• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUMAH TRADISIONAL JEPANG (MINKA)

2.3 Bagian-bagian ruang rumah tradisional jepang

2.3.1 Washitsu (和室)

Washitsu adalah ruang beralaskan tatami dalam bangunan tradisional Jepang. Ada beberapa aliran dalam menyusun tatami sebagai alas lantai. Dari jumlah tatami yang dipakai dapat diketahui ukuran luas ruangan. Dari sejumlah washitsu yang ada di dalam bangunan (rumah) terdapat satu washitsu utama.

Setiap ruangan bisa menjadi ruang tamu, ruang makan, belajar, atau kamar tidur.

Hal ini dimungkinkan karena semua perabotan diperlukan adalah portabel, yang disimpan dalam oshiire (bagian kecil dari rumah yang digunakan untuk penyimpanan).

Gambar 2.3 washitsu untuk menerima tamu

Fungsi washitsu berubah bergantung kepada alat rumah tangga yang dipakai. Washitsu berubah menjadi ruang belajar bila diletakkan meja. Washitsu menjadi ruang tidur bila diletakkan futon(matras tidur). Meja besar dikeluarkan bila washitsu ingin digunakan untuk jamuan makan. Ada dua macam benda yang dapa digunakan untuk memberikan sekat-sekat pada washitsu, yaitu fusuma dan shoji.

Fusuma adalah panel berbentuk persegi panjang yang dipasang vertikal pada rel dari kayu, dapat dibuka atau ditutup dengan cara didorong. Kegunaannya sebagai pintu dorong atau pembatas ruangan pada washitsu. Seperti halnya shoji, fusuma dipasang di antara rel kayu, rel bagian atas disebut kamoi dan rel bagian bawah disebut shikii. Rangka dibuat dari kayu dan kedua sisi permukaannya dilapis dengan washi, kain (serat alami atau serat sintetis), atau vinil. Bila kertas pelapis sudah rusak atau sekadar ingin berganti suasana, kertas lama bisa dilepas dan diganti dengan kertas baru. Kedua belah permukaan fusuma dipasangi hikite yang berfungsi seperti pegangan pintu sewaktu mendorong fusuma.

Gambar 2.4 Fusuma corak pohon

Gambar 2.5 fusuma corak hewan

Perbedaan antara fusuma dan shoji adalah fusuma tidak dapat ditembus cahaya sedangkan shoji dapat ditembus cahaya. Sandal rumah harus dilepas sebelum memasuki washitsu. Lantai washitsu berupa tatami. Tatami adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional. Tatami

dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatami dibuat dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan sekelilingnya dijahit dengan kain brokade atau kain hijau yang polos. Pada mulanya, Tatami adalah barang mewah yang dapat dimiliki orang kaya. Saat itu kebanyakan rumah orang miskin tidak memiliki lantai, melainkan tikar. Tatami kemudian menjadi populer diabad ke-17.

Gambar 2.6 Contoh tatami

Tatami (畳) secara harfiah adalah lipat dan tumpuk yaitu semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional. Tatami dibuat dari jerami yang sudah di tenun, namun banyak tatami yang terbuat dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam.

2.3.2 Genkan (玄関)

Salah satu ciri rumah masyarakat Jepang adalah genkan. Genkan adalah tempat dimana orang melepas sepatu mereka. Dari sudut prespektif arsitektur genkan adalah ruang kecil yang ketinggiannya sama dengan daratan diluar rumah.

Kedudukan genkan dalam tata ruang rumah masyarakat Jepang tampaknya merupakan bagian ruangan yang harus ada di dalam keseluruhan ruang lingkup struktur banguan Jepang, baik berupa rumah biasa, rumah susun, maupun apartemen bergaya modern. Genkan sudah menjadi bagian ruangan yang wajib ada dalam rumah tinggal mereka, sehingga setiap pintu masuk pada rumah Jepang memiliki ruang genkan. Dari keadaan ini dapat diketahui bahwa genkan memiliki kedudukan dan fungsi penting dalam tata ruang tempat tinggal mereka.

Pernyataan ini juga didukung oleh hal yang telah dikemukakan oleh Shigeru Iijima dkk dalam bukunya yang berjudul Japanese Lanscape : Where Land and Culture Merge (1998 : 84), bahwa:

“The traditional walled residences, particularly their entrances, reflect the psychological aspect of Japanese society. These entrances consist of three basic elements: A gated wall surrounding the property, an inner court through which one passes, and special entrance hall called a genkan.”

Terjemahan:

“ Bentuk dari rumah tradisional, terutama pintu masuknya mampu merefleksikan aspek psikologis dari masyarakat Jepang. Pintu masuk ini terdiri dari tiga elemen dasar, yakni: Dinding dari mengitari seluruh rumah, jalan setapak untuk masuk ke dalam rumah, dan ruang masuk khusus yang disebut genkan.”

Ketika mereka melepaskan sepatu mereka, orang-orang melangkah naik ke lantai yang lebih tinggi 40-50 cm (15-19 inci) dari genkan. Disamping genkan terdapat sebuah rak atau lemari disebut Getabako di mana orang dapat menyimpan sepatu mereka. Sandal untuk dipakai di rumah juga tersimpan di sana.

Istilah genkan ( 玄 関 ) dalam bahasa Jepang ditulis dengan menggabungkan dua buah karakter kanji, gen (玄) merupakan istilah lain dari langit dan kan ( 関 ) penghubung dan juga merupakan istilah lain dari pos pemeriksaan. Jadi, dapat diartikan sebagai serambi, jalan masuk, atau ruang gerbang. Walaupun sebagian masyarakat Jepang menganggap bahwa genkan bukan merupakan hal yang besar dan perlu dipermasalahkan lebih lanjut, namun sesungguhnya genkan sudah menjadi bagian dari ruangan yang wajib ada dalam rumah tinggal mereka.

Dilihat dari sudut pandang konsep secara tata ruang, genkan dan uchi-soto memiliki suatu hubungan erat yang tidak terlepaskan dari fungsi keduanya terhadap perkembangan psikologi masyarakat Jepang, baik dalam diri mereka sebagai seorang individu pribadi, dalam berkeluarga maupun bermasyarakat. Hal ini mampu menjelaskan mengapa di rumah Jepang harus dilengkapi dengan suatu bagian ruang yang bernama genkan.

Dilihat dari strukturnya yang berfungsi sebagai pembatas antara bagian dalam rumah dan luar rumah, genkan juga berfungsi sebagai Ie no Kao (家の顏) atau Ie no Omote (家の面) yaitu wajah dari rumah, tampilan rumah atau tampilan dari karakter pemilik rumah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Kasuda. Oleh karena itu, genkan menjadi suatu hal yang penting dalam rumah atau tempat tinggal orang Jepang.

Selain itu, dilihat dalam sudut pandang religi genkan juga memiliki fungsi sebagai pembagi antara hare ( 晴 ) dan kegare ( 穢 ). Hare dan kegare merupakan suatu cara pandang terhadap fungsi genkan secara religi dalam pengertian uchi-soto yang mengacu pada keadaan suci dan tidak suci.

Sama halnya seperti bagian dari arsitektur bangunan Jepang yang sarat akan nilai-nilai elemen artistik, genkan pun memiliki beberapa nilai-nilai artistik yang mendasarinya, baik dari sudut pandang genkan sebagai sebuah bagian dari bangunan, maupun peranan genkan terhadap pemilik rumah dan lingkungan sekitarnya. Beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam genkan dipengaruhi oleh kondisi fisik dari genkan, karena bentuk genkan pada setiap rumah tidak selalu sama, terutama pada kondisi genkan yang terdapat di rumah tradisional jika dibandingkan dengan genkan yang terdapat di rumah bergaya modern (genkan yang bergaya modern lebih mengutamakan segi fungsionalnya dibandingkan segi artistiknya ).

Berikut adalah elemen artistik dasar pada Genkan (terdapat pada genkan yang memiliki desan bersifat fungsional):

a. Ma (間) : Ma merupakan elemen artistik yang menjadikan faktor ruang sebagai dasar pengertiannya. Ma meliputi batasan antara luar dan dalam pada genkan, serta menjadi penyesuaian bentuk maupun luas genkan yang dibangun dalam rumah, seperti besar kecilnya genkan. Nilai dari ma juga mengacu pada peranan genkan sebagai pemberi batasan yang nyata antara uchi dan soto, baik secara fisik (pada rumah atau bangunan) maupun abstrak (pembatasan posisi suatu individu secara sosial dalam konsep teori uchi-soto).

b. Kanso ( 簡 素 ) : Kanso merupakan elemen artistik yang menggambarkan suatu kesederhanaan yang murni dalam suatu objek. Kanso pada genkan meliputi tiga bagian dari genkan yang mampu mendeskripsikan genkan secara utuh (Doa, Doma, Yoritsuki). Hanya dengan 3 bagian ini saja, genkan elemen artistik Jepang yang menggambarkan suatu misteri atau ketidak-jelasan pada objek yang dituju. Yuugen dan Myou, tidak dapat terlihat secara fisik, namun penerapannya ada secara nyata dan dirasakan oleh individu yang berhubungan dengan objek. Yuugen dan Myou pada genkan meliputi segi fungsi genkan secara abstrak sebagai bimyou no tobira (微妙の扉), aimai no tobira (曖昧の扉), dan ie no kao (家の顔)・ie no omote (家の 面).

d. Zen (禅) : Zen merupakan elemen artistik yang menggambarkan suatu keberadaan dari ketiadaan dalam sebuah objek. Zen cenderung mengacu pada fungsi genkan. Elemen zen yang direfleksikan pada genkan, diperlihatkan pada batasan genkan juga memiliki hubungan dengan elemen Ma dan Yuugen/Myou (co: walaupun sudah masuk kedalam rumah belum dapat dikatakan masuk ke dalam rumah pada arti yang sesungguhnya). Namun pengaruh zen terhadap fungsi genkan lebih ditekankan pada pembatasan ruang antara bagian yang suci dan tidak (fungsi genkan secara religius).

e. Kyubou ( 窮 乏 ) : Kyubou merupakan elemen artistik yang mengambarkan suatu pengambilan bentuk sikap dan tindakan dari suatu individu, yang didasari oleh prinsip yang ada dalam diri mereka saat mereka bersentuhan dengan objek (genkan). Hal ini dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari tanpa terkecuali (karena sudah menjadi suatu tradisi). Kyubou pada genkan meliputi etiket yang harus diterapkan di genkan yang memiliki suatu tradisi untuk melepaskan sepatu sebelum masuk ke dalam rumah tanpa membedakan siapapun orangnya (orang Jepang maupun orang asing).

Selain elemen artistik dasar pada genkan, terdapat pula elemen-elemen lain yang dapat kita temui, terutama pada genkan tradisional maupun modern.

Namun, tidak semua dari elemen ini ada pada setiap genkan. Berikut adalah contoh dari elemen sekuler yang ada pada genkan:

Shizen (自然): Shizen direfleksikan pada penggunaan benda-benda yang berasal dari alam, seperti layaknya kayu dan bebatuan. Hampir seluruh material pembuatan genkan menggunakan bahan dasar kayu, baik pada pembuatan struktur dasar genkan (yoritsuki), maupun bagian sekunder dari genkan, seperti: pintu genkan, shikidai, maupun wakiagari. Sedangkan bahan material berupa bebatuan dapat ditemukan pada bagian doma maupun shikidai.

Ki (木): Elemen ki pada genkan direfleksikan pada penggunaan bahan dasar pembuatan genkan yang terbuat dari kayu. Pada rumah tradisional, elemen ki menjadi elemen primer dari keseluruhan bahan dasar yang digunakan untuk membuat rumah.

Ishi (石): Sama seperti elemen ki, Ishi pada genkan, didasarkan pada bahan dasar pembuatan genkan yang berasal dari batu. Elemen ishi biasa ditemukan pada doma dan shikidai.

Bukyou (仏教): Elemen bukyou direfleksikan dari peranan penggunaan genkan yang pertama kali ada pada Kuil Budha beraliran Zen yang bernama Kenchouji. Genkan pada Kenchouji berperan sebagai pembatas dunia luar (kotor,manusia) dan dalam (suci, dewa/Budha).

Kuukan (空間): Elemen kuukan direfleksikan dari genkan yang dibangun di luar rumah atau pada halaman terbuka. Genkan yang memiliki elemen ini yang dapat ditemui pada bangunan tradisional Jepang. Biasanya, genkan yang memiliki elemen artistik kuukan, dapat ditemukan pada genkan yang merangkap sebagai kurumayose atau genkan yang masih berbentuk jalan setapak.

Yuuga ( 優 雅 ): Elemen yuuga direfleksikan dari faktor elegan yang dibangun pada genkan. Yuuga, biasa ditemukan pada Onari genkan di kediaman bushi kelas atas dan juga pada kediaman bangsawan.

Kazarimono (飾り物): Kazarimono dapat direfleksikan dari benda-benda yang diletakkan pada genkan, baik benda yang berupa hiasan semata maupun benda-benda yang memiliki fungsi umum (rak sepatu) maupun fungsi khusus (jimat) dalam genkan.

2.3.3 Washiki (和式)

Toilet tradisional jepang ( 和 式 washiki) adalah kloset jongkok juga dikenal sebagai kloset Asia. Kebanyakan kloset jongkok di Jepang terbuat dari porselen. Para pengguna toilet di Jepang kebalikan dari Indonesia dimana mereka menghadap ke dinding di belakang toilet pada gambar 2.6 washiki modern di Jepang. Kloset jongkok dibagi menjadi dua jenis: kloset yang berada di permukaan lantai, dan kloset yang berada di bagian lantai yang ditinggikan sekitar 30 cm.

Keuntungan dari kloset jongkok adalah mudah dibersihkan, lebih murah, dan menggunakan lebih sedikit air dalam sekali bilasan dibandingkan dengan kloset model Barat. Tidak adanya kontak dengan dudukan kloset membuat kloset jongkok lebih disukai sebagai orang karena dianggap lebih higienis. Walaupun demikian, dudukan kloset tidak mengundang risiko kesehatan yang serius, sementara pemakai kloset jongkok risiko terkena kotoran sendiri di bagian kaki. Lubang kloset jongkok di Jepang tidak diisi air sehingga memperkecil risiko terciprat air kotor.

Selain itu menurut penelitian, kloset jongkok memberi sejumlah keuntungan bagi kesehatan. Posisi jongkok menurut penelitan tersebut memperkuat otot-otot pelvis wanita, dan mengurangi kemungkinan inkontinensia. Selain itu, kloset jongkok memperkuat otot-otot pinggul, memperbaiki pernapasan dan konsentrasi. Posisi jongkok juga memungkinkan kotoran untuk lebih cepat dikeluarkan dan tidak tersisa yang merupakan faktor risiko utama kanker usus besar. Penelitian lain membuktikan berjongkok mencegah dan mengobati wasir.

Gambar 2.7 Washiki modern

2.3.4 Daidokoro(台所)

Ada dua jenis dapur di rumah tradisional Jepang, yang pertama dengan tungku dan yang kedua dengan cara digantung. Kedua cara ini sama-sama menggunakan kayu bakar. Dapur Jepang adalah tempat di mana makanan disiapkan di rumah Jepang.

Gambar 2.8 Contoh dapur gantung di Jepang

. Sampai era Meiji, dapur juga disebut kamado dan ada banyak ucapan dalam bahasa Jepang yang melibatkan kamado karena dianggap sebagai simbol sebuah rumah. Istilah ini bahkan bisa digunakan untuk berarti "keluarga" atau

"rumah tangga".

Pada periode Jomon, dari 10.000 SM sampai 300 SM, orang berkumpul ke desa-desa, di mana mereka tinggal di tempat tinggal lubang dangkal. Ini gubuk sederhana adalah antara 10 sampai 30 meter persegi dan memiliki perapian di tengah. Kompor awal tidak lebih dari sebuah lubang dangkal (jikaro 地 床 炉), yang dikelilingi oleh batu untuk menangkap percikan api. kemudian mereka menggantikan dengan Vas tanah liat atau tungku. Jenis kompor disebut umigamero (埋 瓮 炉, "terkubur vas kompor"). Seperti kompor menjadi lebih aman, itu dipindahkan dari pusat rumah ke samping dan, oleh periode Kofun akhir (abad ke-6), hampir semua rumah memiliki kompor disalah satu ujung rumah.

Beberapa keluarga kaya pada periode Kofun membangun sebuah rumah terpisah dimana memasak dilakukan.

BAB III

ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI RUMAH TRADISIONAL DI JEPANG (MINKA)

3.1 Struktur tata ruang rumah petani tradisional di Jepang

Perumahan di Jepang ada yang bergaya tradisional dan modern. Ada dua pola perumahan yang dominan di Jepang, ada yang berupa rumah-rumah keluarga (seperti kebanyakan di Indonesia) dan juga bangunan multi-unit yang dimiliki oleh individu atau korporasi yang disewakan sebagai apartemen atau dimiliki oleh penghuni. Kemudian ada lagi jenis tempat tinggal tambahan di Jepang terutama untuk orang yang belum menikah, seperti rumah kos (populer di kalangan mahasiswa), asrama (umum di perusahaan), atau pun barak (untuk anggota pasukan bela diri Jepang ( 自 衛 隊 Jieitai), polisi, ataupun karyawan publik lainnya).

Pada tahun 2003 diadakan survei perumahan dan lahan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang (総務省 Sōmu-shō) menunjukkan bahwa di Jepang saat itu terdapat 53.890.900 unit rumah. Dari total angka tersebut, 86.9% rumah dalam keadaan digunakan (didiami) dan sisanya kosong. 61,2% dari total unit rumah yang didiami, dimiliki oleh rumah tangga penduduk. Sebanyak 17.180.000 unit rumah berada di daerah perkotaan dan sebanyak 27.553.000 unit rumah berada di daerah pedesaan.

Seperti di Indonesia, warga Jepang banyak tinggal di rumah keluarga. Tetapi angka statistik menunjukkan bahwa persentase keluarga yang memilih menggunakan rumah tinggal keluarga terus menurun. Pada tahun 1980-an, harga

rumah baru di Jepang berkisar 5-8 kali pendapatan rata-rata tahunan orang Jepang.

Jangka waktu pinjaman untuk rumah adalah 20 tahun dengan uang muka sebesar 35%.

Hal terpenting yang harus diperhitungan pada saat membangun rumah di Jepang adalah ketahanannya terhadap 4 musim termasuk pada musim panas dan musim dingin. Rumah tradisional Jepang dibuat dengan terlebih dahulu memasang tiang kayu utama ditengah. Lantai ditinggikan sekitar 10 cm dari tanah lalu ditutup dengan balok kayu untuk lantai, hal ini bertujuan untuk menghindari embun dari tanah. Area dapur dan ruang masuk memiliki lantai yang terbuat dari kayu namun ruangan dimana biasanya digunakan untuk duduk seperti ruang tamu, lantainya ditutupi dengan sejenis anyaman yang disebut tatami. Orang Jepang tidak biasa menggunakan kursi di ruangan beralasan tatami ini, mereka biasa duduk dengan beralaskan tatami atau menggunakan bantal tipis yang disebut zabuton. Inilah alasannya mengapa orang Jepang melepas sepatunya ketika masuk rumah. Kerangka rumah Jepang terbuat dari kayu dan sisi melebarnya ditopang oleh tiang vertikal, balok yang disusun mendatar dan bingkai diagonal. Bingkai diagonal merupakan adaptasi dari teknologi asing yang diadaptasi oleh masyarakat Jepang.

Ciri khas dari rumah Jepang adalah adanya atap yang lebar dan atap yang tinggi untuk melindungi penghuninya dari sinar matahari di musim panas.

Pada masa lalu dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang direkatkan dengan adonan tanah sebagai perekat atau lemnya, namun kini banyak material lain yang bermacam-macam untuk membuat dinding rumah Jepang. Bahan yang

sering digunakan saat ini adalah plywood (tripleks). Pada masa lalu banyak rumah yang memiliki tiang penyangga yang tersembunyi yang berada di balik dinding.

Pada jaman Meiji (1868-1912), rumah dibuat dengan metode baru dengan memasang tiang penyangga di dalam dinding untuk mengurangi bahaya ketika terjadi kebakaran. Pada jaman Meiji banyak atap ditutupi dengan sirap atau jerami, namun kini biasanya atap rumah ditutupi dengan genteng atap yang disebut kawara. Rumah Jepang saat ini dibuat dengan kombinasi gaya tradisional dan teknologi modern.

Struktur tata ruang rumah petani tradisional Jepang sendiripun terbagi lagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Struktur minimal 2. Struktur maksimal

3.2 Fungsi bagian-bagian ruang rumah tradisional Jepang

Menurut Josef Prijotomo, Ruang adalah bagian dari bangunan yang berupa rongga, sela yang terletak diantara dua objek dan alam terbuka yang mengelilingi dan melingkupi kita. Tidak terlihat hanya dapat dirasakan oleh pendengaran, penciuman dan perabaan.

Ruang adalah sebagai tempat (topos), sebagai suatu dimana atau suatu place of belonging, ruang menjadi lokasi yang tepat dimana elemen fisik cenderung berada. Aristoteles mengatakan : wadah-wadah sementara bergerak keatas dan kebawah menuju tempatnya yang tepat dan setiap hal berada di suatu tempat, yakni dalam suatu tempat. Suatu tempat atau ruang tidak dapat memiliki

suatu wadah. ( Cornelis, 1995). Karakteristik dari ruang dirangkum menjadi lima butir :

1. Tempat melingkupi objek yang ada padanya.

2. Tempat bukan bagian yang dilingkunginya.

3. Tempat dari suatu objek yang tidak lebih besar atau lebih kecil dari objek tersebut.

4. Tempat dapat ditinggalkan oleh objek dan dapat dipisahkan dari objek.

5. Tempat selalu mengikuti objek walaupun objek terus bergerak.

Ruang tidak dapat dipisakan dari kehidupan manusia, baik secara piskologi, emosional, dan dimensional. Manusia berada dalam ruang, bergerak, menghayati, berfikir, dan juga menciptakan dan menyatakan bentuk dirinya.

Secara umum, ruang dibentuk oleh tiga elemen ruangan yaitu:

1. Bidang alas/lantai (the base plane). Oleh karena lantai merupakan pendukung segala aktifitas kita di dalam ruangan.

2. Bidang dinding/pembatas (the vertical space devider). Sebagai unsur perancangan dalam bidang dinding dapat menyatu dengan bidang lantai atau sebagai bidang yang terpisah.

3. Bidang atap atau langit-langit (the overhead plane). Bidang atap adalah unsur pelindung utama dari suatu bangunan dan pelindung terhadap pengaruh iklim.

Fungsi dapat dikategorikan sebagai penentu atau panduan manuju bentuk.

Fungsi menunjukan kearah mana bentuk harus ditemukan. Fungsi dan bentuk

memang diperlukan untuk menjelaskan arsitektur, tapi belum memadai (necessary but not efficient) (Saliya, 1999).

Fungsi tidak mutlak menentukan bentuk. Konsep form follows function banyak dibantah oleh para modernis. Sebagai contoh satu fungsi dapat meghasilkan bermacam-macam bentuk. Bentuk adalah bagian integral dari kadar spiritual bagi pernyataan bangunan. Bentuk harus sebagai media bagi komunikasi (ruang). Yaitu, akan mungkin melalui bentuk yang sesuai untuk memancarkan informasi tertentu (Sohirmbeck, 1988).

Bentuk dalam arsitektur meliputi permukaan luar dan ruang dalam. Pada saat yang sama, bentuk maupun ruang mengakomodasi fungsi-fungsi (baik fungsi fisik maupun non fisik). Fungsi-fungsi tersebut dapat dikomunikasikan kepada pengamat melalui bentuk. Kaitan-kaitan tersebut dapat menghasilkan ekspresi bentuk. Dalam menyatakan, keterkaitan fungsi, ruang dan bentuk dapat menghadirkan berbagai macam ekspresi. Penagkapan ekspresi bentuk bisa sama ataupun berbeda pada setiap pengamat, tergantung dari pengalaman dan latar belakang pengamat.

Negara Jepang juga terletak di daerah curah hujan yang tinggi, dengan memiliki 4 musim, yaitu: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Yang dalam jangka waktu yang relatif singkat dapat berubah. Alam Jepang selain mendatangkan keuntungan, juga mendatangkan kesengsaraan bagi penduduknya dengan seringnya terjadi bencana alam seperti gempa bumi dan angin topan. Oleh karena itu untuk memilih bahan bangunan rumah tradisional Jepang yang sesuai dengan perubahan-perubahan iklim dan letak geografis

tersebut dan juga dikarenakan berlimpahnya bahan alam berupa kayu, maka kayu lebih dianjurkan untuk dijadikan bahan dasar bangunan rumah tradisional Jepang.

Di dalam perbandingannya, kayu lebih peka untuk menerima iklim. Kayu dapat menjadi lebih dingin dan dapat meresap kelembaban ketika musim panas tiba, dan tidak akan terlalu dingin jika di sentuh pada waktu musim dingin. Selain itu kayu juga lebih cocok dan dapat bertahan pada saat terjadi gempa bumi di Jepang. Alasan lain juga diperkuat oleh pemaparan kepercayaan penganut agama Shinto bahwa kesucian Jepang diciptakan pertama dari alam dan kemudian

Di dalam perbandingannya, kayu lebih peka untuk menerima iklim. Kayu dapat menjadi lebih dingin dan dapat meresap kelembaban ketika musim panas tiba, dan tidak akan terlalu dingin jika di sentuh pada waktu musim dingin. Selain itu kayu juga lebih cocok dan dapat bertahan pada saat terjadi gempa bumi di Jepang. Alasan lain juga diperkuat oleh pemaparan kepercayaan penganut agama Shinto bahwa kesucian Jepang diciptakan pertama dari alam dan kemudian

Dokumen terkait