• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of HAKIM SEBAGAI UJUNG TOMBAK SISTEM PERADILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of HAKIM SEBAGAI UJUNG TOMBAK SISTEM PERADILAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI INDEPENDENSI HAKIM

DALAM BERBAGAI DISPARITAS PUTUSAN PERKARA KORUPSI

Zuhrah

Universitas Muhammadiyah Bima Jln. Anggrek No. 16 Ranggo-Na’E Kota Bima

Corresponding Author : Zuhrah, zuhrah@stihm-bima.ac.id

ABSTRAK

Hakim sebagai ujung tombak peradilan berdasarkan sumpah dan janji dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai hakim sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sebagai bentuk peradilan yang merdeka, mandiri dan profesional. Tetapi, dalam perjalanan menjalankan sidang khususnya perkara korupsi, terkadang dengan kewenangan diskresi yang diberikan memberi putusan yang dirasa tidak memberikan keadilan juga menghasilkan disparitas putusan.

Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji independensi hakim dalam membuat putusan dari sudut konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Metode penelitiannya adalah yuridis normatif, yakni mengumpulkan bahan tertulis dan menganalisis berdasarkan data-data disparitas putusan kasus korupsi yang telah diputus. Hasil penelitian ini menemukan bahwa independensi hakim sangat penting dalam menghasilkan putusan yang berkualitas. Di samping itu, hakim dalam peristiwa disparitas putusan kasus korupsi dilakukan dengan menggunakan ratio decidendi, dissenting opinion dan Res Judicate Pro Veritate Hebetur. Selain itu, juga mengukur independensi hakim dari beberapa indikator dari JRI, apakah masih relevan dengan krisis moral yang terjadi pada oknum hakim saat ini.

Kata Kunci: Independensi, Hakim, Disparitas, Putusan, Korupsi

How to Cite : Zuhrah, Z. (2023, March 3). Urgensi Independensi Hakim Dalam Berbagai Disparitas Putusan Perkara Korupsi. SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum, 7(1), 53-73.

https://doi.org/https://doi.org/10.52266/sangaji.v6i2.1259 DOI : 10.52266/sangaji.v6i2.1259

Journal Homepage : https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/sangaji/article/view/1259 This is an open access article under the CC BY SA license

https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

(2)

PENDAHULUAN

orupsi bukan lagi isu baru yang membuat masyarakat kaget, walaupun mereka tahu bahwa korupsi merusak tatanan ekonomi dalam aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi dan individu (Napisa &

Yustio, 2021). Karena masyarakat meyakini bahwa lembaga yang telah dibentuk negara yang akan menanganinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Korupsi di Indonesia terjadi pada pelbagai sektor dan juga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta sektor swasta (private sector). Oleh karena itu pemberantasan korupsi merupakan salah satu fokus utama Pemerintah dan Bangsa Indonesia. Upaya-upaya telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas korupsi secara serentak, mengingat tindak pidana korupsi sebagai white collar crime serta sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) (Waluyo, 2014a).

Korupsi itu sendiri bisa berbentuk penyuapan yang biasa disebut gratifikasi atau pengambilan secara sengaja uang negara dengan tujuan memperkaya diri sendiri, kelompok ataupun korporasi. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga anti rasuah yang berdiri pada masa reformasi dengan legal standing Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN (Indonesia, 1999) serta Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (the Governtment of Indonesia, 1999) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menangani 1.194 kasus sejak 2004 sampai 2021 yang didominasi oleh kasus penyuapan (Annur, 2022). Perkara korupsi tentu akan berujung pada proses peradilan dengan segala perangkat aparat penegak hukumnya. Upaya-upaya pemberantasan sebenarnya telah dilakukan dan diupayakan agar membuahkan hasil berupa tumbuhnya itikad pemberantasan korupsi hingga ke pelosok Indonesia. Pada masa reformasi, selain Kepolisian dan Kejaksaan, sejumlah instansi pelaksanaan dan pendukung pemberantasan korupsi juga dibentuk, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), juga telah dibentuk pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Semua itu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi (Waluyo, 2014a).

Pada tahapan proses mengadili dari tingkat pertama sampai peninjauan kembali oleh lembaga peradilan menuai pro dan kontra di masyarakat karena putusan yang diputuskan tidak memenuhi rasa keadilan baik itu korban maupun pelaku. Karena dalam realita banyak contoh yang bisa kita jadikan bukti, misalnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki, terdapat pertimbangan hakim mengenai gender terdakwa yang dijadikan sebagai salah

K

(3)

satu alasan untuk memperingan lamanya pidana penjara dari 10 (sepuluh) tahun menjadi 4 (empat) tahun. Sehingga, banyak masyarakat yang menilai bahwa pertimbangan dan vonis pemidanaan dalam Putusan No. 10/Pid.Sus- TPK/2021/PT DKI tidak tepat (Agustin et al., 2021). Prinsip equality before the law hanya menjadi nyanyian dalam penegakan hukum di Indonesia karena terbantahkan dengan jargon yang selalu digaungkan bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa hakim yang merupakan struktur dari sistem peradilan tidak memiliki kemerdekaan atau independensi dalam menjalankan tugas, di mana hakim adalah sebagai ujung tombak putusan.

Hakim memiliki suatu peran penting dalam setiap peradilan, baik peradilan umum maupun peradilan tindak pidana korupsi. Hakim dalam proses persidangan diwajibkan untuk bersikap tidak memihak pada salah satu pihak atau tidak bersikap yang bisa mencederai perasaan hukum masyarakat, yang mengakibatkan masyarakat tidak percaya kepada lembaga peradilan. Hakim memiliki peran penting di setiap jalannya peradilan dan selalu dituntut untuk mempertajam kepekaan nurani, kecerdasan moral, dan sikap profesionalisme untuk melaksanakan hukum dan mencapai keadilan yang diwujudkan dalam setiap putusan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada publik (Agustin et al., 2021).

Akan tetapi ditemukan ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen, karena hakim juga manusia memiliki Hasrat akan materi. Menurut teori GONE Jack Bologne ada 4 akar penyebab korupsi yaitu: (Waluyo, 2014b)

1. Greedy (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang potensial ada pada diri seseorang.

2. Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

3. Need (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya.

4. Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan Tindakan-tindakan atau hukuman yang tidak memberi efek jera pelaku maupun masyarakat pada umumnya.

Dalam kasus korupsi, hukuman berat atau ringan bagi koruptor selalu menjadi salah satu pembahasan menarik dalam gerakan pemberantasan korupsi.

Dalam perdebatannya, masyarakat memiliki kecenderungan untuk mempermasalahkan penjatuhan hukuman yang mereka anggap terlalu ringan.

Apalagi jika mereka menemukan perbedaan hukuman yang cukup signifikan (disparitas), terhadap perkara korupsi yang kurang lebih sama dan layak untuk diperbandingkan. Masyarakat anti-korupsi masih menilai bahwa hukuman yang

(4)

diberikan kepada pelaku korupsi belum proporsional antara perbuatan korupsi yang dilakukan, dengan rentang hukuman pidana penjara yang diterimanya.

Dalam kondisi yang demikian, putusan terhadap perkara-perkara korupsi yang terjadi di Indonesia bisa dianggap inkonsisten. Tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tapi juga oleh masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan ratifikasi terhadap Konfensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) menandakan masuknya Indonesia dalam peta dunia pemberantasan korupsi.

Bagi gerakan pemberantasan korupsi, pemberian hukuman berat dan proporsional masih diyakini bias memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Pada titik ini, kinerja lembaga peradilan sangat menentukan pemberian efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi (Tama S. Langkun, Bahrain, Mouna Wassef, Tri Wahyu, 2014).

Selain itu, pemberian grasi kepada para koruptor semakin membuat rakyat skeptis terhadap aparat penegak hukum, dimana grasi tersebut adalah pengampunan yang merupakan bentuk ketidak-konsistenan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan memberi bonus pengurangan masa tahanan. Sehingga peristiwa seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius menangani upaya pemberantasan korupsi. Sebagaimana yang disampaikan Adi Sulistiyono dalam pidato pengukuhan Guru Besar-nya bahwa Presiden dan Wakil Presiden kaitannya dengan pembangunan hukum ekonomi untuk mewujudkan Visi Indonesia 2030 harus mampu memberikan komitmennya yang kuat dan konsisten untuk menjadikan hukum sebagai panglima, yang memandu aktifitas ekonomi dan tegas menghukum bagi pelanggar hukum yang merusak ekonomi bangsa. Untuk itu, mereka harus memberikan teladan ketaatan pada hukum, tegas bagi pelanggar hukum yang tindakannya membahayakan ekonomi nasional, dan mampu memberantas korupsi (Sulistiyono, 2007).

Untuk mencapai optimalnya pergerakan terhadap pemberantasan perkara korupsi, tentu harus dimulai dengan pencegahan. Bila tidak bisa dilakukan dengan cara pencegahan, maka penegakan hukum terhadap koruptor juga menjadi langkah yang masih menuai harapan apabila APH nya bersikap objektif. Akan tetapi, realita mengungkapkan bahwa acapkali terjadi disparitas terhadap penindakan perkara kasus korupsi di Indonesia. Menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu disparitas antara tindak pidana yang sama, disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim, disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama (H. Harkrisnowo, 2003).

Semua putusan tergantung palu hakim yang berada di bawah komando pemerintah pusat dan oleh masyarakat dituntut untuk melaksanakan peradilan

(5)

secara mandiri, professional dan independent agar terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka, berkualitas dan memiliki integritas yang baik demi terwujudnya harapan masyarakat akan tegaknya keadilan.

Salah satu contoh disparitas pemidanaan perkara korupsi di Indonesia bisa dilihat pada perkara suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Pada kasus tersebut, sekurangnya melibatkan 29 (dua puluh sembilan) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Namun, pidana penjara yang dijatuhkan kepada penerima suap tidak sama, bervariasi. Padahal peran yang dilakukan penerima relatif sama, yaitu menerima uang/janji untuk memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (Tama S. Langkun, Bahrain, Mouna Wassef, Tri Wahyu, 2014).

Disparitas putusan dalam kasus ini merupakan tanggung jawab masing-masing dengan pertimbangan hakim bahwa dari pelaku tersebut dikategorikan sebagai yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut melakukan, yang menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan, serta yang membantu melakukan penyertaan diatur di dalam pasal 55, 56, 57 KUHP (Ajeng Arindita Lalitasari, Pujiyono, 2019).

Vonis Dalam Perkara Korupsi

Suap Pemilihan Deputi Senior Gubernur BI (ICW, 2012)

No Nama Vonis

Tahun Bulan

1 Dudhie Makmun Murod 2 0

2 Endien Soefihara 1 3

3 Hamka Yandu 2 6

4 Udju Djuhaeri 2 0

5 Ni Luh Mariani 1 5

6 Sutanto Pranoto Soewarno 1 5

7 Soewarno 1 5

8 Matheous Phormes 1 5

9 Agus Chondro 1 3

10 Max Moein 1 8

11 Rusman L 1 8

12 Poltak Sitorus 0 0

13 Williem M Tutuarima 1 6

(6)

14 Ahmad Hafiz Z 1 4

15 Martin Brian Seran 1 4

16 Paskah Suzeta 1 4

17 Bobby SH Suhardiman 1 4

18 Anthony Zeidra Abidin 1 4

19 Daniel Tanjung 1 3

20 Sofyan Usman 1 3

21 M. Nurlif 1 4

22 Asep R. Sujana 1 4

23 Reza Kamarullah 1 4

24 Baharuddin Aritonang 1 4

25 Hengki Baramuli 1 4

26 Engelina Patiasina 1 5

27 M. Iqbal 1 5

28 Budiningsih 1 5

29 Jefri Tongas 1 5

Dilihat dari konstruksi perkaranya, para anggota DPR tersebut sebenarnya melakukan perbuatan atau tindakan yang tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Secara prinsip, perbuatan yang mereka lakukan adalah menerima sejumlah uang (traveller cheque) dari Nunun Nurbaeti sebagai bentuk terimakasih karena telah memilih Miranda Swaray Gultom sebagai Deputi senior Gubernur Bank Indonesia (Tama S. Langkun, Bahrain, Mouna Wassef, Tri Wahyu, 2014). Namun, terhadap perbuatan tersebut, majelis hakim memberikan hukuman yang berbeda-beda, dan sangat jelas terlihat bahwa telah terjadi disparitas putusan hakim terhadap kasus yang sama. Begitu pula dengan kasus korupsi yang dilakukan secara bersama-sama yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang dengan nomor putusan 78/pid.sus-TPK/2016/PN.Smg dan 48/pid.sus-TPK/2016/PN.Smg sama-sama divonis 1 Tahun 4 bulan. Sedangkkan perkara dengan nomor putusan 5/pid.sus- TPK/2016/PN.Smg dan 77/pid.sus-TPK/2016/PN.Smg divonis 1 Tahun 3 bulan (Ajeng Arindita Lalitasari, Pujiyono, 2019).

(7)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengukur independensi hakim dalam disparitas putusan menggunakan Judicial Reform Index (RJI).1 Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana urgensi independensi hakim terhadap disparitas putusan perkara kasus korupsi di Indonesia?; 2) Doktrin hukum apa yang digunakan hakim pada disparitas putusan perkara korupsi?; 3) Indikator apa yang memengaruhi independensi hakim dalam pelaksanaan peradilan?

HASIL DAN PEMBAHASAN Urgensi Independensi Peradilan

Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya bebas dari intervensi sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 24A. Independensi pengadilan telah menjadi kata kunci dalam politik secara umum. Para ahli hukum melihat bahwa independensi pengadilan adalah persoalan krusial yang harus diperhatikan, dan menurut Adi Sulistiyono pendapat ini cukup fair karena independensi pengadilan sebagai bahan utama untuk demokrasi dan supremasi hukum. Lebih lanjut, Adi Sulistiyono mengemukakan catatan Hakim Agung Breyer yang dikutip dari jurnal Law & Contemporary Problemsnya Stephen G. Beyer yang menyatakan bahwa “kita harus ingat bahwa independensi peradilan merupakan sarana menuju lembaga peradilan yang kuat. Lembaga peradilan yang kuat merupakan sarana menuju mengamankan tujuan dasar masyarakat, kebebasan manusia dan tingkat kemakmuran yang wajar”(Adi Sulistiyono and Isharyanto, 2018).

Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan hakim adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu ataupun tidak terpengaruh oleh siapapun. Dalam konteks lain, independensi juga merupakan hak pribadi sebagai manusia, yang memiliki hak bebas dan merdeka tanpa ditekan oleh pihak lain. Tentunya dimasudkan independensi hakim dalam pelaksanaan tugas yudisialnya adalah mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam menjatuhkan putusannya sesuai dengan keyakinan nuraninya.

Namun disisi lain independensi disini bukan mutlak tanpa batas, akan tetapi ada

1 Judicial Reform Index (JRI) adalah konsep yang dikembangkan oleh Central Europian and Eurasian Law Initiattive (CEELI). JRI merupakan konsepsi dan desain yang disusun untuk mengukur tingkat independensi peradilan dengan berdasar pada UN Basic Principles on The Independence of the Judiciary, the Council of Europe Recommendation on independence of judges, the Europen Charter on The Statute for judges and the international Bar Association Minimum Standard for Judicial Independence. Lebih lanjut mengenai JRI dan CEELI lihat http://abanet.org/ceeli/publications/jri//jri_overview.html

(8)

batasan-batasannya, karena suatu lembaga ataupun organisasi tidak dapat eksis tanpa adanya dukungan dari pihak lain. Independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang- Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa: (H. Trubus Wahyudi, 2013)

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan (H. Trubus Wahyudi, 2013). Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa kata merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, terkandung pengertian yang bersifat fungsional sekaligus institusional (A. Ahsin Thohari, 2004).

Kondisi pengadilan yang terpuruk adalah kondisi dimana lembaga peradilan bertentangan dengan “fitrah” keberadaan lembaga tersebut sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan konflik hukum. Bahkan sebagian masyarakat pernah memberikan cap sebagai “benteng keadilan.” Secara teori keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasi sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat, dan merupakan ‘rumah pengayom’ bagi masyarakat pencari keadilan, yang mempercayai jalur litigasi; serta dianggap sebagai ‘perusahaan keadilan’ yang mampu mengelola sengketa dan mengeluarkan produk keadilan yang bisa diterima oleh semua masyarakat. Jadi sebenarnya tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat. Berdasarkan hal inilah maka beberapa pakar memberi tempat yang terhormat pada pengadilan. R. Dworkin menyatakan the courts are the capital of law’s empire. Menurut J.P. Dawson, hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka dan terhormat.

Bahkan, JR. Spencer menyebutkan, putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan tuhan” atau “the judgment was that of god

(Sulistiyono, 2005).

Di Indonesia, misi agung itu belum terwujud. Realitasnya, kondisi krisis yang terjadi di lingkungan pengadilan telah menyebabkan masyarakat kurang

(9)

memberikan penghargaan pada tugas atau kinerja hakim (Sulistiyono, 2005). Di mana hakim yang seharusnya menjadi corong keadilan, tetapi turut menjadi pelaku. Hakim yang menangani kasus korupsi

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Irjen Departemen Kehakiman Republik Indonesia, telah terjadi pungutan liar yang dilakukan oleh 4 (empat) orang, 8 (delapan) orang disuap, 2 (dua) orang menerima hadiah, 21 orang melakukan penyalahgunaan wewenang, 5 (lima) orang lalai melakukan tugas, 7 (tujuh) orang melanggar tatib kepegawaian, 23 orang melakukan perbuatan pribadi tercela, dan 1 (satu) orang hidup bersama. Jumlah yang melakukan penyimpangan selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun berarti hanya 71 orang. Bila membandingkan dengan penyimpangan yang dilakukan pada kurun waktu 1982-1992, hal ini berarti Departemen Kehakiman telah berhasil menekan jumlah penyimpangan di lingkungan pengadilan. Namun, ternyata kondisi tersebut tidak terlihat dalam praktek di lapangan. Karena berdasarkan realita, praktek korupsi justru semakin meningkat dari segi kuantitas maupun kualitas (Sulistiyono, 2005).

Ditambah dengan sederet kasus yang melanda oknum kejaksaan dan kepolisian yang terjerat kasus korupsi menjadikan sistem peradilan yang disebut sebagai benteng terakhir penegakan hukum telah diterobos oleh kepentingan pribadi oknum penegak hukum, pihak berperkara, dan masyarakat umum.

Upaya menerobos benteng keadilan terbagi dalam dua kriteria yakni pertama, kehilangan integritas hakim karena faktor materi maupun alasan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Independence of The Judiciary sehingga mengorbankan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kedua, kehilangan rasa hormat terhadap lembaga peradilan, karena kurangnya kesadaran hukum, pola budaya hukum dan lemahnya sistem protokol persidangan dan keamanan (Sofyan Sitompul, 2021).

Oleh sebab itu, Adi Sulistiyono menawarkan gagasan elementer mengenai independensi peradilan. Pertama, independensi peradilan bukanlah sebuah nilai yang bersifat instrinsik (ulitimate values), tetapi hanya merupakan sesuatu yang instrumental. Apa yang ingin dicapai adalah pengamanan nilai lain, yaitu ketidakberpihakan hakim. Jaminan independensi peradilan hanya digunakan untuk melindungi peradilan dari pengaruh luar yang tidak semestinya dan menjadikannya sebagai wasit yang sungguh-sungguh dan benar-benar tidak memihak. Kedua, independensi peradilan bukanlah nilai yang abstrak melainkan ditentukan oleh faktor kultural dan historis. Ketiga, tidak ada resep universal yang dapat diklaim sebagai standar “independensi peradilan” (Adi Sulistiyono and Isharyanto, 2018).

Dengan melihat situasi dan kondisi saat ini, independensi hakim sebagai bagian dari independensi peradilan sangat penting untuk diprioritaskan.

Keadilan tidak hanya sekedar kredo yang dikaitkan dengan hukum, tetapi harus

(10)

benar-benar ditindak nyata dalam praktiknya. Tanpa independensi hakim, maka tidak ada putusan yang berkeadilan. Karena putusan hakim mencerminkan integritas, kepribadian yang baik dan adil, menunjukkan sikap kenegarawanannya, dan itu semua adalah harapan dan modal kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum.

Hakim terbebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan apapun, selain kekuasaan eksekutif maupun legislatif, hakim harus terbebas dari pengaruh kekuasaan yang bersifat yudisial itu sendiri, maupun pengaruh- pengaruh dan kepentingan di luar eksekutif misalnya opini publik, pendapat umum, pers, maupun kepentingan swasta dan juga perusahaan. Kedua, kemerdekaan dan juga kebebasan yang dimiliki hakim hanya sebatas fungsi hakim sebagai pelaksanaan dari kekuasaan yudisial atau terletak pada fungsi yudisialnya (Enggarani, 2019).

Doktrin Hukum Dalam Disparitas Putusan

Salah satu komponen penting di dalam negara hukum adalah sebagaimana yang tersirat di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang independen untuk menyelenggarakan peradilan guna mewujudkan kepastian dan keadilan yang dispesifikaasikan ke dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan (Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 2009) "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Artinya bahwa hakim diberi kebebasan dalam menerjemahkan peraturan yang ada dengan mengelaborasi hukum normatif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena dalam Undang-Undang, masih sangat banyak konsideran pasal-pasalnya yang tidak memberi kepastian bagi hakim untuk langsung diterapkan. Seperti halnya dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya memberi batas minimal dan batas maksimal bagi koruptor dengan tidak menentukan spesifikasi kerugian negara berapa jumlahnya dan harus dihukum berapa lama.

Dengan situasi seperti itu memaksa hakim untuk menggali dan mengkaji dalam hal membuat sebuah putusan yang baik untuk memutus kasus yang tengah ditangani. Sehingga dalam menentukan sebuah putusan, hakim menggunakan tiga teori sebagai dasar putusan yang benar dan adil, meskipun pada kenyataannya nilai kebenaran itu berdasarkan penilaian masyarakat luas tidak tercapai dan hanya dirasakan oleh hakim. Kebebasan yang diberikan Undang-Undang tersebut merupakan kewenangan hakim yang sangat besar dan

(11)

menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada manusia dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Muladi, 2011).

Teori Ratio Decidendi

Di Indonesia, istilah ratio decidendi memang tidak cukup populer digunakan. Biasanya kita memakai terminologi lain yang agak mirip dengan itu, yakni kaidah yurisprudensi. Apabila suatu putusan sudah diklaim atau diberi label sebagai yurisprudensi, maka harus ada kaidah yurisprudensi yang bisa ditarik dari putusan tersebut. Kaidah ini harus dapat diformulasikan sebagai proposisi dan dikemudian hari akan menjadi premis mayor saat hakim menerapkannya dalam pengambilan kesimpulan. Boleh jadi, proposisi yang dimaksud tidak benar-benar secara eksplisit tertuang di dalam putusan tadi, namun seperti apapun cara hakim mencantumkannya, proposisi ini tetap dapat diangkat dan diformulasikan kembali sebagai sebuah premis (Shidarta, 2019).

Jadi, format dari ratio decidendi di dalam putusan hakim itu dinyatakan dalam suatu proposisi hukum. Proposisi dalam konteks ini adalah premis yang memuat pertimbangan hakim. Proposisi ini dapat diungkapkan secara eksplisit atau implisit. Hal ini mengingatkan kita pada definisi lain tentang ratio decidendi dari Sir Rupert Cross dalam buku ‘Precedent in English Law’ yang menyatakan, “Any rule expressly or impliedly treated by the judge as a necessary step in reaching his conclusion” (Setiap aturan yang tersurat atau tersirat yang diterapkan oleh hakim sebagai langkah yang perlu dalam mencapai kesimpulan). Kata “rule” (aturan) di sini mohon dibaca dalam perspektif sistem common law di Inggris, sehingga bukan semata aturan perundang- undangan, tetapi lebih sebagai proposisi hukum, hasil dari pertimbangan rasional sang hakim. Dalam sistem common law, putusan hakim terdahulu merupakan sumber hukum utama yang mutlak untuk dicermati tatkala kita menghadapi suatu perkara serupa. Kata ‘serupa’ di sini menunjukkan adanya kesamaan dari karakteristik fakta-fakta yang terjadi di antara perkara-perkara tersebut. Fakta-fakta di sini harus merupakan fakta-fakta material (the material facts), yang memang dipakai sebagai basis oleh hakim saat ia membangun pertimbangan-pertimbangannya menuju pada kesimpulan (Shidarta, 2019).

(12)

Secara normatif, pertama kali setelah menerima suatu perkara, hakim haruslah mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu.

Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan tersebut. Akan tetapi untuk sampai pada konstatering demikian itu ia harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya itu, ia harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya, sehingga konstateringnya itu tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja tentang adanya peristiwa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hakim harus menggunakan sarana-sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat tersebut untuk mendapatkan kepastian tentang peristiwa yang diajukan kepadanya. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang bersangkutan (Sulistiyono, 2005).

Bagi hakim untuk mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah yang sulit. Pekerjaan membuat keputusan atau vonis merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut, seringkali para hakim mengabaikan standar normatif yang harus ditempuh untuk membuat suatu keputusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang diambil para majelis hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan hukum yang dibuat majelis hakim asal-asalan, apalagi kalau hal tersebut hanya menyangkut perkara- perkara ‘pasaran’ yang setiap hari ditanganinya. Hal ini menyebabkan, di lingkungan pengadilan masih sedikit ditemukan putusan hakim yang mempunyai kualitas ilmiah untuk bisa dikaji secara akademik bagi pengembangan hukum (Sulistiyono, 2005).

Teori ratio decidendi menjelaskan bahwa ketika akan menjatuhkan putusannya hakim harus mempertimbangkan landasan filsafat yang mendasar, yang berhubungan dengan dasar peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara, dan motivasi pada diri hakim yang jelas untuk menegakkan hukum serta memberikan keadilan bagi para pihak yang terkait dengan pokok perkara. Selain itu, teori decidendi juga mengharuskan hakim untuk memperhatikan faktor-faktor Pendidikan (edukasi), kemanusiaan, kemanfaatan, penegakan hukum, dan kepastian hukum dalam setiap putusan yang dijatuhkan (Rifai, 2010). Karena tujuan pidana di era modern sekarang ini tidak lagi berorientasi pada pembalasan, akan tetapi membuat pelaku dan

(13)

korban bisa sama-sama mendapatkan keadilan (Kinanthi, L. N. A., Hamzani, A.

I., & Rizkianto, 2022).

Meskipun teori ratio decidendi tidak dikenal dalam sistem hukum civil law, tetapi tidak menutup kemungkinan diterapkan dalam memutus sebuah perkara oleh hakim. Dalam konteks kasus tindak pidana korupsi, teori decidendi adalah pola yang baik bagi hakim, karena mengkaji kasus tersebut dari perspektif filosofi. Artinya bahwa hakim harus melihat dari sisi das sollen maupun das sein nya, begitu juga dari sisi fungsi hukum harus memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan juga kepastian hukum. Contohnya kasus Dr Ismail Novel, Ketua STAIN Moch Djamil Djambek Bukittinggi yang merupakan kasus kesalahan administrasi yang telah diadili di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dimana kesalahan administratif yang diperbuat yakni membuka program studi di perguruan tinggi dan menerima mahasiswa sebelum ijin keluar. Kemudian Mahkamah Agung memberikan keputusan hukuman 2 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 tindakan yang termasuk korupsi. Ke-30 tindakan itu dapat disimpulkan menjadi tujuh saja, yaitu: menyebabkan kerugian Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Keseluruhannya dipahami dalam rangka untuk memperkaya diri, keluarga atau teman. Misalnya, tidak memperlakukan peraturan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada suatu perusahaan karena dia telah banyak memberi hadiah (gratifikasi). Sedangkan untuk konteks pemerasan bukanlah sebuah tindakan korupsi, sehingga pasal yang diterapkan untuk kasus pemerasan bukan satu kesatuan dari pasal tindak pidana korupsi.

Teori Dissenting Opinion

Menurut Bagir Manan, dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan (Bagir Manan, 2006). Dissenting opinion juga merupakan pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu, karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim (Surya & Suartha, 2016). Pengaturan Dissenting Opinion dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tidak didapatkan istilah Dissenting Opinion, namun terdapat istilah pendapat berbeda. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

(14)

Kekuasaan Kehakiman, Tegasnya Pasal tersebut berbunyi: “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, sekalipun perubahan ketiga dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (sebelumnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985) pengaturan tentang Dissenting Opinion dalam Undang-Undang Mahkamah Agung tidak mengalami perubahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) yang menegaskan “(2) Dalam sidang Permusyawaratan, setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan; (3) Dalam hal sidang Permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Dalam perdebatan akademis, penerapan Dissenting Opinion masih dianggap bertentangan dengan Pasal 182 ayat (6) huruf a dan b KUHAP, bahwa “putusan diambil dengan suara terbanyak (voting). Jika suara terbanyak tidak diperoleh, maka, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim paling menguntungkan bagi terdakwa.”

Kemudian diatur lagi dalam Pasal 182 ayat 7 KUHAP “Pelaksanaan pengambilan keputusan dicatat dalam himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi bukunya bersifat rahasia.”

Kedudukan dissenting opinion adalah sebagai yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa yang menjadi persoalan pendapat, namun itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum hanya sebagai referensi karena mengikuti sistem hukum civil law yang hanya mengakui hukum yang dikodifikasikan (Peter De Cruz, 2010). Manfaatnya adalah untuk meruntut fakta hukum (lex factum) yang keliru diterapkan dalam suatu putusan hakim pengadilan, hal mana dipandang perlu untuk ditangguhkan sementara, diuji materiil atau dibatalkan apabila putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi, Ketika ada pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari salah satu hakim tapi putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka menjadikan putusan itu harus ditangguhkan sementara, diuji materilnya atau dibatalkan (H.F. Abraham Samo, 2004).

Praktik dissenting opinion dalam sistem peradilan Indonesia telah lama dikenal, hanya saja belum ada keharusan untuk dimuat dalam putusan. Selama ini dissenting opinion dicantumkan dalam sebuah buku yang khusus disediakan dan dikelola ketua pengadilan secara rahasia dan dalam buku tersebut dicantumkan nama hakim yang berbeda pendapat, kedudukannya dalam majelis, nomor perkara, tanggal putusan, pendapat dan alasannya (Mahkamah Agung RI, 2010). Pentingnya penerapan dissenting opinion adalah untuk membangun kepercayaan dan paradigma positif masyarakat terhadap lembaga peradilan bahwa tidak semua keputusan selalu diasumsikan sebagai keputusan

(15)

bulat para hakim meski pada akhirnya putusan tersebut menjadi tanggung jawab secara kolektif. Seharusnya yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa putusan para hakim tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis dan moral.

Salah satu contoh penerapan dissenting opinion oleh hakim anggota Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Sofialdi, yang memiliki beda pendapat atau dissenting opinion dengan empat hakim lainnya dalam putusan sela untuk terdakwa kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004, Miranda Swaray Goeltom dinilai bahwa dakwaan jaksa untuk Miranda seharusnya gugur dan dinyatakan bebas. Demikian pula dengan putusan yang dijatuhkan kepada para tersangka penerima cek, diputus dengan hukuman yang berbeda.

Teori Res Judicate Pro Veritate Hebetur

Sebuah doktrin hukum Res Judicate Pro Veritate Hebetur yang artinya bahwa apa yang diputus oleh hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar. Doktrin hukum di atas menempatkan pengadilan sebagai titik sentral konsep negara hukum (Ardiansyah, 2017). Jika demikian arti daripada teori hukum Res Judicate Pro Veritate Hebetur, maka seiring dengan pendapat Sudikno Mertokusumo dalam buku Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Dalam Teori dan Praktiknya Adi Sulistiyono yang menyatakan bahwa putusan hakim lebih kuat dibandingkan dengan Undang-undang karena 2 hal. Pertama, hakim menetapkan dalam tingkat terakhir secara konkret apa hukumnya. kedua, bahkan dalam putusan yang bertentangan dengan Undang-Undang sekaligus putusan hakim tetap mempunyai kekuatan hukum. Tidak mengherankan jika sementara sarjana hukum berpendapat bahwa hakimlah yang menjadikan tata hukum itu kekuatan yang nyata yang menguasai kehendak perseorangan (Adi Sulistiyono, 2018).

Meskipun hakim memiliki independensi fungsional (Djohansjah, 2009) dan berkedudukan sebagai pengawal praktik penegakan hukum dan keadilan dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara (Warassih, 2001), tetapi tidak otomatis menyalahgunakan wewenang untuk membuat sebuah putusan yang melanggar prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh oleh para hakim di pengadilan. Independensi fungsional (Zakelijke of functionele onafhankelijkheid) berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan UU apabila UU tidak

(16)

memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi UU pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan. Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan, di mana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa Litigasi, dasar hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi (Fahmiron, 2016).

Apabila hakim dalam memutus perkara selalu menggunakan teori Res Judicate Pro Veritate Hebetur lalu menghasilkan disparitas putusan yang terus menerus juga berdampak pada beberapa kemungkinan. Pertama, dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap masyarakat. Kedua, terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya.

Ketiga, dapat memunculkan rasa ketidakadilan. Keempat, dapat menimbulkan kebencian kepada sistem di lembaga pengadilan. Kelima, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum. Dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya pidana harus sesuai dengan kesalahannya masing-masing Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa terpidana dapat membandingkan dengan terpidana yang lain. Setelah itu, terpidana merasa menjadi korban “the judicial caprice”, sehingga menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Disparitas putusan hakim dapat menjadi suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum. Muladi dan Barda Nawawi Arief menyarankan disparitas dapat menimbulkan demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana (Ardiansyah, 2017).

Teori Res Judicate Pro Veritate Hebetur tidak popular secara istilah, tetapi oleh masyarakat umum bahwa apa yang diputus oleh hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar ada realita yang tidak terbantahkan. Putusan terhadap 29 tersangka kasus Miranda Gultom adalah bukti penerapan Res Judicate Pro Veritate Hebetur, meskipun para hakim memiliki decidendi atas putusannya tersebut. Masyarakat menilai bahwa kasusnya sama tetapi sanksinya mengapa bisa berbeda.

Indikator Independensi Hakim Dalam Melaksanakan Sistem Peradilan Tugas hakim pada umumnya adalah melaksanakan hukum dalam hal konkret ada tuntutan hak, yaitu tindakan yang bertujuan memperoleh

(17)

perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah

eigenrechting” atau tindakan menghakimi sendiri (Sudikono Mertokusumo, 2004). Jadi, apabila ada tuntutan hak yang konkret atau peristiwa diajukan kepada hakim, barulah hakim melaksanakan hukum. Hukum harus dilaksanakan, terutama apabila dilanggar, maka hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan, dipertahankan atau direalisasikan. Dan, yang melaksanakan atau menegakkan adalah hakim. Untuk itu, pembicaraan mengenai tugas hakim seringkali dikaitkan dengan independensi pengadilan (Adi Sulistiyono, 2018).

Independensi hakim merupakan salah satu indikator dari independensi lembaga peradilan itu sendiri. Karena setiap putusan yang dihasilkan oleh para hakim dalam sistem peradilan, selain berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, juga akan berdampak pada sektor non-hukum, misalnya ketidakpercayaan investor asing untuk menanam saham. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya ketidakpastian hukum pada sebuah negara yang dasarnya adalah negara hukum. Berikut akan dianalisis indikator independensi hakim dalam melaksanakan sistem peradilan yang diambil dari Judicial Reform Index (JRI) dengan mengambil beberapa indikator saja yang dikaitkan dengan independensi hakim secara individual.

A. Kualifikasi Hakim

Salah satu faktor yang membuat ketidakpercayaan lembaga peradilan di Indonesia adalah rendahnya kualitas putusan yang dihasilkan oleh hakim (karir). Putusan hakim seringkali tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat padahal hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.

Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum bahkan merupakan tujuan yang terpenting. Keadilan bagi seorang hakim merupakan dasar dalam menetapkan putusan. Sebagaimana Pendapat Bismar Siregar yaitu agar mata, hati dan telinga hakim terbuka terhadap berbagai tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian dalam melaksanakan kewajibannya ia tidak hanya berdasarkan hukum tetapi berdasarkan keadilan (Indriati, 2017).

Hanya hakim berkualitas dan berintegritaslah yang dapat memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni sesuai dengan hukum. Telah banyak tulisan dan pandangan yang mengelaborasi kriteria- kriteria hakim yang baik. Beberapa kriteria tersebut misalnya memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, mampu menegakkan negara hukum dan bertindak independen dan imparsial,

(18)

memiliki kemampuan administratif dan efisien. Hakim yang baik diperoleh dari sistem yang baik. Sebagaimana pendapat Odette Buitendam mantan Menteri Kehakiman Belanda bahwa good judge are not born but made. Hakim baik hanya dapat lahir dari suatu sistem yang baik yaitu melalui suatu sistem rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang baik (Indriati, 2017).

Tidak bisa dinafikkan bahwa kualifikasi pendidikan khususnya sangat mempengaruhi kualitas putusan. Hakim dengan kualifikasi pendidikan strata satu hanya menekankan pada aspek teoritis, di mana hakim merupakan konsep dari bunyi pasal-pasal dalam Undang-Undang yang sifatnya sumber hukum formal yang telah ditetapkan secara doktrinal terlebih dahulu. Sedangkan hakim dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi tentu memiliki nalar dan analisis hukum yang mendalam, sehingga menciptakan putusan yang setingkat lebih baik dari yang sifatnya hanya menjalankan tradisi yang dianut badan-badan pengadilan.

Akan tetapi, bila dikaitkan antara independensi hakim dengan kualifikasi yang dimiliki sudah tidak relevan lagi, karena dari kasus yang menjerat para hakim juga berlatar belakang pendidikan strata satu dan seterusnya. Bahkan hakim agung pun yang sudah bergelar guru besar mampu diterobos tingkat independensinya. Penulis melihat bahwa pendidikan bagi hakim hanya sekedar formalitas semata, bukan sebagai ukuran bahwa hakim akan memegang penuh kemerdekaan dalam prinsip independensi peradilan.

B. Proses Pengangkatan Hakim

Salah satu indikator yang mempengaruhi kualitas hakim adalah proses seleksi hakim. Hakim itu sendiri terdiri dari hakim karir, hakim non-karir, dan hakim ad hoc. Hakim karir merupakan hakim yang diangkat dan ditempatkan pada lembaga peradilan, dan hakim non karir adalah hakim yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan. Sedangkan hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam Undang-undang (Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 2009).

Hakim ad hoc diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam jangka waktu tertentu. Misalnya perkara kejahatan perbankan, kejahatan pajak, korupsi, anak, perselisihan hubungan industrial, telematika (cyber crime) Pasal 32 ayat 1 (Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 2009).

Regulasi dalam perekrutan hakim karir dan hakim non karir berbeda, di mana hakim karir melalui prosedur sistematis, menurut pola birokrasi pemerintah dengan hirarki personalia yang kompleks, struktur pengawasan,

(19)

kontrol mutasi, promosi, pengawasan dan lain sebagainya. Sedangkan perekrutan hakim non karir, misalnya di UU MK tidak mengatur secara jelas mengenai seleksi hakim konstitusi, sehingga memberikan peluang bagi MA, DPR maupun Presiden sebagai lembaga pengusul hakim konstitusi untuk melaksanakan seleksi dengan persepsi sendiri. Konsekuensinya, proses seleksi diselenggarakan dengan ketentuan yang dibuat oleh masing-masing lembaga pengusul dengan mengesampingkan proses seleksi yang transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel. Hingga saat ini, pelaksanaan seleksi hakim konstitusi oleh MA masih cenderung dilaksanakan secara tertutup dan bersifat internal (Indramayu; Jayus; Indrayati, 2017).

Dengan pola perekrutan hakim yang demikian, sejalan dengan indikator terkait kualifikasi hakim itu sendiri. Di mana hakim yang diangkat adalah tidak memenuhi kualifikasi dan independensinya diragukan karena dikendarai oleh kepentingan yang merekomendasikan hakim tersebut.

Ditambah dengan proses seleksi yang tidak transparan, sehingga hakim yang memiliki kualifikasi mumpuni tidak mengetahui informasi perekrutan.

C. Kesesuaian Tingkat Penggajian

Dalam deklarasi Universal tentang hak-hak asasi manusia mengungkapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Equality before the law;

2. Praduga tidak bersalah;

3. Hak untuk memperoleh keadilan dan untuk didengar oleh pengadilan yang berkompeten, independen dan tidak memihak yang dibangun oleh hukum.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa tidak ada sistem peradilan di dunia yang secara penuh dan patuh mengimplementasikan setiap bagian dari prinsip dasar ini. Prinsip selanjutnya yang penting adalah pengaturan mengenai kehakiman, kemandirian dan independensinya, keamanan, remunerasi yang cukup, kondisi pelayanan, pensiun dan umur pengunduran diri harus secara cukup dijamin oleh hukum sebagaimana kutipan “the term of office of judges their independence, security, adequate remuneration, conditions of service, pension and age of retirement shall be adequately secured by law”.(Enggarani, 2019)

Secara materi, finansial sangat mempengaruhi segala sesuatu yang normal menjadi tidak normal. Dalam dunia peradilan pun bukan lagi rahasia publik, di mana independensi aparat penegak hukum, khususnya hakim bisa diterobos dengan materi apabila timbal balik dari hasil kerjanya dirasa tidak mencukupi. Akil Mochtar dan Patrialis Akbar adalah bukti nyata hakim menerima suap yang merupakan bagian dari korupsi. Artinya bahwa gaji

(20)

seorang hakim menentukan hasil putusannya, seperti ungkapan kredo bahwa putusan hakim ditentukan oleh sarapannya.

Tetapi, bila merujuk pada teori GONE Jack Bologne, ada 2 (dua) hal yang berpotensi dimanfaatkan oleh hakim, yakni greed (keserakahan) dan opportunity (kesempatan). Kedua hal tersebut saling terkait untuk oknum hakim yang merasa tidak cukup akan gaji yang didapat. Sehingga oleh para pihak yang berperkara juga menggunakan kesempatan ini untuk menerobos independensi terhadap hakim yang demikian perilakunya. Oleh sebab itu, nominal penggajian bagi para hakim perlu dikaji kembali agar terpenuhi akan ketercukupan materi.

Apabila dengan perubahan nominal penggajian pun tidak mampu merubah hakim, adalah hal yang berbeda dan perlu peningkatan pengawasan oleh lembaga yudikatif.

SIMPULAN

Independensi peradilan adalah harapan semua masyarakat, terutama independensi hakim itu sendiri. Selain dari terjadinya disparitas putusan, yang meskipun secara teoritik bahwa hakim menggunakan alasan dan pertimbangan hukum dalam membuat putusan, juga efek dari independensi hakim akan membias pada berbagai sektor non-hukum, sehingga berpengaruh pada hilangnya kepercayaan masyarakat umum, negara lain sampai pada stake holder. Oleh sebab itu, independensi seorang hakim sangat penting dan menjadi tolak ukur independensi peradilan secara umum.

Indikator independensi hakim bisa dilihat dari beberapa hal, seperti kualifikasi pendidikan hakim, proses pengangkatan hakim, juga pola penggajian. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi kualitas putusan yang menunjukkan integritas seorang hakim sampai kepada sikap kenegarawanannya yang berkewajiban untuk melaksanakan peradilan yang merdeka, independen, dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA

A. Ahsin Thohari. (2004). Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan. ELSAM.

Adi Sulistiyono and Isharyanto. (2018). Sistem Peradilan Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktik. Kenca.

Adi Sulistiyono, S. H. (2018). Sistem Peradilan Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktik.

Prenada Media.

Agustin, L. A., Hukum, S. I., Ilmu, F., Surabaya, U. N., Hukum, S. I., Ilmu, F., &

Surabaya, U. N. (2021). ANALISIS YURIDIS PERKARA JAKSA PINANGKI (Studi Kasus: Putusan No. 10/Pid.Sus- Tpk/2021/ PT DKI). Novum : Jurnal Hukum, 1(10), 1–17.

Ajeng Arindita Lalitasari, Pujiyono, P. (2019). Disparitas Pidana Putusan Hakim

(21)

Dalam Kasus Korupsi Isparitas Pidana Putusan Hakim Dalam Kasus Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Di Pengadilan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Semarang Negeri Tindak Pi. Diponegoro Law Journal, 8(3), 1694.

Annur, C. M. (2022). KPK Sudah Tangani 1.194 Kasus Korupsi, Mayoritas Penyuapan.

Databooks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/10/kpk- sudah-tangani-1194-kasus-korupsi-mayoritas-penyuapan

Ardiansyah, I. (2017). Pengaruh Disparitas Pemidanaan Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jurnal Hukum Respublica, 17(1), 76–101.

Bagir Manan. (2006). Dissenting Opinion Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Varia Peradialn.

Djohansjah, J. (2009). Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, dalam Luhut Pangaribuan “Lay Judges & Hakim Ad Hoc. Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Enggarani, N. S. (2019). Independensi Peradilan Dan Negara Hukum. Law and Justice, 3(2), 82–90. https://doi.org/10.23917/laj.v3i2.7426

Fahmiron, F. (2016). Independensi Dan Akuntabilitas Hakim Dalam Penegakan Hukum Sebagai Wujud Independensi Dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman. JURNAL LITIGASI (e-Journal), 17(2), 3467–3515.

H. Harkrisnowo. (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi Dan Pemidanaan Di Indonesia. Majalah KHN Newsletter.

H. Trubus Wahyudi. (2013). INDEPENDENSI HAKIM, KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM, PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN, SERTA PENGAWASAN MASYARAKAT. 1–23.

H.F. Abraham Samo. (2004). Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis Dan Empirisme. PT Raja Grafindo.

ICW. (2012). Catatan ICW.

Indonesia, P. R. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Indramayu; Jayus; Indrayati, R. (2017). Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Hakim Konstitusi yang Berkualifikasi. Lentera Hukum, 4, 1.

Indriati, A. (2017). MEWUJUDKAN HAKIM KARIR YANG BERKUALITAS DAN BERINTEGRITAS. PROSIDING: SINERGITAS MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL DALAM MEWUJUDKAN EXCELLENT COURT.

Kinanthi, L. N. A., Hamzani, A. I., & Rizkianto, K. (2022). Pidana Kebiri Kimia Bagi Pelaku Pemerkosa Anak. Penerbit NEM.

(22)

Mahkamah Agung RI. (2010). Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan. Reedbox Publisher.

Muladi. (2011). Independensi Kekuasaan Kehakiman. Penerbit UNDIP.

Napisa, S., & Yustio, H. (2021). Korupsi di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi) Kajian Literatur Manajemen Pendidikan dan Ilmu Sosial. Jurnal Manajemen Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 2(2), 564–579.

Peter De Cruz. (2010). Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law Dan Socialist Law. PT Raja Grafindo Husada.

Rifai, A. (2010). Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif.

Sinar Grafika.

Shidarta. (2019). Ratio Decidendi Dan Kaidah Yuriprudensi.

Sofyan Sitompul. (2021). MENJAGA WIBAWA DAN MARTABAT PERADILAN

MELALUI PROTOKOL PERSIDANGAN DAN KEAMANAN.

https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/4475/menjaga-wibawa-dan- martabat-peradilan-melalui-protokol-persidangan-dan-keamanan Sudikono Mertokusumo. (2004). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Liberty.

Sulistiyono, A. (2005). Menggapai Mutiara Keadilan: Membangun Pengadilan yang Independen dengan Paradigma Moral. Jurnal Ilmu Hukum, 8(2), 152–

184.

Sulistiyono, A. (2007). Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Pencapaian Visi Indonesia 2030. 0–95.

Surya, N. L. K. R., & Suartha, D. I. D. M. (2016). Nilai-Nilai Positif Akibat Hukum Dissenting Opinion dalam Peradilan Pidana di Indonesia. Kertha Wicara :

Journal Ilmu Hukum, 5(3), 1–5.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/20556

Tama S. Langkun, Bahrain, Mouna Wassef, Tri Wahyu, A. (2014). Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Korupsi. Indonesia Corruption Watch, 15–200.

the Governtment of Indonesia. (1999). the Amendment of Law No. 31 of 1999

Eradication of Corruption. 1–20.

http://peraturan.go.id/common/dokumen/ln/2001/uu20-2001.pdf

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, BPK (2009).

Waluyo, B. (2014a). Optimalisasi pemberantasan korupsi di indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2), 162–169.

Waluyo, B. (2014b). Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2), 169–182.

Warassih, E. (2001). Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan hukum (proses penegakan hukum dan persoalan keadilan).

Referensi

Dokumen terkait