• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Terkait dengan penelitian ini ada beberapa saran yang penulis dapat sampaikan:

1. Sebelum menonton sebuah film, kita harus siap dihadapkan dengan

stereotype-sterotype yang akan dibuat oleh sutradaranya sebagai

penggambaran realitas yang diinginkan. Karena film tidak hanya menjadi media pemindahan realitas di hadapan kita yang begitu saja dipindahkan ke dalam layar atau visual, tetapi ada nilai-nilai yang dimiliki oleh representasi saja, sebuah gambaran yang sudah dimediasi.

2. Bagi penulis, film ini sudah memenuhi kriteria yang baik untuk sebuah film. Ada unsur hiburan, edukasi, dan juga informasi. Film ini bisa dijadikan contoh bagi mereka yang ingin membuat film idealis tanpa harus mengesampingkan fungsi film sebagai hiburan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA,KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat setelah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya(KBBI,2008). Sedangkan pustaka adalah buku; kitab; kumpulan buku bacaan dan sebagainya.(KBBI,2008). Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui keaslian karya ilmiah. Oleh karena itu, ada beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi penulis dari beberapa skripsi-skripsi yang terdahulu di antaranya :

Ikhwanuddin Nasution, tahun 2010, Universitas Sumatera Utara, yang

melakukan penelitian dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra “Logat”, Volume IV, No.2 dengan judul “ Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra : Suatu Proses Komunikasi” yang dipaparkan dalam penelitian ini bahwa kode semiotika dalam sastra yang dapat di pahami dengan menggunakan model semiotik yang sama yaitu model semiotik Roland Barthes. Akan tetapi penelitian ini lebih terfokus pada proses komunikasi antar pengarang, teks, dan pembaca.

Hani Taqiyya, tahun 2011, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, pada skripsinya yang berjudul “Analisis Semiotik terhadap Film In The Name Of

God“ yang melakukan penelitian terhadap film menggunakan pisau analisis

semiotik yaitu analisis semiotik Roland Barthes. Akan tetapi, penelitian ini lebih mengarah kepada konsep yang sangat terkhusus yaitu konsep jihad dalam islam.

Penelitian ini sama-sama menggunakan potongan gambar dalam film untuk mengetahui kode semiotik yang ada di dalam film.

Yoyon Mudjiono, tahun 2011, Universitas Islam Negeri Surabaya, dalam jurnal Ilmu Komunikasi Vol.1 No.1 yang berjudul “Kajian Semiotik dalam Film” yang menggunakan semiotik yang sama. Akan tetapi, jurnal ini lebih memaparkan defenisi dari film dan bagian-bagian film. Jurnal ini memaparkan bahwa film sebaiknya dinilai dari segi artistic bukan secara rasional saja, sebab jika hanya dinilai secara rasional, sebuah film artistik boleh jadi tidak berharga karena tidak mempunyai maksud dan makna tertentu.

Taufan Saputra, tahun 2014, Universitas Mulawarman, dalam eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 273-286 yang berjudul “Representasi Analisis Semiotik Pesan moral dalam Film 2012 Karya Roland Emmrich” yang menggunakan semiotik yang sama. Akan tetapi, penelitian ini bertujuan untuk merepresentasikan analisis Semiotik pesan moral dalam film 2012 karya Roland Emmrich. Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian model Roland Barthes yang di mana pada scene-scene dalam film 2012 yang terdapat makna pesan moral positif diambil dengan mendenotasikan makna dari pesan serta makna konotasi dari makna sesungguhnya.

Dianita Dyah Makrufi, tahun 2013, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dalam skripsinya yang berjudul “Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah” yang memaparkan penggunaan teori semiotik yang sama yaitu semiotik Roland Barthes. Pada skripsi ini juga mengambil pesan moral dari sebuah film yang menceritakan sosok seorang tokoh khususnya tokoh Islami.

Johanes Ginting, tahun 2011, Universitas Sumatera Utara, dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Semiotika Eksploitasi Anak dalam Sinetron Buku Harian Baim” menjelaskan bahwa analisis semiotik yang mencari sebuah tanda dalam suatu karya maupun budaya dapat dipahami dengan benar. Akan tetapi, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran seorang anak yang seharusnya bermain

selayaknya anak di bawah umur pada umumnya dengan anak yang sudah bekerja sebagai seorang profesional melalui sinetron tersebut yang saling berhubungan.

2.2 Konsep

Dalam konsep akan dipaparkan variabel-variabel yang terdapat dalam judul penelitian.

2.2.1 Tinjauan Umum Film

Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang

asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara

memberikan pertunjukkan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris (Danesi, 2010: 132).

Film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan, kemudian tulisan, dan kini muncul satu medium lagi dengan gambar bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Dari sini lah kita dapat mengatakan bahwa film sebagai representasi dunia nyata. Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, serta merekonstruksi hal yang dimulai saat menulis skenario hingga film selesai dibuat. Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata yang merupakan hasil karya seni, dimana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi.

Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia ditampilkan.

Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat

2.2.1.1 Jenis-Jenis Film

Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi, penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Film Fitur

Film fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap pra-produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

2. Film Dokumenter

Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada kamera atau pewawancara.

3. Film Animasi

Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya.

2.2.1.2 Unsur-Unsur Pembentuk Film

Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik, yaitu:

1) Unsur Naratif

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemen- elemennya.

2) Unsur Sinematik

Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Terdiri dari : (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok: setting atau latar, tata cahaya, kostum, dan make-up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu

transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran1

1 Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h.1-2.

.

2.2.1.3 Struktur Film

Adapun struktur yang terdapat dalam film adalah sebagai berikut :

1) Shot

Shot adalah satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang

hanya direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.

2) Scene

Scene adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang

memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu scene umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan.

3) Sequence

Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa

yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa scene yang saling berhubungan.

4. Sinematografi

Sinematografi adalah perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Untuk kebutuhan penulisan ini, framing yang merupakan hubungan kamera dengan obyek yang akan dijadikan fokus dalam penulisan ini.

5. Jarak

Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap obyek dalam frame. Secara umum, dimensi jarak kamera terhadap obyek ini dikelompokkan menjadi tujuh, seperti ilustrasi berikut :

Gambar 1

Ilustrasi Jarak Kamera

1) Extreme Long Shot

Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari

obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.

2) Long Shot

Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot seringkali digunakan sebagai establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.

Secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika: mengikuti area yang lebar atau ketika scene berjalan cepat, menunjukkan dimana scene berada atau menunjukkan tempat, juga menunjukkan progress.

3) Medium Long Shot

Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.

Tubuh fisik manusia dan lingkungan relatif seimbang. Sehingga semua terlihat netral.

4) Medium Shot

Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.

Gesture serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan

dalam frame.

5) Medium Close-up

Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan.

Seperti digunakan dalam scene percakapan normal.

6) Close-up

Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, dan kaki, atau obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang mendetail. Efek close up biasanya akan terkesan gambar lebih cepat, mendominasi menekan. Ada makna estetis, ada juga makna psikologis.

7) Extreme Close-up

Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah objek.

8) Sudut Kamera (Angle)

Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada dalam frame. Secara umum, sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

Gambar 2

1) Low angle

Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, dan terlihat menekan.

2) High angle

Kebalikan dari low angle, high angle akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan.

3) Eye level

Sudut pengambilan gambar, subjek sejajar dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan normal, sehingga subjek kelihatan netral, tidak ada intervensi khusus pada subjek.

2.2.2 Tinjauan Umum Moral

Moral berasal dari kata Latin Mos jamaknya mores yang berarti cara hidup atau kebiasaan2

Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan arti susila. Adapun pengertian moral yang paling umum adalah tindakan manusia yang sesuai . Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan/atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.

dengan ide-ide yang diterima umum, yaitu berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.

Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik disebut sebagai orang yang tidak bermoral atau kurang bermoral (Purwa, 1992: 13-22). Moral dapat disamakan dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi3

Mitos adalah suatu cerita tradisional mengenai peristiwa gaib dan kehidupan dewa-dewa. Istilah mitos (mythos) berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah “perkataan” atau “cerita”. Orang pertama yang memperkenalkan istilah mitos adalah

.

Surajiyo (2005: 89) mengatakan bahwa ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, atau peraturan, apakah lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

Dari pengertian moral di atas, dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.

2.2.3 Tinjauan Umum Mitos

cerita. Dalam KBBI, dijelaskan bahwa mitos adalah cerita suatu bangsa tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri.

Fiske (dalam Wibowo, 2011: 17) menyatakan bahwa mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas dan gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi terwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan- kesatuan budaya.

2.3 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan teori yang menjadi landasan teori. Dalam penelitian ini diterapkan pisau analisis semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes.

2.3.1 Pengertian Umum Semiotik

Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (Danesi,2010: 7), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala

menurut Hippocrates merupakan semeion bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.

Semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk

mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.

Saussure (dalam Sobur 2004: 12) mendefinisikan semiologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat, dan, dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik atau semiologi adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tanda pada dasarnya akan mengisyaratkan suatu makna yang dapat dipahami oleh manusia yang menggunakannya. Bagaimana manusia menangkap sebuah makna tergantung pada bagaimana manusia mengasosiasikan objek atau ide dengan tanda. Hal ini selaras dengan pendapat Charles Sander Pierce (dalam Sobur, 2003:15) bahwa semiotik sebagai “a relationship a many sign, an object, and a meaning…” suatu hubungan diantara tanda, objek, dan makna.

2.3.2 Tanda-Tanda Dalam Semiotik

Para ahli menempatkan sistem tanda dan makna sebagai gagasan pokok dalam semiotik.

Semiotik, menurut John Fiske mempunyai tiga bidang studi utama :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup berbagai kode dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi selama komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaa kode-kode dan tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra kita. Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya sehingga dapat dikatakan sebagai tanda.

Pierce (dalam Fiske 1990: 62) melihat tanda, acuan, dan penggunaannya sebagai tiga titik dalam segitiga. Sedangkan Saussure mengatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang terkait. Konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal. Pierce juga menyebut tanda sebagai

Makna yang diperoleh dari sebuah tanda diistilahkan sebagai interpretan. Hal yang dirujuk oleh tanda, secara logis dikenal sebagai referen (objek atau petanda). Ada dua jenis referen: (1) referen konkrit, adalah referen yang dapat ditunjukkan hadir di dunia nyata, misalnya cat (kucing) dapat diindikasikan dengan menunjuk seekor kucing, dan (2) referen abstrak, yaitu referen yang bersifat imajiner dan tidak dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk pada suatu benda, salah satu caranya adalah dengan membongkar akar-akar budaya dari setiap komponen tandanya.

Pierce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menujukkan hubugan yang berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya, yaitu :

1) Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.

2) Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia merupakan tanda yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan objeknya. Misalnya, asap adalah indeks api dan bersin adalah indeks flu.

3) Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya adalah simbol. Palang merah adalah simbol dan angka adalah simbol. Ikonitas melimpah ruah dalam semua wilayah representasi manusia. Foto, potret, peta, angka Romawi seperti I, II, dan III adalah wujud ikonis yang

dirancang atau diciptakan agar mirip dengan sumber acuannya secara visual. Ikon juga memiliki fungsi sosial dalam cakupan yang sangat luas. Misalnya ditemukan pada poster, pintu kamar mandi sebagai indikasi “pria” dan “wanita, dan

sebagainya. Ikon membuktikan bahwa persepsi manusia sangatlah tinggi terhadap pola-pola berulang dalam warna, bentuk, dimensi, gerakan, bunyi, rasa, dan seterusnya. Sementara indeks membuktikan bahwa manusia juga memperhatikan pola berulang dalam hubungan serta sebab-akibat yang tidak pasti dalam waktu dan ruang.

Ada tiga jenis dasar indeks, yaitu:

1. Indeks ruang, yang mengacu pada lokasi spasial sebuah benda, makhluk, dan peristiwa dalam hubungannya dengan pengguna tanda. Tanda yang dibuat dengan tangan seperti jari yang menunjuk, figure seperti anak panah.

2. Indeks Temporal, indeks ini menghubungkan benda-benda dari segi waktu, kata keterangan seperti sebelum, sesudah, sekarang, tanggal di kalender. 3. Indeks Persona. Indeks ini saling menghubungkan pihak-pihak yang ambil

bagian dalam sebuah situasi, kata ganti seperti aku, kau, atau ia. Sementara simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional yang dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi historis.

2.3.3 Representasi dalam Semiotik

Dalam kajian semiotik modern, istilah representasi menjadi suatu hal yang penting. Karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik

tertentu. Dengan kata lain, representasi juga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah referen mendapatkan bentuk tertentu dengan tanda-tanda.

Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari.

2.3.4 Model-Model dalam Semiotik

Analisis dalam semiotik bertujuan untuk menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Model-model dalam semiotik mengacu pada proses komunikasi.

Fiske (dalam Suprapto,2011: 94) menyebutnya sebagai “model- model struktural”, di mana setiap anak panah menunjukkan relasi di antara unsur-unsur penciptaan makna. Model sruktural ini tidak mengasumsikan adanya serangkaian tahap atau langkah yang dilalui pesan, melainkan lebih memusatkan perhatian pada analisis serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan sebuah pesan menandai sesuatu.

Dari terminologi di atas, penulis dapat mengasosiasikan bahwa untuk menemukan makna tersebut, dibutuhkan sebuah model. Ada dua model makna

Dokumen terkait