• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.3 Teknik Analisis Data

Adapun teknik yang dipakai peneliti adalah analisis kualitatif. Data analisis berupa kata-kata, penyataan-pernyataan ide, penjelasan-penjelasan ide atau kejadian dan bukan dalam kerangka angka lalu dikumpulkan yang kemudian disusun dalam teks yang diperluas dan dianalisis. Langkah – langkah yang dilakukan penulis adalah:

1. Melakukan observasi ke Situs Kota Cina di Medan Marelan, tempat disimpannya berbagai tinggalan artefak.

2. Melakukan wawancara kepada sejarawan, peneliti Situs Kota Cina dan beberapa masyarakat terkait keberadaan lokasi Situs Kota Cina.

3. Melakukan wawancara dengan arkeolog di Balai Arkeologi Medan terkait bentuk dan makna tinggalan artefak yang ada di Situs Kota Cina.

4. Mengumpulkan data dari buku – buku, disertasi, thesis, jurnal, internet, surat kabar dan sejenisnya.

5. Membahas dan menyusun serta mengolah data tersebut secara sistematis menjadi kesimpulan sehingga pembaca dapat mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh penulis.

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik Kecamatan Medan Marelan

Dahulunya Kecamatan Medan Marelan adalah daerah perkebunan tembakau yang dengan mayoritas penduduk asli melayu, kemudian setelah dibukanya Perkebunan Tembakau Deli, sampai sekarang penduduk di Kecamatan Medan Marelan mayoritas adalah suku Jawa.

Kecamatan Medan Marelan terletak di bagian utara Kota Medan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan Keputusan Gubernur KDH TK I Sumatera Utara Nomor: 138/402/K/SK/1991 tanggal 21 Maret 1991, Kecamatan Medan Marelan dijadikan salah satu kecamatan perwakilan di Kota Medan yaitu pemekaran dari Kecamatan Medan Labuhan, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 35 tahun 1992 tanggal 2 September 1992 didefenitifkan menjadi Kecamatan Medan Marelan.

Pada awalnya Kecamatan Medan Marelan terdiri dari 4 kelurahan, berdasarkan Keputusan Gubernur KDH TK I Sumatera Utara Nomor:

146.1/1101/K/1994 tanggal 13 Juni 1994 tentang pembentukan 7 Kelurahan Persiapan di Kota Medan, salah satunya adalah Kelurahan Paya Pasir dan setelah didefenitif, jumlah Kelurahan di Kecamatan Medan Marelan menjadi 5 (lima), masing-masing adalah Kelurahan Tanah Enam Ratus, Rengas Pulau, Terjun, Labuhan Deli dan Paya Pasir. (Sumber: Pemko Medan)

4.2 Letak Geografis Kecamatan Medan Marelan 4.2.1 Batas dan Luas Wilayah

Kecamatan Medan Marelan secara geografis terletak pada titik koordinat 3°43'32.4"N 98°39'29.3"E dengan luas wilayah 44,47 km² dan kepadatan penduduknya adalah 3157,50 jiwa/km². Sebagaian besar penduduk di kecamatan ini adalah suku-suku pendatang sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 30% saja.

Kecamatan ini adalah salah satu dari 21 kecamatan di Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia dengan batas sebagai berikut:

(a) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang (b) Sebelah Timur berbatasan dengan Medan Labuhan

(c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Medan Helvetia (d) Sebelah Utara berbatasan dengan Medan Belawan

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, secara administratif terdapat lima desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Marelan dan salah satunya adalah kelurahan Paya Pasir, yang di dalamnya terdapat Situs Kota Cina. Kecamatan Medan Marelan memiliki luas wilayah sekitar 4.447 Ha atau 44,47 km2 dengan jarak tempuh ke kantor Walikota Medan sejauh kurang lebih 22 km. Masing-masing luas wilayah per kelurahan yaitu kelurahan terjun memiliki wilayah terluas yakni sebesar 16, 05 km2 atau 1.650 Ha. Kelurahan Tanah Enam Ratus memiliki luas terkecil yaitu 3,42 km2 atau 342 Ha.

4.2.2 Orbitrasi Pemerintahan

Tabel 4.1 Data Jarak Kantor Lurah ke Kantor Camat No Kelurahan Jarak ke Kantor

Camat (km) Alamat

1 Tanah Enam Ratus 3,5 Jl Marelan Raya

2 Rengas Pulau 2 Jl Kpt Rahmad Budin

3 Terjun 0,5 Jl Kpt Rahmad Budin

4 Paya Pasir 2,5 Jl Pasar Nippon

5 Labuhan Deli 4 Jl Young Panah Hijau

Sumber: Ekspose Camat Medan Marelan 2015

Ditinjau dari tabel di atas jarak paling jauh menuju kantor kecamatan adalah jarak dari kelurahan Labuhan Deli yang berada di Jl. Young Panah Hijau

Gambar 1. Peta Kecamatan Medan Marelan Sumber: wikipedia

yaitu memiliki jarak sekitar 4 km sedangkan jarak terdekat menuju ibukota Kecamatan Medan Marelan adalah Kelurahan Terjun yakni hanya sekitar 0,5 km.

4.3 Demografi

4.3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Medan Marelan Tabel 4.2 Data Jumlah Penduduk s.d September 2015

No Kelurahan Sumber: Ekspose Camat Medan Marelan 2015

Dari tabel tersebut berdasarkan data mutasi tahun 2014 jumlah penduduk Kecamatan Medan Marelan pada 2015 sebanyak 33.816 kepala keluarga dan 148.693 jiwa.

4.3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tenaga Kerja

Tabel 4.3 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Tenaga Kerja

4 Polisi Republik Indonesia 199

5 Guru 925

6 Tani 3.814

7 Nelayan 3.452

8 BUMN 899

9 Wiraswasta 19.412

10 Pedagang 12.349

11 Dll 8.028

Jumlah 51.218

Sumber: Ekspose Camat Medan Marelan 2015

Berdasarkan jenis pekerjaan, mata pencaharian penduduk Kecamatan Medan Marelan terbagi atas sebelas jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan mayoritas masyarakat Medan Marelan adalah pada sektor swasta dengan jumlah dominan 19.412 jiwa dan tenaga kerja paling sedikit adalah tenaga kerja pada sektor Polri yakni hanya sekitar 199 jiwa.

4.3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

Berdasarkan agama yang ada, penduduk Kecamatan Medan Marelan terbagi atas lima agama. Mayoritas penduduk beragama islam dengan data sebanyak 133.355 jiwa atau sekitar 88% dan agama dengan pengikut paling rendah adalah agama hindu yakni hanya sekitar 210 jiwa. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Kelurahan Islam Katolik Protestan Hindu Budha

1 Tanah 600 14.867 19 457 - 296

2 Rengas Pulau 48.886 369 3.553 76 5.522

3 Terjun 28.953 206 2.729 32 434

4 Labuhan Deli 27.892 58 528 97 284

5 Paya Pasir 12.757 9 266 5 355

Jumlah 133.355 661 7.533 210 6.891

Sumber: Ekspose Camat Medan Marelan 2015

4.4 Sarana dan Prasarana Kecamatan Medan Marelan

Kecamatan Medan Marelan merupakan kecamatan yang terletak di daerah pinggiran Kota Medan. Hal tersebut mengakibatkan jumlah sarana dan prasarana di Kecamatan Medan Marelan cukup memadai. Baik sarana pendidikan, kesehatan maupun sarana ibadah semuanya cukup tersedia.

Namun khusus untuk sarana pendidikan tingkat atas atau SMA jumlahnya masih sangat kurang. Hanya ada satu SMA di Kecamatan Medan Marelan.

Sementara untuk Perguruan Tinggi hanya terdapat satu kampus yang merupakan perwakilan dari universitas di Pusat Kota Medan.

Sarana dan prasarana kesehatan juga terbilang cukup memadai dan

4.5 Situs Kota Cina

Leluhur orang Tionghoa Indonesia (biasa juga disebut Cina) berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan.

Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa masuknya bangsa Cina ke Indonesia sudah dilakukan sejak lama dengan berbagai macam tujuan, diantaranya berlayar, berdagang maupun melakukan kegiatan belajar. Orang-orang Tionghoa sudah merantau ke Indonesia sejak masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah yang pertama kali di datangi adalah Palembang yang pada saat itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya, selanjutnya ke Pulau Jawa yang dikenal sebagai pusat komoditi rempah-rempah dan selanjutnya meneruskan kegiatan perdagangannya ke Pantai Timur Sumatera.

Sebagaimana diketahui navigasi atau pelayaran pada saat itu mengandalkan layar (perahu layar) atau lanchara yang masih terpengaruh oleh angin sehingga pengetahuan terhadap iklim khususnya arah angin sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, pelayaran antar samudera membutuhkan pengetahuan yang baik terhadap iklim dan hal inilah yang mendorong terjadinya interaksi antar kawasan. Interaksi yang terjadi sewaktu pedagang asing dan pedagang setempat, biasanya terjadi di daerah yang relatif aman, perairan yang tidak berombak ataupun di pertemuan antara sungai (pelayaran dari pedalaman) maupun laut (pelayaran pedagang asing). Di tempat-tempat seperti inilah terjadi pertukaran atau perdagangan dalam waktu yang relatif lama sebab mereka harus menunggu arah angin yang cocok untuk berlayar kembali. Itu sebabnya interaksi

perdagangan membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga kontak antara pedagang asing dan setempat terjadi bisa sangat lama bahkan hingga membentuk pemukiman baru. Bangsa Cina yang bermukim di sekitar pesisir pantai (pelabuhan) hanya melakukan kegiatan perdagangan secara barteran dengan masyarakat setempat maupun pedagang asing lainnya. Komoditi yang dibawa oleh pedagang setempat seperti beras, gula, tebu, emas, rempah-rempah dan lain-lain ditukarkan dengan keramik, sutra, besi, perak, minyak wangi maupun candu yang berasal dari pedagang asing (BPPD, 2012: 3).

Demikian yang terjadi di Pantai Timur dan Barat Sumatera Utara dengan ditemukannya banyak tinggalan artefak seperti keramik, tembikar, mata uang, manik-manik bahkan candi dan arca. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa daerah ini pada awalnya sangat ramai dikunjungi oleh pedagang asing yang membentuk interaksi dan pemukiman dalam jangaka waktu yang relatif lama sehingga memunculkan kawasan-kawasan niaga, kawasan pemukiman maupun kawasan pemujaan religius.

Daniel Perret mengemukakan pentingnya Sumatera bagian utara ditandai dengan adanya segitiga arkeologi yang terdiri dari Barus, Padang Lawas dan Kota Cina. Kawasan Kota Cina yang berada di pantai timur Sumatera Utara dipercaya merupakan kawasan dagang setelah kehancuran Barus. Daerah ini jadi dikenal sebab secara tidak sengaja banyak ditemukan artefak seperti koin, keramik dan

ke-12 hingga abad ke-14 Masehi (McKinnon, 1984). Situs yang secara geografis berada pada posisi 3°43' N dan 98°39' E dan sekitar 1,5 meter dari permukaan laut (dpl) ini menjadi sebuah situs arkeologi yang penting dan diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya kota Medan sekarang. Luas kawasan ini berdasarkan hasil penelitian Balai Arkeologi Medan adalah sekitar 25 hektar, yang tidak mengikutsertakan Danau Siombak hingga sepanjang sungai Terjun. Bila seluruh kawasan ini digabungkan sebagai satu kesatuan situs Kota Cina, maka luasnya mencapai 100 hektar.

Situs Kota Cina dianggap sebagai salah satu situs berkelas dunia ditinjau dari berbagai temuan artefak yang berasal dari sejumlah peradaban kuno khususnya Cina dan India yang juga merefleksikan kompleksitas aktivitas manusia yang dahulu menghuninya. Posisi sebagian wilayah Sumatera Utara khususnya kawasan pantai timurnya yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka, merupakan bentang alam strategis yang berperan penting sejak lama.

Kawasan Selat Malaka adalah jalur maritim sutra melalui laut yang menghubungkan Guangzhou (Asia), Arab (Timur Tengah) dan Mesir (Afrika) sehingga bandar-bandar yang terletak di kedua sisi selat ini memainkan peran strategis sebagai bandar-bandar niaga internasional pada zamannya. Salah satu bandar Internasional di kawasan Selat Malaka yang tampaknya memiliki arti penting dalam pelayaran dan perdagangan Internasional di masa lalu adalah Kota Cina.

Hendri Dalimunthe, Sejarawan yang juga salah satu peneliti Situs Kota Cina menjelaskan Kota Cina kini lebih tepat diasumsikan sebagai „kota lama‟

sebab dari berbagai temuan hasil ekskavasi membuktikan di sana tidak hanya ada

temuan tinggalan dari bangsa Cina melainkan juga India, Timur Tengah dan bangsa lainnya. Realitas historis Kota Cina memang sebagai pintu masuk bangsa luar untuk mengambil komoditi-komoditi dari Pantai Timur Sumatera namun yang kini belum terpecahkan dan masih simpang siur adalah jawaban dari pertanyaan mengapa setelah abad ke-14 M mereka tidak lagi berdiam dan menetap di wilayah tersebut. Sebagaimana diketahui dari berbagai hasil penelitian, aktivitas di kota tersebut hanya berlangsung dari abad ke-11 hingga ke-14 M.

Asumsi pertama ditenggarai sebab komoditi atau kebutuhan yang mereka perlukan sudah tidak lagi tersedia, atau saat itu tengah terjadi krisis bahan utama untuk dibawa pulang ke negeri asal. Asumsi lainnya mereka yang berada di wilayah Kota Cina mengalami gangguan utama dari pihak kerajaan tradisional yang ada di sekitar wilayah saat itu. Jawaban lainnya adalah berdasar pada mitos masyarakat yang percaya Kota Cina mengalami wabah kerang-kerangan. Terkait mitos ini, McKinnon dalam disertasinya mengatakan dirinya pernah mewawancarai seorang tetua bernama Japri, paman penghulu Usman Ali, warga setempat yang mengatakan bahwa wilayah tersebut sudah diduduki cukup lama sebelumnya. Pada awalnya kampung tersebut adalah pemukiman orang India di pinggir laut. Zaman tersebut adalah zaman perdagangan ketika semua orang sibuk dengan berbagai hal. Kemudian orang Cina tiba di pelabuhan dan dengan cepat perkelahian meletus antara orang India dan para pendatang baru. Orang India

orang India dalam waktu yang lama karena pembalasan dalam bentuk wabah kerang-kerangan yang datang dari laut, dipercaya sebagai kiriman dari Yang Maha Kuasa. Tidak lama kemudian pemukiman tersebut harus ditutup. Kerang-kerangan ini menyerang orang Cina, masuk ke segala lubang, mata dan telinga mereka hingga memenuhi panci masak dan mangkuk nasi. Akhirnya mereka tidak tahan lagi dan kemudian lari dari wilayah tersebut. Hingga kemudian, penduduk yang mendiami wilayah Kota Cina adalah pendatang baru yang tiba setelah tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu (McKinnon, 1984: 8). Cerita ini turut dibenarkan Irfan Efendy, pemandu di Situs Kota Cina. Beberapa hipotesis yang dijelaskannya terkait hilangnya Kota Cina di masa lampau adalah karena tsunami, ini dibuktikan dengan adanya lapisan kerang setebal 10-15 cm di wilayah situs.

Hipotesis lainnya adalah Kota Cina lenyap sebab diserang saat perang, dibuktikan dengan banyaknya temuan arca dan bangunan yang hancur.

Linda, sebagai warga keturunan Tionghoa mengatakan dirinya tak tau persis tentang keberadaan Situs Kota Cina. Ia katakan dirinya hanya sebatas pernah dengar namun tak pernah berkunjung kesana. Pun demikian dengan Afriandi, warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Medan. Meski belum pernah berkunjung, sebagai warga keturunan Tionghoa asli mereka sepakat situs ini dapat menjadi salah satu media belajar sejarah dan budaya untuk mengetahui berbagai tinggalan leluhur serta bukti otentik atas cerita-cerita kedatangan leluhur Tionghoa yang masuk ke Sumatera Utara melalui jalur perdagangan. Irfan Efendy selaku pemandu mengatakan situs ini memang hari-harinya sepi dari pengunjung.

Menurutnya ini disebabkan oleh lokasi yang terbilang jauh dengan akses transportasi umum yang terbatas. Ia katakan ramainya terbilang musiman,

misalnya ketika masa ujian anak sekolah. Saat-saat tersebut banyak rombongan anak sekolah yang melaksanakan tur sejarah.

Situs Kota Cina berada di Jalan Kota Cina No.65, Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Medan, Sumatera Utara. Akses menuju kawasan Kota Cina dapat dicapai dari Kota Medan setelah menyusuri tepi Sungai Deli sejauh 14 Km ke arah utara atau Belawan melalui jalan Yos Sudarso ataupun melalui jalan Tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung Morawa), dan kemudian menyeberangi Sungai Deli sejauh 2 Km ke arah barat. Situs Kota Cina yang saat ini berada di Kawasan Kota Cina pertama kali didirikan awal 2008 atas inisiatif Antropolog Phill Ichwan Azhari, Ketua Pusat Studi Ilmu Sejarah (PUSSIS) Universitas Negeri Medan sebagai penanda nilai penting Kota Cina bagi ilmu pengetahuan sekaligus sebagai pusat sosialisasi dan informasi kepada masyarakat mengenai wilayah tersebut.

Pembangunan fisik situs ini dilakukan secara bertahap pada tahun 2008 hingga 2010. Diawali dengan pembuatan bangunan semi-permanen, kemudian bangunan permanen yang berdiri hingga sekarang. Adapun sebelum dibuat pondasi bangunan situs, terlebih dahulu dilakukan penelitian arkeologis menggunakan metode ekskavasi di lokasi tersebut. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan data arkeologis di tempat tersebut serta memamerkannya di situs yang dibangun.

pengabdian pada masyarakat. Bangunan situs berada di sebelah utara Parit Beletjang. Terdapat beberapa bagian berupa bangunan baru yang bersifat permanen, setelah mengalami perluasan dari tahun sebelumnya. Bangunan utama yang berupa bangunan permanen tempat menyimpan dan men-display temuan-temuan dari Kota Cina, berukuran lebar 4 m, panjang 20 m, dan tinggi 4,5 m.

Pada dinding halaman depan berisi informasi tentang sejarah aktivitas penelitian di Kota Cina. Pada bagian barat bangunan utama terdapat kolam ikan dan taman burung belibis yang dilingkupi kawat ram. Taman ini difungsikan sebagai taman pembiakan belibis. Pada halaman belakang ini juga dijumpai tumbuhan yang dibudidayakan diantaranya pohon bakau atau mangrove dan pohon pinus. Di sebelah taman pembiakan burung belibis, terdapat miniatur tungku pembuatan gerabah dan keramik. Situs dapat difungsikan sebagai media pengembangan potensi non arkeologi melalui produksi yang memiliki daya tarik bagi wisatawan.

Sejumlah tinggalan artefak yang ada di Situs Kota Cina yang telah dianalisis melalui survey, ekskavasi hingga analisis bentuk dan makna kebudayaannya menjadi bukti eksistensi sebuah kebudayaan yang cukup tua di kawasan pesisir timur Sumatera Utara. Berdasarkan keramik-keramik Cina yang ditemukan dari masa Dinasti Song hingga Dinasti Yuan intensitas pemanfaatan yang cukup tinggi kawasan Kota Cina di masa lalu terjadi antara abad ke-11 M hingga abad ke-14 M. Pada kurun sekitar empat abad itu, Kota Cina tumbuh dan berkembang sebagai suatu bandar dan kawasan pemukiman yang kosmopolitan.

Tinggalan artefak berupa keramik merupakan petunjuk adanya aktivitas perdagangan dengan para pendatang dari luar Kepulauan Nusantara, mereka

mencapai tempat perdagagan memanfaatkan moda transportasi kapal atau perahu kayu yang sisa-sisanya pernah ditemukan di areal yang kini menjadi Danau Siombak. Transaksi yang terjadi telah menggunakan uang sebagai alat jual-belinya, dibuktikan dengan keberadaan koin-koin Cina kuno.

BAB V

BENTUK DAN MAKNA TINGGALAN ARTEFAK DI SITUS KOTA CINA MEDAN MARELAN

5.1 Analisis Bentuk Pada Tinggalan Artefak

Bentuk merupakan seluruh informasi geometris yang tidak berubah ketika lokasi, skala dan rotasinya diubah. Plato mendefiniskan bentuk sebagai bahasa dunia yang tidak dirintangi oleh perbedaan-perbedaan seperti terdapat dalam bahasa kata-kata. Tinggalan artefak yang bermuatan budaya Tionghoa di Situs Kota Cina Medan Marelan dapat dianalisis dengan menggunakan teori bentuk Arsitektur.

Bentuk dapat dikenali karena ia memiliki ciri-ciri visual, yaitu (Ching, 2007: 35):

- Wujud adalah ciri-ciri pokok yang menunjukkan bentuk dan merupakan hasil konfigurasi tertentu dari permukaan-permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk.

- Dimensi suatu bentuk adalah panjang, lebar dan tinggi. Dimensi-dimensi ini menentukan proporsinya. Adapun skalanya ditentukan oleh perbandingan ukuran relatifnya terhadap bentuk-bentuk lain disekelilingnya.

- Warna adalah corak, intensitas dan nada pada permukaan suatu bentuk. Warna adalah atribut yang paling mencolok yang membedakan suatu bentuk terhadap lingkungannya. Warna juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.

- Tekstur adalah karakter permukaan suatu bentuk. Tekstur mempengaruhi perasaan pada waktu menyentuh, juga pada saat kualitas pemantulan cahaya menimpa permukaan bentuk tersebut.

- Posisi adalah letak relatif suatu bentuk terhadap suatu lingkungan atau medan visual.

- Orientasi adalah posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah mata angin atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya.

- Inersia Visual adalah derajat konsentrasi dan stabilitas suatu bentuk;

inersia suatu bentuk tergantung pada geometri dan orientasi relatifnya terhadap bidang dasar dan garis pandangan kita.

5.1.1 Arca Dhiyani Budha Amitaba

Gambar 2. Arca Dhiyani Budha Amitaba Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016

kaki kiri; sementara sikap tangan Dhyanamudra (posisi bersemedi). Pada bagian puncak kepala terdapat bentuk lidah api yang muncul dari usnisa (tonjolan di puncak kepala). Di lehernya terdapat lapisan jubah dengan gaya terbuka dan lapisannya menjuntai dari bahu kiri hingga ke perut bagian kaki, lapisan kainnya tebal sehingga menyerupai gelang yang dianggap memberikan rezeki dan tanda keindahan. Pada bagian kaki terdapat gambaran ujung kainnya yang digambarkan berlipat-lipat sehingga terkesan tebal (BPPD, 2012: 43).

Arca adalah patung yang terutama dibuat dari batu yang dipahat menyerupai bentuk orang atau binatang (Alwi, 2008: 64). Budha setelah meninggal dunia telah di arcakan dan arca ini biasanya berbentuk patung yang ditempatkan pada candi atau tempat suci agama Budha. Dalam perkembangan berikutnya, patung Budha telah berkembang menjadi berbagai variasi terutama apabila agama Budha terpecah menjadi Mahayana dan Hinayana. Dalam agama Budha Hinayana inilah dapat ditemukan patung-patung Budha yang berbagai ragam sama ada bentuk maupun hiasannya dengan tidak meninggalkan ciri-ciri khusus kebudhaannya.

Dalam agama Budha Mahayana dikenal adanya beberapa tingkat ke-Budhaan yaitu Dhyani-Buddha, Manusi-Buddha dan Dhyani-Bodhisatwa.

Dhyani-Buddha digambarkan sebagai Buddha yang selalu dalam keadaan tafakur dan berada di langit. Dalam pengarcaannya Dhyani-Buddha dan Manusi-Buddha sama, dibuat sangat sederhana tanpa suatu hiasan, hanya memakai jubah (kasaya), rambut keriting dan disanggul di atas kepalanya (usnisha), dan tepat di tengah dahinya terdapat urna yaitu tanda seperti tahi lalat (BPCB, 2014: 9).

Arca Dhiyani Budha Amitaba dengan posisi semedi menandakan perwujudan salah satu dari kelima Dhyani Budha dalam konsep Buddhisme Vajrayana. Peninjauan bentuk dalam dimensi arkeologis dapat diketahui bahwa proses kreativitas pembuatan arca yang dilakukan tidak sembarangan tetapi dengan prinsip pengarcaan yang pakem serta sebagaimana tata cara dalam cabang ilmu ikonografi dan ikonometri. Karya tersebut merupakan hasil kreativitas masa lalu yang masih dapat dikenali, dipahami, dan bahkan menjadi kebanggaan lintas generasi.

5.1.2 Koin Cina Kuno

Salah satu bukti penguat dan penting tentang keberadaan Kota Cina sebagai kota perdagangan adalah ditemukannya koin uang dalam jumlah yang cukup banyak. Penelitian yang dilakukan Edward McKinnon pada tahun 1970an menemukan kurang lebih 1064 koin yang kebanyakan berasal dari Dinasti Sui, Tang, Lima Dinasti, Song Utara dan Song Selatan.

Koin-koin Cina kuno yang ditemukan di Situs Kota Cina terdiri dari beragam ukuran besaran, satuan dan massa. Koin ini umumnya berbentuk bulat dan berlubang ditengahnya dengan empat aksara Han, berbahan dasar logam dilapisi platina dengan diameter 25 mm. Lubang segi empat ini bertujuan untuk menghilangkan cacat tepi yang ada dengan jalan memasukkan batangan berbentuk segi empat ke dalam lubang dan selanjutnya memutarnya. Bagian tepi selanjutnya

Koin-koin Cina kuno yang ditemukan di Situs Kota Cina terdiri dari beragam ukuran besaran, satuan dan massa. Koin ini umumnya berbentuk bulat dan berlubang ditengahnya dengan empat aksara Han, berbahan dasar logam dilapisi platina dengan diameter 25 mm. Lubang segi empat ini bertujuan untuk menghilangkan cacat tepi yang ada dengan jalan memasukkan batangan berbentuk segi empat ke dalam lubang dan selanjutnya memutarnya. Bagian tepi selanjutnya

Dokumen terkait