VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
71 Zain Zuhri Sholeh
Institut Agama Islam Ngawi [email protected]
ABSTRACT
The competition in Islamic Studies always tries to raise awareness of the multiplicity of meanings of religious texts. The journey of religious reasoning is proof that the Islamic scientific world can change the perspective and way of thinking of civilization. The history of the formulation of the justification of Islamic law during the Mujtahidin ushul fiqh (Islamic legal theory) shows us how law develops and does not stop. Observation, when dealing with natural, cultural, and social phenomena that are constantly changing and developing rapidly, is one of the factors that requires understanding religious texts or new readings, when legal literature emphasizes that law can change if objective criteria (al-'illah) change, then it can also be said in the sociology of science that social change causes changes in understanding.
Keywords: Language, text, context
ABSTRAK
Kompetisi dalam Studi Islam selalu berusaha untuk membangkitkan kesadaran akan multiplisitas makna teks-teks agama. Perjalanan penalaran agama adalah bukti bahwa dunia ilmiah Islam dapat mengubah cara pandang dan cara berpikir peradaban. Sejarah perumusan justifikasi hukum Islam pada masa Mujtahidin ushul fiqh (teori hukum Islam) menunjukkan kepada kita bagaimana hukum berkembang dan tidak berhenti. Pengamatan, ketika berhadapan dengan fenomena alam, budaya, dan sosial yang terus berubah dan berkembang pesat, merupakan salah satu faktor yang membutuhkan pemahaman teks-teks agama atau bacaan baru, yaitu ketika literatur hukum menekankan bahwa hukum dapat berubah, jika kriteria objektif (al-'illah) berubah, maka dapat dikatakan pula dalam sosiologi ilmu bahwa perubahan sosial menyebabkan perubahan pemahaman.
Kata Kunci: Bahasa, teks, konteks
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
72 PENDAHULUAN
Sejatinya, bahasa merupakan sistem (simbol) yang tidak hanya merupakan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non-empiris.
Bahasa merupakan simbol makna yang memiliki multi fungsi sebagai alatt komunikasi, penuangan emosi, serta ejawantah nalar manusia. Inilah differency vital manusia sebagai makhluk termulia sejagat raya. Dikatakan mulia karena memiliki kemampuan dan aktivitas daya pikir hasil proyeksi perangkat nalar llogika guna memanggul titah sang maha kuasa dalam menjalankan laku kepemimpinan di muka bumi, tempat bersemayamnya dunia realitas fisik.
Manusia, dalam rangka mencari dan menemukan entitas fakta dan realitas, akan mampu terwakili oleh dunia simbolik bahasa sebagai komunikasi sesama.
Bertrand russel sendiri menyatakan kesetujuan bahwa bahasa dianggap memiliki kesesuaian dengan ‘truktur’ realitas dan fakta-faktanya lokus realitas. Oleh karena itu,demi upaya pemahaman hakikat struktur tersebut tentu meniscayakan ‘sistem simbol bahasa’ sebagai prasyarat logis, hingga satuan-satuan sistem tersebut nentinya benar-benar mampu memahami ‘obyek luar biasa’. Namun demikian, adanya proposisi-proposisi kebahasaan dalam hubunganya sebagai pengantar dunia realistik fisik ternyata tidak sepenuhnya menjamin pemahaman secara utuh dan sempurna. Karakter bahasa, diakui atau tidak,memiliki sejumlah kelemahan dan keterbatasan ketika menyuarakan ide pikiran. Kelemahan tersebut dapat diraba ketika menjumpai, kesamaran (vagueness), ke-tidak eksplisitan (inexplicitness), ambiguitas (ambiguity), ketergantungan konteks (contex-dependece), kerawanan penyesatan (misleadingness). Dari akumulasi ini menghasilkan titik sampul bukti keterbatasan nalar manusia, akibat reduksi dan ketidak-berdayaan kuasa bahasa sendiri. Padahal manusia, bagaimanapun, mengandalkan adii-daya kekuataan (ber)- bahasa sebagai penyambung nalar-menalar. Jelaslah, dengan demikian, bahwa keterbatasan bahasa tidak melulu dilihat dari aspek wilayah ekstern bahasa melainkan harus dilihat dilihat juga daari wilayah intern bahasa (language) itu sendiri. Maksudnya, apa yang diungkapkan lisan kadang tidak lebih hanya merupakan bagian serpihan-serpihan logos, dan maksud suara hati tidak mampu teraspirasikan sepenuhnya.
Wajar jika ada aporisma ‘tak mampu terungkap dengan kata-kata’. Ini berarti bahasa telah menemukan kelemahan diri dalam jantung ontologi bahasa manakala tidak mampu mengungkapkan 'sebuah objek wicara' secara proporsional sesuai takaran kehendak bertatah-kata penutur. Yang tidak mampu terbicarakan itulah sebagai bangunan struktural ko-eksistensi tak nampak. Bahasa jadinya meniscayakan sebuah reduksi bahkan distorsi esensial terhadap deskripsi totalitas ke-berada-an.
Dalam tataran ini, apapun yang berkenaan dengan bahasa dan disampaikan lewat lisan, maka dengan sendirinya akan melebur menjadi terma 'formalisasi bahasa' atau
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
73 gugus logosentris yang ter-ejawantahan dalam sebentuk simbol tanda. Hal ini bukan berarti menafikan sejumlah perangkat- perangkat bahasa dalam terma Islam, sebab Islam memiliki keunikan dan ciri khas sendiri dalam memperlakukan bahasa; di mana selain menyoal bahasa manusia, juga mempersoalkan bahasa Tuhan (kalamullah al- Qur`an) sebagai kawasan lalu lintas fisik-metafisik. Islam, dalam logos kebahasaan, artinya memiliki kompleksitas language yang tidak terbaca dan teraba oleh pancaindra semata: sebuah madzhab tandingan positivisme. Makna ganda kedua ini direpresentasikan dalam wujud al-Qur`an-Hadits. la (bahasa Islam), tak ayal, menjadi aset mewah yang orisinal, sekaligus berfungsi sebagai jejaring lingkar pengetahuan secara totalitas dalam khazanah Islam
PEMBAHASAN
A. Desakralisasi Watak Bahasa
Dalam lanskap panjang sejarah peradaban Islam, disiplin ilmu bahasa dimanifestasikan dalam berbagai corak, mulai filsafat bahasa (al-lughah), gramatika (nahwu- sharaf), sastra, teknik tulis (kitabah), hingga teknik bacaan (qira'ah). Dari keseluruhan disiplin ini mengestimasikan terhadap satu kesatuan titik-tolak yakni terma Bahasa (dengan huruf kapital) sebagai poros yang akhirnya memunculkan berbagai kategori dan warna disiplin ilmu independen. Maka, tidak heran jika sejatinya esensi bahasa disebut juga sebagai bagian internal pemahaman dari filsafat (baca: filsafat Bahasa). Hal ini terbukti ketika al- Farabi menyatakan adanya persenyawaan antar bahasa dan filsafat. Bahkan lebih jauh ia menyatakan bahwa segenap disiplin ilmu, jika ditelisik secara integral, ternyata berujung pada filsafat:
sebagai sebuah keniscayaan pemahaman pencari kebenaran.1 Mungkin hal ini wajar sebab al- Farabi termasuk seorang filosof besar Islam yang banyak terinspirasi filsafat Yunani, terutama ajaran Plato.
Menurut al-Farabi, ilmu bahasa terbagi dua kategori: pertama, ilmu yang berfungsi menjaga makna bahasa sekaligus penunjuk makna (semiotika). Kedua, sebagai sebuah gramatika bahasa (grammar). Dari sini ia hendak memberikan sebuah premis mendasar bahwa definisi bahasa sejatinya bisa diterapkan pada segenap elemen bahasa-bahasa manusia di dunia, dan tidak terbatas kungkungan bahasa Arab an sich. la pun hendak mendedahkan bahwa lokus bahasa bukan bagian dari wilayah intern agama. Sekalipun tidak menafikan bahwa dalam Islam peran bahasa dimainkan hampir keseluruhan ranah teks, namun perlu ada dikotomisasi antara wilayah agama yang terbatas dalam ilmu syariah -sebagai 'ilmu tujuan' (ilm maqâshid). Ilmu ini syarat akan kandungan nilai- nilai intrinsik/transenden berorientasikan teosentris,
1 Muhammad hasan abdul aziz dalam kata pengantar; Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Yusuf Al-Khawarizmi, Mafatih ‘ulum, dar Al –Khoir, Cairo, cet. I, 2014, 57
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
74 karena bersifat kekal-abadi; dan ilmu bahasa sebagai ilmu media perantara' (ilm wasâil) yang syarat kandungan nilai ekstrinsik/profan berorientasikan antroposentris, karenanya bersifat temporer-nisbi.
Signifikansinya akan terlihat lebihh kontras ketika syariah menempatkan teks sebagai subjek -karenanya tak pelak Islam disebut sebagai peradaban teks-, sementara ilmubahasa menempatkan kesebalikannya; teks sebagai objek dan akal sebagai subjek. Dengan demikian, memberikan sebuah hipotesa bahwa ilmu bahasa adalah ilmu yang mengupas seluk-beluk linguistik hasil produksi penalaran sepanjang sejarah manusia. Jadi tegas, sekali lagi, bahasa bukan merupakan bagian ilmu syariah. Ringkasnya, jika menelisik hal tersebut terdapat epos sosio-kultural dalam jantung Arab sendiri yang sama-sama berjalan seirama namun memiliki karakteristik berbeda; antara kehidupan Islami dan Arabis; nalar Islami dan Arabis;
yang kemudian keduanya melebur padu dalam satu peradaban Arab-Islam. Tanpa perlu lagi membedakan identitas lagi mana yang hidup di Arab tapi bukan Islam atau hidup di luar Arab namun Islam.2
Dari sini sebetulnya sudah ada celah distingsif, bahwa pada dasarnya memang ada bagian wilayah syariah (agama) an sich, yang kemudian disebut-sebut sebagai entitas orisinalitas Islam. Ada pula peradaban Arab (non agama) an sich yang bermain pada tataran bahasa dan budaya. Maka, dengan sendirinya, permasalahan apapun yang ada kaitannya dengan kebahasaan bukan lagi menjadi wilayah agama, sekalipun objek kajian bahasa itu adalah al-Qur'an dan Hadits, yang notabene sebagai pusaka sakral agama. Dan mau tak mau, keduanya 'ditundukkan oleh bahasa sebab ajaran yang terkandung di dalam kedua sumber tersebut menggunakan media bahasa (Arab). Hingga upaya memahaminya pun harus dengan aturan gramatika atau ilmu kebahasaan; sebuah teori yang sudah lepas landas dari teologi atau syariah.3
Disinilah urgensi bahasa dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Tuhan. teori penafsiran. Ilmu Pada akhirnya, filsafat bahasa mampu memerankan diri dalam menggali penafsiran al-Qur`an sebab telahmasuk metodologi hermeneutik sebagai pisau analisis penafsiran bahasa. Mengkaji lingustik Islam tentu tidak bisa lepas tanpa mengkaji al-Qur`an sebab Islam terlahir dan dikenal sebagai peradaban teks di mana al-Qur`an, kemudian Hadits, menjadi kunci sekaligus gerbang segala kandungan pengetahuan Islam. Mungkin, perlu adanya pembebasan sakralitas pembacaan yang menyelimuti al- Qur`an. Sebab kaum puritan umpamanya, menganggap al- Qur`an, sebagai kitab suci, yang 'kebetulan' menggunakan media bahasa Arab, menjadikan sakral untuk dijamah, diotak-atik, dan dianggap sebagai sebuah produk final (taken
2 Husein Muruwwah, al- naz’at al-madiyah fi falsafah al-‘arabiyah al-islamiyah, dar al-farabi, Beirut , 1998, vol. I, 558
3 Husein Muruwwah, al- naz’at al-madiyah fi falsafah al-‘arabiyah al-islamiyah, dar al- farabi, 558
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
75 for granted). Asumsi tersebut mesti dihilangkan dan memerlukan penyegaran pemahaman kembali. Maksudnya tentang entitas al-Qur'an ditinjau dari persepsi language agar pembacaan lingustik Arab tetap menemukan titik progresivitas. Juga menuju pembacaan yang membebaskan terutama ketika diaplikasikan dalam menginterpretasikan al-Quran dengan model pembacaan baru tersebut, hingga al- Qur`an akan tetap menjadi harta karun peradaban ilmu Islam yang tak kunjung habis untuk dieksplorasi.
Menurut Amin al-Khuli dan Thaha Husein, sejatinya al-Qur`an, pertama, harus diletakkan sebagai kitab sastra Arab ter-agung: dan, kedua, baru memposisikannya sebagai kitab yang berisi kandungan ajaran syariah.4 Jika sudah melampaui fase pemahaman tersebut, niscaya kajian linguistik Arab, seperti filsafat bahasa, gramatika, sastra, dan prosa, tetap terbuka lebar untuk dikritisi dan diperbaharui menjadikannya lebih elegan dan senafas dengan peradaban yang berkembang, tanpa merusak bahasa al-Qur`an sendiri. Al-Qur`an pun, dengan demikian, tetap diperlakukan terhormat; tetap menjadi mainstream arus kiblat, yang dari/untuk al- Qur`an, kajian lingustikal terbentuk. Tak mengherankan jika benih pemikiran ini menitis dalam sosok Nasr Hamid Abu Zaid. Ia terinspirasiuntuk menjejakinya dan tergila-gila memproyeksikan pembaharuan lingustik Arab, baik gugus gramatikal maupun gugus filsafat teks -sebagaimana termaktub dalam karya kanoniknya;
Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat al-Ta'wil dan Mafhum al-Nash. la benar-benar menyadari bahwa teks dan bahasa bukan lagi wilayah Tuhan melainkan wilayah manusia. Singkatnya, watak bahasa bisa melepaskan diri dari nalar agama tapi tidak sebaliknya. Agama, bagaimanapun, butuh kostum di mana agama itu diturunkan agar bisa didekati dan dipahami kemudian. Dan al-Qur`an sebagai pesan Tuhan untuk manusia menggunakan kode dan saluran komunikasi manusia yakni bahasa (Arab).
Bahasa, karena berkarakter demikian, tak ayal mampu didekati oleh filsafat bahasa manapun atau apapun yang datang dari luar Islam, sepanjang tidak merusak keperawanan al-Qur`an. Karena itu agar tidak terjadi konflik mental dalam nalar Muslim seyogyanya upaya membongkar studi sejarah bahasa (al- Qur'an) melalui optic antropologi dan sosio-kultural Arab adalah sebuah keniscayaan.
Jika dirunut melalui perspektif historis, Islam sebagai petunjuk tunggal bagi semesta alam memilih bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`an dan bukan bahasa lainnya. Ini, berpasal bahwa bahasa Arab, ketika diturunkan wahyu, memiliki keuntungan geografis; menghegemoni hampir semua kawasan padang pasir.
Disamping dianggap bahasa yang paling represenatif; memiliki kelebihan dibanding bahasa Ibrani, Aramaic, Romawi, dan Persia.5 Syafi'i pun menyatakan "Bahasa Arab
4 Nasr Hamd Abu Zayd, Mafhum Nash, al –markaz al tsaqafi al-arabi, Beirut, 2005, 10
5 Abdul aziz taufiq, hadharah al-islam, maktabah mesir, cairo, tt. 58
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
76 (diakui) sebagai satu-satunya bahasa dunia yang paling komprehensif, ia memiliki kekayaan metodologi dan kosa kata yang melimpah ruah."6
Melalui telisik Syafi'i ini, nampak jelas bahwa al- Qur`an menggunakan media Arab sebagai baju kebesaran bukan tanpa alasan melainkan lebih bersifat ilmiah dan logika bahasa (kala itu). Hingga wajarlah jika Umar R.A. melarang memahami teks- teks al-Qur'an tanpa terlebih dahulu mempelajari seluk-beluk filsafat bahasa (dirasah al-lughah).7 Dalam deskripsi ini, adanya kebutuhan mempelajari filsafat bahasa adalah sebuah keniscayaan. Al-Quran sejatinya bukan merupakan acuan metodologi filsafat bahasa dan gramatika melainkan (hanya) sebuah aplikasi dan sampel hasil terapan teori bahasa, baik sisi fisafatnya, sastranya, maupun gramatikanya, karena hampir semua disiplin ini diam-diam telah terbentuk sebelum al- Qur`an, bahkan jauh sebelum Islam datang. Ini berarti bahwa bahasa al-Qur`an, sejatinya merupakan produk budaya, yang bahasanya kebetulan' digunakan Tuhan, sebab, bagaimanapun, bahasa adalah faktor determinan dalam menentukan struktur wahyu. Terbukti banyak berbagai varian bacaan (lahjah) dalam satu ayat atau satu kalimat. Masing- masing varian bacaan tersebut tentu bisa dijadikan afirmasi metodologi secara acak.
Umpamanya dalam mushaf Utsmani (saja) sudah cukup kuat adanya pembuktian hipotesa ini, lebih-lebih sebelum bacaan al- Qur`an disatukan di bawah bendera dialek suku Quraysh. maka banyak sekali varian bacaan di dalamnya sebagaimana yang ditunjukan kitab-kitab sejenis, macam kitab al-mashahif karangan al-Sajastani yang ditahqiq Arthur Jeffery, salah- satunya. Jadi, hal ini jelas tidak menegasikan berbagai madzhab filsafat untuk mengencani al-Qur`an dengan berbagai metodologinya; baik pembacaan konvensional maupun mutakhir; baik dari Islam maupun non-Islam - sepanjang pembacaan tersebut berada pada 'batas-batas tertentu sebab filsafat bahasa merupakan wilayah non- agama dan profan.
Antroposentrisme bahasa itu akan lebih kentara lagi jika mendiagnosa setting sejarah pembentukangramatika Arab yang terjadi pasca kodifikasi al-Qur`an.
B. Historitas dan Orisinilitas Gramatika Arab
Gramatika Arab, Nahwu (sintaksis), Sharaf (morfologis) Balaghah (sastra), adalah perangkat wajib sebagai media dalam memahami al-Qur`an dan Hadits yang notabene berbahasakan Arab. Perangkat ini mula-mula dicetuskan oleh Abu al-Aswad al-Duali atas mandat Ali R.A. ketika Ali R.A. menyaksikan penyimpangan- penyimpangan bacaan resmi al-Qur'an di kalangan non-Arab. Sebagaimana telah maklum dalam dongeng sejarah Islam, pasca kewafatan Nabi terjadi secara besar- besaran penyebaran Islam melalui penaklukan-penaklukan kawasan di luar Arab
6 Abdul aziz taufiq, hadharah al-islam, maktabah mesir, cairo, tt. 59
7 Abdul aziz taufiq, hadharah al-islam, 60
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
77 (a'zam) di mana kemudian semangat mempelajari Islam begitu besar dan sasaran pertama adalah al-Qur`an sebagai petunjuk semesta itu.8 Di sinilah akhirnya yang menjadi pemicu timbulnya ilmu gramatika hingga menemukan kematangannya ditangan Sibawaih. Islam sebagai sebuah ajaran bagi penganutnya, bagaimanapun, tidak bisa melepaskan diri dari 'belenggu al-Qur'an dan, mau tak mau, harus mempelajari pra syarat bacaan grammar demi menuju pemahaman utuh al- Qur'an dan Islam. Karenanya, tak ayal jika Islam menjadi peradaban teks di mana proyek terbesarnya adalah pasti melulu berurusan dengan korpus teks al-Qur'an dan Hadits.
Tentunya meniscayakan mempelajari seluk-beluk teks secara mendalam guna mendedah kedalaman kedua sumber Islam terbesar tersebut. Di sinilah sebetulnya yang mendekatkan al-Qur`an dengan relevansi kajian linguistik secara umum.
Sejarah mendokumentasikan bahwa al-Qur`an diturunkan dengan bahasa fushah di saat budaya Arab kala itu sedang mengalami keemasan budaya syair jahiliyah dan tentu tidak bisa dipungkiri di dalamnya meniscayakan budaya dan gramatika Arab yang telah terbentuk sedemikianrupa, sekalipun masih natural dan apa adanya. Maksudnya, pembentukan gramatika bahasa bukan oleh norma-norma yang telah dipatenkan, sebagaimana di tangan Sibawaih, namun lebih didasarkan pada kekuatan pengetahuan 'ujaran fenomen linguistik' (ma'rifah madlûl ibârah) ketimbang sistem gramatika yang (di)baku(kan) terkemudian (ma'rifah ibarat).9 Hanya saja tidak semua kaum Arab mampu membahasakan secara fushah sebab bahasa fushah, kala itu, merupakan 'bahasa elit' yang kebanyakan digunakan oleh komunitas berpendidikan dan para ahli syair.
Sementara untuk bahasa komunikasi sehari-hari tidak menggunakan bahasa fushah melainkan bahasa kampungan (amiyah),10 -mungkin analoginya persis seperti yang terjadi di kawasan Timur Tengah sekarang ini yang didominasi bahasa kampungan dalam komunikasi sehari-hari. Dengan sosio-kultur demikian, sebetulnya problematika bacaan fushah adalah isu lama, yang sudah terjadi sejak Islam belum datang. Itu pun hanya terjadi pada komunitas tertentu dan dalam skema tertentu.
Bahkan Nabisendiri merasakan keprihatinan akibat problema bacaan fushah yang belum mentradisi, ketika ia melihat seorang sahabat yang berbicara dalam sebuah majlis tanpa menggunakan aturan gramatika hingga Nabi menilainya telah menyimpang dan segera menyuruhnya mempelajari tata-bahasa natural.11 Sejak saat
8 Zuhairi gazie zahid, fii tafiir al nahwi inda al arab, maktabah al – nahdhah al –arabiyah, cairo, 2011, 77
9 Abdul qadir aljarzani, dalail al ‘ijaz, makatabah usrah, cairo, hal. 417 atau orang arab memiliki karakter natural sehinga terhindar dari kesalahan bacaan, lihat abi abdillah al-janzani, tarikh al-Qur’an, Dar al-Hikmah, Damaskus, 2009, 80
10 Zuhairi gazie zahid, fii tafiir al nahwi inda al arab, maktabah al – nahdhah al –arabiyah, cairo, 2011, 19
11 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, dar al-nahdhah al-arabiyah, Beirut, tt. 56
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
78 itu, usaha peletakan rancang bangun gramatika, sebagai gerakan fushahi-sasi terutama demi menyelamatkan bacaan autentik al-Qur`an, getol dilakukan para sahabat. Dalam pembakuan gramatika tesebut para pengkaji bahasa generasi pertama mencari justifikasi dari syait-syair kuno jahiliyah disamping bahasa komunikasi sehari-hari yang mendekati gaya bahasa standaral-Qur'an,12
Dalam catatan sejarah masa sahabat, Umar R.A memulai gerakan ini yakni ketika menegur Abu Musa al-Asy'ari, walaupun ini dimulai dengan peristiwa insidentil. Hingga akhirnya usaha serius pembakuan gramatika pun datang dari Ali R.A ketika memandatkan kepada Abu al- Aswad al-Duali untuk menangani problematika bahasa Arab yang sudah akut dan carut marut keluar dari batasan, terutama ketika diaplikasikan dalam bacaan al-Qur`an - akibat belum ada standarisasi yang sistematik. Di tangan Abu Aswad-lah gramatika mulai menampakkan jati dirinya melalui observasi kebahasaan atau hasil konsensus para sahabat. Yang mengejutkan usaha Abu aswad dalam rangka observasi itu ternyata tidak hanya sebatas di lingkungan budaya Arab, ia kerap kali melakukan ekspedisi ke kawasan berbahasa Aramaic dan tak jarang duduk berembug dengan para intelektual Aramaic guna memecahkan problematika bahasa Arab, khususnya dalam tujuan memperlakukan al- Qur`an agar tetap suci dan terjaga keautentikannya.13 Capaian terbesar Abu Aswad adalah, pertama, ketika berhasil menemukan tanda baca harakat (i'râb) pada setiap akhir kalimat atau tanda titik huruf pada bacaan al-Qur`an, yang sebelumnya masih berbentuk 'gundul' tanpa simbol bacaan14 dan kedua, meletakan kaidah dasar gramatika secara universal.15
Dalam kadar demikian, nampak jelas bahwa bahasa al-Qur`an memasuki wilayah kemanusiaan atau sejarah kebudayaan ketika ia harus terlebih dahulu berdialektika mencari 'jati diri' dengan keadaan sosio-kultur. Serta terdapat usaha- usaha manusia untuk menemukan 'bacaan yang tepat manakala Tuhan mewahyukan dengan meminjam saluran kode bahasa manusia sendiri. Dan betapa filsafat bahasa - lebih tepatnya gramatika sebagai hardware filsafat bahasa- dalam budaya Islam sudah ada sejak zaman dahulu. Sekalipun usaha menuju itu dengan cara berdialektika dengan peradaban budaya lain, tapi bagaimanapun adanya akulturasi antar peradaban adalah sebuah hukum alam yang tidak bisa terelakkan dalam sejarah manusia. Wajar saja jika dalam perkembangan gramatika selanjutnya pengaruh peadaban dari luar tetap menampakan diri di tangan para ulama nahwu dalam tiga fase besar. Pertama, masa pembentukan di tangan Abu Aswad beserta para
12 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, dar al-nahdhah al-arabiyah, Beirut, tt. 29
13 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 28-29
14 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 180
15 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 49
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
79 penerusnya. Kedua, masa pelebaran dari fase sebelumnya dengan menggunakan metodologi analogi- akumulasi langsung dari al-Qur'an sebagai sumber primer (justifikasi) gramatika Arab oleh Abdullah bin Abi Ishaq. Di sini bukan berarti memposisikan al-Qur`an sebagai panduan tunggal melainkan tidak lebih sebagai pencocokkan aplikasi- sample hasil (penemuan) teori oleh Abi Ishaq. Ketiga, fase penyempurnaan dan keemasan, hingga menjadi ilmu yang mandiri dengan memiliki metodologi yang telah sempurna. Di sinilah era keemasan gramatika Arab menemukan diri yang ditandai munculnya para raksasa gramarian seperti al-Kisai, Khalil bin Ahmad, dan Sibawaih sebagai ikon- ikon ulama ahli Nahwu zamannya.16 Yang perlu ditekankan 16 dalam historiografi perjalanan gramatika Arab ini adalah dalam tumbuh-berkembangnnya tidak pernah lepas dari keterpengaruhan peradaban luar Arab.
Semenjak fase awal keterpengaruhan itu sudah terlihat di tangan Abu Aswad yang sering melakukan ekspedisi ke kawasan berbahasa Aramaic bagian Timur dimana sama-sama memiliki persenyawaan bahasa, yang menginduk ras Samiyah.
Betapa Abu Aswad kagum dengan gramatika Aramaic yang sudah sedemikian canggih. Ia pun kemudian melakukan studi leksikostatistik (penerapan statiska komparasi kebahasaan) bahasa Aramaic dan akhirnya mampumenyerap beberapa elan vital sebuah gramatika secara umum, seperti pembagian frase nominal (isim), verbal (fi'il), konjungsi (huruf), pembeda huruf dengan peletakan titik diaktris, dan peletakan harakat dan infleksinya (perubahan bunyi akhir suatu kata) yang meliputi tiga bagian penting: rafa' (nominatif), nashb (akusatif), dan jarr (genitif).17
Secara sosio-kultural, jika dirunut lebih jauh, akan terlihat bahwa penerapan teori yang dilakukan Abu Aswad tersebut sebenarnya merupakan ilmu gramatika yang terdapat dalam peradaban Yunani di mana konsepsi- konsepsi itu sealur dengan logika Aristoteles terlebih dalam kategori analogi. Kala itu telah terjalin kontak budaya antara tradisi kebahasaan Aramaic dengan filsafat Yunani melalui penerjemahan karya-karya filosof Yunani. Dan Islam (Arab) sejak awal sudah terjadi kontak budaya dengan Aramaic hingga memudahkan jalan para pengkaji bahasa, khususnya Abu Aswad, untuk menelaah karya terjemahan Aristo secara langsung.18 Khususnya kitab Neqiequnveias dan ajaran neoplatonik yang sedianya sudah diterjemahkan jauh sebelum Islam datang.19
16 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 62-63
17 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 85
18 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 67, terbukti ketika rasul menyuruh salah satu sahabat zaid bin tsabit untuk mempelajari bahasa suryani, motif rosulpun lebih karena factor kebahasaan, ketika, ternyata, dalam alQuran memiliki sisi kebahasaan yang persis dengan kitab suci suryani.
19 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 58
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
80 Pencangkokan peradaban ini terus terjadi secara periodik hingga pada masa Khalil bin Ahmad; era di mana menandai babak puncak kematangan ilmu nahwu. Ibn Muqaffa pun ikut serta memberikan kontribusi ketika ia, dalam pertama kali sejarah Islam, menerjemahkan karya filsafat Yunani hingga memudahkan ulama Nahwu dalam menelaah kajian filsafat sebagai studi banding bagi kemajuan gramatika Arab selanjutnya.20 Bahkan pengaruh filsafat Yunani tidak terbatas pada bidang gramatuka an sich, al-Jahiz adalah orang pertama yang menerapkan metode analogi dalam disiplin Balaghah hingga ia kemudian dikenal sebagi seorang ikon ulama Balaghah.
Begitu juga Khalil bin Ahmad menerapkan metode analogi dalam ilmu Arudh (tembang sastra) hingga sejak saat itu lebih terkenal disebut sebagai peletak dasar ilmu Arudh dibanding ulama nahwu -setelah konon 'dipecundangi' oleh muridnya sendiri, Sibawaih yang menjadi ikon ilmu gramatika.21 Dalam pada itu problematika seputar perkembangan linguistik secara umum-khususnya asal muasal bahasa apakah termasuk ciptaan manusia atau langsung pancaran dari Tuhan secara natural (taufiqy) atau kesusastraan Balaghah itu dipandang secara maknawi atau bendawi (lafal) sudah mulai diwacanakan.22
Membincangkan perjalanan gramatika Arab sejatinya tidak melulu bahwa ilmu tersebut terpengaruh dengan logika Yunani. Mengingat madzhab gramatika Arab terbagi menjadi dua; Bashrah dan Kuffah, yang masing-masing memiliki identitas dan kecenderungan 'sendiri-sendiri karena berbeda dalam epistema dan metodologi yang dipakai dalam 'memproduksi' standar gramatika Arab. Pemicu warna gramatika ini ternyata tidak lepas dari faktor politis di mana Kuffah dikenal pendukung fanatik Ali R.A. sementara Bashrah adalah pendukung fanatik Utsman R.A. atau pemicu lainnya bisa jadi latarbelakag budaya kedua madzhab tersebut.23 Bias perbedaan ini meruncing hingga muncul dalam terma-terma. Rata-rata kedua madzhab itu memiliki istilah yang berbeda sekalipun esensinya sama.24 Dalam tataran epistema, madzhab Bashrah memilki corak gramatikal logika filsafat, hal ini wajar sebab latar belakang sosio-kultur Bashrah telah mengenal akrab dan tidak asing dengan ajaran-ajaran filsafat Yunani sebelum berkecimpung dalam dunia gramatika Arab sehingga spekulasi rasional sangat kental dalam madzhab itu. Bahkan hal tersebut didukung penuh oleh teologi setempat di mana sekte Syiah dan Mu'tazilah, yang menjadikan
20 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 58
21 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 59
22 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 59
23 Muhammad tantawy, nasy’ah al-nahwi, dar al-ma’arif, cairo, tt. 123
24 Muhammad tantawy, nasy’ah al-nahwi, dar al-ma’arif, cairo, tt. Hal. 151, sebagai contoh;
madzhab basrah menggunakan tema na’at, kufah menggunakan sifat, Nampak betapa runcing pertikaian mereka sehingga merembet pada area terma, yang sebetulnya sama dan tidak begitu esensial.
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
81 filsafat sebagai metodologi resmi, adalah sekte yang menghegemoni bahkan hampir menguasai sebagaian besar penduduk kawasan tersebut.25
Sementara madzhab Kuffah memiliki corak gramatikal Arabis, yang dalam metodologi mencukupkan diri dengan kekayaan budaya Arab klasik sekalipun dengan usaha susah payah. Keelokan logika filsafat sama sekali tidak tampak dalam gramatika madzhab Kuffah. Dan ini bukan tanpa alasan sebab filsafat, menurut pandangan mereka. adalah 'barang haram' yang rawan memberikan ekses negatif dalam nalar (agama).26 Gramatika madzhab Kuffah justru lebih mengandalkan pada periwayatan (metoda transmisi) dari pendahulunya sehingga peran nalar tidak begitu difungsikan -sebuah pemandangan yang tampak kontras dengan pemandangan yang terjadi di Bashrah di mana menempatkan nalar sebagai mesin analogi gramatika.
Sayangnya madzhab Kuffah, dalam cerita sejarah gramatika Arab, tidak begitu diperhatikan oleh generasi setelahnyaseakan tenggelam begitu saja oleh seleksi alam bahkan dipecundangi oleh madzhab Bashrah akibat kemandulan metodologi yang (hanya) bersumber metode tranmisi.
Puncaknya adalah fenomena 'pemasungan madzhab' yang tampak sengaja dilegalkan dalam tradisi keilmuan nahwu ketika muncul adagium gagah: ketika terjadi pertentangan madzhab Bashrah dan Kuffah, maka yang dimenangkan adalah Bashrah', sebagaimana telah familiar dibenak pengkaji gramatika Arab. Tentu ini tak lepas ulah anomali-anomali para raksasa ilmu Nahwu yang kebanyakan berasal bukan dari bangsa Arab, seperti Sibawaih yang berdarah Persia. la, bagaimanapun, dianggap duta besar kubu Bashrah yang menuai sukses besar menjadikan gramatika Arab bergenre filsafat menjadi jawara sepanjang sejarah Islam. Hegemoni Sibawaih melalui magnum opusnya al-Kitab nampak menyihir umat Islam dalam berbagai tradisi keilmuan menjadikan al-Kitab sebagai standar baku gramatika selayak madzhab Fiqh dalam mempertahankanya.27 Bahkan terkesan (di)'sakral'(kan) hampir menyamai kedudukan al- Kitab (baca: al-Qur`an) di mana tak seorang pun ulama menyangkal atau menampiknya di zamannya. la, oleh generasi pasca-Sibawaih, dianggap sebagai founding father gramatika Arab, sebagaimana Ibn Sina dalam meracik ilmu kedokteran.28 Disini nampak betapa sebuah pengetahuan (knowledge) dan kekuasan (power) berkilandan hingga menjadi sebuah dominasi tunggal, persis sebagaimana analisis Michel Foucault.
Selama beberapa abad, bahkan hingga sekarang, hegemoni Sibawaih dalam konteks gramatika Arab amatlah kuat. Sibawaih seakan didaulat menjadi maskot
25 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 58
26 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 58
27 Muhammad tantawy, nasy’ah al-nahwi, dar al-ma’arif, cairo, tt. 222
28 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, 58
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
82 gramatika yang tiada tanding bahkan gramari-an yang mencoba melawan arus mainstream dengan Sibawaih-an, sepertinya tidak berkutik untuk menentang, menantang, bahkan menumbangkan atau paling tidak menjadi oposisi kuatmadzhab Sibawaih. Berbicara tentang oposisi pengetahuan, sebetulnya jika ditarik ke belakang terdapat beberapa sosok ulama klasik yang sebetulnya cukup layak menjadi tokoh oposan seandainaya madzhab mereka diekspos dan direspon baik oleh masanya.
Sayangnya dukungan nampaknya tidak ada sehingga metodologi ulama klasik yang sebetulnya berseberangan kuat dengan metodologi Sibawah ini tidak muncul ke permukaan bahkan terkesan dimarginalkan oleh alam sejarah. Tercatat ada dua ulama Nahwu benar-benar memilki watak metodologi berbeda dengan metodologi Sibawaih -yang kelak metodologi ini menjadi inspirator cikal-bakal penyemangat lahirnya pemikir pembaharu gramatikal-filsafat bahasa kontemporer. Ulama pembaharu klasik itu pertama adalah Abu Fath Utsman yang lebih dikenal Ibn Jinni (W395H). la adalah salah satu ikon madzhab Baghdad -madzhab nahwu yang lahir setelah madzhab Bashrah dan Kuffah hidup dimasa pemerintahan Bani Saljuk dan semasa dengan salah satu sastrawan besar Islam, al-Mutanabbi. Ibn' Jinni mengarang kitab al-Muhtasib dan al- Khashâis.29 Karya ini banyak dijadikan pijakan referensi oleh ulama pembaharu bahasa setelahnya seperti Ibn Madha, termasuk juga pemikir kontemporer. Karyanya memuat bahan-bahan bernilai progresif-rekontrukstif dan banyak melahirkan perombakaan-perombakan dalam gramatika Arab, khususnya pandangan tentang filsafat Bahasa secara mendalam; sebuah terma baru yang tidak banyak dilirik oleh ulama sebelumnya.
Kedua, Ibn Madha al-Qurtubi (W. 592H.), seorang duta madzhab gramatika Andalusia yang hidup dua abad sepeninggal Ibn Jinni.30 Dalam catatan sejarah, ia termasuk salah satu hakim Dinasti Muwahiddin. Pembaharuan yang ia lakukan semata-mata tidak lepas dari aspek sosio-kultur yang mengkampanyekan gerakan oposisi terhadap tradisi keilmuwan wilayah bagian timur. Kala itu amir ya’kub, penguasa dinasti muwahiddin mensponsori pembaharuan hampir semua disiplin ilmu sebagai bentuk protes perlawanan massif terhadap tradisi ilmu keagamaan produk wilayah timur yang menghegemoni semua kawasan daerah islam. Al-qurtubi mengakui terinspirasi dengan kesuksesan madzab dzahiriyyah, yang menjadikan madzab itu sebagai madzab yang dianut sebagian besar kawasan andalusia.31
29 Muhammad tantawy, nasy’ah al-nahwi, dar al-ma’arif, cairo, tt. 202
30 Ahmad Darwis , inqad al-lugah min aydi al-nuhat, Dar al fikr, Damaskus, 2009, 30
31 Sauqi dhaif, ibnu madha al-qurtubi, al-raddu ‘ala al nuhat, dar al-ma’arif, cairo tt. 18
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
83 KESIMPULAN
Disadari atau tidak, teks-teks suci agama yang dimaksudkan untuk dipahami dulu dan sekarang berdasarkan isu-isu sosial dan kemanusiaan ternyata tidak terbaca. Artinya, dimensi keruangan dari teks-teks jamak itu bahkan telah ditentukan sebelumnya sebagai berkah darinya kepada 'âlamî dan seolah-olah hanya
"dikonsumsi" oleh sekte-sekte tertentu. Pada akhirnya dunia teks terasa tidak lagi indah karena “kemelekatan dan keberpihakan” ini. Sudah menjadi aksioma bahwa pemikiran manusia, termasuk pemikiran religius, adalah produk alami dari perbedaan situasi sejarah dan realitas sosial pada masa itu. Oleh karena itu, pemikiran keagamaan tidak dapat dipisahkan dari hukum yang mengatur pergerakan orang pada umumnya. Karena pemikiran religius tidak mencapai kesucian dan kemutlakannya hanya karena objeknya adalah agama. Sebagai kata penutup dari resensi buku An-Najar, tampaknya perlu menghadirkan Islam sebagai agama yang humanistik, toleran dan menghargai segala perbedaan, di tengah sengitnya pergulatan perdebatan agama dewasa ini. Dengan mencocokkan teks (agama) dan memahami makna teks (pemikiran agama) dan realitas manusia yang terus berkembang, seseorang dapat mencoba menyelaraskan antara ketiga kutub tersebut.
Akhirnya, setiap upaya dalam studi agama harus dapat memberikan manfaat yang selalu penting bagi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga diharapkan dapat mendorong pemikiran progresif dan lebih aktif tanpa bayang-bayang hegemoni yang datang dari pemikiran klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq, Abdul Aziz . Hadharah Al-Islam. Maktabah Mesir: Cairo Aljarzani, Abdul Qadir. Dalail Al ‘Ijaz, Makatabah Usrah, Cairo
Abi abdillah al-janzani, tarikh al-Qur’an, Dar al-Hikmah, Damaskus, 2009 Ahmad Darwis , inqad al-lugah min aydi al-nuhat, Dar al fikr, Damaskus, 2009 De boer, Tarikh Falsafat Islamiyyah, dar al-nahdhah al-arabiyah, Beirut, tt.
Husein Muruwwah, al- naz’at al-madiyah fi falsafah al-‘arabiyah al-islamiyah, dar al- farabi, Beirut , 1998
Muhammad hasan abdul aziz dalam kata pengantar; Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Yusuf Al-Khawarizmi, Mafatih ‘ulum, dar Al –Khoir, Cairo, cet. I, 2014,
Muhammad tantawy, nasy’ah al-nahwi, dar al-ma’arif, cairo, tt. Hal. 123
Nasr Hamd Abu Zayd, Mafhum Nash, al –markaz al tsaqafi al-arabi, Beirut, 2005
VOL 1 NO 1(Desember, 2022)
e-ISSN: 27441044X
84 Sauqi dhaif, ibnu madha al-qurtubi, al-raddu ‘ala al nuhat, dar al-ma’arif, cairo tt.
Zuhairi gazie zahid, fii tafiir al nahwi inda al arab, maktabah al – nahdhah al – arabiyah, cairo, 2011