• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

Profil 3 α ,11 β dihydroxy-CM pada Individu Badak dan Populas

Kuantifikasi 3α,11β-dihydroxy-CM sebagai metabolit dari glukokortikoid dikaji lebih lanjut dengan melihat rentang kadar hormon glukokortikoid dari setiap individu untuk melihat adanya variasi rentang tersebut. Fluktuasi kadar hormon dari setiap individu sepanjang periode pemantauan ditampilkan pada Gambar 16 yang menunjukkan adanya fluktuasi yang besar dari kadar hormon pada individu badak 18 dan 12 pada bulan Oktober dan November. Hal ini dapat terjadi akibat adanya cekaman dengan jenis dan intensitas yang berbeda sehingga terjadi fluktuasi hormon cekaman seperti itu. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai rentang interval dari fluktuasi hormon yang terjadi pada setiap individu badak, analisis box plot dilakukan agar dapat menunjukkan rentang kadar hormon dari setiap individu seperti yang ditampilkan pada Gambar 17.

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0.0 0.6 1.2 2.4 4.8 9.6 19.5 39.0 78.0 A b so rb a n s

Kosentrasi (pg/50ul)/ Pengenceran

Standar Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6 1:320 1:160 1:80 1:40 1:20

Gambar 16. Fluktuasi kadar 3α,11β-dihydroxy-CM antar musim pada semua individu badak

Gambar 17. Rentang kadar metabolit glukokortikoid (3α,11β-dihydroxy-CM) antar individu badak sepanjang periode pengamatan

Mengingat adanya kemungkinan reaktifitas silang ini, maka validasi lebih lanjut perlu dilakukan secara biologis dengan membandingkan profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada beberapa individu yang berbeda (jantan dan betina) serta melakukan validasi secara kimiawi dengan mengkuantifikasi reaksi silang antara 3α,11β-dihydroxy-CM dengan kortisol dan androgen. Selain itu, analisis lebih lanjut dari kadar glukokortikoid perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang dapat mempengaruhi seluruh populasi yaitu faktor ketersediaan pakan dan ketersediaan air mengingat adanya kecenderungan dinamika cekaman yang tidak spesifik terhadap seluruh populasi.

0 100 200 300 400 500 600 700

Oktober November Desember Januari Februari

K a d a r 5 b e ta a d io l (n g /g ra m f e se s) Bulan pengamatan Badak 12 Badak 13 Badak 18

Kondisi Cekaman

Kondisi defisit energi asal pakan ditunjukkan dengan membandingkan jumlah asupan energi per berat badan pada badak no 12 dibandingkan dengan parameter yang sama pada badak no 13 dan 18 berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dalam penelitian nutrisi. Selain keterbatasan asupan energi asal pakan pada badak 18, selama penelitian terjadi kondisi defisit air di musim kering di Taman Nasional Ujung Kulon yang terjadi terjadi pada bulan Oktober 2010 dengan rataan jumlah kejadian hujan per hari yang rendah, sementara kondisi kecukupan air terjadi pada bulan Januari dimana jumlah kejadian hujan per hari angka tertinggi sebagaimana ditampilkan pada Gambar 18, maka feses badak no 18 digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi cekaman tinggi dan feses badak no 12 digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi cekaman rendah dalam konteks ketersediaan pakan. Gambar 18 menunjukkan bahwa rataan jumlah hari hujan (berdasarkan pengamatan di lapangan) di bulan Oktober merupakan masa-masa dengan curah hujan paling rendah (kering). Berdasarkan data jumlah hari hujan, sampel feses semua badak di bulan Oktober digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi defisit air yang diduga menimbulkan cekaman tinggi, dan feses semua badak di bulan Januari digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi cekaman rendah dalam konteks ketersediaan air.

Gambar 18. Karakteristik musim pada periode pengamatan (bulan Oktober 2009- April 2010) berdasarkan rata-rata jumlah kejadian hujan, cerah, ataupun berawan dalam satu hari.

- 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 R a ta -r a ta J u m la h k e ja d ia n p e r H a ri Cerah Berawan Hujan

Faktor Cekaman dan Profil Glukokortikoid

Statistik deskriptif menunjukkan adanya trend perbedaan rataan kadar hormon antara badak 12, 13, 18 (yang memiliki perbedaan tingkat kecernaan dan konsumsi energi per berat badan). Dari data ini dapat dilihat bahwa median tertinggi kadar 3α,11β-dihydroxy-CM ada pada individu badak 18, demikian juga dengan rentang tertinggi dari fluktuasi kadar hormon tersebut ditunjukkan oleh individu 18. Hal ini menunjukkan bahwa badak 18 menghadapi intensitas cekaman yang tinggi dan berbeda-beda selama periode pengamatan. Individu 18 adalah seekor badak muda (sub-adult) yang menunjukkan rataan asupan energi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan badak lainnya. Selain itu, badak muda seperti ini sering mendapatkan cekaman sosial dibandingkan dengan badak dewasa, dan cekaman seperti ini sering terjadi saat badak muda berusaha menentukan ruang jelajahnya sendiri (Hearne & Swart 1991). Intensitas cekaman juga menguat seiring dengan peningkatan kadar testosteron pada jantan saat memasuki masa kematangan seksual (siklus spermatogenesis) yang biasanya jatuh di awal musim hujan (Kretzschmar et al. 2002). Hal yang perlu dicermati dari temuan tingginya kadar glukokortikoid pada badak 18 di bulan November ini adalah kemungkinan adanya reaktifitas silang antara 3α,11β- dihydroxy-CM dengan androgen. Badak 18 (badak jantan muda) kemungkinan menghadapi masa peningkatan kematangan seksual (masa pubertas) yang ditandai dengan meningkatnya hormon testosteron. Kemungkinan lain yang perlu diperhatikan adalah perubahan kadar androgen yang berfluktuasi secara musiman (Paplinska et al. 2007).

Badak dengan rataan konsumsi energi per berat badan (%) yang rendah cenderung menunjukkan profil rataan kadar 3α,11β-dihydroxy-CM yang tinggi di dalam feses. Defisit energi sangat mungkin menjadi pemicu aktifitas glukokortikoid, dimana glukokortikoid berperan dalam glukoneogenesis yang berperan dalam pengadaan sumber energi tambahan untuk memasok siklus Kreb. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya kecenderungan tingginya metabolit glukokortikoid pada tingkat konsumsi energi yang rendah seperti yang ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 19.

Gambar 19. Perbandingan tingkat konsumsi energi per berat badan (sumbu x) dengan kadar metabolit glukokortikoid pada feses.

Demikian pula dengan juga rataan kadar hormon di musim dengan curah hujan yang berbeda(perbedaan antar musim) dimanakadar hormon cenderung lebih tinggi pada individu badak dan di musim kering di bulan Oktober sebagaimana ditampilkan pada Gambar 20.

Gambar 20. Perbandingan kadar hormon cekaman antar individu badak dengan asupan berat kering yang berbeda (A) dan antar musim/curah hujan (B)

Ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang diduga sebagai pemicu cekaman pada badak jawa, dan hal ini dibuktikan dengan analisis data yang menunjukkan adanya hubungan antara jumlah curah hujan dengan kadar hormon

0 50 100 150 200 250 300 350 3,00% 3,20% 3,40% 3,60% 3,80% K a n d u n g a n 3 α , 1 1 β -d ih y d ro xy -C M d a la m f e se s (n g /g f e se s)

Konsumsi energi per berat badan (%)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 0,5 1 1,5 2 R a ta a n k a d a r 3 α ,1 1 β -d ih y d ro xy -C M (n g /g ra m fe se s)

glukokortikoid. Rataan kadar glukokortikoid pada hari-hari dengan curah hujan rendah (sekitar 0.3 kejadian hujan per hari) menunjukkan angka yang tinggi, sementara rataan kadar glukokortikoid pada hari-hari dengan curah hujan tinggi (sekitar 1-1.5 kejadian hujan per hari) menunjukkan angka yang rendah. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa rendahnya curah hujan memiliki implikasi terhadap menurunnya ketersediaan air (Smit & Grant 2009) dan merupakan faktor pemicu cekaman pada badak jawa yang berujung pada tingginya sekresi glukokortikoid pada periode tersebut.

Simpulan dan Saran

Simpulan

1. Kit komersial hormon kortisol dan kortikosteron tidak dapat digunakan untuk menganalisa metabolit glukokorticoid dalam sampel feces badak Jawa karena uji parelelisme menunjukkan bahwa kit tersebut tidak dapat mendeteksi keberadaan metabolit glukokortikoid yang dieskresikan dalam feces

2. Hasil analisis dengan asai hormone 3α, 11β-dihydroxy-CM menunjukkan bahwa kurva pengenceran bertingkat dari sampel feses badak jawa paralel dengan kurva standar. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan asai hormon 3α, 11β-dihydroxy-CM dapat mendeteksi keberadaan metabolit glukokortikoid pada feses badak jawa.

3. Profil kadar glukokortikoid pada setiap individu menunjukkan adanya indikasi perbedaan dan kadar hormon tinggi pada badak 18 yang merefleksikan dinamika cekaman yang lebih bervariasi dibandingkan dengan badak lainnya. 4. Faktor cekaman berupa keterbatasan asupan energi dan ketersediaan air

merupakan faktor yang diduga memicu terjadinya peningkatan kadar glukokortikoid.

Saran

1. Melakukan validasi lebih lanjut terhadap 3α,11β-dihydroxy-CM untuk menentukan potensi penggunaannya dalam pemantauan cekaman pada badak jawa.

2. Melakukan validasi lanjutan untuk menentukan apakah hormone assay tersebut dapat digunakan untuk menganalisa metabolit glucocorticoid dalam feces badak jawa. (masih ada beberapa step validasi yang harus dilakukan untuk memastikan apakah hormone assay tersebut tepat)

3. Mengembangkan protokol studi longitudinal monitoring fisiologi stress secara non-invasif dengan menganalisa metabolit glukokortikoid dalam feces dengan asai hormon yang tepat

Daftar Pustaka

Barja I, et al. 2007. Stress physiological response to tourist pressure in the wild population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry and molecular biology. (104)3-5:136-142

Baron R. 2006. Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective. Nature clinical practice neurology. 2:95-106

Coenen M,. 2005. Exercise and stress: impact on adaptive processes involving water and electrolytes. Livestock production science 92:131-145

Dickens MJ, Delehanty DJ, Romero LM,. 2010. Stress: an inevitable component of animal translocation. Biological conservation 143:1329-1341

Francois-Gerard C, Gerard P, Rentier B,. 1988. Elucidation of non-parallel EIA curves. Journal of immunological methods (111)1:59-65

Garg SL, Chander S,. 1997. Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations in Buffaloes with uterine Torsions.Buffalo BullettinVol 16(4): 75-76

Ghalib, Supriatna I, Agil M, Engelhardt A,. 2011. Non-invasive hormone monitoring: fecal androgen and glucocorticoid in male crested macaques (Macacanigra) in relation to seasonal and social factors. Thesis. Bogor Agriculture University Hearne JW, Swart J,. 1991. Optimal translocation strategies for saving the black

rhinoceros. Ecological modelling 59: 279-292

Kretzschmar P, Gansloßer U, Dehnhard M,. 2004. Relationships between androgens, environmental factors and reproductive behaviours in male white rhinoceros (Ceratotherium simum simum). Hormones and Behaviour 45: 1-9

Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

Menargues A, Urios V, Mauri M,. 2008. Welfare assessments of captive asian elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis) using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): 305-312

Morgan KN, Tromborg CT. 2007. Sources of stress in captivity. Applied animal behaviour science 102: 262-302

Morrow CJ, Kolver ES, Verkerk GA, Matthews LR,. 2000. Urinary corticosteroids: an indicator of stress in dairy cattle. Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production 60: 218-221

Paplinska JZ, et al. 2007. Reproduction in male swamp wallabies (Wallabia bicolor): puberty and the effects of season. Journal of Anatomy 211:518-533

Permadi YF,. 2008. Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak Jawa. Laporan proyek WWF Indonesia.

Santymire RM, Armstrong, DM,. 2009. Development of a Field-Friendly Technique for Fecal Steroid Extraction and Storage Using the African Wild Dog (Lycaon pictus). Zoo Biology (28): 1 -14

Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME,. 2007. Serum cortisol and thyroxine concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10: 1534-1539

Smit IPJ, Grant CC,. 2009. Managing surface-water in a large semi-arid savanna park: effects on grazer distribution patterns. Journal for nature conservation 17(2):61- 71

Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA,. 2009. Validation of a radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology 311A:496-503

Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M,. 2002. Remote assessment of stress in white rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis) by measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife medicine 33(3): 214-221

Wasser SK, et al. 2000. A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse array of nondomestic mammalian and avian species. General and comparative endocrinology 120:260-275

Wingfield JC, Romero LM,. 2001. Adrenocortical responses to stress and their modulation. Dalam: McEwen BS, Goodman HM (eds), Handbook of physiology section 7: The endocrine system, coping with the environments: Neural and endocrine mechanism vol. IV Oxford University Press New York: 211-234 Young KM, et al. 2004. Noninvasive monitoring of adrenocortical activity in

carnivores by fecal glucocorticoids analyses. General and comparative endocrinology: 1-18

Ziegler TE, Wittwer DJ,. 2005. Fecal Steroid Research In the Field and In Laboratory: Improved methods for Storage, Transport, Processing, and Analysis. American Journal of Primatology 67: 159-174