• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Dan Penerapan Sholat Jama’ Lil Hajah Dalam Pesta Perkawinan(Perspektif Ulama’ Syafi’iyah).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Konsep Dan Penerapan Sholat Jama’ Lil Hajah Dalam Pesta Perkawinan(Perspektif Ulama’ Syafi’iyah)."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

diajukan kepada Institut Agama Islam Negeri Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H) Fakultas Syariah Jurusan Hukum Islam Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah

Oleh:

Fatkur Rohman NIM :083131069

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER FAKULTAS SYARIAH

JANUARI, 2018

(2)

SKRIPSI

diajukan kepada Institut Agama Islam Negeri Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H) Fakultas Syariah Jurusan Hukum Islam Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah

Oleh:

Fatkur Rohman NIM :083131069

Disetujui Pembimbing

Dr. H. Sutrisno RS.,M.H.I Nip 19590216 198903 1 001

(3)

SKRIPSI

diajukan kepada Institut Agama Islam Negeri Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H) Fakultas Syariah Jurusan Hukum Islam Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah

Hari : Jum’at

Tanggal : 16 Maret 2018 Tim Penguji

Ketua Sekertaris

Inayatul Anisah, S.Ag., M.Hum Aminullah, M.Pd.

NIP. 19740329 199803 2 001 NIP.19770527 201411 1 001

Anggota :

1. Dr. Sri Lumatus Sa'adah, S.Ag., M.H.I ( ) 2. Dr. H. Sutrisno, RS., M.H.I ( )

Menyetujui Dekan Fakultas Syariah

Dr. H. Sutrisno RS., M.H.I Nip 19590216 198903 1 001

(4)

MOTTO

اُوَتآَو َةلاَّصلا اوُماَقَأَو ِتاَحِلاَّصلا اوُلِمَعَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َّنِإ ْمُه لاَو ْمِهْيَلَع ٌف ْوَخ لاَو ْمِهِّبَر َدْنِع ْمُهُر ْجَأ ْمُهَل َةاَكَّزلا َنوُنَز ْحَي

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak

ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

(QS.Al Baqarah)

(5)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini untuk :

1. Orang tuaku yang telah membesarkanku dan selalu mendo’akan serta mengusahakan keberhasilanku.

2. Kakaku tercinta, pamanku, adekku yang selalu menyemangatiku untuk semakin maju.

3. Dipersembahkan untuk calon istriku yang banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis saya yang sederhana ini.

4. Bapak dan Ibu dosen yang telah mengajari aku banyak ilmu.

5. Tak lupa sahabat-sahabatku senasib yang telah mewarnai jalanku dalam proses penyusunan skripsi ini.

6. Dan tak lupa almamater tercinta yang memeberikan waktu untuk menimba ilmu di kampus tercinta

(6)

Fatkhur Rohman, 2018 :Konsep Dan Penerapan Sholat Jama’ Lil Hajah Dalam Pesta Perkawinan(Perspektif Ulama’ Syafi’iyah).

Pada era modern nilai materialisme (madiyyah) lebih dominan dibandingkan spiritualisme (ruhiyyah), sehingga orang berpegang teguh pada agama seperti memegang bara api. Praktek nilai-nilai agama selalu ingin mengambil jalan termudah dan terlalu cepat dikondisikan sebagai masyaqqah.

Kasus pada saat resepsi pernikahan (walimah al-`urs) menjadi bukti nyata bahwa setengah orang-orang besar yang terlibat didalamnya, termasuk pengantin, sering mengabaikan shalat bahkan meninggalkannya dengan alasan bahwa alasan untuk mendapatkan rukhshah sehingga mempluralkan atau make up sholat. Kondisi aktual di pengantin sibuk walimah al`urs dapat dikategorikan sebagai alasan yang mengarah kepada masyaqqah.

Rumusan masalah 1) Bagaimana konsep dan penerapan shalat jamak lil hajah dalam pesta perkawinan persepektif ulama’ syafi’iyah 2) Bagaimana metode yang di pakai para ulama’ syafi’iyah

Tujuan dari penelitian ini 1) Untuk mengetahui konsep dan penerapan shalat jamak lil hajah dalam pesta perkawinan menurut ulama’ syafi’iyah. 2) Untuk mengetahui metode yang di pakai ulama’ syafi’iyah.

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif atau kepustakaan dan peneliti menggunakan pendekatan dengan dalil-dalil di dalam al- qur’an, al hadist serta pendaapat dari para ulama.

1. Bahwasanya mayoritas ulama’ syafi’iyah memperbolehkan shalat jama’

karena hajat, asalkan shalat karena hajatnya tidak di jadikan suatu kebiasaan. Dan para ulama’ syafi’iyah berpendapat tersebut karena berdasarkan hadits yang di riwatkan ibnu mundzir “bahwa nabi tak ingin menyulitkan umatnya”.

2. Metode yang dipakai para ulama yaitu metode qiyas serta metode koreksi (tashih) yang dipakai para ulama’ untuk mengeluarkan ijtihadnya. Qiyas yang di pakai adalah terhadap hadist nabi ketika jama’ di Arafah dan Muzdalifah, maka ketika ulama yang memperbolehkan hadits itu di qiyaskan kepada hadits nabi ketika jama’ di Arafah dan Muzdalifah sudah tentu ia akan memperbolehkan jama’ di tempat lain selain Arafah dan Muzdalifah dengan pertimbangan mashaqqah begitu pula sebaliknya. Dan qiyas terhadap hadist nabi yang di riwatkan ibnu abbas “bahwa nabi tidak ingin menyulitkan umatnya.

(7)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dengan mengucap rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KONSEP DAN PENERAPAN SHOLATJAMAK LIL HAJAH DALAM PESTA PERKAWINAN(PERSEPEKTIF ULAMA’ SYAFI’IYAH)

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka bersamaan dengans selesainya skripsi ini perkenankanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. H. Babun suharto, SE.,MM Selaku Rektor Institut Agama Islam Negri Jember.

2. Bapak Dr. H. Sutrisno RS., M.,HI selaku dekan fakultas syariah dan selaku dosen pembimbing skripsi Institut Agama Islam Negri Jember.

3. Bapak Muhaimin, MHI selaku ketua jurusan hukum islam Institut Islam Negri Jember.

4. Ibu Inayatul Anisah, S.Ag., M.Hum selaku Ketua Program Studi Al Ahwal Asy Syakhsiyyah.

Semoga Allah membahas dan melipat gandakan kebaikan beliau semua dan menjadikan amalan yang bermanfaat di Hari perhitungan amal kelak. Penyusun juga menyadari bahwa skripsi ini kurang sempurna, karena kesempurnaaan hanya milik Allah SWT. Kritik dan saran yang membangun

(8)

kemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan bagi semua pada umumnya.

Jember, 24 Januari 2018 penyusun

(9)
(10)
(11)

ABSTRAK

Fatkhur Rohman, 2018 :Konsep Dan Penerapan Sholat Jama’ Lil Hajah Dalam Pesta Perkawinan(Perspektif Ulama’ Syafi’iyah).

Pada era modern nilai materialisme (madiyyah) lebih dominan dibandingkan spiritualisme (ruhiyyah), sehingga orang berpegang teguh pada agama seperti memegang bara api. Praktek nilai-nilai agama selalu ingin mengambil jalan termudah dan terlalu cepat dikondisikan sebagai masyaqqah.

Kasus pada saat resepsi pernikahan (walimah al-`urs) menjadi bukti nyata bahwa setengah orang-orang besar yang terlibat didalamnya, termasuk pengantin, sering mengabaikan shalat bahkan meninggalkannya dengan alasan bahwa alasan untuk mendapatkan rukhshah sehingga mempluralkan atau make up sholat. Kondisi aktual di pengantin sibuk walimah al`urs dapat dikategorikan sebagai alasan yang mengarah kepada masyaqqah.

Rumusan masalah 1) Bagaimana konsep dan penerapan shalat jamak lil hajah dalam pesta perkawinan persepektif ulama’ syafi’iyah 2) Bagaimana metode yang di pakai para ulama’ syafi’iyah

Tujuan dari penelitian ini 1) Untuk mengetahui konsep dan penerapan shalat jamak lil hajah dalam pesta perkawinan menurut ulama’ syafi’iyah. 2) Untuk mengetahui metode yang di pakai ulama’ syafi’iyah.

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif atau kepustakaan dan peneliti menggunakan pendekatan dengan dalil-dalil di dalam al- qur’an, al hadist serta pendaapat dari para ulama.

1. Bahwasanya mayoritas ulama’ syafi’iyah memperbolehkan shalat jama’

karena hajat, asalkan shalat karena hajatnya tidak di jadikan suatu kebiasaan. Dan para ulama’ syafi’iyah berpendapat tersebut karena berdasarkan hadits yang di riwatkan ibnu mundzir “bahwa nabi tak ingin menyulitkan umatnya”.

2. Metode yang dipakai para ulama yaitu metode qiyas serta metode koreksi (tashih) yang dipakai para ulama’ untuk mengeluarkan ijtihadnya. Qiyas yang di pakai adalah terhadap hadist nabi ketika jama’ di Arafah dan Muzdalifah, maka ketika ulama yang memperbolehkan hadits itu di qiyaskan kepada hadits nabi ketika jama’ di Arafah dan Muzdalifah sudah tentu ia akan memperbolehkan jama’ di tempat lain selain Arafah dan Muzdalifah dengan pertimbangan mashaqqah begitu pula sebaliknya. Dan qiyas terhadap hadist nabi yang di riwatkan ibnu abbas “bahwa nabi tidak ingin menyulitkan umatnya.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Definisi Istilah ... 9

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sitematika Pembahasan ... 13

(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu ... 15

B. Kajian Teori ... 16

BAB III BIOGRAFI ULAMA SYAFI’IYAH DAN PENDAPAT ULAMA’ SYAFI’IYAH A. Biografi Imam Mundzir ... 33

1. Karya Tulis Imam Mundzir ... 34

2. Perjalanan Menuntut Ilmu dan Manhaj Keilmuan ... 34

3. Pujian ulama terhadap Ibnu mundzir ... 35

B. Biografi Imam Ibnu Sirrin ... 36

1. Pujian para ulamak kepada ibnu sirrin ... 37

2. Potret ibadah dan kewara’an Beliau...38

3. Sikap Beliau Kepada Ahlu Bid’ah ... 40

C. Biografi Imam Nawawi...43

1. Guru-guru Imam Nawawi ...48

2. Murid-murid Imam Nawawi...50

3. karya Imam Nawawi...50

BAB IV PEMKIRAN ULAMAK SYAFI’IYAH TENTANG SHOLAT JAMAK KARENA ADANYA HAJAH A. Pendapat Imam Ibnu Mundzir ... 52

B. Pendapat Ibnu Sirrin ... 52

C. Pendapat Imam Nawawi ... 52

(14)

D. Pendapat Ulamak-Ulamak ... 53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang harus dikerjakan oleh mukallaf baik bagi mukim maupun dalam perjalanan.Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi salah satunya adalah shalat. sehingga barang siapa mendirikan shalat maka ia mendirikan agama (Islam). Dan barang siapa meninggalkan shalat maka ia meruntuhkan agama Islam. Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali berjumlah 17 rakaat. 1

Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah. Shalat dalam agama Islam juga menempati kedudukan yang tidak dapat di tandingi oleh ibadah manapun juga. Ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu. Shalat juga adalah ibadah pertama yang di wajibkan oleh Allah SWT. Dimana titah di sampaikan langsung olehnya tanpa perantara. Dengan berdialog dengan Rasulnya.2

Hukum Islam merupakan hukum yang didasarkan atas wahyu Allah.

Sumber pokoknya adalah Al-Qur`an dan Al-Sunnah. Allah SWT dalam menetapkan hukum selalu memperhatikan kemampuan manusia dan memberikan kemudahan pada saat manusia menghadapi kesulitan. Allah SWT

1Lahmuddin Nasution,fiqh ibadah (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,2009),59

2Sayyid sabiq, fiqh sunnah,(bandung,Pt Al Ma’arif,1993),170

(16)

tidak serta merta menetapkan hukum tanpa memperdulikan sisi kemanusiaan manusia. Bahkan Allah menghendaki yang mudah dan sepadan dengan kemampuan manusia. Nabi Muhammad juga selalu memilih yang termudah jika dihadapkan pada dua pilihan, selama tidak mendatangkan dosa. 3

Bahwa Allah tidak memberikan beban berat kepada hambahnya dan selalu memberikan kemudahan pada manusia adalah pemberian keringan (rukhsah) terhadap orang yang berhalangan melakukan ibadah shalat dengan jama` dan qashar juga mengqadha shalatnya. Menurut para ulama boleh menjama’ sholat ketika dalam kondisi berikut: bahaya (takut), Safar (bepergian), sakit, hujan, haji, mereka berbeda pandangan. Inilah syari’at yang sangat memudahkan, walau bukan berarti mempermudah semuanya tanpa ada petunjuk yang jelas. Fenomena tersebut dapat dilihat dan dirasakan ketika adanya pesta pernikahan (walimah al-`ursy), dimana dua orang pengantin sebagai raja dan ratu sehari sangat sibuk dalam menyambut tamu dan berdandan dengan serba mahal sehingga tak sedikit di antaranya yang meninggalkan shalat.4

Islam sangat menganjurkan untuk diadakannya pesta pernikahan, bahkan walau hanya dengan menyembelih seekor kambing, tujuannya selain sebagai ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai, juga agar pernikahan itu diketahui oleh halayak ramai dan tidak terkesan disirikan. Walaupun demikian pada prinsipnya Islam juga tidak setuju jika itu diadakan secara berlebihan, sehingga menyebabkan ada sebagian hak dan kewajiban yang terlupakan.

3Abdul. Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),60

4Syakir jamaludin, fiqh ibadah,(Yogyakarta,LPPI UMY, 2014),65

(17)

Padahal nikah pada prinsipnya adalah ibadah, bahkan separuh taqwa, sejatinya mengharap pahala dan ridho-Nya, tetapi ternyata dihari itu banyak dosa.

Sehingga bagaimana mau mendapatkan sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Shalat juga merupakan amalan hamba yang yang mula-mula di hisab.

Shalat adalah wasiat terakhir yang di amanatkan oleh Rasullah saw kepada umatnya sewaktu hendak berpisah meninggalkan dunia. Rasullah bersabda saat beliau hendak menghembuskan nafas terahirnya jagalah shalat jagalah shalat.

begitu pun hamba sahayamu. Shalat adalah barang terahir yang lenyap dari agama. dengan arti bila ia hilang. Maka hilanglah pula agama secara keseluruhanya

Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadat manapun juga. ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.5 Namun agama Islam tidak pernah menyulitkan pengikutnya untuk menjalankan ibadah yang ada di dalam agama Islam salah satunya shalat allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah 238-239 :

َ حَ ف

َ و َ ظ

َ عَا

َ ل

َ صاَى

َ ت و ل

َ و ل صلا و

َ ةَ لا

َ وَ س

َ وَى َ ط

َ قَ و

َ مَ و

َ لاَ ل

َ قَ نَ ت َ هَ

َ ين

َ(

)َ ف

832

َ إَ ن

َ

َ فَ ت َ خ

َ مَ

َ فَ ر

َ ج

ََ اَ وَ َ لا رَ ك

َ بَ ناا

َ

ىلص

َ فَ ا ذآ

َ أَ م

َ نَ ت

َ مَ

َ فَ

َ كَ ر ذا

َ و

َ للَا

َََ ك

َ م

َ عَا

َ لَ م

َ مَ َ ك

َ مَا ( نو م ل ع تَا و ن و ك تَ م ل

)

832

Artinya : jagalah shalat-shalat itu.tiada terkecuali shalat ‘Ashar!’ “Berdirilah kamu untuk beribadat kepada Allah didorong oleh rasa patuh akan perintahnya dan jika kamu dalam keadaan rasa cemas. maka lakukanlah

5Abdullah dkk, shalat dalam persepektif sufi, (bandung, PT Remaja Rosdakarya,2002),43

(18)

shalat itu sambil berjalan kaki atau berkendaraan dan jika telah aman.

ingatlah kepada Allah yang telah mengajarkan kepadamu segala apa apa yang tidak kamu ketahui.

Nabi muhammad saw bersabda :

َ م لَ ن ا فَا م ئَا قَِّل صََ لا قَ فَ ة لَ صلاَ ن عَ م ل س وَ ه ي ل عَ ه للاَى ل صَ ي ب نلاَ ت ل أ س فَ ري سا و بَي بَ ت نا كَ:َرمعَنباَنع )يرَاخبلاَهاور(َ ٍب ن جَى ل ع فَ ع ط ت س تَ م لَ ن ا فَا د عَا ق فَ ع ط ت س ت

Artinya :Dari Umar,pernah penyakit wasir menimpaku lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Shalatlah kamu sambil berdiri. kalau tidak mampu. sambil duduk kalau masih tidak mampu. sambil berbaring6

Namun masih banyak permasalahan mengenai shalat ketika saat di laksanakanya pesta perkawinan walimah al-`ursy. pada saat walimah al -ursy dua orang pengantin serta para pengiring manten sangat sibuk sehingga tak sedikit di antaranya yang meninggalkan shalat.7

Islam sangat menganjurkan untuk diadakannya pesta perkawinan. bahkan walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Bahkan nabi pernah melakukan walimah untuk safiyah dan hais berupa adonan tepung, lemak, dan adonan susu kering dan di taruh di permadani kecil. Tujuan di adakan walimah sebagai ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai. juga agar perkawinan itu

6Abi Abdillah, bukhori,(arab,darul ikhyak,tt)209

7Anwar, fiqih islam (Bandung,PT Al Ma’arif,1978),45

(19)

diketahui oleh halayak ramai dan tidak terkesan disirikan.8 Walaupun demikian pada prinsipnya Islam juga tidak setuju jika itu diadakan secara berlebihan.

sehingga menyebabkan ada sebagian hak dan kewajiban yang terlupakan.

Padahal nikah pada prinsipnya adalah ibadah. bahkan separuh taqwa. Sejatinya mengharap pahala dan ridho-Nya. tetapi ternyata dihari itu banyak dosa.

Sehingga bagaimana mau mendapatkan sakinah, mawaddah dan warahmah.

Di dalam kitab Kifayatul Akhyar yang Bermadzab Syafi’i memakai hadits nabi yang berbunyi :

Ibnu Abbas Meriwayatkan Hadist Yang Berbunyi :

َ,َسابعَنباَنع

َ ع م ج للاَ ل و س ر َ صَ

َا ع ي م ج ر ص ع لا وَ ر هُّظلا َ

َ ة ن يَ د م ل اب

َ ي ف

َ خَ ر ي غ َ

ٍَر ف سَ لََ وَ ٍفَ و

َ

)ملسمَهاور(

Artinya : Dari Ibnu Abbas, Nabi di Madinah menjamak shalat dhuhur dengan ashar. pada waktu tidak ada ketakutan dan tidak bepergian (shahih muslim 705).9

Banyak imam-imam yang memperbolehkan menjamak shalat ketika pesta perkawinan seperti pengikut Imam Syafi’i yaitu Imam Ibnu Mundzir, Di dalam kitab Al Majmuk juz 4 di sana di jelaskan imam ibnu mundzir dari golongan Asyafi’i boleh menjamak ketika tidak di rumah (bukan dalam keadaan musafir) meski tanpa alasan perang, hujan, dan sakit. Pendapat ini di

8Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi‟i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 30

9Muslim, shahih muslim,jilid 1, nomor 705(lebanon,dar al-kotob al-aker,1993)399

(20)

riwayatkan oleh Imam Khatabi dalam kitab Mu’alimu As Sunan dari Imam Al Qafal Al Kabir As Syisyi, dari Abi Ishak Al Maruzi. Imam Khatabi berkata, pendapat tersebut dari ulama ahli hadits karena berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas.

Imam Ibnu Sirrin berpendapat bahawasanya boleh menjamak shalat ketika ada di dalam rumah walaupun tidak dalam keadaan perang, hujan maupun sakit hal itu di perbolehkan bila adanya suatu hajat, pendapatnya sama dengan yang di riwayatkan Ibnu Mundzir namun yang di riwatkan Ibnu Sirrin itu ada tambahanya yaitu asalakan selama perbuatan itu tidak di jadiakan suatu kebiasaan.

Imam Nawawi, Di dalam kitab Kifayatul Akhyar mngutip dari pendapat Imam Nawawi dari golongan Asyafi’i beliau mengatakan di dalam kitab Mukhtasor beliau mengumpamakan bahwasanya hadits yang di riwayatkan Ibnu Abbas itu seperti kebolehan orang mokel ketika dalam keadaan sakit ketika saat berpuasa, dan pendapat ini di ambil para ulamak sebagai landasan di perbolehkanya menjamak shalat ketika ada di dalam rumah karena adanya hajat10

Dari sinilah timbul pertanyaan bagaimana jika seseorang melakukan jama’

lil hajat ketika dalam keadaan menerima tamu dalam pesta perkawinan apakah masuk kriteria di berikan rukhsoh dalam menjamak shalatnya. Masyarakat juga agar tahu tentang kebolehan shalat jama’ karena adanya hajat dan kriteria di

10Imam taqyuddin, kifayatul akhyar,(indonesia,darulikhya’ arobiyah,tt)145

(21)

perbolehkan menjama’ shalatnya. Pentingya meneliti kasus ini adalah 1).

Karena hukum shalat jama’ lil hajat masih belum banyak masyarakat yang mengetahuinya berdasarkan bukti yang ada di masyarakat yang masih banyak tidak melaksanakanya ketika pesta perkawinan. 2). Karena banyak ulamak yang masih berbeda pendapat tentang shalat jama’ lil hajat berdasarkan ulamak dari golongan Syafi’iyah yang memperbolehkanya dan dari golongan ulamak maliki yang masih belum berani mengeluarkan pendapat shalat jama’ lil hajat.

Dengan latar berlatar belakang permasalahan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul KONSEP DAN PENERAPAN SHALAT JAMAK LIL HAJAH DALAM PESTA PERKAWINAN (PERSEPEKTIF ULAMA’ SYAFIIYAH)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana konsep dan penerapan shalat jamak lil hajat dalam pesta perkawinan persepektif ulama’ Syafi’iyah

2. Bagaimana metode yang di pakai para ulama’ Syafi’iyah C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui konsep dan penerapan shalat jamak lil hajah dalam pesta perkawinan menurut ulama’ syafi’iyah?

2. .Untuk mengetahui metode yang di pakai ulama’ syafi’iyah?

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian yang dapat di ambil dalam penelitian ini adalah

1. Secara teoritis

(22)

Dapat kembali menjadi tinjauan ulang tentang kebolehan menjamak shalat ketika dalam keadaan hajat persepektif ulamak syafi’iyah.

2. Secara praktis a. Bagi peneliti

1) Penelitian ini sebagai upaya pengembangan potensi diri baik secara intelektual maupun akademis serta dapat menambah pengetahuan khususnya di bidang syari’ah.

2) Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam penulisan karya tulis ilmiah.

b. Bagi masyarakat

Sebagai salah satu bentuk informasi dan bertambahnya keilmuan yang berfungsi sebagai khazanah keilmuan yang di baca dan di telaah oleh masyarakat secaraa umum.

c. Bagi IAIN

Dirapkan dapat memberi kontribusi dan menjadi refrensi dalam mengembangkan keilmuan khususnya dalam bidang hukum syar’i.

Manfaat dari penelitian ini adalah memberi wawasan baru bagi khalayak banyak tentang kebolehan menjamak shalat walau tidak dalam keadaan bepergian dan mengkaji lebih mendalam lagi dari kriteria-kriteria yang di perbolehkan menjamak shalat.

(23)

E. DEFINISI ISTILAH

Untuk memudahkan pembahasan dan menjaga agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap judul dalam proposal ini.maka perlu adanyaa penjelsan atau penegasan istilah yang berkaitan dengan judul tersebut. Adapun judul proposal ini adalah :

Konsep = dalam kamus besar bahasa indonesia artinya rancangan atau gambaran. istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum. artinya sesuatu yang di pahami. Aristoteles dalam “the clasical theory of concepts”

menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental. yang di nyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep di nyatakan juga sebagai bagian dari pengetahuan yang di bangun dari berbagai macam karakteristik.11

Penerapan =menurut kamus besar bahasa indonesia (kbbi). Pengertian penerapan adalah perbuatan menerapkan. Sedangkan menurut para ahli berpendapat bahwa. penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekan suatu teori atau metode. Suatu hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang di inginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya12

11http://id.m.wikipedia.org/wiki/konsep

12010/07/pengertian-penerapan.html?m=1

(24)

Shalat = menurut bahasa berarti : Doa menurut istilah (Ahli Fiqh) berati : perbuatan (gerak) yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarta tertentu.13

Jamak = jamak secara bahasa berarti mengumpulkan sedangkan hajah dalam kamus besar bahasa indonesia kebutuhan atau keperluan

Lil Hajjah dalam Pesta Perkawinan = Dalam kamus besar bahasa indonesia hajjah ialah suatu kebutuhan atau keingingan Di dalam kamus besar bahasa indonesia. pesta memiliki arti perjamuan makan minum (bersukaria) atau juga perayaan. Namun walimah atau pesta perkawinan bisa di lakukan dengan seadanya.14 Sedangkan menurut KHI arti dari perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.15 Ulama’ syafi’i berpendapat kata ح اَكِن memiliki arti memiliki wati. Artinya dengan perkawinan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasanganya16

13Terjemah Kifayatul akhyar,(Semarang, Cv Toha Putra,1978), 53

14Anshori Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar’ah Al-Muslimah, (Semarang: As-Syifa’, 1986),382

15Kompilasi hukum islam,2

16Slamet abidin dkk, fiqh munakahat 1 (Bandung, C V Pustaka Setia,1999),10

(25)

F. METODE PENELITIAN

Skripsi hasil kajian pustaka meupakan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah atau topik kajian. Skripsi jenis ini berisi satu topik yang memuat beberapa gagasan dan atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka.17

1. Jenis Penelitian

Karena penulisnya hanya membatasi pada bahan-bahan koleksi pustaka saja. maka kajian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library Research18).

yaitu metode untuk mengumpulkan data-data yang bersumber dari kepustakaan. baik itu dari buku atau kitab dan Catatan-catatan dengan cara menelaah dan menganalisis hal-hal yang berkenan dengan masalah shholat jamak dan kriteria yang di perbolehkan shalat jamak dan agar bisa di publikasikan secara luas serta di butuhkan saat penelitian19

Adapun yang di gunakan oleh penulis dari kitab atau buku adalah untuk menganalisis kedua pendapat antara Ibnu Mundzir20 dan Ibnu Sirrin.21

Untuk yang bersumber dari catatan-catatan yaitu dari imam nawawi yang bersumber dari jurnal 22

17IAIN Jember Press, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, hal.78

18Masyhuru dan M.zainuddin, Metodologi penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), 13

19Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), 81

20Imam nawawi,Majmuk sarah mahdab juz 4,,(kitabul fiqr )321

21Ibid, 321

(26)

2. Sumber Data

Sumber data berupa literatur yang meliputi bacaan tentang teori-teori penelitian dan berbagai jenis dokumen dalam penelitian ini. yaitu :

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang di peroleh secara langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan dari langsung pada subyek sebagai informasi yang di cari. Data langsung di peroleh dari kitab Kifayatul Ahyar karangan Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’in tentang shalat jamak dan kitab-kitab kontemporer lainya.

b. Sumber Data Skunder

Data skunder adalah data yang di peroleh dari sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkolerasi kerap dengan pembahasan obyek penelitian. data tersebut berasal dari karya tulis. kitab dan buku-buku karya ulama’ yang berkaitan dengan shalat jamak.

Kemudian di perkuat dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al hadits.

3. Metode Analisis Data

Setelah mengumpulkan data yang di perlukan. kemudian penulis menganalisis data dengan menggunakan metode sebagai berikut :

a. Metode Deskriptif Analisis

22Arisman,” Jamak Dan Qadha Shalat Bagi Pengantin Kajian Fiqh Kontemporer”, Hukum Islam,Vol.XIV No.1,(juni2014), 5

(27)

Yaitu data yang di kumpulkan mula-mula di susun. di jelaskan dan kemudian di analisis. Metode ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subyek penelitian berdasarkan data yang di peroleh. Yaitu dengan cara menguatkan masalah yang sedang di bahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi pemikiran Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengenai di perbolehkanya shalat jamak karena adanya hajat. maupun mengorganisasikan fakta- fakta atau hasil hasil pengamatan yangterpisah-pisah menjadi suatu rangkaian hubungan.23 Metode ini mengusahakan agar dapat membahas secara rinci guna memperoleh suatu ketegasan dan jawaban tentang pokok permasalahan sesuai tujuan.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Sistematika dalam penulisan proposaln ini ada 3 bab yaitu :

Sistematika pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan skripsi yang di mulai dari bab pendahuluan hingga bab penutup.24 Untuk mensistematikan pembahasan dalam penelitian ini penulis menyusun sistematika pembahasan yang merupakan rangkuman sementara dari penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui secara global dan menyeluruh dari pembahasan yang ada dalam penelitian ini dan membaginya atas lima bab sebagai beriut :

23Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 40

24Institut Agama Islam Negri Jember, pedoman penulisan karya ilmiah, (Jember, IAIN Jember Pres, 2015)48

(28)

Bab satu Pendahuluan. yaitu meliputi : latar belakang masalah, fokus penelitia, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan. Inti dari pembahasan ini adalah memberikan penjelasan dan arahan secara terperinci tentang topik dalam penelitian ini penting untuk di telaah secara mendalam.

Bab kedua Kajian Pustaka. Bab ini berisi tentang penelitian terdahulu dan kajian teori. Penelitian terdahulu sebagai perbandingan untuk menyusun kepustakaan. Sedangkan untuk kajian teori sebagai pendukung karya ilmiah ini.

Bab Tiga Biografi Ulamak Syafi’iyah dan pendapat Ulama’ Syafi’iyah.

Bab Empat Pemkiran Ulamak Syafi’iyah tentang Shalat Jamak Karena Adanya Hajah

Bab Lima Penutup berisi, Kesimpulan, Saran, dan Daftar Pustaka

(29)

KAJIAN PUSTAKA

A. PENELITIAN TERDAHULU

a. Witria Sekar Nawansih. Fakultas Psikologi Universitas Muhamadiyah.

Surakarta. 2012 berjudul “PERBEDAAN KEKHUSUKAN SHALAT DI TINJAU DARI JENIS KELAMIN JAMAAH HALAQAH SHALAT KHUSUK

Persamaan sama-sama membahas tentang shalat Perbedaan kalau penelitian yang akan di kaji oleh peneliti lebih fokus ke praktek dan kebolehan untuk menjama’ shalat kalau penelitian yang di lakukan oleh witria sekar nawansih lebih kepada segi kondisi psikologis kekhusukan ketika melakukan shalat.

b. Neti Faila Suffa. Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negri. Salatiga.2010 berjudul

“PENGARUH SHALAT BERJAMAAH TERHADAP PRILAKU SOSIAL”persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan di kaji peneliti yaitu sama-sama membahas tentang shalat dan praktek shalatnya. Perbedaan perbedaan penelitin ini dengan punya saya yaitu kalau penelitian yang dilakukan oleh neti lebih ke ke prilaku sosial seseorang ketika setelah melakukan sosial kalau punya saya lebih ke praktek dan kebolehan melakukan shoolat jama’.

(30)

c. Arisman. Fakultas syari’ah dan hukum universitas islam negri sultan syarif kasim. Riau. 2014 berjudul “ JAMA’ DAN QADHA SHALAT BAGI PENGANTIN KAJIAN FIQH KONTEMPORER” persamaan penelitian yang di lakukan arisman dengan penelitian yang akan di kaji peneliti adalah sama-sama membahas tentang kebolehan menjama’

sholat ketika ada pesta perkawinan sedangkan perbedaanya adalah kalau penelitian ini lebih ke kajian dari cara pandang kitab kontemporer kalau penelitian saya lebih dari sudut pandang ahli hadist dan kitab- kitab hadist.

B. KAJIAN TEORI 1. Pengertian Shalat

Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology (istilah).

Para ahli Fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.Secara lahiriah Shalat berarti Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu1. Yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.

Secara hakiki Shalat ialah Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan.2Shalat berasal dari bahasa Arab As-Shalah. Shalat menurut Bahasa

1Jaih mubarak, modifikasi hukum islam (jakarta,PT Raja Grafindo Persada,2002),133

2,Abdul. Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),70

(31)

(Etimologi) berarti do'a dan secara terminology atau istilah. Para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.3Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan yang telah ditentukan.

Secara hakiki Shalat ialah Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah. Secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan.4

Imam Ar Rafi’i berpendapat pengertian shalat yaitu sebuah pekerjaan yang di awali oleh takbirotul ikhrom dan di akhiri dengan salam dengan syarat- syarat tertentu adapun scara hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah.dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan. Berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.

Secara dimensi Fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita beribadah kepada Allah. dan menurut syarat-syarat yang telah di tentukan oleh Agama5.

3Syakir jamaludin, fiqh ibadah,(Yogyakarta,LPPI UMY, 2014),81

4 Moh rifa’i, fiqh islam lengkap (Semarang,Karya Toha Putra,1978),103

5Ali imran, fiqih, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis,2011),39

(32)

2. Dalil-dalil yang Mewajibkan Shalat

Shalat merupakan salah satu kewajiban yang menduduki kedua setelah syahadat dalam rukun Islam. Sehingga di dalam Al-Qur’an dan hadits banyak sekali dijelaskan mengenai kewajiban untuk mengerjakan solat. Diantara dalil Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai kewaiban salat adalah:

Firman Allah dalam surah Al-Bayyinah ayat 5:

اوُرِم ُأ آَمَو َّلَِإ

ُم َهَ اا ُوُوُدُبَ عِي ُعِصِل

َي َن اَفَ نُح َنُيِّويا ُه َةوَكّزيااوُتُؤُ يَوَةوَلّصيااوَمعِقُيَوَء

(ِةَمِّعَقُيا ُنُيِد َكِيَذَو

ج

3

)

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”6

Firman-Nya yang lain dalam surah An-Nisa’ ayat 103:

يا ُمُتُعَضَق اَذ ِإَف ُمُكِب وُنُج ىَلَعَواًدوُبُ قَواًمَعِق َهَ ااوُرُكُذاَف َةوَلّص

َةوَلّصيااُوُمُعِق َأَف ُمُتُنَ نُأَمُطااَذ ِإَف

ج

َةوَلّصيا ّنِإ

ج

َنُعِنِمُؤُمُيا ىَلَع ُتَناَك اَتُوُ قُوّم اًدَتِك

303

(

)

Artinya:“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu). ingatlah Allah di waktu berdiri di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman. Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).

6Al qur’an dan terjemahnya surat al bayyinat ayat 5

(33)

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang- orang yang beriman.”7

3. Pengertian Shalat Jama’

Jama’ secara bahasa berarti mengumpulkan. Maksudnya ialah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan pada satu waktu. Shalat jama’ ada dua macam. yaitu jama’ taqdim dan jama’ takhir. Jama’ taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang lebih awal. seperti mengumpulkan shalat Dzuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Dzuhur atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya.8 dikerjakan di waktu Maghrib. Sedangkan jama’ takhir ialah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang terakhir. seperti mengumpulkan shalat dzuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Ashar atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Isya. Shalat yang boleh dijama’hanyalah yang waktunya berdekatan dan ditentukan. yaitu shalat Dzuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya.9

Disyaratkan bepergian untuk menjama’ itu harus bukan bepergian maksiat, oleh karena itu, bepergianya itu meliputi yang (wajib) seperti pergi haji dan pergi untuk membayar hutang, juga meliputi yang (sunnat), seperti haji tatawwuk, bepergian yang di perbolehkan, (mubah) seperti pergi berdagang dan tamasya, bepergian yang (makruh), seperti bepergian seorang diri tanpa berteman

7Annisa’ ayat 103

8Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 4, 2006),1572

9Moh zuhri dkk, fiqh empat madzab, (Semarang,Asysyifa’,1994),237

(34)

Syaikh Abu Muhammad berkata : Di antara tujuan yang rusak adalah bertowafnya golongan orang-orang sufi untuk melihat-lihat kota-kota atau negri lain. Imam Haromain mengatakan : Bepergian itu tidak di syaratakan harus bepergian karena ketaatan, dengan kesepakatan para ulama.

Maksud dari “bukan karena maksiat” adalah terkecuali dari bepergian karena maksiat, seperti bepergian untuk menyamun, memeras, mendatangkan arak dan ganja dan orang-orang yang di perintahkan oleh orang-orang zalim untuk mengambil uang sogok atau memungut pajak serta perjalanan wanita yang tidak mendapat izin dari suami. Juga perjalanan budak (hamba) yang melarikan diri dan bepergianya orang yang berhutang yang berkuasa membayar hutangya tanpa mendapat izin pergi dari orang yang berpiutang.

Semua hal tersebut dan hal-hal yang sejenisnya tidak dapat mengambil kemurahan qhasar, sebab qashar itu adalah kemurahan dari allah, sedangkan bepergian maksiat itu tidak masuk terhadap kemurahan atau rukhshah tidak dapat di kaitkan dengan perbuaatan maksiat.

Apabila orang maksiat sebab bepergianya itu tidak boleh mengqashar, maka juga tidak diperbolehkan mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu dan tidak boleh juga menjalankan shalat dalam kendaraan, tidak boleh mengusap muzah dalam waaktu tiga hari dan tidak boleh makan bangkai sekaalipun sekalipun di kala sangat membutuhkan. Demikian yang di riwayatkan imam Nawawi di dalam Syarah AL-Muhadzdzab tanpa ada khilaf.

Tetapi di dalam kitab Ar-Raudhah ada berita yang mengecualikan memakan bangkai, dan hal ini tidak boleh di pakai.

(35)

Seandainya seorang bertemu dengan orang zalim di padang belantara, maka tidak usah memberinya minum waalaaupun ia akan maati, supaya semua penduduk negrinya termasuk pepohonan daan binatang-binatang terselamat dari kedzaalimanya dan dapat hidup nyaman, tentram dan aman, demikian yang di riwayatkan oleh Sufyan As- Tsauri keterangan di dalam Kifayatul Akhyar.

a. Syarat-syarat Jama’

Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa menjama’ shalat dibolehkan karena enam hal. yaitu:

1) dalam perjalanan 2) hujan.3) sakit.4) wukuf di Arafah.5) berada di Muzdalifah.

Dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa boleh untuk menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar. Maghrib dan Isya`. baik taqdim maupun takhir. jika berada dalam kondisi berikut ini:10

1. Jama`ah haji yang sedang berada di Arafah dan Muzdalifah.

Sepakat para ula ma bahwa ketika berada di Arafah hendaklah menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar dengan jama’ taqdim.

sedangkan ketika berada di Muzdalifah hendaklah menjama’ shalat Maghrib dan Isya dengan jama’ takhir. Hal ini merupakan sunnah Rasulullah SAW.

10Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Bandung,Al Ma’arif,1993),222

(36)

2. Ketika dalam perjalanan (safar). Menjama’ shalat baik taqdim maupun takhir bagi musafir hukumnya boleh (jaiz) sebagaimana hadits yang diriwayatkan Mu`az bin Jabal.

3. Pada saat hujan lebat. Hal ini sesuai dengan hadits rasulullah SAW:

نبا نع نع رمع

)ير ا ديا هاور( ٍةَرُ عِطَم ٍةَلُ عَي ُيِف ِء اَشِبُيا َو ُب ِرُغَمُيا َنُعَ ب َعَمَج م ص ّىِدّنيا

“dari umar,Sesungguhnya nabi SAW menjama’ shalat Maghrib dan Isya ketika hujan pada suatu malam”11

Disebabkan sakit atau uzur. Menurut ulama mazhab Hanbali

4. kebolehan bagi orang sakit untuk menjama’ shalat karena kondisi sakit itu pada hakikatnya lebih dahsyat dari pada kondisi hujan lebat. Kemudian yang termasuk kategori uzur diantaranya orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dan pakaian dari najis air kencing anak pada setiap waktu shalat. Wanita yang istihadhah.sering keluar madzi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau sering keluar air kencing sehingga sulit untuk bersuci. Juga orang yang khawatir terhadap keselamatan diri. harta. dan kehormatan. Atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya.

11Abi Abdillah, bukhori,(arab,darul ikhyak,tt)194

(37)

5. Karena ada keperluan (hajat) yang mendesak. Keperluan (hajat) yang dimaksud adalah keperluan yang jika tidak dilakukan maka akan berakibat pada keadaan yang lebih buruk.12

Menurut ulama Mazhab Syafi`i. untuk melaksanakan jama’ taqdim disyaratkan enam hal. yaitu:

1. niat jama’ taqdim.

2. shalat itu dilakukan secara berurutan sesuai dengan urutannya.

seperti mendahulukan Dzuhur daripada Ashar.

3. kedua shalat itu dilaksanakan tanpa tenggang waktu yang panjang.

4. perjalanan yang dilakukan masih berlanjut ketika shalat yang kedua dimulai.

5. waktu shalat pertama masih ada ketika shalat kedua dikerjakan.

6. yakin bahwa shalat pertama yang dikerjakan adalah sah.

Sedangkan syarat jama’ takhir ada dua hal. yaitu niat jama’ takhir sebelum habisnya waktu shalat pertama dan perjalanan masih berlanjut sampai selesainya shalat kedua. Urutan dalam mengerjakan shalat jama’ takhir tidaklah wajib. Seseorang boleh mendahulukan Ashar dari Dzuhur dalam jama’

takhir. demikian juga mendahulukan Isya dari Maghrib. Akan tetapi ulama Mazhab Syafi`i tetap mengatakan bahwa mengikuti urutan waktu shalat hukumnya sunnah. Bukan syarat sahnya shalat jama’ takhir.13

12Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Jakarta: PT. Icthiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 1536

13M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan..., hlm. 395

(38)

Menurut ulama Mazhab Hanbali. jama’ taqdim dan takhir boleh dilakukan dalam tujuh hal berikut:

1. perjalanan menempuh jarak yang jauh yang menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalatnya

2. sakit yang membawa kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada waktunya

3. orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu shalat

4. orang yang tak mampu bersuci dengan air atau bertayamum pada setiap shalat karena mengalami kesulitan

5. orang yang tidak bisa mengetahui masuknya waktu shalat

6. wanita yang istihadhah (wanita yang mengeluarkan darah terus menerus dari vaginanya karena penyakit)

7. sering keluar madzi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani. atau ada uzur. seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri. harta. dan kehormatan. atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya itu.

Adapun syarat-syarat shalat qashar. para ahli fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya shalat qashar. yakni:

1. Menurut jumhur ulama. perjalanan yang dilakukan itu adalah perjalanan yang panjang. yaitu dua marhalah (perjalanan dua hari

(39)

tidak termasuk malamnya) atau menurut ulama mazhab Hanafi.farsakh atau tiga marhalah (tiga hari tiga malam).

2. Menurut jumhur ulama. perjalanan yang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mubah (boleh). bukan perjalanan yang makruh atau haram. seperti merampok dan berjudi. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan Hanbali. apabila perjalanan yang dilakukan itu bertujuan untuk maksiat. maka tidak sah shalat qasharnya. Akan tetapi bagi ulama Mazhab Maliki. shalat qasharnya tetap sah tetapi berdosa. Ulama mazhab Maliki membedakan antara perjalanan yang dilakukan oleh penduduk kota. masyarakat pedalaman. dan masyarakat pegunungan. Bagi masyarakat kota. baru dikatakan musafir apabila telah melampaui batas kota. Untuk masyarakat pedalaman. seseorang baru dikatakan musafir apabila perkampungan masyarakat pedalaman telah dilewatinya. Adapun bagi masyarakat pegunungan. Seseorang baru dikatakan musafir apabila telah meninggalkan pemukiman mereka. Menurut ulama Mazhab Syafi`i. apabila daerah tempat tinggal yang akan musafir ini dipagar. maka ia dikatakan musafir apabila telah keluar dari pagar tersebut.14 Apabila derah tersebut tidak dipagar maka dapat dikatakan musafir apabila telah melampaui bangunan paling akhir dari batas daerah tersebut. Menurut Ulama Mazhab Hanbali. Dapat dikatakan musafir apabila perkampungannya atau rumah terakhir

14Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 1, (terj: Khairul Amru Harahap, Aisyah Syaefuddin dan Masrukhin), (Jakarta: Dar Fath Lil ‘Ilami al-Arabiy, 2008), hlm. 501

(40)

di pinggiran daerah tersebut telah dilaluinya. Baik masih dalam pagar atau batas desa maupun telah melampauinya. Ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa batas-batas daerah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan setempat.

3. Menurut Ulama Mazhab Maliki. menjama’ shalat dalam perjalanan dibolehkan secara mutlak. baik perjalanan yang panjang 85 km.

Orang sakit boleh melakukan jama’ shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat. musim dingin/salju. atau hari yang sangat gelap. yang dibolehkan hanya jama’ taqdim. Untuk melakukan shalat jama’ taqdim dalam perjalanan menurut ulama Mazhab Maliki disyaratkan dua hal yakni tergelincir atau condongnya matahari ke arah barat pertanda masuknya waktu Dzuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar. Kemudian ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jama’ dilakukan dengan satu kali adzan dan iqamat bagi setiap shalat. Menurut ulama Mazhab Syafi`i. shalat jama’ boleh dikerjakan dalam perjalanan. Karena hujan lebat dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat jama’ karena dingin, musim salju, dan hujan

(41)

lebat hanya boleh dengan jama’ taqdim yang dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh.15

4. Ketika Turun Hujan

Al-Atsram menyebutkan di dalam kitab sunan-nya dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata, Termasuk sunnah Nabi Saw. Adalah menjama’

shalat maghrib dengan isya’ apabila hujan turun dengan lebat.

Kesimpulan beberapa madzab mengenai menjama’ shalat ketika turun hujan lebat sebagai berikut :

a. Penganut madzab Syafi’i memeperbolehkan seorang yang mukim (menetap) menjama’ shalat zhuhur dengan Ashar dan (menjama’) shalat magrib dengan isya’ secara taqdim (mengerjakanya di awal waktu dari dua shalat yang di jama’) saja, dengan syarat hujan turun ketika membaca takbirotul ihram dalam shalat pada rakaat yang pertama sampai selesai dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.

b. Menurut penganut Madzab Maliki, boleh menjama’ taqdim di dalam masjid antara shalat maghrib dan isya’ di sebabkan turunya hujan atau cuaca menunjukkan akan turun hujan. Menjama’ taqdim juga boleh di kerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat

15Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid ke-1, (Kairo: Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M), h. 204.

(42)

gelap sehingga menyulitkan perjalanan bagi orang yang menggunakan terompah. Menjama’ shalat zhuhur dengan ashar di makruhkan.

c. Penganut Madzab Hanbali berpendapat bahwa boleh menjama’

maghrib dengan isya’ saja, baik secara, taqdim maupun ta’hir, bila ada faktor yang menghalanginya, seperti adanya salju, lumpur, cuaca yang sangat dingi, serta hujan yang membasahkan pakaian. Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang shalat berjamaah di masjid dan ia tinggal di tempat yang jauh (dari masjid) sehingga adanya hujan atau penghalang lainya akan menyulitkanya untuk pergi menuju masjid.

Adapun orang yang rumahnya dekat dengan masjid atau yang shalat berjamaahnya di rumah saja atau ia dapat pergi ke masjid dengan melindungi tubuh, ia tidak boleh menjama’ shalatnya.

5. Ketika Sakit atau Berhalangan

Imam Ahmad, Qhadhi Husain, Al-Khaththabi, dan Al-Mutawalli dari kalangan Madzab Syafi’i memperbolehkan menjama’, baik taqdim mapun ta’khir, di sebabkan sakit dengan alasan kesukaran di waktu sakit lebih besar daripada kesukaran di waktu hujan.

Imam Nawawi berkata, “ jika di lihat dari dari alasan yang di kemukakan, pendapat inilah yang paling kuat.” Di dalam kitab al-mughni di sebutkan bahwa sakit yang memperbolehkan jama’ itu jika shalat-shalat di kerjakan pada waktunya akan menyebabkan kesulitan dan lemahnya badan.

Ulama’ madzab Hanbali lebih memberberikan kelonggaran dalam keringanan ini hingga menurut mereka, boleh jama’ ta’dim atau ta’khir

(43)

karena sebagai halangan dan juga ketika dalam keadaan takut16. Mereka memperbolehkan jama’ (shalat) kepada orang yang sedang menyusui bila kesulitan mencuci kain setiap hendak shalat, wanita-wanita yang sedang istihadhah,orang yang menderita penyakit beser (tidak bisa menahan kencing ), orang yang tidak dapat bersuci dan hawatir jika harus bersuci, fisik, harta, dan kehormatanya akan terancam bahaya. Juga orang yang takut mendapatkan rintangan (kehilangan) mata pencaharianya jika tidak menjama’ shalatnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “madzab yang paling longgar dalam masalah jama’ shalat adalah Madzab Hanbali sebab ia memperbolehkan menjama’ bagi seseorang yang sibuk bekerja, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Nasa’i yang marfu’ kepada Nabi SAW., hingga di perbolehkan menjama’ bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang lainya yang takut hartanya rusak atau hilang.

Imam Ahmad Qadhi Husein. Al-Khaththabi dan Al-Mutawalli dari golongan imam Syafi’i memperbolehkan menjama’ baik takdim atau ta’khir di sebabkan sakit. dengan alasan kesukaran di waktu hujan.17 Berkata Nawawi “dari segi alasan. pendapat ini adalah kuat”. Dalam buku Al Mughni tersebut bahwa sakit yang membolehkan jama’ itu ialah seandainya shalat-shalat itu di kerjakan pada waktu masing masing akan menyebakan kesulitan dan lemahnya badan. Di dalam kitab Kifayatul Ahyar terjemah di

16 Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Al Mustashfa, Juz I, Beirut: Dar al fikr, hlm. 354.

17Sayyid sabiq, fiqih sunnah, (Bandung, Pt Alma’arif,1993),226

(44)

jelaskan ada sebuah hadits yang berbunyi memakai hadits nabi yang berbunyi :

Ibnu Abbas meriwayatkan hadits :

,سادع نبا نع ِرُصَبُياَو ِرُهُّظيا َنُعَ ب ِةَنُ ي ِوَمُي ِاب عَمَج

ِبِرُغَمُياَو ٍرَطَم َلَ َو ٍف ُوَخ ِرُعَغ ُنِم ِء اَشِبيُاَو

)ملسم هاور(

Artinya :dari Ibnu Abbas, nabi di madinah menjama’ shalat dhuhur dengan ashar dan magrib dengan isya’ pada waktu tidak ada ketakutan dan tidak hujan (HR. Muslim705)

Di dalam kitab Bughyatul Murtasidin yang di karang oleh Sayyid Bil Alwi Alhadromi di sana di kutib pendapat dari imam khatabi khatabi juga meriwayatkan dari abi ishak diperbolehkanya menjama’ sholat di dalam rumah bukan karena dalam keadaan perang, hujan, maupun sakit tapi di karenakan adanya hajat. Dan pendapat ini juga di pakai Imam Ibnu Mundzir. Bahwa juga ada sebuah cerita yang di sampaikan oleh imam radad beliau bercerita suatu ketika gurunya Imam Al Qutbi Abdullah menyuruh anaknya berniat Mengqasar shalat karena sedang sibuk dalam majlis para wanita.18

Di dalam kitab Kifayatul Akhyar mengutip dari pendapat Imam Nawawi dari golongan Asyafi’iyah beliau mengatakan di dalam kitab Mukhtasor

18Sayid bil alwi al hadromi, bughyatul mustarsidin,(libanon,maktabah darul kitab, tt), 160

(45)

beliau mengumpamakan bahwasanya hadits yang di riwayatkan Ibnu Abbas itu seperti kebolehan orang mokel ketika dalam keadaan sakit ketika saat berpuasa, pendapat ini di ambil para ulama’ sebagai landasan di perbolehkanya menjama’ shalat ketika ada di dalam rumah karena adanya hajat19

Di dalam kitab Al Majmuk juz 4 di sana di jelaskan Imam Ibnu Mundzir dari golongan Asyafi’i boleh menjama’ ketika tidak di rumah (bukan dalam keadaan musafir) meski tanpa alasan perang, hujan, dan sakit.

Pendapat ini di riwayatkan oleh imam khatabi dalam kitab Mu’alimu As Sunan dari Imam Al Qafal Al Kabir As Syisyi, dari Abi Ishak Al Maruzi.

Imam Khatabi berkata, pendapat tersebut dari ulama ahli hadits karena berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Sirrin berpendapat bahawasanya boleh menjama’ shalat ketika ada di dalam rumah walaupun tidak dalam keadaan perang, hujan maupun sakit hal itu di perbolehkan bila adanya suatu hajat, pendapatnya sama dengan yang diriwayatkan Ibnu Mundzir namun yang di riwatkan Ibnu Sirrin itu ada tambahanya yaitu asalakan selama perbuatan itu tidak di jadiakan suatu kebiasaan.20

Namun untuk pendapat dari ulama’ lain seperti dari Madzab Maliki masih belum ada yang berani mengeluarkan ijtihat tentang kebolehan shalat jama’ lil hajah pada pesta perkawinan. Madzab Maliki lebih condong memberikan ijtihad memperbolehkan menjama’ shalat dalam perjalanan

19Imam taqyuddin, kifayatul akhyar,(indonesia,darulikhya’ arobiyah,tt)145

20Imam abu zakariya, al-majmu’juz 4 sarah al-muhazzab,(maktabah al matbaah al muniroh)321

(46)

secara mutlak. baik dalam perjalanan yang panjang yaitu 85 km. Orang sakit boleh melakukan jama’ shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat. musim dingin/salju. atau hari yang sangat gelap. yang dibolehkan hanya jama’

taqdim. Untuk melakukan shalat jama’ taqdim dalam perjalanan menurut ulama Mazhab Maliki disyaratkan dua hal. yakni tergelincir atau condongnya matahari ke arah Barat pertanda masuknya waktu dzuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar. Kemudian ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jama’ dilakukan dengan satu kali adzan dan iqamat bagi setiap shalat. Menurut ulama Mazhab Syafi`i. Shalat jama’

boleh dikerjakan dalam perjalanan, karena hujan lebat, dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat jama’ karena dingin. musim salju. dan hujan lebat hanya boleh dengan jama’ taqdim yang dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh.21

21Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid ke-1, (Kairo: Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M), h. 204.

(47)

BIOGRAFI ULAMA SYAFI’IYAH

DAN PENPAT ULAMA’ SYAFI’IYAH

A. IMAM MUNDZIR

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Al Mundzir an Naisaburi. Beliau di lahirkan di kota Naisabur yaitu sebuah kota di Provinsi Razavi Khorasan, ibu kota dari Sahrestani Nishapur dan bekas ibukota dari Khurasan, di timur laut Iran. Mengenai tahun kelahiran beliau tidak ada catatan sejarah yang pasti, akan tetapi Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa kelahiran beliau bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal yaitu pada tahun 241 H. karena itulah Az-Zirikli mengatakan bahwa tahun lahir Ibnu Mudzir 242 H. karena mengambil pendapat yang lebih hati-hati.1

Guru, dan Murid-murid Ibn Mundzir Beliau mempunyai banyak guru, di antaranya:Abu Hatim Ar Razi. Ishaq bin Ibrahim. Ar Rabi’ bin Sulaiman.

Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Al Bukhari. Muhammad bin Ash Shabbah.

Muhammad bin Taubah. Muhammad bin Abdillah bin Al Hakam. Muhammad bin Ismail Ash Sha’igh. Murid-murid beliau juga banyak akan tetapi hanya beberapa orang saja yang terekam sejarah. As Subki berkata, “Meriwayatkan dari beliau: Abu Bakr bin Al Muqri’, Muhammad bin Yahya bin Ammar Ad Dimyathi -guru Ath Thalamanki, Al Hasan dan Al Husain putra Ali bin Sya’ban.

1Abdullah Mustofa Al Maraghi, pakar-pakar fiqh sepanjang sejarah, yogyakarta: LKPSM, cet.ll,2001,hal 120

(48)

1. Karya Tulis

Karya Ibn Mundzir sangat banyak baik dibidang tafsir, hadits, fiqh, ilmu ushul dan sebagainya. Diantara karya beliau antara lain: Al Ijma’, Al Mabsuth, Al Isyraf Ala Madzahib Al Ulama, At Tafsir Kitab As Siyasah, Jami’ Al Adzkar, Hajjah An Nabi, Rihlah Imam Asy Syafii Ila Al Madinah, Tasyrif Al Ghani Ala Al Faqir, Adab Al Ibad, Itsbat Al Qiyas.

2. Perjalanan Menuntut Ilmu & Manhaj Keilmuan

Tidak ada keterangan detil dan jelas mengenai perjalanan menuntut ilmu beliau. Namun yang jelas, selain menuntut ilmu di kota kelahiran beliau Naisabur, sebagian pakar sejarah juga menyebutkan bahwa beliau pernah juga menuntut ilmu ke Makkah. Hanya saja tidak ada keterangan tentang waktunya. Dan ada kemungkinan beliau juga pernah ke Mesir dan menuntut ilmu kepada para ulama’ di sana, seperti Ar Rabi’ dan selainnya.

Namun yang jelas, beliau tidak pernah mendatangi kota Bagdad dan Damaskus, sebagaimana hal ini dipastikan oleh Adz Dzahabi.2

As Subki menyatakan Ibnu Mundzir sama seperti dirinya, yakni pengikut mazhab Asy Syafiiyah. Maksudnya, dalam mempelajari fiqih, beliau membaca kitab-kitab yang beraliran Asy Syafiiyah3. Namun dalam hal ittiba’, maka beliau adalah seorang mujtahid yanng tidak bertaqlid kepada siapa pun. An Nawawi berkata, “Dalam kitab-kitab beliau, beliau

2Ibid, 130

(49)

mempunyai tahqiq (pembahasan ilmiah) dimana tidak ada seorang pun yang mendekatinya. Beliau berada di puncak kemapanan dalam ilmu hadits. Dan beliau mempunyai banyak pendapat sendiri, dimana semua pendapat beliau tidak terikat dengan mazhab tertentu, akan tetapi beliau berpendapat berdasarkan dalil. Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau seorang mujtahid, tidak bertaqlid kepada siapa pun.” As Suyuthi berkata,

“Beliau berada di puncak pengetahuan tentang ilmu hadist dan perbedaan pendapat ulama. Beliau seorang mujtahid, tidak bertaqlid kepada siapa pun.

3. Pujian Ulama Terhadap Ibnu Mundzir

Adz Dzahabi berkata dalam Tadzkirah Huffazh, “Al Hafizh Al Allamah Al Faqih yang tidak ada tandingannya, Syaikh al Haram (Makkah). Penulis kitab-kitab yang belum pernah ada yang menulis seperti itu. As-Subki berkata, “Beliau adalah seorang imam, mujtahid, hafizh, wara’.” Asy Syirazi berkata, “Beliau menulis sebuah kitab dalam masalah

‘perbedaan pendapat ulama’, dimana tidak ada seorang pun yang pernah menulis buku seperti itu. Semua kitab beliau dibutuhkan oleh para ulama, baik yg sependapat maupun yang menyelisihi beliau.” Ibnu Al Qaththan berkata, “Ibnu Al Mundzir adalah seorang faqih, muhaddits, tsiqah. Arib bin Sa’ad Al Qurthubi menyebutkan bahwa beliau wafat pada hari Ahad terakhir Syaban pada tahun 318 H. Tahun wafat ini juga disebutkan oleh Ibnu Al Qaththan, Qadhi Syahbah, As Suyuthi, dan dikuatkan oleh Adz Dzahabi.

(50)

Pemikiran Ibnu Mundzir dari golongan Asy Syafi’i. Di dalam kitab Al Majmuk juz 4 di sana di jelaskan Imam Ibnu Mundzir dari golongan Asyafi’i boleh menjamak ketika tidak di rumah (bukan dalam keadaan musafir) meski tanpa alasan perang, hujan, dan sakit. Pendapat ini di riwayatkan oleh imam Khatabi dalam kitab Mu’alimu As Sunan dari Imam Al Qafal Al Kabir As Syisyi, dari Abi Ishak Al Maruzi. Imam khatabi berkata, pendapat tersebut dari ulama ahli hadits karena berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas.

B. BIOGRAFI IMAM IBNU SIRRIN

Beliau adalah Abu Bakr Muhammad bin Sirin al-Anshari, ayah beliau yaitu Sirin adalah Abu Amrah maula (bekas budak) Anas bin Malik radhiyallaahu‘anhu sang pelayan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah ayahanda beliau Abu Amrah Sirin Al-Anshari dibebaskan dari perbudakan lalu tampaklah keinginan pada diri beliau untuk menyempurnakan separuh agamanya, maka mulailah ia mencari seorang wanita yang akan menjadi pendampingnya hingga jatuhlah pilihan beliau pada seorang wanita mulia maula (bekas budak) Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu, dialah Shafiyyah seorang wanita cantik nan cerdas yang dikenal memiliki akhlak yang tinggi dan sangat dicintai oleh para ummahatul mukminin terlebih-lebih Ibunda Aisyah radhiyallaahu anha.4

4Syekh Ahmad faid, 60 Biografi Ulama Salaf, jogjakarta, Al kautsar,cet. 7. 2007, hal 100

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terhadap ROA sesuai dengan hipotesis yang diajukan yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan ROA (Return on Assets) bank sebelum dengan setelah

1) Pada penelitian ini Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/ Kota di Jawa Timur dipengaruhi oleh 2 variabel signifikan yaitu Jumlah Penduduk dan Kemiskinan. Namun, variabel Jumlah

Suatu organisasi sangat bergantung kepada keupayaan organisasi tersebut bekerjasama dengan organisasi-organisasi lain di dalam negara maupun di peringkat

Simpulan : Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa potensi bahaya dan risiko akan selalu ada di lingkungan kerja sehingga perlu identifikasi dan dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keandalan atau keakuratan berbagai jenis pita ukur dan mengembangkan model pita ukur dan rumus pendugaan bobot badan berdasarkan ukuran

Berdasarkan hasil penelitian dan tujuan yang ingin dicapai, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu Pada pre-test pengamalan nilai-nilai karakter siswa berada pada kategori

Produksi umbi bawang merah menggunakan TSS mempunyai kelebihan dibandingkan dengan penggunaan benih umbi, yaitu volume kebutuhan TSS lebih rendah yaitu sekitar 3-4 kg

Pengertian Nonprobability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk