• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Al-Qur‟an sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain.”27

Dari ungkapan diatas dalam menafsirkan Al-Qur‟an sangat butuh kaidah-kaidah bahasa Arab dan kaidah-kaidah-kaidah-kaidah Tafsir untuk menafsirkan ayat-ayatnya.

Kata “Kaidah” oleh kamus bahasa Indonesia diartikan dengan

“Rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan tertentu, patokan, dalil (dalam matematika). Dalam bahasa Arab kata

د عاق

qȃ‟idah (kaidah) diartikan

“asas/fondasi) jika ia dikaitkan dengan bangunan dan ia bermakna “tiang”

jika dikaitkan dengan “kemah”.

Dalam pengertian istilah, ditemukan beberapa penjelasan. Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani (1339-1413 M) dalam bukunya al-Ta‟rifȃt menulis bahwa “kaidah adalah

ا هتيئزج ع يز لع ة قبننم ة يلك ةي ضق /

Rumusan

yang bersifat kully (menyeluruh) mencakup semua bagian-bagiannya.

Ada juga yang merumuskannya sebagai

ا ف عي ي لك م كح

ة يئزج ما كحاىلع

/ketentuan umum yang dengannya diketahui

ketentuan-ketentuan yang menyangkut rincian.

Kedua definisi diatas menggaris bawahi kaidah mencakup semua bagian-bagiannya.Namun, dalam kenyataan tidak jarang ditemukan bagian yang menyimpang dari kaidah umum.Menaggapi kenyataan

27 Teungkeu Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2014) Cet. Ke-III, h. 251

diatas, ada ulama yang menegaskan bahwa memang demikianlah sifat kaidah, lebih-lebih dalam hal yang bersifat teoritis.28

Kata Tafsîr, pada mulanya berarti penjelasan, atau penampakan makna. Ahmad Ibnu Faris (w.395 H), pakar ilmu bahasa menjelaskan dalam bukunya al-Muqȃyîs fi al-Lughah bahwa kata-kata yang terdiri dari ketiga huruf fa-sîn-ra‟ mengandung makna keterbukaan dan kejelasan.Dari sini kata fasara

ر سف(

serupa dengan safara

(رف س).

Hanya

saja yang pertama mengandung arti menampakan makna yang dapat terjangkau oleh akal, sedang yang kedua yakni safara, menampkan hal-hal yang bersifat material dan indriawi.

Kata Tafsîr yang terambil dari kata fasara mengandung makna kesungguhan membuka atau keberulang-ulangan melakukan upaya membuka, sehingga itu berarti kesungguhan dan berulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang tertutup/ menjelaskan apa yang muyskil/

sulit dari makna sesuatu, antara lain kosa kata. Salah satu definisi singkat Tafsir Al-Qur‟an adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. 29

Ada juga yang mengatakan tafsir ialah satu ilmu khusus untuk memahami kitab suci Allah (Al-Qur‟an ) yang diturunkan pada Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan ayat-ayatnya serta pengambilan hukum yang terkamdung didalamnya. 30

Setelah dipaparkan pengertian “Kaidah dan Tafsir” pada hakikatnya kaidah tafsir ialah ketetapan-ketetapan yang membantu

28 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat: Lentera Hati, 2013) cet Ke- II, h. 6-7

29 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet Ke- II, h. 9

30 Soleh Muhammad Basalammah, Pengantar Ilmu Al-Qur‟an (Semarang: Karya Toha Putra, 1997) h. 99

seorang penafsir untuk menarik makna/ pesan-pesan Al-Qur‟an dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya. 31

Dalam bukunya Salman Harun juga dijelaskan Qawa‟id al-Tafsir (kaidah-kaidah tafsir) adalah aturan-aturan umum yang digunakan untuk memahami makna Al-Qur‟an al-„Azhim dan cara menerapkannya (aturan-aturan itu).

َلَِإ اَِ ُلَّيَََ ت ُي ِتَِّلا ُةَّيِلُكلا ُماَكْحَلاا ِ َدَافِتْسِلاا ِةَيِفْيَك ِةَفِرْعَمَو ِمْيِظَلاا َِآْرُقلا ِنياَعَم ِطاَبْنِتسا

اَهْ نِم

Hal itu berbeda dengan kaidah bahasa (qawȃ‟id al-Lughah) dan kaidah ushul fiqh (qawȃ‟id ushûl fiqh) dari segi objeknya. Kaidah tafsir membahas firman Allah Swt berkenaan penujukannya kepada maksud Allah Swt. Kaidah bahsa membahas bahasa Arab berkenaan kosakatanya, kalimatanya, hakikatnya, majasnya, ddan lainnya dan kaidah ushul membahas dalil-dalil fiqh secara prehensif, cara menggunakannya, dan siapayang mampu menggunakannya (mujtahid).32

Sejak dahulu para ulama yang fokus dalam kajian Al-Qur‟an (Tafsir dan Ulumul Qur‟an) berusaha membuat rambu-rambu dalam menafsirkan Al-Qur‟an yang kemudian disebut Qawaid al-Tafsir. Hanya saja para ulama tersebut menulis kaidah-kaidah tafsir masih berupa selipan dalam kitab-kitab tafsir dan ulumul Qur‟an, misalnya Badruddin Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya

“Al-Burhan fi Ulum Al-Qur‟an” dan Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthy (w.911 H) dalam kitabnya “Al-Itqan fi Ulum Al-Qur‟an”.33 Penulisan Qawaid al-Tafsir secara berdiri sendiri baru dikenal jauh setelah generasi umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal dengan

31 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet Ke- II, h. 11

32 Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir (Qaf Media Kreatifa: Jakarta, 2017) Cet Ke- I, h. 31

33 Syamsuri “Pengantar Qawaid Tafsir” dalam jurnal Sulesena volume 6 nomor 2 tahun 2011, h. 93

nama Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) dapat disebut sebagai salah seorang perintis penulisan Qawaid al-Tafsir secara berdiri sendiri. Ibnu Taimiyah menulis buku yang berjudul “Muqaddimah Ushul al-Tafsir”.

Di dalamnya dikemukakan berbagai persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah seperti: Sifat perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara penafsiran yang terbaik, persoalan Sabab al-Nuzul, Israiliyyat, dan seterusnya.Setelah Ibnu Taimiyyah, muncullah Muhammad bin Sulaiman al-Kafiy (w.879 H), dengan kitabnya “al-Taysir fi Qawaid Ilm al-Tafsir”.

Setelah masa tersebut, penulisan kaidah-kaidah tafsir secara berdiri sendiri seakan-akan mandek dan baru segar kembali akhir-akhir ini.

Buku-buku yang relatif baru dalam bidang ini antara lain :

1. Ushul al-Tafsir wa Qawâ‟iduhu” karya Syekh Khalid Abdurrahman al-„Ak.

2. Qawâ`id Tarjih „Inda Mufassirin” karya Husain bin Ali bin al-Husain al-Harby.

3. Qawâid al-Tafsir Jam‟an wa Dirasatan” karya Khalid bin Usman as-Sabt.

4. Qawâid Hisan li Tafsir Qur‟an” karya Syekh Abdurrahman al-Sa‟dy, yang didalamnya dipaparkan 70 masalah yang dinamainya kaidah.34

Kaidah-kaidah yang diperlukan para Muffasir ialah dlamir, al-Muhkam, al-Mutasyabih, „am, khas, nasikh, mansukh, mujmal, mubayan, mutlaq muqayyad, manthûq mafhûm, muhkȃtabah dalam Al-Qur‟an, makna hakiki dan majasi, khabar dan insya, fawȃtih al-Suwar, khawȃtim al-Suwar,35 taqdim dan takhir, ta‟rif dan tankir, pengulangan kata benda, mufrad dan jamak, mengimbangi jamak dengan jamak atau dengan

34 Syamsuri “Pengantar Qawaid Tafsir” dalam jurnal Sulesena volume 6 nomor 2 tahun 2011, h. 94

35 Muhammad Ibn Alawi al-Mȃlikî, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Bandung:

Penerbit Arasy, 2003) Cet Ke-I, h. 11-12

mufrad, kata-kata yang dikira murodif, pertanyaan dan jawaban, jumlah ismiyah dan jumlah fi‟liyah, „Athaf, perbedaan antara al-I‟tha, dan al I‟ta, lafadz fa‟ala,lafadz kȃna, lafadz kada, lafadz ja‟ala, lafadz la‟alla dan lafadz „Asa‟. Dan lain sebagainya. Namun penulis hanya ingin menjelaskan tentang lafadz kȃna.

Ada beberapa teori tentang makna kȃna di dalam Al-Qur‟an antara lain yaitu

1. Seringkali lafadz kȃna dalam Al-Qur‟an digunakan berkenaan dengan zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Para ahli Nahwu dan yang lain berbeda pendapat tentang lafadz tersebut apakah ia menunjukan arti inqita‟

(terputus), sebagai berikut:

2. Kȃna menunjukan arti inqithȃ‟ sebab ia adalah fiil atau kata kerja yang memberikan arti tajaddud, temporal.

3. Kȃna tidak menunjukan arti inqithȃ‟ melainkan arti dawam (kekal /abadi) ini pendapat yang dipilih oleh imam Mu‟ti‟. Yang mengatakan dalam alfiyahnya (kȃna menunjukan persitiwa masa lampau yang tidak terputus).36

Mengenali Firman Allah

























4. Ar-Ragib menyatakan “kȃna” disini menunjukan bahwa setan sejak diciptakan senantiasa tetap didalam kekafiran. Kȃna adalah suatu kata yang menujukan adanya sesuatu pada masa lampau secara sama-samar, yang didalamnya tidak ada petunjuk mengenai ketiadaan yang mendahuluinya atau keterputusannya yang datang kemudian. Misalnya firman Allah Swt

ا ًمْيِحَر اًرَ ُفَغ غا ََا َكَو .

pendapat ini dikemukakan oleh

36 Mannâ‟ Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h. 296-298

Zamaksyari ketika menafsirkan firman-Nya

ْت َجِرُْْخ ٍة َّمُخ َر ْ يَْ ْمُت ْنُك ساَّنلِل

dalam al-Kasyaf.

5. Ibnu Athiyah menyebutkan dalam tafsir surat al-Fatihah, apabila

“kȃna” digunakan berkenaan dengan sifat-sifat Allah, maka ia tidak mengandung unsur waktu.

6. Menurut Zamaksyari. Yaitu bahwa “kȃna” menunjukan arti betapa eratnya hubungan kalimat makna yang mengikutinya dengan masa lampau, bukan arti yang lain, dan lafaz kȃna sendiri tidak menunjukan terputus atau kekalnya makna tersebut. Dan jika menunjukan makna demikian makna hal itu disebabkan ada “dalil” lain. Dengan makna inilah semua firman Allah yang menggunakan lafaz “kȃna” dalam Al-Qur‟an baik tentang sifat-sifat-Nya atau lainnya, harus diartikan misalnya:37

ُغا ََاَكَو اًمْيِلَع اًعْ يَِسْ

-

: (an-Nisa‟ [4]: 148)

اًمْيِكَح اًعِساَو ُغا ََاَكَو

: (an-Nisa‟ [4]: 130)

-

اًمْيِحَر اًرَُْفَغ ُغا ََاَكَو

: (al-Ahzab [33]: 59) -

َْيمِلاَع ٍ يَش ِّلُكِم اَّنُكَو :

( al-Anbiya‟ [21]: 81) -

ََّيِدِىاَش مِهِمْكُِلِ اَّنُكَو

: (al-Anbiya‟ [21]: 78)

Apabila Firman Allah berbicara tentang sifat-sifat manusia dengan lafaz kȃna maka yang dimaksud adalah menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bagi mereka sudah merupakan garizah (naluri) dan tabiat yang tercantum dalam jiwa.38

37Mannâ‟ Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h. 297

38Mannâ‟ Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h. 298

7. Menurut Fadil Shalih al-Samirai, ada sepuluh makna gramatikal “kana”

dalam struktur kalimat positif. Kesepuluh makna gramatikal “kana” itu adalah sebagai berikut:

a. Al-Madli al-Munqathi‟

Makna ini terbagi kepada dua bagian, yaitu;

1) Menunjukkan untuk memaknai suatu kejadian terdahulu dengan sifat kejadian yang tetap, sehingga masih dianggap berlaku pada masa sesudahnya.

2) Menunjukkan kepada makna bahwa suatu peristiwa hanya terjadi satu kali. Makna seperti ini akan ditunjukkan apabila khobar kȃna berupa fiil madli.

b. Al-Madli al-Mutajaddid wa al-Mu‟taadi

Makna ini muncul apabila kata yang menjadi khobar “kȃna” adalah berupa fiil mudlori. Dalam struktur seperti ini, makna yang ditunjukkan adalah terbagi kepada dua bagian, yaitu;

1) Memaknai suatu peristiwa sedang berlangsung pada suatu kejadian.

2) Memaknai bahwa suatu pekerjaan yang terjadi di masa lampau adalah merupakan suatu kebiasaan pada waktu lampau itu.

c. Tawaqqu al-Huduts fi al-Madli

Makna ini menunjukkan kepada bahwa suatu pekerjaan terjadi pada lampu saja. Atau bahwa pekerjaan itu akan dilakukan pada masa lampau.

d. Al-Dawam wa al-Istimrar bi Makna “Lam Yazal”

Makna ini menunjukkan bahwa suatu peristiwa terus berlangsung dan tidak pernah berhenti.

e. Menunjukkan kepada makna “Hȃl”

“Hȃl” apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah

“keadaan.” Dengan ini, terdapat struktur kalimat yang mengandung

“kȃna” menunjukkan kepada makna “keadaan”.

f. Menunjukkan kepada makna “Istiqbal”

Makna yang ditunjukkan adalah bahwa suatu kejadian pasti akan akan terjadi pada masa yang akan datang.

g. Menunjukkan kepada makna “Shȃra”

Arti dari kata “shȃra” adalah “menjadi.”Sehingga, diantara struktur kalimat yang ada kata “kana” menunjukkan kepada makna “menjadi.”

h. Menunjukkan kepada makna “Yanbagi wa Qudrat wa al-Istitha‟ah”

Secara harfiyah kata “yanbagi” diartikan “patut,” “pantas.” Sementara kata al-qudrat dan al-istitha‟ah memiliki arti yang sama yaitu

“kemampuan.”

i. Menunjukkan kepada makna “wajada” dan “waqaa‟

Secara harfiyah kata “wajada” bertarti “mendapati” dan kata “waqaa”

berarti “menimpa”. Makna seperti ini akan muncul ketika perangkat kelengkapan pola kalimat “kana” ini diringkas, sehingga khobar kana tidak nampak.

j. Terkadang sebagai “zaidah” yang tidak bermakna

Suatu saat, kata kana hanya sebagai tambahan kata saja, tidak mempunyai makna tersendiri. Hal ini akan terjadi jika.

a. Keberadaan “kana” hanya menunjukkan waktu peristiwa terjadi b. Keberadaan “kana” hanya untuk penguatan ( ta‟kid)

Dalam keadaan seperti ini, kata “kana” tidak mempunyai makna gramatikalnya.39

39Fadhil Shâlih al-Sâmirrâî, Ma‟ânî an-Nahwî ( „Ammân: Dâr al-Fikr, 2000)h. 210

8. Dalam kitab al-Burhȃn fî „ulûmi Al-Qur‟an makna kȃna ialah yanbagî Selain itu juga berkmana zȃidah. Adapun contoh dari makna yanbagî :































Artinya tidak harus atau patut bagi kita..40

9. Menurut Abu Bakar ar-Razi telah mengkaji dengan seksama penggunaan

“kȃna” dalam Al-Qur‟an dan menimpulkan makna-makna yang tekandung dalam penggunaannya itu. Ia menjelaskan didalam Al-Qur‟an terdapat lima macam kȃna

a. Dengan makna azali dan abadi, misalnya firman Allah Swt

اًمْيِكَح اًمْيِلَع غا َََاَكَو

(an-Nisa’[4]:170)

b. Dengan makna terputus (terhenti) misalnya, firman Allah Swt.

ِفِ ََاَكَو ٍ ْىَر ُةَع ْسِت ِة َنيِدَلما

(an-Naml [27]: 48) inilah makna-makna yang asli diantara makna-makna kȃna, hal itu sebagaimana perkataan

ٌد يَ, ََا َك ُهََ َْو ْوَخ ا ًضْيِرَم ْوَخ اًر ْ يقَف ْوَخ اًِلِا َي

(adalah si zaid itu seorang shaleh, seorang faqir, seorang yang sakit atau lainnya.

c. Dengan makna masa sekarang, seperti dalam ayat

ٍةَّمُخ َرْ يَْ ْمُتْنُك

(Ali Imran[3]:110)

40Badri ad-Dîn Muhammad bin Abbdullah az-Zarkasyî, Burhȃn fî „Ulumu Al-Qur‟an (Al-Qhȃhirah: Dar al-Hadîts, 2006) h. 1115

d. Dengan makna masa akan datang, sepeprti dalam ayat

ََا َك اًمََيَ نَُْ فاََيََو اًرْ ينَتْسُم ُهُّرَش

(ad-Dahr[76]:7)

e. Dengan makna shâra (menjadi) seperti dalam ayat

ََّيِرِفا َكلا ََّ ِم ََاَكَو

(al-Baqarah[2]:34)

Kȃna jika terdapat dalam kalimat negatif, maka maksudnya adalah untuk membantah atau menafikan kebenaran berita, bukan menafikan terjadinya berita itu sendiri. Oleh karenanya ia ditafsirkan dengan

Dokumen terkait