• Tidak ada hasil yang ditemukan

)ير ا ديا هاور( ٍةَرُ عِطَم ٍةَلُ عَي ُيِف ِء اَشِبُيا َو ُب ِرُغَمُيا َنُعَ ب َعَمَج م ص ّىِدّنيا

“dari umar,Sesungguhnya nabi SAW menjama’ shalat Maghrib dan Isya ketika hujan pada suatu malam”11

Disebabkan sakit atau uzur. Menurut ulama mazhab Hanbali

4. kebolehan bagi orang sakit untuk menjama’ shalat karena kondisi sakit itu pada hakikatnya lebih dahsyat dari pada kondisi hujan lebat. Kemudian yang termasuk kategori uzur diantaranya orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dan pakaian dari najis air kencing anak pada setiap waktu shalat. Wanita yang istihadhah.sering keluar madzi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau sering keluar air kencing sehingga sulit untuk bersuci. Juga orang yang khawatir terhadap keselamatan diri. harta. dan kehormatan. Atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya.

11Abi Abdillah, bukhori,(arab,darul ikhyak,tt)194

5. Karena ada keperluan (hajat) yang mendesak. Keperluan (hajat) yang dimaksud adalah keperluan yang jika tidak dilakukan maka akan berakibat pada keadaan yang lebih buruk.12

Menurut ulama Mazhab Syafi`i. untuk melaksanakan jama’ taqdim disyaratkan enam hal. yaitu:

1. niat jama’ taqdim.

2. shalat itu dilakukan secara berurutan sesuai dengan urutannya.

seperti mendahulukan Dzuhur daripada Ashar.

3. kedua shalat itu dilaksanakan tanpa tenggang waktu yang panjang.

4. perjalanan yang dilakukan masih berlanjut ketika shalat yang kedua dimulai.

5. waktu shalat pertama masih ada ketika shalat kedua dikerjakan.

6. yakin bahwa shalat pertama yang dikerjakan adalah sah.

Sedangkan syarat jama’ takhir ada dua hal. yaitu niat jama’ takhir sebelum habisnya waktu shalat pertama dan perjalanan masih berlanjut sampai selesainya shalat kedua. Urutan dalam mengerjakan shalat jama’ takhir tidaklah wajib. Seseorang boleh mendahulukan Ashar dari Dzuhur dalam jama’

takhir. demikian juga mendahulukan Isya dari Maghrib. Akan tetapi ulama Mazhab Syafi`i tetap mengatakan bahwa mengikuti urutan waktu shalat hukumnya sunnah. Bukan syarat sahnya shalat jama’ takhir.13

12Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Jakarta: PT. Icthiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 1536

13M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan..., hlm. 395

Menurut ulama Mazhab Hanbali. jama’ taqdim dan takhir boleh dilakukan dalam tujuh hal berikut:

1. perjalanan menempuh jarak yang jauh yang menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalatnya

2. sakit yang membawa kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada waktunya

3. orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu shalat

4. orang yang tak mampu bersuci dengan air atau bertayamum pada setiap shalat karena mengalami kesulitan

5. orang yang tidak bisa mengetahui masuknya waktu shalat

6. wanita yang istihadhah (wanita yang mengeluarkan darah terus menerus dari vaginanya karena penyakit)

7. sering keluar madzi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani. atau ada uzur. seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri. harta. dan kehormatan. atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya itu.

Adapun syarat-syarat shalat qashar. para ahli fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya shalat qashar. yakni:

1. Menurut jumhur ulama. perjalanan yang dilakukan itu adalah perjalanan yang panjang. yaitu dua marhalah (perjalanan dua hari

tidak termasuk malamnya) atau menurut ulama mazhab Hanafi.farsakh atau tiga marhalah (tiga hari tiga malam).

2. Menurut jumhur ulama. perjalanan yang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mubah (boleh). bukan perjalanan yang makruh atau haram. seperti merampok dan berjudi. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan Hanbali. apabila perjalanan yang dilakukan itu bertujuan untuk maksiat. maka tidak sah shalat qasharnya. Akan tetapi bagi ulama Mazhab Maliki. shalat qasharnya tetap sah tetapi berdosa. Ulama mazhab Maliki membedakan antara perjalanan yang dilakukan oleh penduduk kota. masyarakat pedalaman. dan masyarakat pegunungan. Bagi masyarakat kota. baru dikatakan musafir apabila telah melampaui batas kota. Untuk masyarakat pedalaman. seseorang baru dikatakan musafir apabila perkampungan masyarakat pedalaman telah dilewatinya. Adapun bagi masyarakat pegunungan. Seseorang baru dikatakan musafir apabila telah meninggalkan pemukiman mereka. Menurut ulama Mazhab Syafi`i. apabila daerah tempat tinggal yang akan musafir ini dipagar. maka ia dikatakan musafir apabila telah keluar dari pagar tersebut.14 Apabila derah tersebut tidak dipagar maka dapat dikatakan musafir apabila telah melampaui bangunan paling akhir dari batas daerah tersebut. Menurut Ulama Mazhab Hanbali. Dapat dikatakan musafir apabila perkampungannya atau rumah terakhir

14Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 1, (terj: Khairul Amru Harahap, Aisyah Syaefuddin dan Masrukhin), (Jakarta: Dar Fath Lil ‘Ilami al-Arabiy, 2008), hlm. 501

di pinggiran daerah tersebut telah dilaluinya. Baik masih dalam pagar atau batas desa maupun telah melampauinya. Ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa batas-batas daerah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan setempat.

3. Menurut Ulama Mazhab Maliki. menjama’ shalat dalam perjalanan dibolehkan secara mutlak. baik perjalanan yang panjang 85 km.

Orang sakit boleh melakukan jama’ shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat. musim dingin/salju. atau hari yang sangat gelap. yang dibolehkan hanya jama’ taqdim. Untuk melakukan shalat jama’ taqdim dalam perjalanan menurut ulama Mazhab Maliki disyaratkan dua hal yakni tergelincir atau condongnya matahari ke arah barat pertanda masuknya waktu Dzuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar. Kemudian ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jama’ dilakukan dengan satu kali adzan dan iqamat bagi setiap shalat. Menurut ulama Mazhab Syafi`i. shalat jama’ boleh dikerjakan dalam perjalanan. Karena hujan lebat dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat jama’ karena dingin, musim salju, dan hujan

lebat hanya boleh dengan jama’ taqdim yang dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh.15

4. Ketika Turun Hujan

Al-Atsram menyebutkan di dalam kitab sunan-nya dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata, Termasuk sunnah Nabi Saw. Adalah menjama’

shalat maghrib dengan isya’ apabila hujan turun dengan lebat.

Kesimpulan beberapa madzab mengenai menjama’ shalat ketika turun hujan lebat sebagai berikut :

a. Penganut madzab Syafi’i memeperbolehkan seorang yang mukim (menetap) menjama’ shalat zhuhur dengan Ashar dan (menjama’) shalat magrib dengan isya’ secara taqdim (mengerjakanya di awal waktu dari dua shalat yang di jama’) saja, dengan syarat hujan turun ketika membaca takbirotul ihram dalam shalat pada rakaat yang pertama sampai selesai dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.

b. Menurut penganut Madzab Maliki, boleh menjama’ taqdim di dalam masjid antara shalat maghrib dan isya’ di sebabkan turunya hujan atau cuaca menunjukkan akan turun hujan. Menjama’ taqdim juga boleh di kerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat

15Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid ke-1, (Kairo: Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M), h. 204.

gelap sehingga menyulitkan perjalanan bagi orang yang menggunakan terompah. Menjama’ shalat zhuhur dengan ashar di makruhkan.

c. Penganut Madzab Hanbali berpendapat bahwa boleh menjama’

maghrib dengan isya’ saja, baik secara, taqdim maupun ta’hir, bila ada faktor yang menghalanginya, seperti adanya salju, lumpur, cuaca yang sangat dingi, serta hujan yang membasahkan pakaian. Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang shalat berjamaah di masjid dan ia tinggal di tempat yang jauh (dari masjid) sehingga adanya hujan atau penghalang lainya akan menyulitkanya untuk pergi menuju masjid.

Adapun orang yang rumahnya dekat dengan masjid atau yang shalat berjamaahnya di rumah saja atau ia dapat pergi ke masjid dengan melindungi tubuh, ia tidak boleh menjama’ shalatnya.

5. Ketika Sakit atau Berhalangan

Imam Ahmad, Qhadhi Husain, Al-Khaththabi, dan Al-Mutawalli dari kalangan Madzab Syafi’i memperbolehkan menjama’, baik taqdim mapun ta’khir, di sebabkan sakit dengan alasan kesukaran di waktu sakit lebih besar daripada kesukaran di waktu hujan.

Imam Nawawi berkata, “ jika di lihat dari dari alasan yang di kemukakan, pendapat inilah yang paling kuat.” Di dalam kitab al-mughni di sebutkan bahwa sakit yang memperbolehkan jama’ itu jika shalat-shalat di kerjakan pada waktunya akan menyebabkan kesulitan dan lemahnya badan.

Ulama’ madzab Hanbali lebih memberberikan kelonggaran dalam keringanan ini hingga menurut mereka, boleh jama’ ta’dim atau ta’khir

karena sebagai halangan dan juga ketika dalam keadaan takut16. Mereka memperbolehkan jama’ (shalat) kepada orang yang sedang menyusui bila kesulitan mencuci kain setiap hendak shalat, wanita-wanita yang sedang istihadhah,orang yang menderita penyakit beser (tidak bisa menahan kencing ), orang yang tidak dapat bersuci dan hawatir jika harus bersuci, fisik, harta, dan kehormatanya akan terancam bahaya. Juga orang yang takut mendapatkan rintangan (kehilangan) mata pencaharianya jika tidak menjama’ shalatnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “madzab yang paling longgar dalam masalah jama’ shalat adalah Madzab Hanbali sebab ia memperbolehkan menjama’ bagi seseorang yang sibuk bekerja, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Nasa’i yang marfu’ kepada Nabi SAW., hingga di perbolehkan menjama’ bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang lainya yang takut hartanya rusak atau hilang.

Imam Ahmad Qadhi Husein. Al-Khaththabi dan Al-Mutawalli dari golongan imam Syafi’i memperbolehkan menjama’ baik takdim atau ta’khir di sebabkan sakit. dengan alasan kesukaran di waktu hujan.17 Berkata Nawawi “dari segi alasan. pendapat ini adalah kuat”. Dalam buku Al Mughni tersebut bahwa sakit yang membolehkan jama’ itu ialah seandainya shalat-shalat itu di kerjakan pada waktu masing masing akan menyebakan kesulitan dan lemahnya badan. Di dalam kitab Kifayatul Ahyar terjemah di

16 Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Al Mustashfa, Juz I, Beirut: Dar al fikr, hlm. 354.

17Sayyid sabiq, fiqih sunnah, (Bandung, Pt Alma’arif,1993),226

jelaskan ada sebuah hadits yang berbunyi memakai hadits nabi yang berbunyi :

Ibnu Abbas meriwayatkan hadits :

,سادع نبا نع ِرُصَبُياَو ِرُهُّظيا َنُعَ ب ِةَنُ ي ِوَمُي ِاب عَمَج

ِبِرُغَمُياَو

ٍرَطَم َلَ َو ٍف ُوَخ ِرُعَغ ُنِم ِء اَشِبيُاَو

Dokumen terkait