• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of MODERASI BERAGAMA MENURUT BUYA HAMKA BERDASARKAN Q.S. AL-BAQARAH AYAT 256

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of MODERASI BERAGAMA MENURUT BUYA HAMKA BERDASARKAN Q.S. AL-BAQARAH AYAT 256"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

102 MODERASI BERAGAMA MENURUT BUYA HAMKA

BERDASARKAN Q.S. AL-BAQARAH AYAT 256

Mutaqin Alzamzami1 Iqbal Ansari2

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta muttaqinalzamzami@gmail.com

Received September 2022

Revision Juni 2023

Published Juli 2023

Abstract: This study focuses on the study of surah al-Baqarah: 256 on religious freedom according to Buya Hamka in the interpretation of Al-Azhar by using a content analysis approach. Through this approach, the author tries to describe it analytically and interpretively. And this research method is categorized into a qualitative type, which focuses on literature and library materials as data sources.

The results of this study are First, Buya Hamka explained that the verse and the previous verse (Al- Baqarah:255) are closely related and inseparable. He explained that the Verse of The Throne is the most important teaching in Islam which clearly states about monotheism. Second, Buya Hamka in Tafsir al-Azhar explains the verse using the bi al-Ma'śūr method. Third, according to Buya Hamka, based on the Qur'an letter al-Baqarah: 256, that Islam does not allow coercion in embracing religion.

But invites people to think about the truth of the message of Islam. For him, coercion in embracing religion makes one's religion false and can cause conflict. The relevance of Buya Hamka's interpretation at this time when viewed from a variety of religions must be maintained in accordance with the struggle of the founding fathers in formulating Pancasila that can embrace all diversity, not by prioritizing egoism.

Keywords: Freedom of religion, al-Baqarah verse 256, Buya Hamka.

Abstrak: Penelitian ini fokus pada kajian surat al-Baqarah ayat 256 tentang kebebasan beragama menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar dengan menggunakan pendekatan content analisis.

Melalui pendekatan tersebut, penulis mencoba mendeskripsikan secara analitis dan interpretatif. Dan metode penelitian ini dikatagorikan ke dalam jenis kualitatif yaitu yang berfokus pada literatur dan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data. Hasil dari penelitian ini adalah Pertama, Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat tersebut dan ayat sebelumnya (Al-Baqarah ayat 255) sangat berkaitan dan tak terpisahkan. Beliau menjelaskan bahwa ayat kursi adalah ajaran terpenting dalam Islam yang memuat secara gamblang tentang ketauḥidan. Kedua, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan ayat tersebut menggunakan metode bi al-Ma’śūr. Ketiga, menurut Buya Hamka berdasar al-Qur’ān surat al- Baqarah ayat 256, bahwa Islam tidak memperbolehkan pemaksaan dalam memeluk agama. Namun mengajak orang untuk berfikir tentang kebenaran risalah Islam. Baginya pemaksaan dalam memeluk agama menjadikan keagamaan seseorang menjadi palsu dan dapat menimbulkan pertentangan.

Relevansi penafsiran Buya Hamka pada saat ini jika di lihat dari agama yang beraneka ragam haruslah di jaga sesuai dengan perjuangan founding father dalam merumuskan Pancasila yang dapat merangkul seluruh keberagaman, tidak dengan mengedepankan egoisme.

Kata Kunci: Kebebasan beragama, al-Baqarah ayat 256, Buya Hamka.

Pendahuluan

Kebebasan beragama merupakan topik yang selalu menarik untuk dibahas, karena tema ini sering kali memunculkan perdebatan panas. Beberapa orang berpendapat bahwa semua agama itu sama sehingga setiap orang bebas untuk

(2)

memilih agamanya sesuai dengan kehendaknya.1 Sebagian yang lain menganggap jika seseorang hendaknya menunjukkan jalan (dakwah) menuju agama yang dianggapnya benar agar mendapat keselamatan.

Sementara itu menurut KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), pada salah satu pengajiannya ia menerangkan bahwa la ikraha fiddin bukan berarti seseorang bebas dalam memilih agama sesuai dengan keinginannya.2 Ayat ini harus dipahami satu ayat penuh sehingga akan dipahami bahwa yang dimaksud adalah tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam karena yang benar sudah jelas dan yang salah juga sudah jelas sehingga Islam tidak butuh memaksa orang-orang untuk masuk agamanya.

Menurutnya dalam ayat ini tidak ada pemahaman kebebasan dalam beragama karena jika setiap orang bebas dalam memilih agama maka untuk apa adanya seorang Rasul yang membawa syariat Islam. Mereka para Rasul berjuang dalam berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada seluruh umat dengan susah payah dan seringkali mendapatkan ujian berupa cacian bahkan serangan fisik. Tidak mungkin setelah perjuangan berat yang mereka lewati lalu kemudian mereka membebaskan dalam memilih agama sesuai dengan kehendak mereka masing-masing.

Adapun al-Qur`ān merekam tentang kebebasan beragama ialah dalam surat al-Baqarah ayat 256.

ِدَقَف ِ َّللَّبِب ْيِه ْؤٌَُّ ِثُْغبَّطلبِب ْسُفْكٌَ ْيَوَف ًَِّغْلا َيِه ُدْشُّسلا َيٍََّبَح ْدَق ِيٌِّدلا ًِف ٍَاَسْكِإ َلَ

ىَقْثُْْلا ِةَّ ْسُعْلبِب َكَسْوَخْسا ٌنٍِلَع ٌعٍِوَس ُ َّاللََّّ بََِل َمبَصِفًْا َلَ

“Tidak ada paksaan dalam (menganuti) agama (Islam), sesungguhya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berprgang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 256).3

Ayat tersebut dipahami beragam oleh mufassir khususnya mengenai redaksi ayat la ikraha fiddin. Salah satu di antaranya adalah pendapat Ibnu Katsir ia mengatakan bahwa tidak boleh memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam, sebab sudah cukup jelas petunjuk dan bukti-buktinya Allah, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya, tetapi barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah untuk masuk Islam, dilapangkan dadanya, dan cahaya ilmunya maka dia sudah masuk ke dalamnya berdasarkan keterangan dan bukti. Dan barang siapa yang Allah butakan hatinya, menutupi pendengaran dan penglihatannya, maka sesungguhnya tidak bermanfaat masuknya dia ke dalam agama ini dengan paksa.4

Sejalan dengan hal itu, Quraish Shihab juga berpendapat bahwa tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama. Hal ini karena Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian, sebagaimana Islam sendiri adalah agama yang damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.5 Sedangkan dalam pandangan ajaran Islam sendiri dengan jelas menyatakan

1 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis (Jakarta: Gema Insani 2005), hlm. 263.

2 Gus Bahauddin, dalam “Pengajian Rutin Kitab Tafsīr Jalalain”, Yogyakarta: Ponpes Izzati Nuril Qur’an, tanggal 25 Agustus 2019. Pukul 21:15 Wib.

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’ān Tajwid & Terjemahan (Bandung: CV Penerbit Diponogoro, 2010), hlm 42.

4 Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur’ān al’Azim, Jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 129.

5 M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ān, Juz I, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 551-552.

(3)

bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam memeluk agama sebagaimana tidak dilarangnya seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya.6 Hal ini memberikan bukti bahwa kebebasan beragama dalam Islam sangat terjamin. Sebagaimana kebebasan beragama tersebut dijelaskan Allah dalam al-Qur`ān.

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia berkali-kali mengalami dinamika keagamaan. Salah satu contohnya adalah kontroversi yang “dibuat” oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 1981 yang waktu itu Buya Hamka menjabat sebagai ketuanya. MUI mengeluarkan Fatwa Natal yang berkenaan dengan larangan kaum Muslim menghadiri perayaan natal.7 Latar belakang fatwa ini salahsatunya adalah insiden tahun 1968. Pada tahun itu hari raya Idul Fitri jatuh berdekatan dengan hari natal. Oleh karena itu, beberapa instansi pemerintah mengadakan acara serentak halal bi halal dalam rangka idul fitri dan natal. Maka acara dibuka dengan pembacaan ayat suci al-Qur’ān dilanjutkan dengan pembacaan Al-Kitab. Fatwa Natal ini mengundang pro dan kontra, yang memaksa Buya Hamka memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua MUI dari pada mencabut fatwa tersebut.8

Pandangan Buya Hamka ini harus dilihat secara menyeluruh (holistik) dengan konteks, pandangan hidup, latar belakang sosial dan hal-hal lain yang berpengaruh terhadap pandangan ini. Perbedaan pemahaman hakikatnya tidak bisa dilepas dari pengaruh politik, sosial, agama dan budaya tertentu di mana seseorang hidup. Bisa jadi, seseorang yang hidup dalam konteks kehidupan sosial keagamaan yang homogen mempunyai pandangan yang berbeda dengan seseorang yang hidup dalam konteks masyarakat hetrogen secara sosial keagamaan. Oleh karena itu penting untuk melihat konteks sosial politik keagamaan di mana seseorang hidup sehingga dapat diketahui konteks yang mempengaruhi pemikirannya.

Buya Hamka adalah seorang tokoh yang lahir di lingkungan Indonesia yang majemuk. Selain itu ia tumbuh sebagai seorang yang kepakarannya lintas disiplin, selain sebagai seorang ulama, ia juga seorang sastrawan. Banyak karya yang berhasil ia hasilkan baik dari bidang agama, sastra, budaya, maupun bidang tasawuf. Selain popularitas dan pengaruhnya, berdasarkan biografinya tidak pernah menuntut ilmu Islam di timur tengah seperti kebanyakan ulama yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang unik karena apa yang ia dapatkan semuanya diperdalam di Indonesia.9 Karya yang paling fenomenal dari sekian banyak karya seorang Hamka adalah tafsīr al-Qur`ān yang ia tulis ketika di dalam penjara.

Dengan judul Tafsir al-Azhar, hingga sekarang kitab ini merupakan satu-satunya tafsīr al-Qur`ān yang ditulis ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna.10 Hal ini dapat menjadi pijakan untuk melihat konteks dari pandangan- pandangannya.

Berbeda dengan polemik Fatwa Natal, pandangan Hamka dalam persoalan

6 Fawaizul Umam, Kala Beragama Tak Lagi Merdeka Majelis Ulama Indonesia Dalam Peraktis Kebebasan Beragama, (Surabaya: Kencana.2015), hlm. 57.

7 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998) hlm. 181-182. Bandingkan dengan Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2004) hlm. 420.

8 Alwi Shihab, Membendung Arus…, hlm. 181-182. Bandingkan dengan Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen…, hlm. 420.

9 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh, (Solo: Tinta Medina 2011), hlm. 253.

10 Hamka, Dari Hati Ke Hati, (Jakarta: Gema Insani 2016) hlm. 259.

(4)

kebebasan beragama cenderung inklusif. Ketika menafsirkan al-Qur’ān surat Ali Imran ayat 19 tentang makna Islam Buya Hamka mengembalikan makna kata al-Din yang umumnya dimaknai agama diartikannya menjadi tunduk. Sedangkan kata Islam diartikan “selamat sejahtera, menyerah, damai”.11

Dari penjelasan di atas terlihat ada sesuatu yang menarik dan layak untuk ditelaah mengenai pemahaman Buya Hamka tentang kebebasan beragama khususnya surat al-Baqarah ayat 256. Dalam penelitian ini, penulis mengambil penafsiran Buya Hamka dari kitab Tafsir al-Azhar yang merupakan produk dari sambungan pemikiran dan pemahaman dari seorang ulama asli nusantara terhadap ayat al-Qur’ān dan tentu memiliki pengaruh dari lingkungan sosial terhadap penafsirannya. Hal itu juga dikarenakan untuk memberi pemahaman kepada pembaca untuk meresapi dan memahami makna-makna yang terkandung dalam ayat, sesuai dengan realitas masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.

Pandangan Umum Kebebasan Beragama

Sebelum membahas kebebasan beragama berdasarkan penafsiran Buya Hamka, terlebih dahulu akan dibahas menurut pandangan umum. Ada beberapa pandangan yang akan dibahas, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Makna Kebebasan Beragama Secara Bahasa

Secara etimologi kebebasan beragama berasal dari dua kata, yaitu “bebas”

yang artinya merdeka, tidak terikat, tidak terpaksa dan dapat melakukan keinginannya, dan “beragama” yaitu memeluk agama atau kepercayaan tertentu.12 Dari pengertian ini maka “kebebasan beragama” dapat dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk suatu agama atau keyakinan yang di inginkan. Adapun secara istilah kebebasan beragama menunjukkan paham keberagaman yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai agama yang harus dihormati dan dihargai. Selain itu untuk menunjukkan sikap kesadaran yang dalam akan adanya kemajemukan.13

Dalam bahasa Arab bebas yaitu “hurrun”, asal kata dari “harra-yahaaru” yakni menjadi bebas, lawan kata dari budak atau tawanan, yakni bebas atau merdeka.14 Kebebasan dapat diartikan dalam bahasa Arab berarti hurriyyatun.15 Dapat dimengerti sebagai suatu keadaan makhluk hidup yang tidak tunduk kepada suatu paksaan, yakni mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemauan sendiri.16 Jika dijadikan kata majemuk, seperti kebebasan berfikir akan menjadi hurriyyatu at-tafkir. Dan kebebasan memilih lebih cenderung untuk memilih yang baik, yaitu hurriyyatul-ihtiyar.17 Walaupun lafadz kebebasan atau “hurriyyah” tidak pernah disebut secara tegas dalam al-Qur’ān, namun telah banyak lafadz yang dapat disimpulakan telah mengandung makna dari kebebasan tersebut. Dan makna kebebasan dalam teks-teks syariah memiliki

11 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz II. (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2007) Hlm. 732.

12 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 73-43.

13 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 41.

14 Louis Ma’luf, al-Munjīd fī al-Lugah wa al-A’lam, dār al-Masyriq, (Lebanon: Bairut, 2002), hlm. 124.

15 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia: tahsin K.H. Ali Ma’shum dan K.H. Zainal Abidin Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif) edisi kedua, hlm. 251.

16 Muhammad Taqiyuddin: https://www.academia.edu/29576659/ Konsep_Hurriyyah_dan_Ikhtiyar_

dalam_Islam. Diakses pada 29 Desember 2020, pukul 09:15.

17 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia: tahsin K.H. Ali Ma’shum dan K.H. Zainal Abidin Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif) cetakan pertama, hlm. 108-109.

(5)

kesamaan makna dengan makna kebebasan dalam bahasa Arab. Bahkan pengertin dari kebebasan dalam teks-teks syariah memiliki ketegasan yang lebih detail dan dapat dimengerti.18

Dalam Bahasa Inggris, freedom (kebebasan) didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan diri sendiri, bebas memilih, mengikuti dan melaksanakan pilihannya.19 Sedangkan Religius Liberty (kebebasan Beragama) berarti hak setiap peribadi atau kelompok untuk melaksanakan agamanya tanpa canpur tangan kelompok lain.20 Kebebasan yakni yang berkaitan dengan kemampuan untuk menentukan cara memilih agama atau keyakinan yang sesuai dengan keyakinan pribadinya tanpa rintangan dari pihak manapun.

Istilah kebebasan beragama menurut David E. Apter pada awalnya mengacu kepada masyarakat-masyarakat yang majemuk. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat majemuk adalah masyarakat penduduknya yang tidak homogen, tetapi terbagi dalam kelompok suku, etnis, agama dan kebudayaan. Ini artinya bahwa pluralisme di Indonesia disebut dengan istilah majemuk yaitu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen-elemen yang hidup sendiri-sendiri yang memiliki tanda- tanda seperti tidak ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan agama, soaial dan politik, tidak adanya kehendak bersama, sistem nilai yang berbeda-beda. Anggota masyarakat kurang memiliki homogenitas kebudayaan, dan kurang memiliki dasar- dasar untuk saling memahami satu sama lain.21

b. Kebebasan Beragama Dalam Islam

Ajaran Islam merupakan sebuah ajaran yang sangat peduli terhadap persoalan kemanusiaan. Rangkaian ajarannya yang meliputi bidang hukum, keimanan, etika dan sikap hidup menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan. Salah satu ajaran Islam yang dengan sempurna menampilkan nialai- nilai universalnya adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Satu dari kelima jaminan dasar itu adalah kebebasan berkeyakinan.22

Secara umum, Islam meberi pengakuan penuh terhadap kebebasan beragama Terdapat banyak alasan tekstual untuk menegaskan bahwa kebebasan beragama dalam Islam sangat dijunjung tinggi sebagai salah satu dasar kamanusian. Misalnya, surat al-Baqarah ayat 256 yang menegaskan bahwa Islam menolak segala jenis pemaksaan dalam soal kepenganutan agama, bahwa untuk menganut Islam sekalipun.

Bagi Islam, permakluman bahwa jalan yang benar berbeda dengan jalan yang sesat talah cukup tegas seraya mengandaikan mereka yang memilih beriman kepada Allah laksana berpegang pada bahul tali yang sangat kuat dan tidak akan pernah putus.23

Hamka mengilustrasikan di antara contoh kasus pemeluk agama, misalnya

18 Sa’id bin Ali bin Tsabit, al-Ḥurriyyah al-I’lāmiyyah fī Ḍau’I al-Islam, Dāru Ālamil Kutub, Kulliyyatu as- Da’wah Jaami’ah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah, (Riyadh, Saudi Arabia, 1412 H), hlm. 15.

19 Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ. Kamus Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.

220.

20 Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ. Kamus Teologi…hlm. 134.

21 Misrah. “Keebasan Beragama dalam Perspektif Hadis”, MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010, hlm 177.

22 Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadinah, 1994), hlm. 366.

23 Fawaizul Umam, Kala Beragama Tak Lagi Merdeka Majelis Ulama Indonesia Dalam Peraktis Kebebasan Beragama, (Surabaya: Kencana, 2015), hlm. 57-58.

(6)

orang lapar dibujuk dengan nasi sepiring dan diberikan kalau dia masuk Islam dan terpaksa orang yang kelaparan tadi mau menerima menerima tawaran untuk masuk Islam supaya laparnya hilang. Dalam hukum Islam, orang yang berbuat seperti itu dihukumi haram dan keberislamannya tidak sah.24

Apalagi dalam hal pemaksaan, ajaran Islam sangat jelas mengatakan bahwa tidak boleh ada unsur pemaksaan dalam memeluk agama, sebagaimana juga tidak boleh ada larangan bagi seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Dan salah satu tujuan Islam ialah memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan masing-masing dan melakukan ibadahnya dengan aman dan tenang.25

c. Ayat-ayat Mengenai Kebebasan Beragama

Adapun ayat-ayat yang berbicara mengenai kebebasan beragama menurut Dede Rodin,26 setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Yang pertama mengenai ayat-ayat yang menyatakan bahwa setiap individu diberi kebebasan untuk memilih keimanan atau kekufuran dengan konsekuensinya masing-masing, seperti ayat-ayat berikut:

َسْكِإ َلَ

ِدَقَف ِ َّللَّبِب ْيِه ْؤٌَُّ ِثُْغبَّطلبِب ْسُفْكٌَ ْيَوَف ًَِّغْلا َيِه ُدْشُّسلا َيٍََّبَح ْدَق ِيٌِّدلا ًِف ٍَا ٌنٍِلَع ٌعٍِوَس ُ َّاللََّّ بََِل َمبَصِفًْا َلَ ىَقْثُْْلا ِةَّ ْسُعْلبِب َكَسْوَخْسا

“Tidak ada paksaan dalam (menganuti) agama (Islam), sesungguhya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berprgang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 256).27

َش ْهَمَف ْمُنِّثَر ْهِم ُّقَحْىا ِوُقََ

َطبَحَأ اًربَو َهٍِمِىبَّظيِى بَوْذَتْعَأ بَّوِإ ْزُفْنٍَْيَف َءبَش ْهَمََ ْهِمْؤٍُْيَف َءب

َفَت ْزُم ْتَءبَصََ ُةاَزَّشىا َشْئِث َيُُجُُْىا يُِْشٌَ ِوٍُْمْىبَم ٍءبَمِث اُُثبَغٌُ اُُثٍِغَتْضٌَ ْنِإََ بٍَُقِداَزُص ْمٍِِث بًق

“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang yang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minuman niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (Q.S. al-Kahf 18:29)

ُزْفُم ًٍَِْيَعَف َزَفَم ْهَم اُُيِمَعََ اُُىَمَآ َهٌِذَّىا َيِزْجٍَِى َنَُذٍَْمٌَ ْمٍِِضُفْوَ ِلَِف بًحِىبَص َوِمَع ْهَمََ ُي

َهٌِزِفبَنْىا ُّتِحٌُ َلَ ًَُّوِإ ًِِيْضَف ْهِم ِتبَحِىبَّصىا

“Siapa saja yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung akibat kekafirannya itu dan siapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat menyenangkan) agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunianya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar” (Q.S. Al-Rum 30: 22-25)

24 Hamka, Hak-hak Asasi Manusia antara Deklarasi PBB dan Islam, (Jakarta: Panjimas, 1971), hlm 23.

25 Mun’im A. Sirry (ed.), Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerja Sama dengan The Asia Foundation), hlm. 112.

26 Dede Rodin, “Riddah dan Kebebasan Beragama Dalam Al-Qur`ān,” Ahkam, Vol. XIV, No. 2, Juli 2014, hlm. 255-256.

27 Departemen Agama RI, Al-Qur’ān Tajwid & Terjemahan (Bandung: CV Penerbit Diponogoro, 2010), hlm 42.

(7)

Kedua, Nabi Muhammad Saw hanya diberi tugas sebagai penyampai ajaran Allah, memberi kabar gembira dan peringatan. Beliau tidak memiliki hak memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya, sebagai mana ayat-ayat berikut ini.

َنُُمُتْنَت بَمََ َنَُذْجُت بَم ُمَيْعٌَ ُ َّاللَََّ ُغ َلََجْىا َّلَِإ ِهُُصَّزىا ىَيَع بَم

“Kewajiaban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan dan Allah mengetahui apa yang kalian tampakkan dan sembunyikan”. (Q.S. Al-Ma’idah 5:99)

بَم ْنِإََ

ُةبَضِحْىا بَىٍَْيَعََ ُغ َلََجْىا َلٍَْيَع بَمَّوِئَف َلَّىٍََّفََُتَو ََْأ ْمٌُُذِعَو يِذَّىا َطْعَث َلَّىٌَِزُو

“Dan jika kami perlihatkan kepadamu sebagai (siksa) yang kami ancamkan kepada mereka atau kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan kamilah yang menghisab amalan mereka”. (Q.S. Al-Ra’d 13:40)

ِذٍِعََ ُفبَخٌَ ْهَم ِنَآْزُقْىبِث ْزِّمَذَف ٍربَّجَجِث ْمٍٍَِْيَع َتْوَأ بَمََ َنُُىُُقٌَ بَمِث ُمَيْعَأ ُه ْحَو

“Kami lebih mengetahui tantang apa yang mereka katakana dan kamu bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur`ān orang yang takut kepada ancaman-ku”. (Q.S. Al-Qaf 50:45)

َهٌِذَّىاََ

اَُذَخَّتا ِم ًِِوَُد ْه َءبٍَِى ََْأ َُّاللَّ

ظٍِفَح ْمٍٍَِْيَع بَمََ

َتْوَأ ْمٍٍَِْيَع ٍوٍِمَُِث

“Dan orang-orang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi (perbuatan) mereka dan kamu (Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka”.

(Q.S. Al-Syura 42:6)

َأ ْمُنُيَمَع ْمُنَىََ ًِيَمَع ًِى ْوُقَف َكُُثَّذَم ْنِإََ

َنُُيَمْعَت بَّمِم ءيِزَث بَوَأََ ُوَمْعَأ بَّمِم َنُُئٌِزَث ْمُتْو

“Jika mereka mendustakanmu maka katakanlah: “bagiku pekerjaanku dan bagi kalian pekerjaan kalian. Kalian berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan”. (Q.S. Yunus 10:41)

Ketiga, memberikan petunjuk (hidayah dan menyesatkan manusia hanya menjadi hak Allah Swt, bukan hak manusia termasuk Nabi Saw.

ُءبَشٌَ ْهَم يِذٌٍَْ َ َّاللَّ َّهِنَىََ ْمٌُاَذٌُ َلٍَْيَع َشٍَْى

“Bukan lah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-nya”. (Q.S. Al-Baqarah 2:272)

ُنٌَ ىَّتَح َسبَّىىا ُيِزْنُت َتْوَأَفَأ بًعٍِمَج ْمٍُُّيُم ِضْرَ ْلْا ًِف ْهَم َهَمَ ََ َلُّثَر َءبَش َُْى َهٍِىِم ْؤُم اُُوُ

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang ada di muka bumi beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. (Q.S. Yunus 10:99)

ُمَيْعَأ ٌَََُُ ُءبَشٌَ ْهَم يِذٌٍَْ َ َّاللَّ َّهِنَىََ َتْجَجْحَأ ْهَم يِذٍَْت َلَ َلَّوِإ َهٌِذَتٍُْمْىبِث

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-nya dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Q.S. Al-Qashash 28:56).

(8)

Biografi Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

Nama Lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka, adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang yang mempunyai integritas tinggi dalam bidang moral dan keilmuan. Ia lahir 16 Februari 1908 M/14 Muharram 1362 H, di Ranah Minangkabau, Desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat.28 Hamka digelari Buya, yaitu panggilan untuk orang Minang, kata buya tersebut berasal dari bahasa Arab, abi, abuya yang berarti ayahku atau seorang yang dihormati.29

Buya Hamka merupakan putra dari Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan seorang ulama besar di Minangkabau dan Ibunya bernama Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah. Di usianya yang ke-22 tahun, Buya Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan, tepatnya pada tanggal 29 April 1929, sedangkan istrinya pada saat itu masih berusia 15 tahun, berjarak kurang lebih 7 tahun dengannya. Sekilas tentang istrinya, Hamka menuturkan bahwa Siti Rahman binti Endah Sutan merupakan istri yang sangat setia yang mengikuti dan mendampinginya, dan dia juga tidak pernah mengeluh ketika hidup keduanya dalam keadaan melarat dan tidak pernah menyombong waktu hidup keduanya menaik.30 Dari ungkapan Buya Hamka mengenai istrinya tersebut, dapatlah dipahami bahwa istrinya merupakan sosok yang tidak hanya sekedar setia, melainkan juga seorang yang sederhana walaupun dalam kehidupan yang sedang menaik.

Selain dikenal sebagai ulama, Buya Hamka juga merupakan seorang pujangga, pengarang dan politikus.31 Ia banyak mengubah syair dan sajak, menulis karya sastra, dan mengarang buku-buku yang bernafaskan keagamaan. Ia menjadi tempat bertanya dan rujukan berbagai masalah keagamaan. Ia pernah menjadi anggota Dewan Konstituante (dari Partai Masyumi) setelah pemilihan umum tahun 1955.32 Selain aktif dalam masalah keagamaan dan politik, Buya Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan sastrawan. Sejak 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makassar. Ia juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.33

Buya Hamka mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar,

28 Puslektur Kemenag, Ensiklopedi PEMUKA AGAMA NUSANTARA (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khzanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2016), hlm. 240.

29 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh (Solo: Tinta Medina, 2011), hlm. 249.

30 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm. xi-xii.

31 Buya Hamka juga merupakan salah satu seorang tokoh pembaharu Minangkabau yang berupaya menggugah dinamika umat, ia juga merupakan seorang intelektual yang memiliki wawasan generalistik dan modern. Upaya yang dilakukannya merupakan sebuah gerakan pembaruan Islam, bukan saja di Minangkabau bahkan Indonesia secara luas pada awal sampai paroh ketiga abad XX. Dikutip dari karya Hamka Islam dan Adat Minangkabau terdapat sebuah perhitungan sejarah pembaruan Islam di Indonesia di mulai di Minangkabau, pada rentang abad ke-18 dan 19. Lihat, Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 3.

32 Kegiatan politik Hamka dimulai pada 1925 ketika menjadi anggota Sarekat Islam. Pada 1945, ia membantu penentangan kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai gerilya di dalam hutan di Medan. Pada 1947, Buya hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Lihat, Salman Iskandar, 55 Tokoh, hlm. 249.

33 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim, hlm…, 251.

(9)

Kairo, Mesir pada tahun 1958/1959.34 Doktor Honoris Causa tersebut ia dapatkan atas jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunkan bahasa Melayu.

Kemudian pada 6 Juni 1974, ia kembali memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesesasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.35 Meskipun pendidikan formalnya tidak berlangsung lama, akan tetapi Buya Hamka mendapatkan gelar sampai ia menyandang gelar Profesor.

Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981.36 Namun demikian, jasa dan pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam, ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh, ulama, dan sastrawan di tanah kelahirannya, melainkan jasanya juga dikenal di seluruh Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura.37 Pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yan menjadi imam salat jenazahnya. Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan dishalati lagi, kemudian akhirnya dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.38

Sejak kecil Buya Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca al- Qur’ān langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desahanya sempat dienyam sekitar 3 tahun dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam.39 Walaupun pendidikan secara formal Buya Hamka tidak lama, sebagaimana yang ia katakan di koran “Pedoman” ia hanya selesai sampai kelas II SD, akan tetapi, hausnya akan ilmu membuatnya banyak berguru ke tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia. Buya Hamka adalah seorang murid tokoh pergerakan Islam, H. O. S.

Tjokroaminoto. Tidak mengherankan jika ia tumbuh dalam kaidah-kaidah Islam.

Buya Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam modern Muhammadiyah. Bahkan, Buya Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama berdirinya organisasi Muhammadiyah di wilayah Sumatera Barat. “Muhammadiyah itu lahir di Yogyakarta, tapi dibesarkan di Sumatera Barat.”40

Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia mampu menyelidiki karya

34 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan (Bandung: ANGKASA, 2003), hlm. 385.

35 Puslektur Kemenag, Ensiklopedi PEMUKA AGAMA…, hlm. 243.

36 Sembilan pekan setelah mundur dari jabatan ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, Buya Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadhan. Pada pukul 10 pagi hari ketujuh, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan nafas terakhirnya tidak lama setelah itu. Buya Hamka dipanggil Ilahi untuk selamanya pada hari jum’at, ia wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981 M/23 Ramadhan 1401 H pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Lihat, Puslektur Kemenag, Ensiklopedi PEMUKA AGAM…, hlm. 243.

37 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim…, hlm. 252.

38 Puslektur Kemenag, Ensiklopedi PEMUKA AGAMA…, hlm. 243-244.

39 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual…, hlm. 18.

40 H. O. S. Tjokroaminoto lahir pada tahun 1883 tepatnya di Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Ia merupakan seorang pertama yang meneriakkan Indonesia Merdeka. Sosok dan pengaruhnya begitu ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda. “De Ongekronde van Java atau Raja Jawa tanpa Mahkota”

adalah julukan pemerintah kolonial Belanda untuknya. Lihat, Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang…, hlm.

75-79.

(10)

ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husain Haikal. Melalui bahasa Arab pula, ia meneliti karya sarjana Prancis, Inggris, dan Jerman, seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.41 Dari ketekunan dan kecerdasan Buya Hamka, ia memiliki wawasan bidang keilmuan yang sangat luas, tidak hanya dalam kajian al-Qur`ān dan tafsir, ia juga menguasai tasawuf, pendidikan dan lain sebagainya.

Penafsiran Buya Hamka tentang Kebebasan Beragama dalam Tafsir Al-Azhar Q.S. Al-Baqarah: 256

a. Asbāb Al-Nuzūl Q.S. al-Baqarah ayat 256

Mengenai Asbāb al-Nuzūl surat al-Baqarah ayat 256 dalam Tafsir al-Azhar menurut riwayat dari Abu Dawud dan An-Nasa’i, dan Ibnu Mundzir, Ibnu Djarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaihi, Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan beberapa riwayat yang lain, bahwasanya penduduk Madinah sebelum mereka memeluk agama Islam, mereka merasakan bahwa kehidupan orang Yahudi lebih baik dari kehidupan mereka, sebab mereka jahiliyah. Oleh karena itu di antara mereka ada yang menyerahkan anak kepada orang Yahudi untuk mereka didik dan nantinya setelah dewasa anak-anak itu menjadi orang Yahudi. Ada pula perempuan Arab yang setiap melahirkan selalu meninggal, maka kalau dapat anak lagi secepatnya langsung diserahkan kepada orang yang Yahudi dan oleh orang Yahudi anak-anak itu diyahudikan.

Kemudian orang Madinah menjadi Islam, menyambut Rasulullah dan menjadi Al-Anshar. Maka setelah Rasulullah pindah ke Madinah dibuatlah perjanjian bertetangga baik dengan kabilah-kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah itu. Tetapi dari bulan ke bulan, tahun per tahun perjanjian iti mereka pungkiri, baik secara halus mapun secara kasar. Akhirnya terjadilah pengusiran atas Bani Nadhir yang telah dua kali kedapatan hendak membunuh Nabi, lantaran itu diputuskanlah mengusir habis seluruh Qabilah Bani Nadhir itu keluar dari Madinah, rupanya ada pada Bani Nadhir itu anak orang Anshar yang telah mulai dewasa dan telah menjadi orang Yahudi.

Ayah anak itu memohonkan kepada Rasulullah agar anak itu ditarik ke Islam kalau perlu dengan paksa. Sebab si ayah tidak sampai hati bahwa dia memeluk Islam sedangkan anaknya menjadi Yahudi. “belahan diriku sendiri akan masuk neraka, ya Rasulullah !” Kata orang Anshar itu. Dan waktu itulah turun ayat ini.42

b. Munāsabah Q.S. Al-Baqarah ayat 256

Relasi antara Q.S. al-Baqarah ayat 256-257 dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 255:

ًِف بَهَّ ِثاَّبَوَّسلا ًِف بَه ََُل ٌمًَْْ َلََّ ٌتٌَِس ٍُُرُخْأَح َلَ ُمٍَُّْقْلا ًُّ َحْلا َُُْ َّلَِإ َََلِإ َلَ ُ َّاللَّ

ِدٌَْأ َيٍَْب بَه ُنَلْعٌَ ًَِِْذِئِب َّلَِإ ٍَُدٌِْع ُعَفْشٌَ يِرَّلا اَذ ْيَه ِضْزَ ْلْا ٍء ًَْشِب َىُْطٍِحٌُ َلََّ ْنَُِفْلَخ بَهَّ ْنٌِِ

ا ًُِّلَعْلا ََُُّْ بَوُُِظْفِح ٍُُدُْئٌَ َلََّ َضْزَ ْلْاَّ ِثاَّبَوَّسلا ٍَُُِّسْسُك َعِسَّ َءبَش بَوِب َّلَِإ َِِوْلِع ْيِه ُنٍِظَعْل

“Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah malainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluknya tidak ngantuk dan tidak tidur. Kepunyaannya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izinnya. Allah

41 Salman Iskandar, 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh (Solo: Tinta Medina, 2011), hlm. 250.

42 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz III, hlm. 27.

(11)

mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakinya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)

Ayat sebelumya yakni ayat 255 telah menjelaskan siapa Allah dan kewajarannya untuk disembah, dan keharusan mengikuti agama yang ditetapkannya, serta jelas pula bawa dia memiliki kekuasaan yang tidak terbendung. Maka bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan Allah untuk memaksa makhluk untuk menganut agamanya, apalagi dengan kekuasaannya yang tak terkalahkan itu. Untuk menampik dugaan itu datanglah ayat 256 tersebut yang menegaskan tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam.43

Selain itu Sayd Quthub dalam tafsirnya berpendapat bahwa seluruh penjelasan Allah terkait kaidah-kaidah tasawwur tersebut, yakni kekuasaan Allah itu, agar setiap Muslim berjalan di jalannya, dan jelas gambarannya terhadap akidahnya.

Akidah yang menjadi dasar pijakan seluruh manhaj hidupnya. Kemudian dia berperang di jalan Allah. Bukannya untuk memaksa manusia kepada akidahnya dan pandangan hidupnya, tetapi untuk menunjukkan jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan untuk menghilangkan unsur-unsur fitnah dan kesesatan. Setelah itu biarlah manusia menentukan urusannya.44

Relasi Q.S. al-Baqarah ayat 256-257 dengan ayat setelahnya, yakni ayat 258 ialah:

َّلا ًَِّبَز ُنٍُِاَسْبِإ َلبَق ْذِإ َكْلُوْلا ُ َّاللَّ ٍُبَحَآ ْىَأ َِِّبَز ًِف َنٍُِاَسْبِإ َّجبَح يِرَّلا ىَلِإ َسَح ْنَلَأ يِر

ِسْوَّشلبِب ًِحْأٌَ َ َّاللَّ َّىِئَف ُنٍُِاَسْبِإ َلبَق ُجٍِهُأَّ ًٍِ ْحُأ بًََأ َلبَق ُجٍِوٌَُّ ًٍِ ْحٌُ

بَِِب ِثْأَف ِقِسْشَوْلا َيِه

َيٍِوِلبَّظلا َمَْْقْلا يِدٌَِْ َلَ ُ َّاللََّّ َسَفَك يِرَّلا َجُِِبَف ِةِسْغَوْلا َيِه

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata:

saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat”, lalu terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 258)45

Ayat 258 ini menjelaskan hal terkait kisah Nabi Ibrahim yang mempertahankan agamanya, yang mana hal tersebut tidak terlepas dari korelasi dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bawha Thalut senantiasa membawa orang- orang kafir dari cahaya keimanan menuju gelapnya kekafiran.

c. Tafsir al-Azhar Q.S. al-Baqarah ayat 256

ٌَ ْيَوَف ًَِّغْلا َيِه ُدْشُّسلا َيٍََّبَح ْدَق ِيٌِّدلا ًِف ٍَاَسْكِإ َلَ

ِدَقَف ِ َّللَّبِب ْيِه ْؤٌَُّ ِثُْغبَّطلبِب ْسُفْك

ٌنٍِلَع ٌعٍِوَس ُ َّاللََّّ بََِل َمبَصِفًْا َلَ ىَقْثُْْلا ِةَّ ْسُعْلبِب َكَسْوَخْسا

Tidak ada paksaan dalam (menganuti) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berprgang (teguh) pada tali yang sangat kuat

43 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`ān, (Jakarta: Lentera Hati, Vol. 1, cer. IX, 2007), hlm. 551.

44 Sayyd Quthb, Tafsir fi Dzilalil Qur’an, terj. Terj. As’ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press), hlm. 326.

45 Departemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahan…, hlm. 42.

(12)

yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 256) 46 Sebelum Hamka menafsirkan ayat ini, ia terlebih dahulu menjelaskan bahwa awal ayat Q.S. al-Baqarah: 256 “la ikraha fi al-din” dengan ayat sebelumnya ayat kursi47 tidaklah terpisah. Kedua ayat tersebut saling berhubungan dan memiliki kaitan makna. Ayat sebelumnya yaitu ayat kursi menjelaskan tentang tauḥīd, ajaran terpenting dalam Islam. Tauḥid yang diuraikan meliputi makna ketuhanan secara keseluruhan dan sesuai dengan fitrah manusia. Oleh sebab itu, Hamka menjelaskan bahwa seseorang yang tulus dan ikhlas tidak akan mudah terpengaruh dan mengikuti ajaran nenek moyang atau paksaan dari pemuka-pemuka agama yang bertentangan dengan ajaran tauḥid dalam ayat kursi. Dengan sendirinya orang tersebut akan menerima keterangan tentang ke-tauḥidan dari ayat kursi, karena di dalamnya telah dijelaskan secara gamblang.48

Itulah mengapa pada ayat selanjutnya yaitu ayat 256 ini diterangkan bahwa di antara jalan yang benar, cerdik dan bijaksana sudah jelas berbeda dengan jalan yang sesat, sehingga tidak perlu dipaksakan. Konsep ketuhanan pada ayat kursi sudah sangat jelas sehingga orang-orang tidak perlu dipaksa untuk meyakininya. Ayat “tidak ada paksaan dalam agama” mengandung arti bahwa tidak ada paksaan kepada siapapun untuk meyakini agama (Islam) karena kebenaran tauḥid dalam agama Islam sudah diuraikan dengan jelas di dalam ayat kursi. Orang yang jujur dan ikhlas akan tergerak hatinya untuk meyakini sesuatu yang absolut benar atau kebenaran yang sifatnya universal.49

Dalam kitab al-Azharnya, Hamka menyebutkan bahwa seorang anak yang sudah jelas menjadi Yahudi tidak boleh dipaksakan untuk memeluk agama Islam. Ia kemudian mengutip hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Nabi hanya memanggil anak-anak tersebut lalu disuruh untuk memilih, apakah mereka akan memeluk agama ayah mereka yaitu Islam atau tetap sebagai seorang Yahudi yang akan turut diusir? Dalam riwayat lain sebagimana disebutkan Hamka dijelaskan bahwa diantara anak-anak tersebut ada yang akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam dan sebagian lainnya tetap menganut keyakinan lama mereka (Yahudi). Anak- anak yang mempertahankan keyakinan mereka akhirnya turut bersama para pengasuhnya yang juga masih Yahudi meninggalkan kota Madinah.50

Hamka melanjutkan, keyakinan terhadap suatu agama tidak boleh dipaksakan sebab “telah nyata kebenaran dan kesesatan” sebagaimana dijelaskan penggalan ayat berikutnya. Semua orang bisa menggunakan akalnya untuk menimbang dan memilih kebebasan itu dan ia pun mempunyai pikiran waras untuk menjauhi kesesatan. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak melanggar batas dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat teguh yang tidak akan putus selama-lamanya.” agama Islam memberi kebebasan kepada semua orang untuk memaksimalkan daya pikirnya sebagai jalan mencari kebenaran. Jika seseorang mau membebaskan dirinya dari pengaruh hawa nafsu, maka dia akan bertemu dengan kebenaran yang ia cari. Apabila inti kebenaran sudah ia dapat, niscaya iman kepada

46 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 26.

47 Q.S Al-Baqarah: 256

48 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 26-27.

49 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 27.

50 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 27.

(13)

Allah akan timbul dengan sendirinya tanpa harus dipaksakan.51

Ayat tersebut merupakan suatu tantangan kepada manusia untuk mengetahui kebenaran Islam. Orang-orang tidak perlu dipaksa untuk memeluknya, tetapi cukup diajak untuk berfikir. Jika fikirannya sehat, ia akan sampai pada kebenaran Islam.

Akan tetapi jika ada paksaan, maka yang terjadi adalah apa yang disebut oleh Hamka sebagai “perkosaan fikiran” yang hanya menimbulkan taqlid. Manusia sebagai diri pribadi akan datang dan pergi, akan lahir dan mati. Akan tetapi, fikiran manusia akan berjalan dan terus berkembang. Penilaian manusia atas agama akan dilanjutkan dan kebebasan berfikir dalam memilih keyakinan adalah tujuan dari manusia yang telah maju.52

Ayat ini adalah dasar teguh dari Islam. Musuh-musuh Islam membuat berbagai fitnah yang dikatakan “ilmiah” sifatnya bahwa Islam dimajukan dengan pedang. Islam dituduh memaksa orang memeluk agamanya. Pengetahuan seperti ini pun kadang-kadang dipaksakan agar diterima orang, terutama di masa-masa negeri Islam dalam penjajahan orang dipaksa menerima “teori” itu dan orang tidak diberi kesempatan membanding.53

d. Analisis Ayat Tentang Kebebasan Beragama

Buya Hamka mengatakan bahwa jika anak telah memilih agama yahudi maka siapapun tidak boleh memaksanya memeluk agama Islam, kemudian beliau menukil riwayat dari Ibnu Abbas pada saat itu Nabi hanya memanggil anak-anak tersebut dan disuruh memilih antara agama Islam atau tetap menjadi agama yahudi.54 Dari keterangan tersebut Buya Hamka mengatakan bahwa meyakini suatu agama tidak boleh dipaksakan. Menurut beliau, agam Islam memberi kesempatan orang menggunakan pikirannya yang jernih untuk mecari kebenaran. Islam tidak pernah memaksa orang untuk memeluknya, tetapi Islam mengajak orang untuk berpikir, karena jika dia menggunakan akal sehatnya dia pasti akan memilih Islam.

Menurut Buya Hamka ada beberapa oknum dari musuh Islam yang membuat berbagai fitnah dengan mengatakan bahwa, Islam berkembang dengan peperangan, Islam dituduh melakukan pemaksaan. Menurutnya jika mereka hendak mengetahui dakwah Islam mereka harus melihatnya dari sumber aslinya yaitu al-Qur’ān dan as- Sunnah. Ayat inilah yang menjadi sumber dakwah Islam yaitu Islam menjelaskan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam memilih agama tertentu. Dari sumber hadis sendiri kita bisa mengambil dari sikab Nabi yang tidak memaksa Yahudi Bani Nadhir untuk memeluk agama Islam ketika peristiwa pengusiran mereka, seperti yang telah dijelaskan sebelumya dalam Asbāb al-Nuzūl dalam ayat tersebut. Kemudian Buya Hamka mengutip pendapat Philips Kitti seorang sarjana Keristen Arabia yang mengakui bahwasanya ayat ini adalah salah satu ayat ajaran dalam Islam yang patut menjadi panutan bagi semua agama.55

Setelah itu Buya Hamka memberikan bukti sejarah historis seperti Nabi Muhammad yang tidak memaksa kelompok Bani Nadhir untuk masuk ke dalam agama Islam, begitu juga anak-anak dari sahabat Anshar yang terlebih dahulu sudah

51 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 28.

52 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 28.

53 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 28.

54 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 27.

55 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 28.

(14)

memeluk agama Yahudi. Mereka juga tidak dipaksa untu masuk kembali dalam agama Islam. Hamka juga menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa agama Islam menjadi besar dengan membenarkan kekerasan seperti perang. Perang-perang yang terjadi di masa Nabi Muhammad tak ada satupun yang mempunyai motif agama melainkan politik kekuasaan.56

Buya Hamka memberi contoh orang-orang yang masuk Islam tanpa adanya paksaan. Dimasa Nabi orang-orang masuk Islam denga tanpa paksaan seperti oraang- orang Nasrani Arab seperti Adij Bin Hatim mereka datang dari tempat yang jauh dengan kemauan sendiri, tidak ada paksaan sedikitpun. Begitu juga Tamim Ad-Darij, Suhaib dan Salman Al-Farisi mereka masuk agama Islam berdasarkan keinginan mereka sendiri dan menjumpai Rasulullah secara langsung. Padahal, pada saat itu ayat ini belum turun. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluknya.

Ajaran tersebut bukan saja diamalkan pada masa Rasulullah, tapi diamalkan juga oleh generasi setelahnya. Buya Hamka mengutip riwayat dari Imam Bukhari yang diterimanya dari Aslam bahwa Khalīfah Umar Bin Khattab mempunyai dua orang pelayan yang sangat disayangin dan sudah dianggap sebagai keluarganya, keduanya pernah di ajak oleh Umar Bin Kahttab agar masuk agama Islam. Namun mereka berdua menolaknya, hal tersebut tidak membuat Khalīfah marah apalagi melakukan tindakan paksaan.

Buya Hamka juga memberikan manifestasi dari ayat ini yaitu terdapat minoritas Nasrani di Palestina, Suria, Irak dan Mesir. Ada juga minoritas Yahudi di negeri Yaman dan Afganistan kemudian Buya Hamka menambahkan perbedaan perlakuan yang diterima oleh kaum Muslimin yang dipaksa masuk agama Nasrani di Spanyol. Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa Islam sejak awal tidak pernah mengajarkan pemaksaan terhadap umat agama lain untuk memeluk agamanya.57

Dalam sejarah penyebaran Islam awal biasanya para prajurit perang Islam sebelum menyerang suatu negeri mereka terlebih dahulu dan mengirim surat atau utusan untuk memberikan tiga peringatan, yang pertama, ajakan untuk masuk Islam.

Kedua, jika tidak mau, mereka diperbolehkan tetap memeluk agamanya tetapi dengan syarat harus membayar jizyah. Ketiga, jika mereka tidak mau masuk Islam dan juga tidak mau membayar jizyah, maka dilakukanlah ekspansi peperangan terhadap suatu negeri. Walau demikian mereka juga tidak dipaksa untuk harus memeluk agama Islam, dan pada akhir penefasirannya Hamka menjelaskan bahwa pada surah al- Baqarah ayat 256 dijadikan dalil agar umat Islam tidak menyerang orang Kristen.

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 62 Hamka menyerukan persatuan agama.58 Maksudnya adalah agama tidak boleh menjadi satu golongan saja, tapi agama harus membuka diri pada pencarian kebenaran sejati. Orang-orang yang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani dan orang-orang sabiin harus bersama-sama mencari kebenaran yakni Islam yang berarti tunduk atau pasrah. Bahkan orang yang mengaku Islam harus memperbaharuhi keislamannya dengan tulus dan sejati.

56 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 29.

57 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III…, hlm. 30.

58 Buya Hamka, Tafsir al-Azhar (singapura: Pusataka Nasional Pte Ltd, 2007) hlm. 202-211.

(15)

Kesimpulan

Adapun yang dapat diambil kesimpulan ialah sebagai berikut: Pertama, secara bahasa kebebasan beragama berasal dari dua kata, yaitu “bebas” yang artinya merdeka, tidak terikat dan dapat melakukan keinginannya, dan “beragama” yaitu memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Dalam pandangan ajaran Islam mengenai kebebasan beragama sendiri dengan jelas menyatakan tidak boleh ada pemaksaan dalam memeluk agama sebagaimana tidak dilarangnya seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Didalam Al-Qur’ān juga dipapaprkan salah satu ayat yang menjelaskan kebebasan beragama dalam surat al-Baqarah ayat 256. Tidak ada paksaan dalam beragama.

Kedua, dalam penafsirannya Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat tersebut dan ayat sebelumnya (Al-Baqarah ayat 255) sangat berkaitan dan tak terpisahkan.

Beliau menjelaskan bahwa ayat kursi adalah ajaran terpenting dalam Islam yang memuat secara gamblang tentang ketauḥidan. Ketiga, Buya Hamka dalam Tafsir al- Azhar menjelaskan ayat tersebut menggunakan metode bi al-Ma’śūr. Keempat, menurut Buya Hamka berdasar al-Qur’ān surat al-Baqarah ayat 256, bahwa Islam tidak memperbolehkan pemaksaan dalam memeluk agama. Namun mengajak orang untuk berfikir tentang kebenaran risalah Islam. Baginya pemaksaan dalam memeluk agama menjadikan keagamaan seseorang menjadi palsu dan dapat menimbulkan pertentangan. Relevansi penafsiran Buya Hamka pada saat ini jika di lihat dari agama yang beraneka ragam haruslah di jaga Sesuai dengan perjuangan founding father dalam merumuskan Pancasila yang dapat merangkul seluruh keberagaman, tidak dengan mengedepankan egoism sudah dicontohkan oleh founding fathers yang berkompromi dalam perdebatan 7 kata (Ketuhanan Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya) dalam piagam Jakarta.

Daftar Pustaka

Bahauddin, Gus, 2019 “Pengajian Rutin Kitab Tafsir Jalalain”. Yogyakarta: Ponpes Izzati Nuril Qur’an.

Departemen, Agama, RI, 2010. Al-Qur’ān Tajwid & Terjemahan. Bandung: CV Diponogoro.

Hamka, 1971. Hak-hak Asasi Manusia antara Deklarasi PBB dan Islam. Jakarta:

Panjimas.

________, 1994. Tafsir Al-Azhar Jus I. Jakarta: Pustaka Panjimas.

________, 1994. Tafsir Al-Azhar Jus II. Jakarta: Pustaka Panjimas.

________, 1994. Tafsir Al-Azhar Jus III. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Haris, Abd. 2010. Etika Hamka Konstruksi Etika Berbasis Rasional Religius.

Iskandar, Salman. 2011. 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh. Solo: Tinta Medina.

Kemenag, Puslektur, 2016. Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara. Jakarta: Puslitbang Lektur.

Ma’luf, Louis. 2002. al-Munjīd fī al-Lugah wa al-A’lam, dār al-Masyriq, Lebanon: Bairut.

(16)

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia: tahsin K.H. Ali Ma’shum dan K.H. Zainal Abidin Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, Nizar, Samsul, 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka

tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Quthb Sayyd, 2000. Tafsīr fi Dzilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press.

Rachman, Budhy, Munawar, (ed), 1994. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.

Jakarta: Paramadinah.

Rodin Dede, 2014. “Riddah dan Kebebasan Beragama dalam Al-Qur’ān”. Ahkam:

Vol. XIV, No. 2.

Sa’id bin Ali bin Tsabit, al-Ḥurriyyah al-I’lāmiyyah fī Ḍau’I al-Islam, Dāru Ālamil Kutub, Kulliyyatu as-Da’wah Jaami’ah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah, Riyadh, Saudi Arabia, 1412 H.

Shihab, Alwai, 1998. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan.

________, 1998. Islam Inklusif. Bandung: Mizan

Shihab, Muhammad, Quraish, 2017. Tafsīr Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’ān, Juz I. Jakarta: Lentera Hati.

Sirry, Mun’im, A, (ed.), Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.

Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Begerja Sama dengan The Asia Foundation.

SJ, Gerald, O’Collins dan SJ, Edward, G, Farrugia, 1996. Kamus Teologi. Yogyakarta:

Kanisius.

Thoha, Anis, Malik, 2005. Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, Jakarta: Gema Insani.

Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur’ān al’Azim, Jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 129.

Tim Penyusun, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Umam, Fawaizul. 2014. Kala Beragama Tak Lagi Merdeka Majelis Ulama Indonesia Dalam Peraktis Kebebasan Beragama. Surabaya: Kencana.

Usman, Ali, 2006. Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan, dan Agama.

Yogyakarta: Pilar Media.

Referensi

Dokumen terkait

Surah al-Baqarah: Ayat 219 Menerusi kajian ini, penulis telah meneliti bahawa Hamka telah mengaplikasikan maqasid syariah ketika mentafsirkan ayat tersebut dengan menyentuh aspek