh dan mampu membuat kontak mata, seperti halnya membaca, menulis dan berhitung24.

Sebagian besar anak autis mampu belajar dengan sangat baik melalui indra penglihatannya. Adapun ciri-ciri anak dengan kekuatan visual yang baik adalah mereka senang bermain puzzle, menyukai bentuk- bentuk, suka menonton video, TV, terutama film kartun, menyukai angka, huruf, dan terkadang dapat membaca meskipun tidak ada yang mengajari25. Dalam penelitian ini, tidak banyak peran orangtua untuk mengajarkan anak

24 Susanto, Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak (1st ed.).

dalam hal membaca, menulis, dan berhitung. Keduanya memperoleh kemampuan tersebut dari tempat pembelajaran (sekolah dan TPQ) serta dari melihat tayangan-tayangan baik dari youtube dan TV.

Kesimpulan

Kemampuan literasi anak autis dipengaruhi oleh kontrol pola asuh.

Kontrol pola asuh ini tidak hanya didapat dari orangtua, melainkan juga oleh pihak lain yang mengambil alih tugas pengasuhan sementara ketika orangtua tidak dapat melakukan tugas pengasuhannya. Kemampuan anak dalam mendengarkan dan berbicara lebih banyak diperoleh dari gadget (Youtube) dan TV, melalui tayangan- tayangan tersebut anak memperoleh banyak kosakata yang kemudian sering diucapkan sendiri, dalam artian anak senang meniru atau membeo.

Sedangkan kemampuan literasi dalam hal membaca, menulis, dan berhitung lebih banyak diperoleh anak di sekolah.

Selain itu, pola pengasuhan anak autis dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan orangtua.

25 J. R. Atmaja, Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (P. Latifah (ed.))

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017).

(15)

el Bidayah: Journal of Islamic Elementary Education

Volume 4, Nomor 2, September 2022 227

Daftar Pustaka

Atmaja, J. R. Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus (P.

Latifah (ed.)). Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017.

Bursuck, M. Menuju Pendidikan Inklusi Panduan Praktis untuk Mengajar.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Creswell, John W. Qualitative Inquiry &

Research Design: Choosing among Five Approaches. 3. ed.

Los Angeles: Sage, 2013.

Dewi, Rosmala, dan Rischa Yullyana.

“PENGALAMAN ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK AUTIS DI KOTA BANDA ACEH.”

Psikoislamedia Jurnal Psikologi 3 (2018): 14.

Fitri, N. L. “Pengembangan literasi multisensori pada anak usia dini berkebutuhan khusus.” Al

Hikmah Proceedings on Islamic Early Childhood Education 1 (2018): 503–12.

Hidayati, L. Asuh Asah Asih: Dual Career Family (1st ed.). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga., 2017.

Kemendikbud. “Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan,”

2016.

Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. “Panduan Gerakan Literasi Nasional.

Kemendikbud,” 2017.

Papalia, D. E., S. W. Olds, dan R. D.

Feldman. Human Development (10th ed.). McGraw-Hill, 2008.

Ruhaena, Lisnawati. “Model

Multisensori: Solusi Stimulasi Literasi Anak Prasekolah.” Jurnal Psikologi 42, no. 1 (1 April

2015): 47.

https://doi.org/10.22146/jpsi.6 942.

Satori, D. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2010.

Susanto, A. Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak (1st ed.).

Jakarta: Kencana, 2015.

Widiana, D., dan K. D. Ambarwati. “Pola Asuh Orangtua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (Tunarungu) di Boyolali.”

ADIWIDYA 2, no. 1 (2018): 10–

15.

Yuwono, J. Memahami Anak Autis Berkebutuhan Khusus. Alfabeta.

Bandung: Alfabeta, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

NTB di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa: Pola asuh orangtua dan peran yang sangat dibutuhkan dalam melatih kemandirian anak yang baik ada pola asuh demokratis, yakni: 1 bentuk