• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

1 IZIN KOMISI ETIK HEWAN 7 2 DATA NUTRISI BADAK JAWA

3 DATA HEWAN MODEL... 181 4 DATA PARALELISME KIT HORMON... 191

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN memasukan badak jawa dalam kategori terancam punah. Badak jawa berada pada dua lokasi yaitu: sekitar delapan ekor di Taman Nasional Cat Tien Vietnam dan sekitar 50 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon di Indonesia. Tentang jumlah dan keragaman genetika yang ada saat ini, para ahli berpendapat bahwa populasi di Taman Nasional Ujung Kulon adalah satu-satunya populasi yang berpotensi untuk berkembang biak, dan merupakan kunci kelestarian spesies ini di muka bumi. Hal ini bukanlah hal yang ideal dari segi konservasi, karena dengan hanya bertumpu pada satu populasi saja, justru risiko kepunahan akan semakin besar. Satu populasi memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga bencana alam katastropik (gunung berapi, tsunami) dan/atau epidemik yang melanda populasi di Ujung Kulon akan menyebabkan mortalitas massal yang berpotensi melenyapkan spesies ini.

Badak jawa yang telah bertahan hidup di Ujung Kulon dalam waktu yang lama sempat mengalami penurunan jumlah populasi di tahun 1962 mencapai jumlah hanya 25 ekor saja pada saat itu. Saat ini badak jawa telah mengalami peningkatan dari jumlah populasi di tahun 1962 ke jumlah sekitar 50 ekor, dan terbentuk paradigma yang beranggapan bahwa badak jawa merupakan satwa yang tangguh dan selama mereka berada di habitat alami, kesehatan mereka termasuk baik. Upaya pelestarian badak jawa umumnya dititik beratkan pada upaya pengamanan dan pengelolaan habitat, sementara aspek medis konservasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan peluang keberlangsungan spesies ini menjadi terabaikan.

Kelestarian spesies badak jawa ini terletak pada kemampuan populasi yang ada pada saat ini untuk mempertahankan jumlahnya (stable population) dan meningkatkan jumlahnya (viable population). Data terkini menunjukkan bahwa populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon berada pada jumlah yang stabil serta tidak menunjukkan perkembang biakkan yang signifikan. Pertumbuhan populasi secara signifikan ditetapkan pada angka pertumbuhan minimal 3% setiap tahun sebagaimana dimandatkan dalam strategi konservasi badak Indonesia (PHKA 2007).

Sebagai populasi tertutup dimana tidak terjadi proses migrasi keluar atau masuk ke dalam Taman Nasional Ujung Kulon, pertumbuhan populasi badak jawa dapat dicapai dengan dua cara yaitu: meredam tingkat mortalitas dan/atau meningkatkan reproduksi yang ada pada populasi saat ini.

Permasalahan

Dua hal yang besar pengaruhnya terhadap peluang reproduksi dan juga risiko mortalitas adalah aspek asupan nutrisi dan tingkat cekaman. Sejak awal tahun 70an tidak ada lagi terjadi kasus perburuan badak jawa, oleh karena itu slah satu ancaman terbesar yang dapat menyebabkan kematian bagi badak jawa muncul dari risiko penyakit dan perubahan pada komposisi ekosistem baik yang berupa suksesi alami maupun perubahan yang terjadi sebagai dampak dari aktifitas manusia seperti perubahan iklim. Dari sudut pandang epidemiologi, nutrisi dan cekaman merupakan dua aspek yang ada dalam lingkungan / habitat badak yang berperan penting dalam menentukan kemampuan badak untuk menurunkan risiko kematian dengan cara mengatasi penyakit berupa agen infeksius dan non-infeksius.

Dalam dunia medis, agen infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit yang dapat berpindah atau ditularkan dari satu individu kepada individu lainnya baik secara langsung maupun melalui perantara (vektor). Contoh-contoh agen infeksius terdiri dari: virus, bakteri, dan parasit yang dapat membahayakan kehidupan satwa liar dan juga manusia (Daszak 2000). Sebaliknya, agen non-infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit yang tidak dapat berpindah atau menular dari satu individu ke individu lainnya seperti toksin (racun) yang menyebabkan penyakit akibat konsumsi ataupun kontaminasi bahan toksin yang berasal dari lingkungan.

Oleh karena itu, fokus kajian ini dititik beratkan pada upaya untuk mengidentifikasi status kualitas nutrisi dan profil cekaman serta dampaknya terhadap individu badak agar upaya untuk menurunkan tingkat cekaman terhadap badak jawa dapat dirancang. Harapannya spesies ini akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mampu bertahan terhadap penyakit serta peluang yang lebih besar pula untuk meningkatkan kapasitas reproduksinya.

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis

Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup badak jawa. Secara kualitatif, mortalitas akibat gangguan kesehatan badak jawa pernah terjadi pada lima ekor badak di tahun 1982 (WWF-IUCN 1982), dan satu ekor badak di tahun 2003. Semua kasus kematian diawali dengan gejala klinis kolik yang mengindikasikan adanya gangguan pada sistem pencernaan. Beberapa kemungkinan gangguan kesehatan dapat muncul karena adanya infeksi silang antar satwa liar (banteng dan badak menggunakan areal yang sama di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon), dan infeksi dari hewan ternak yang lepas dan masuk ke dalam kawasan. Selain ancaman dari agen infeksius, ancaman dari sumber non-infeksius seperti: asupan metabolit sekunder dari sumber makanan dan bahan-bahan yang bersifat toksik juga merupakan aspek yang harus dicermati dalam pengelolaan populasi.

Habitat di Ujung Kulon secara perlahan namun pasti mengalami perubahan akibat berbagai kejadian seperti: invasi tumbuhan langkap Arenga obtusifolia (Putro 1997) dan perubahan iklim. Kedua faktor di atas menyebabkan berkurangnya ketersediaan tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak, sementara perubahan iklim ditengarai dapat mengakibatkan perubahan pada iklim mikro (Suprayogi et al. 2006), keragaman jenis tumbuhan (Huxman & Scott 2007), serta perubahan pada mekanisme penyebaran penyakit (Harvell et al. 2002). Suksesi vegetasi alami dapat mendorong terjadinya dominasi tumbuhan tertentu dan dapat mengakibatkan keterbatasan pakan. Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi struktur vegetasi tersebut mengandung antinutrisi/toksin seperti pada jenis Lantana cammara yang mengandung zat yang dikenal dengan nama: lantaden (Sharma et al. 2000). Zat lantaden ini merupakan suatu senyawa yang diproduksi secara alami oleh tumbuhan Lantana cammara dan bersifat racun hepatotoksin, atau senyawa racun yang dapat mengganggu sistem pencernaan (McSweeney & Pass 1983; Sagar et al. 2005), dan merusak hati (liver) berbagai hewan ternak (Pass et al. 1979). Selain keterbatasan pakan, ketersediaan air merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan badak jawa. Aspek pakan dan air tersebut di atas berpotensi mengakibatkan stres akut (yang terjadi dalam periode waktu singkat) maupun kronik (yang terjadi dalam waktu yang relatif panjang atau) karena badak sepenuhnya bergantung pada sumber tumbuhan pakan dan air yang terbatas di habitat alaminya.

Sampai saat ini belum ada metode aplikatif yang dapat digunakan untuk memantau kualitas asupan nutrisi dan tingkat cekaman yang dihadapi olah badak jawa. Tingkat kesulitan untuk menemukan badak di habitatnya dan tidak adanya badak jawa di penangkaran mengharuskan peneliti untuk mengembangkan metode pengamatan dan pemantauan dengan menggunakan sampel feses badak yang relatif lebih mudah didapat. Tantangan berikutnya ada pada proses untuk menggali informasi serta memperoleh parameter kesehatan dari feses badak tersebut sebagai indikator yang akurat dan sensitif untuk mencerminkan kesehatan secara umum dan kondisi pencernaan secara khusus. Indikator ini dapat digunakan sebagai baseline, namun informasi mengenai fluktuasi dan ambang batas indikator-indikator terkait masih diperlukan sebagai data pelengkap untuk menjadikan metode ini lebih relevan dan aplikatif sebagai perangkat pemantauan kesehatan badak jawa. Berdasarkan informasi baseline inilah suatu model pengelolaan populasi badak disusun dengan tujuan meningkatkan peluang untuk dapat bertahan terhadap penyakit dengan upaya untuk mengurangi risiko mortalitas serta meningkatkan peluang reproduksi. Selain menjadi bagian dalam upaya pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, perangkat pemantauan kesehatan seperti ini merupakan bagian dari metoda pemantauan populasi yang juga merupakan suatu kebutuhan pengelolaan badak jawa terkait pembentukan populasi ke-2 dimana beberapa ekor badak akan dipindahkan dari habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon ke lokasi lain. Melalui upaya pemindahan badak ke habitat baru, perangkat untuk mengukur tingkat cekaman, status/profil nutrisi, dan analisis risiko kesehatan pada badak saat adaptasi, dalam proses, dan pasca pemindahan merupakan suatu keharusan untuk menjamin kelangsungan hidup populasi badak di habitat barunya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membangun suatu model pengelolaan populasi badak jawa dengan memperhatikan aspek nutrisi dan cekaman yang dapat mempengaruhi status kesehatan serta daya tahan spesies ini terhadap penyakit. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini memerlukan analisis mengenai:

1. Pola pergerakan dan lintasan badak di habitatnya (trajektori) sebagai basis dari pengumpulan informasi daya dukung alam Taman Nasional Ujung Kulon.

2. Palatabilitas, kuantitas, kualitas pakan, kecernaan, risiko toksin lantaden, dan ketersediaan garam bagi badak jawa jantan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

3. Profil hormon glukokortikoid akibat cekaman defisit nutiren dan ketersediaan air dengan menggunakan 5-beta-adiol sebagai indikatornya.

4. Potensi penggunaan hewan model (kuda) sebagai pembanding bagi badak jawa dalam penelitian cekaman akibat defisit pakan dan air.

5. Penyusunan rekomendasi model pengelolaan badak jawa berbasis nutrisi dan ketersediaan air di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Hipotesis Penelitian

1. Kondisi habitat di Taman Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya dukung (ketersediaan pakan dan air) yang kurang memadai bagi badak jawa. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya cekaman pada badak jawa.

2. Metabolit hormon asal feses dapat digunakan sebagai indikator status dan profil glukokortikoid akibat cekaman, mengingat glukokortikoid merupakan indikator aktifitas korteks adrenal yang disebabkan oleh adanya cekaman.

3. Kuda dapat digunakan sebagai hewan model pembanding yang baik untuk penelitian terkait cekaman akibat keterbatasan pakan dan air yang mempengaruhi badak jawa, mengingat kuda memiliki kesamaan genetika, anatomi saluran cerna, dan perilaku dengan badak.

Novelty / Kebaruan

Kebaruan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah model yang merupakan bagian dari solusi bagi masalah reproduksi dan mortalitas yang sampai saat ini belum terpecahkan. Pendekatan konservasi yang mengacu kepada upaya mitigasi cekaman bagi spesies badak jawa baru kali ini dilakukan dengan harapan untuk meningkatkan kapasitas reproduksi serta menekan risiko kematian pada badak jawa. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan suatu mekanisme penelitian badak jawa melalui hewan model sehingga berbagai penelitian badak jawa dapat dilakukan pada hewan

model tertentu untuk menghindari risiko dan kesulitan yang timbul bila menggunakan badak jawa secara langsung.

Produk nyata yang merupakan novelty atau kebaruan hasil penelitian ini adalah penerapan hasil-hasil penelitian ini untuk kepentingan pengelolaan badak jawa di habitat alaminya. Langkah-langkah penerapan hasil dari penelitian ini terdiri dari:

1. Penggunaan hewan model untuk mensimulasi kondisi habitat serta mempelajari respons yang mungkin terjadi pada badak jawa di habitat alaminya.

2. Rekomendasi pengelolaan vegetasi potensial untuk kehidupan badak jawa. 3. Penggunaan profil glukokortikoid sebagai indikator cekaman pada badak.

Alur Penelitian

Tahap pertama dalam penelitian ini menguatkan dugaan adanya korelasi antara ruang jelajah dan kualitas nutrisi di habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon dan juga identifikasi cekaman yang berasal dari kuantitas, kualitas, dan kecernaan nutrien dalam tumbuhan pakan; tahap ini dilanjutkan dengan menguatkan dugaan adanya cekaman yang bersifat individual (bervariasi antar individu yang berbeda) ataupun yang bersifat musiman (bervariasi antar musim) akibat terbatasnya ketersediaan air di musim kering. Informasi kualitatif yang didapat dari kajian ini kemudian diterapkan dalam uji coba menggunakan hewan model untuk mendapatkan informasi yang lebih kuantitatif dengan perlakuan yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan temuan dan data dari lapangan sehingga dampak dari cekaman tersebut dapat dipelajari langsung keterkaitan atau korelasinya. Data dan informasi dari setiap tahap dari penelitian ini kemudian digunakan untuk menyusun suatu model pengelolaan badak jawa. Model ini terdiri dari rekomendasi prosedur pemantauan cekaman dan juga rekomendasi untuk membangun suatu sistem pengelolaan habitat untuk mitigasi cekaman yang terdiri dari pemantauan intensif untuk melihat status cekaman dan dampak dari implementasi upaya mitigasi cekaman terhadap perkembangbiakkan badak jawa secara alami. Pemantauan status cekaman dapat dilakukan secara non-invasif melalui analisis sampel feses yang dilakukan secara periodik. Secara teoretis, mitigasi cekaman pada populasi badak jawa akan dapat meningkatkan peluang keberlangsungan hidup spesies ini (meningkatkan kapasitas reproduksi dan menekan risiko mortalitas). Penelitian ini juga menjajagi

kemungkinan pengembangan metoda pemantauan kesehatan yang dapat dilakukan secara non-invasif terkait tekanan yang dapat terjadi di habitat alami yaitu: akibat keterbatasan pakan (kadar toksisitas dalam pakan) serta minimnya ketersediaan air, maka penelitian ini memiliki kerangka acuan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi (Perlindungan dan Pembuatan kubangan) yang tidak secara langsung difokuskan dalam penelitian ini.

Metode Umum

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yang dirancang untuk mempelajari kondisi habitat badak serta profil asupan (nutrien, air, energi) dan toksin; mempelajari profil cekaman dan dinamikanya antar individu badak dan antar musim; dan menggunakan informasi dari kedua tahapan ini dalam tahap ketiga yaitu simulasi cekaman di habitat badak terhadap hewan model untuk mengkuantifikasi reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model sebagai gambaran atas reaksi tanggap yang mungkin terjadi pada badak jawa. Tiga ekor badak jawa berkelamin jantan dipilih sebagai contoh dalam penelitian ini.

Tahap 1: Habitat Badak dan Profil Nutrisi

Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil asupan pada badak jawa di habitat aslinya di Taman Nasional Ujung Kulon sebagai bahan informasi yang digunakan dalam simulasi/induksi cekapam pada tahap tiga. Penguatan analogi antara badak dengan hewan model dilakukan dengan membandingkan hasil dari tahap ini (kecernaan) dengan hasil kecernaan hewan model pada tahap tiga. Tahap ini terdiri dari metoda:

1. Identifikasi ruang jelajah dan ruang pergerakan badak contoh untuk mempelajari kondisi habitat (keragaman pakan, ketersediaan kubangan/air, ketersediaan garam) terkait ruang jelajah dari setiap ekor badak.

2. Identifikasi pakan serta komposisi tumbuhan pakan yang di sukai

3. Identifikasi kualitas pakan serta penghitungan kualitas nutrisi tumbuhan pakan

4. Penghitungan tingkat kecernaan dengan metode AIA

5. Analisis deskriptif untuk mengidentifikasi perbedaan profil asupan dan kecernaan antar individu badak.

Tahap 2: Habitat Badak dan Profil Cekaman

Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil cekaman yang terjadi pada badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Perbedaan profil cekaman diamati antar individu dan juga antar musim yang berbeda (musim kering dan penghujan). Identifikasi sumber cekaman dalam tahap ini digunakan dalam simulasi/induksi cekaman pada Tahap 3. Informasi mengenai profil cekaman ini dibandingkan dengan hasil induksi cekaman dalam Tahap 3 sebagai bagian dari penguatan analogi hewan model dan badak. Tahap ini terdiri dari metode:

1. Pengumpulan sampel feses dari tiga individu badak contoh pada musim kering dan penghujan.

2. Pemilihan asai hormon yang memadai untuk digunakan pada sampel feses sebagai cara mengidentifikasi tingkat cekaman. Pemilihan asai hormon terdiri dari: pemilihan kit hormon glukokortikoid/metabolitnya, serta validasi dari hormon/metabolit tersebut.

3. Asai hormon asal feses untuk mempelajari perbedaan kandungan hormon glukokortikoid/metabolitnya serta profil dan dinamikanya.

4. Analisisi deskriptif untuk mempelajari profil cekaman antar individu dan trend keterkaitan antara profil cekaman dengan musim.

Tahap 3: Simulasi Cekaman pada Hewan Model

Tahap ketiga ini bertujuan untuk memilih hewan model yang sesuai untuk badak jawa dan mensimulasikan cekaman yang teridentifikasi pada Tahap 1 dan 2 serta mengukur reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model tersebut. Penguatan analogi hewan model dengan badak jawa dilakukan dengan membandingkan hasil data tahap tiga ini dengan hasil dari tahapan-tahapan sebelumnya. Tahap tiga terdiri dari metode:

1. Pemilihan hewan model berdasarkan kaidah hewan model serta kesamaan/kedekatan genetika, anatomi, dan perilaku.

2. Simulasi dan induksi cekaman yang terjadi di habitat asli badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (hasil dari tahap satu dan tahap dua) terhadap hewan model.

3. Kuantifikasi reaksi tanggap terhadap induksi cekaman berdasarakan parameter perilaku dan parameter fisiologis (respirasi, kadar hormon kortisol, hematologi, respirasi, dan kecernaan).

4. Penguatan analogi antara hewan model dengan badak melalui perbandingan reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model dan reaksi pada badak berdasarakan pengamatan dan literatur.

Hasil dari ketiga tahapan di atas digunakan dalam merumuskan sebuah model pengelolaan yang dapat diusulkan pada otoritas pengelola populasi badak jawa untuk melengkapi informasi yang diperlukan dalam menyusun strategi intervensi konservasi. Pendekatan baru dari sisi medis konservasi dan hewan model akan memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan peluang reproduksi sekaligus menurunkan risiko mortalitas yang dapat terjadi pada populasi badak jawa. Dua hal ini pada akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan populasi badak jawa sebesar 3% setiap tahun.