• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kontradiksi Nilai dalam Syair Arab Jahiliyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Kontradiksi Nilai dalam Syair Arab Jahiliyah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRADIKSI NILAI DALAM SYAIR ARAB JAHILIYAH Burhan Djamaluddin1, Nurlailah2

1,2UIN Sunan Ampel Surabaya burhandjamaluddin@uinsby.ac.id

Abstrak: Pada umumnya, kata Jahiliyah mengandung makna negatif, yang bertentangan dengan nilai yang dibawa oleh Islam. Nilai negatif dari kehidupan masyarakat Jahiliyah tersebut, ditemukan dalam berbagai masalah, baik dalam masalah akidah, masalah mu’amalah, hasil karya sastra, maupun masalah-masalah lainnya. Namun sebaliknya, dalam syair karya penyair Jahiliyah, misalnya syair karya Zuhair bin Abi Sulma, dan Labid bin Rabi’ah, ditemukan nilai-nilai yang berseberangan dengan nilai-nilai teologis yang umumnya terdapat dalam masyarakat Jahiliyah. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kontradiksi nilai tersebut dalam karya syair Jahiliyah.

Untuk mengungkap kontradiksi nilai tersebut digunakan pendekatan teologi, karena kontradiksi nilai yang ingin diteliti dalam syair Jahiliyah adalah nilai- nilai teologi. Penelitian ini mendapatkan temuan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam hasil karya penyair Jahiliyah, tidak seluruhnya menggambarkan nilai ketuhanan yang terdapat dalam kehidupan Jahiliyah, yaitu kemusyrikan. Tetapi kenyataanya, dalam syair karya penyair Jahiliah, seperti Zuhair bin Abi Sulma, Labid bin Rabi’ah, dan Antarah ditemukan nilai teologi yang sejalan dengan teologi yang diajarkan Islam.

Kata kunci: Kontradiksi nilai; puisi Arab; syair jahiliyah PENDAHULUAN

Kata Jahiliyah, berasal dari kata al-jahl, yang secara bahasa berarti kebodohan.1 Term Jahiliyah, disematkan kepada kaum musyrikin, sebelum datangnya Islam di Jazirah Arab, yang merangkum keseluruhan makna penyelewengan dalam beribadah, kedaliman, dan pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliyah terbesar adalah penyembahan kepada selain Allah atau syirik. Ini adalah ciri paling dominan untuk kata Jahiliyah. Oleh karena itu, masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad, yang bergelimang kemusyrikan disebut jaman Jahiliyah.2

Kata Jahiliyah merujuk kepada kondisi bangsa Arab pada periode pra Islam, yaitu yang diliputi kebodohan tentang Allah, Rasulnya, syari’at agama, berbangga dengan nasab, kesombongan, dan sejumlah penyimpangan lainnya. Namun jahiliyah juga bisa berupa sifat yang ada pada seorang yang sudah memeluk agama Islam, karena adanya kesamaan sifat yang dimilikinya dengan sifat yang dimiliki oleh masyarakat Arab pra Islam. Hal itu ditegaskan dalam sebuah hadis Rasulullah yang artinya : seorang laki-laki

1 Lewis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat, (Beirut, Dar al-Katalikiyyah), 108.

2 Ibid.

(2)

datang kepada Rasulullah , dan berkata: Ya Rasulullah, saya bernazar untuk berkorban dengan unta yang lemah dan kurus. Mendengar kata-kata tersebut, lalu Rasulullah menjawab: sungguh pada dirimu terdapat sifat Jahiliyah.”3

Inti dari Jahiliyah adalah seluruh hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik penyimpangan dari ajaran Islam yang berakibat kekafiran, maupun penyimpangan kecil, yang tidak berakibat kepada kekafiran. Semua makna dari jahiliyah tersebut mengacu kepada makna kebodohan, sebagai makna dasar dari kata jahiliyah, sebab perilaku yang bertentangan dengan Islam adalah muncul dari kebodohan. Namun makna jahiliyah, sebagaimana diungkap di atas, tidak seluruhnya benar, jika kita merujuk kepada syair- syair Arab yang diciptakan oleh penyair-penyair pada masa Jahiliyah, semisal Zuhair ibnu Abi Sulma, Labid bin Rabi’ah, dan Antarah.

METODE

Untuk membahas kontradiksi nilai dalam syair masa Jahiliyah, karya Zuhair ibnu Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah ini digunakan pendekatan kebahasaan dan pendekatan teologi Islam. Penggunaan pendekatan kebahasaan, digunakan untuk menganalisa lafal- lafal yang digunakan Zuhair bin Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah dalam syairnya, misalnya lafal Allah, mengacu kepada nama Tuhan dalam ajaran Islam, atau bukan.

Penggunaan pendekatan teologis dalam Islam adalah untuk menilai makna yang sebenarnya dari lafal Allah serta sifat yang menyertainya.

PEMBAHASAN

Riwayat Hidup Zuhair bin Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah Riwayat hidup Zuhair bin Abi Sulma

Nama asli Zuhair bin Abi Sulma adalah Rabi’ah bin Rabah al-Muzni, tetapi lebih terkenal dengan nama Zuhair bin Abu Sulma. Dia dibesarkan di suku atau kabilah Ghatfan, walaupun berasal dari suku atau kabilah Mazinah. Zuhair bin Abi Sulma adalah penyair pra Islam yang hidup pada abad ke 6 dan abad ke 7 Masehi. Ia dianggap sebagai salah seorang penyair Arab terbesar pada zaman pra Islam. Selain Zuhair bin Abi Sulma, penyair terkenal lainnya pada masa pra Islam adalah Umru’ al-Qais, Al-Nabighah al- Dzibyani, dan Labid bin Rabi’ah.

Riwayat hidup Labid bin Rabi’ah

Nama asli Labid bin Rabi’ah adalah Labid bin Rabi’ah al-Amiriy al-Mudhari. Dari namanya dapat diketahui bahwa penyair ini berasal dari kabilah Mudhar. Labid adalah penyair yang lahir dan dibesarkan pada masa Jahiliah yang cukup lama, walaupun pada

3 Ibnu Majah, Sunan ibn Majah (Dar al-Fikr), 1745.

(3)

akhir hidupnya, ia memeluk Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Oleh karena ia memeluk Islam dalam waktu yang tidak lama, maka hasil karya syairnya tidak banyak diwarnai oleh ajaran Islam.

Syair Zuhair bin Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah Syair-syair Zuhair bin Abi Sulma

Sebagai salah seorang penyair pada masa Jahiliyah, Zuhair pernah menciptakan sejumlah syair, diantaranya sebagai berikut:

ﻢﻠﻌﯾ ﷲ ﻢﺘﻜﯾ ﺎﻤﮭﻣو ﻰﻔﺨﯿﻟ ... ﻢﻜﺳﻮﻔﻧ ﻲﻓﺎﻣ ﷲ ﻦﻤﺘﻜﺗ ﻼﻓ مﻮﯿﻟ ... ﺮﺧﺪﯿﻓ بﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﻊﺿﻮﯿﻓ ﺮﺧﺆﯾ ﻢﻘﻨﯿﻓ ﻞﺠﻌﯾ وأ بﺎﺴﺤﻟا

ﻢﻠﺴﺑ ءﺎﻤﺴﻟا بﺎﺒﺳأ قﺮﯾ نأو ... ﮫﻨﻠﻨﯾﺎﯾﺎﻨﻤﻟا بﺎﺒﺳأ بﺎھ ﻦﻣو ﻢﻣﺬﯾو ﮫﻨﻋ ﻦﻐﺘﺴﯾ ﮫﻣﻮﻗ ﻰﻠﻋ ... ﮫﻠﻀﻔﺑ ﻞﺨﺒﯿﻓ ﻞﻀﻓ اذ ﻚﯾ ﻦﻣو ﻢﻠﻈﯾ سﺎﻨﻟا ﻢﻠﻈﯾ ﻻ ﻦﻣو مﺪﮭﯾ ... ﮫﺣﻼﺴﺑ ﮫﺿﻮﺣ ﻦﻋ دﺬﯾ ﻢﻟ ﻦﻣو

Jangan kau sembunyikan apa yang ada dalam hatimu Untuk tidak diketahui orang lain

Walaupun kamu sembunyikan

Allah tetap mengetahui segala yang kamu sembunyikan.4 Balasannya akan ditangguhkan di akhirat,

dan kini hanya dicatat dan disimpan Untuk hari pembalasan atau dipercepat

Lalu disiksa di dunia5 Orang yang lari dari kematian

Walaupun ia naik ke langit Dengan menggunakan tangga

Pastikan akan mati juga6 Orang yang memiliki kelebihan harta

Lalu ia bakhil dengan hartanya Di masyarakat ia tidak dibutuhkan Dan bahkan dia mendapat celaan.7 Orang yang tidak dapat berbuat baik

4 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Adab II (Kairo, al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1965), 49.

5 Ibid.

6 Ibid.

7 Ibid.

(4)

Dalam hal apapun Dia akan dipukul dengan taring

Atau dipukul dengan tanduk8

Dalam bait pertama, Zuhair menegaskan bahwa ada Tuhan, yang memiliki kemampuan mengetahui sesuatu yang nyata dan yang tersembunyi. Pengakuan penyair akan kekuasaan Tuhan yang maha mengetahui sesuatu yang nyata dan yang tersembunyi, memiliki kesamaan dengan ajaran ketuhanan dalam Islam. Salah satu sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an menyebut bahwa Tuhan adalah zat yang maha mengetahui, misalnya dalam ayat 77 surat al-Baqarah:

َﻻ َوَا َن ْﻮُﻤَﻠْﻌَﯾ ﱠنَا

ُﻢَﻠْﻌَﯾ َﱣ�

ﺎَﻣ َن ْوﱡﺮِﺴُﯾ ﺎَﻣ َو

َن ْﻮُﻨِﻠْﻌُﯾ ) ۷۷ (

Tidakkah mereka tahu bahwa Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka nyatakan?

Selain ayat 77 surat al-Baqarah, ayat 255 surat yang sama juga menegaskan sifat Allah yang Maha mengetahui yang nyata dan yang tersembunyi sebagai berikut:

ُﱣ َ�

َٓﻻ َﮫٰﻟِا ﱠﻻِا َۚﻮُھ ﱡﻲَﺤْﻟَا ُم ْﻮﱡﯿَﻘْﻟا

ۚە َﻻ ٗهُﺬُﺧْﺄَﺗ ٌﺔَﻨِﺳ َﻻ ﱠو ٌۗم ْﻮَﻧ ٗﮫَﻟ ﺎَﻣ ﻰِﻓ ِت ٰﻮ ٰﻤﱠﺴﻟا ﺎَﻣ َو

ﻰِﻓ ِۗض ْرَ ْﻻا ْﻦَﻣ

اَذ

ْيِﺬﱠﻟا ُﻊَﻔْﺸَﯾ ٓٗهَﺪْﻨِﻋ ﱠﻻِا ٖۗﮫِﻧْذِﺎِﺑ ُﻢَﻠْﻌَﯾ ﺎَﻣ َﻦْﯿَﺑ ْﻢِﮭْﯾِﺪْﯾَا ﺎَﻣ َو ْۚﻢُﮭَﻔْﻠَﺧ َﻻ َو َن ْﻮُﻄْﯿ ِﺤُﯾ ٍءْﻲَﺸِﺑ ْﻦِّﻣ ٖٓﮫِﻤْﻠِﻋ ﱠﻻِا ﺎَﻤِﺑ َۚءۤﺎَﺷ َﻊِﺳ َو

ُﮫﱡﯿِﺳ ْﺮُﻛ ِت ٰﻮ ٰﻤﱠﺴﻟا َۚض ْرَ ْﻻا َو

َﻻ َو ٗهُد ْﻮ�ـَﯾ ۚﺎَﻤُﮭُﻈْﻔ ِﺣ َﻮُھ َو

ﱡﻲِﻠَﻌْﻟا ُﻢْﯿِﻈَﻌْﻟا ) ۲٥٥ (

Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dialah yang Mahatinggi lagi Maha Agung.

Syair-syair Labid bin Rabi’ah

Nama lengkapnya adalah Labid bin Rabi’ah al-‘Amiriy al-Mudhariy. Labid berumur panjang. Dia hidup pada masa Jahiliyah dan pada masa Islam. Penyair yang hidup pada dua masa seperti Labid ini, disebut penyair “al-mukhadramun”. Setelah Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad, Labid memeluk Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Walaupun dia memeluk Islam, dan menjadi seorang muslim yang baik, ia tidak

8 Ibid, 51.

(5)

banyak menciptakan syair-syair Islam, tetapi hanya beberapa bait saja. Diantara syair yang diciptakan Labid bin Rabi’ah, yang berisi nilai Islam adalah sebagai berikut:

ﺎﻨﯿﺑ ﺮھﺪﻟا قﺮﻓ نإ ٌعﺰﺟ ﻼﻓ ﻊﺟﺎﻓ ﺮھﺪﻟا ﮫﺑ ًﺎﻣﻮﯾ ئﺮﻣا ﻞﻜﻓ ...

ﻊﻗﻼﺑ اﻮﺣارو ﺎھﻮّﻠﺧ مﻮﯾ ﺎﮭﺑ ... ﺎﮭﻠھأو رﺎﯾﺪﻟﺎﻛ ّﻻإ سﺎﻨﻟا ﺎﻣو ﻊطﺎﺳ ﻮھ ذإ ﺪﻌﺑ ًادﺎﻣر رﻮﺤﯾ ... ﮫﺋﻮﺿو بﺎﮭﺸﻟﺎﻛ ّﻻإ ءﺮﻤﻟا ﺎﻣو

ﻊﺋادﻮﻟا ّدﺮﺗ نأ ًﺎﻣﻮﯾ ّﺪﺑﻻو ... ﻊﺋادو ّﻻإ نﻮﻠھﻷاو لﺎﻤﻟا ﺎﻣو

Jangan kita kaget ketika suatu hari Kita dipisahkan oleh kematian

Sebab setiap orang pasti Akan mengalami kematian.

Manusia bagaikan rumah dan penghuninya Suatu hari rumah ditempati Dan di hari lain ditinggalkan.

Seseorang bagaikan bintang dan cahayanya Suatu saat redup dan pudar

Di saat lain dia terbit Cemerlang dan menerangi lagi

Harta dan pemiliknya Bagaikan barang titipan Suatu waktu barang titipan Akan dikembalikan ke pemiliknya.

Penelitian selama ini, belum ada yang mengungkap kontradiksi nilai dalam syair Jahiliyah. Kekosongan penelitian tentang adanya kontradiksi nilai dalam syair-syair jahiliyah, dapat dilatar belakangi oleh anggapan umum bahwa Jahiliyah selalu identik dengan kemusyrikan, dan nilai-nilai negatif lainnya, yang kontradiktif dengan nilai Islam.

Diantara penelitian yang telah dilakukan tentang syair Jahiliyah adalah penelitian tentang nilai moralitas dalam syair Jahiliyah karya Zuhair ibnu Abi Sulma, yang dilakukan oleh Cahaya Buana. 9Menurut Cahaya Buana, melalui kajian strukturalis genetik, terdapat nilai-nilai moralitas dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, yang tergambar dalam syair Zuhair ibnu Abi Sulma. Lebih lanjut, Cahaya Buana menyimpulkan bahwa bangsa Arab Jahiliyah telah mengenal nilai moralitas universal, yang bersumber dari

9 Cahaya Buana, Nilai Moralitas Dalam syair Jahiliyah, karya Zuhair ibnu Abi Sulma, al-Turas, Mimbar Sejarah Sastra, Budaya dan Agama, Vol 1 no.1 Januari 2017.

(6)

pengalaman hidup. Secara umum, nilai moralitas yang mereka pahami, bukan bersumbar dari keyakinan terhadap Tuhan, melainkan bersumber dari pengalaman hidup.10

Pada sisi lain, kesimpulan Cahaya Buana dalam jurnal al-Turas, paradoks dengan yang ditulisnya dalam Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Adab dan Humaniora. Dalam Repository UIN Jakarta, Cahaya Buana menyimpulkan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah sudah memiliki keyakinan terhadap wujud supranatural. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya simbol lafal “Allah“ yang digunakan dalam berbagai konteks dalam syair mereka, seperti untuk bersumpah, mencela, berdoa, maupun sebagai kekuatan ghaib yang mampu menolong mereka di saat sulit. Namun demikian, mereka khususnya masyarakat Arab Badwi baru sampai pada tahap keyakinan dan emosional keagamaan, belum pada makna yang sebenarnya.

Lafal “ Allah” yang sering mereka ucapkan hanya sebuah simbol bahasa yang mereka gunakan untuk wujud supranatural yang dianggap memberikan kekuatan pada mereka, atau bila melihat aspek sejarah, lafal “ Allah” telah familiar di telinga mereka, dengan telah masuknya agama-agama Yahudi dan Nasrani di wilayah jazirah Arab, tanpa mereka bermaksud untuk menganut agama tersebut.

Di sisi lain, simbol kehidupan beragama dalam karya penyair Nasrani dan Yahudi tampak jelas, dan membuktikan bahwa mereka adalah penganut agama Nasrani. Hal ini terbukti dari simbol-simbol keagamaan yang mereka ungkapkan dalam syair, yang pada dasarnya hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi, seperti pemahaman akan taqwa, akhirat, malaikat dan tugasnya, wahyu dan sebagainya. Kepercayaan bangsa Arab Jahiliyah adalah kepercayaan yang sangat sederhana, sesederhana kehidupan mereka.

Namun demikian, mereka adalah manusia yang berakal yang mampu menangkap bahwa ada kekuatan lain di luar kekuatan mereka.11Cahaya Buana tidak mengungkap secara eksplisit tentang kekuatan lain di luar kekuatan mereka sendiri.

Nilai Ketauhidan dalam Syair Zuhair bin Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah Nilai ketauhidan dalam syair karya Zuhair bin Abi Sulma, dan Labid bin Rabi’ah dilambangkan oleh lafal “ Allah”. Lafal “Allah” tersebut, setidak-tidaknya muncul sebanyak dua kali, dalam syair Zuhair bin Abi Sulma, yaitu pada bait ke 70 dalam kumpulan syairnya.12 Memang tuhan, dalam bahasa Arab, diungkap dengan dua bentuk kata, yaitu “ilah” dan “Allah”. Bentuk pertama, adalah bentuk indifinitif, yaitu kata yang tidak merujuk kepada Tuhan tertentu. Dalam bahasa Arab, semua tuhan yang dipercaya oleh umat beragama disebut “ilah”. Sedangkan bentuk kedua, yaitu “Allah”, menurut ulama salaf dalam Islam, bersifat difinitif, hanya digunakan khusus untuk menyebut “

10 Ibid.

11 Cahya Buana, Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adan dan Humaniora,

12 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Ada II,(Beirut, Dar al-Fikr,.tt). 53.

(7)

Tuhan” dalam agama Islam.13 Namun realitas yang ada menunjukkan bahwa kata “Allah”

digunakan juga oleh penyair Zuhair bin Abi Sulma, dan Labid bin Rabi’ah pada masa Jahiliyah. Oleh karena itu, klaim ulama salaf dalam Islam, tidak sepenuhnya sejalan dengan realitas yang ada. Persoalannya, apakah kata “Allah” dalam syair Zuhair bin Abi Sulma, dan Labid bin Rabi’ah, sama dengan hakikat “Allah” dalam teologi Islam.

Ketika kata “Allah” tersebut tidak dirangkai dengan kata lain, dalam sebuah kalimat, boleh jadi, hakikat dua kata tersebut sama, yaitu Tuhan yang disembah, baik oleh kaum muslimin, maupun Tuhan yang disembah oleh yang bukan Muslim. Namun ketika kata “Allah” tersebut dirangkai dengan kata lain, dalam sebuah kalimat, misalnya dalam syair Zuhair bin Sulma, “fala taktumunna Allah ya’lam” (jangan kamu sembunyikan sesuatu yang ada dalam hatimu, sebab walaupun kamu sembunyikan, Allah pasti mengetahuinya), jelas mengacu kepada sifat Tuhan, seperti dalam akidah Islam.

Kalimat lain yang menyertai kata “Allah”dalam syair Zuhair bin Abi Sulma, adalah “li yakhfa wa mahma yaktum Allah ya’lam” (walaupun kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu, Allah pasti mengetahuinya ). Dua kalimat yang menyertai kata “Allah”

tersebut, adalah mengacu kepada sifat dan kemampuan tuhan yang dipercayai dalam Islam.

Selain ayat 77 dan 255 surat al-Baqarah, seperti dikutip di atas, terdapat lagi sekian banyak ayat yang menerangkan sifat Tuhan yang Maha Mengetahui yang tersembunyi dan yang nampak, seperti sifat Tuhan yang diungkap oleh Zuhair bin Abi Sulma dalam syairnya. Diantara ayat tersebut adalah yang tercantum dalam ayat 4 surat Al-Taghabun sebagai berikut:

ُﻢَﻠْﻌَﯾ ﺎَﻣ ﻰِﻓ ِت ٰﻮ ٰﻤﱠﺴﻟا ِض ْرَ ْﻻا َو

ُﻢَﻠْﻌَﯾ َو ﺎَﻣ َن ْوﱡﺮِﺴُﺗ ﺎَﻣ َو

َۗن ْﻮُﻨِﻠْﻌُﺗ ُﱣ� َو ٌﻢْﯿِﻠَﻋ ِتاَﺬِﺑ ۢ ِر ْوُﺪﱡﺼﻟا )

٤ (

Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dia juga mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. Allah Maha Mengetahui segala isi hati.

Menurut al-Sa’diy, ayat ini menerangkan bahwa Allah mengetahui niat baik dan niat tidak baik yang ada dalam hati manusia. Jika Allah mengetahui segala yang tersembunyi dalam hati, maka seseorang harus berusaha menjaga hatinya untuk tidak memiliki niat yang tidak baik, karena Allah pasti mengetahuinya. 14 Penafsiran yang sama juga dilakukan oleh Thanthawi, dalam Tafsir al-Wasit.15 al-Baghawi,16Ibnu Kasir,17

13 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, I (Beirut, Dar al-Fikr,1965 ) 27

14 Al-Sa’diy, Tafsir al-Sa’diy.

15 Thanthawi, Tafsir al-Wasit.

16 Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi.

17 Ibnu Kasir, Tafsir ibnu Kasir.

(8)

al-Qurtubi,18al-Thabari,19 dan Ibnu Asyur,20 Al-Thabari menjelaskan lebih rinci bahwa Allah mengetahui apa yang ada di tujuh lapis langit, dan bumi. Tidak ada yang dapat sembunyi dari pantauan Allah swt. baik berupa perkataan, maupun berupa perbuatan.

Allah memiliki pengetahuan yang dapat menjangkau segala yang tersembunyi dalam hati hamba-Nya.21

Nilai Jahiliyah dalam Syair Zuhair bin Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah

Dalam keyakinan masyarakat Arab Jahiliyah sebelum Islam, dan dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari, Tuhan yang mereka sembah adalah patung-patung atau berhala-berhala yang mereka buat. Menurut catatan sejarah, tidak kurang dari 360 buah berhala sekitar Ka’bah yang mereka sembah. Diantara berhala tersebut, ada yang cukup terkenal, yaitu Al-Lata, al-Uzza, dan Manat. Tiga nama berhala tersebut, dianggap sebagai “ratu” atau “raja” dari berhala-berhala yang ada saat itu. Selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah, Nabi Muhammad tidak mampu memberantas kemusyrikan berupa penyembahan berhala-berhala tersebut. Sekitar 8 tahun setelah hijrah (8 Hijriyah), Nabi Muhammad . akhirnya dapat menguasai kota Makkah, yang dikenal dengan istilah “fath Makkah”, dan semua berhala yang berjumlah sekitar 360 buah dapat dihancurkan oleh Nabi Muhammad bersama sahabat beliau.

Disamping nilai kemusyrikan dalam syair karya Zuhair bin Abi Sulma, tergambar pula kehidupan masyarakat yang diwarnai oleh nilai-nilai Jahiliyah, misalnya “

Orang yang tidak mempertahankan diri dengan pedangnya Pasti dia akan dihancurkan orang lain

Orang yang tidak mendhalimi orang lain Dia akan didhalimi orang lain

Dalam bait syair ini tergambar perilaku masyarakat Arab Jahiliyah, yang suka saling bermusuhan. dan mendhalimi orang lain. Untuk mempertahankan eksistensi hidup, mereka harus memusuhi orang lain, sebab jika tidak memusuhi orang lain terlebih dahulu, mereka berkeyakinan akan dimusuhi orang lain.

KESIMPULAN

Setelah diteliti tentang syair karya Zuhair bin Abi Sulma, dan Labid bin Rabi’ah, yang ditemukan dalam buku-buku sastra Arab Jahiliyah, ditemukan kontradiksi nilai, antara nilai kemusyrikan Jahiliyahan pada sisi lain, dan nilai ketauhidan dalam Islam.

18 Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi.

19 Al-Thabari, Tafsir al-Thabari.

20 Ibnu Asyur, al-Tanwir.

21 Al-Thabari, Tafsir al-Thabari. 25

(9)

Nilai ketauhidan yang terdapat dalam syair Zuhair bin Abi Sulma, dan Labid bin Rabi’ah, dilambangkan dengan lafal “Allah”, yang disertai dengan kalimat yang menjelaskan sifat Allah tersebut, seperti Allah Maha mengetahui segala yang tersembunyi dan yang nampak. Ungkapan yang menyertai kata “ Allah” tersebut jelas merupakan indikator sifat Tuhan dalam keyakinan Islam.

Namun pada sisi lain, dalam syair karya Zuhair bin Abi Sulma dan Labid bin Rabi’ah, juga ditemukan ungkapan-ungkapan yang merupakan gambaran kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah, yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam, misalnya mengajak kepada permusuhan, membanggakan diri dengan harta, keturunan, dan uangkapan lain yang pada umumnya berlawanan dengan nilai yang dibawa Islam, seperti kerukunan, kedamaian, dan saling mencintai antar sesama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baghawi. Tafsir al-Baghawi. Libanon: Dar al-Ma’rifah.

Al-Hasyimi, Ahmad. 1965. Jawahir al-Adab II. Kairo: al-Maktabah al-Tijariyah al- Kubra.

Al-Maraghi. 1965. Tafsir al-Maraghi. Beirut, Dar al-Fikr.

Al-Qurtubi. 2007. Tafsir al-Qurtubi. Jakarta: Pustaka Azzam.

Al-Sa’adi. 2006. Tafsir al-Sa’di. Jakarta: Pustaka Sahifa

Ashur, Ibnu. 1984. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Tunisia: Dar al-Tunisiyah.

Cahaya, Buana. 2017. “Nilai Moralitas Dalam syair Jahiliyah, karya Zuhair ibnu Abi Sulma” Al-Turas, Mimbar Sejarah Sastra, Budaya dan Agama, vol. 1 no.1.

Dhaif, Ahmad Syauqi. 1999. Al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu fi al-Asr al-Jahili. Bairut:

Dar al-Fikr.

Jauhari, Tantawi. 2004. Tafsir Tantawi Jauhari. Kairo: Dar al-Syuruq al-Dawliyah.

Ma’luf, Lewis. 1999. al-Munjid fi al-Lughat. Beirut: Dar al-Katalikiyyah.

Majah, Ibnu. 1745. Sunan ibn Majah. Bairut: Dar al-Fikr.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut ad-Dahlawi, transaksi yang mengandung unsur riba, sama sekali tidak memiliki semangat kerjasama, karenanya transaksi tersebut bertentangan dengan kemanusiaan dan

Dalam kamus tersebut ungkapan dikelompokkan dalam 5 jenis yaitu bebasan (ungkapan tidak menggunakan ibarat), sanepa (ungkapan yang menggunakan ibarat), pephindan (ungkapan