• Tidak ada hasil yang ditemukan

A 1.4 Wonosobo Hari In

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN (Halaman 43-49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. A 1.4 Wonosobo Hari In

Waktu pun berjalan, hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berubah. Wonosobo hingga tahun 2010 ini telah berusia 185 tahun. Pada usia yang kian tua itulah, tercatat beberapa potensi yang tersimpan di kabupaten tersebut. Dalam bidang pertanian misalnya, merupakan potensi andalan wilayah ini. Kabupaten Wonosobo adalah daerah agraris dimana sebagian besar penggunaan lahannya adalah pertanian, begitu pula mata pencaharian penduduk sebagian besar sebagai petani.

Dalam pelaksanaan pembangunan program pertanian pangan diharapkan dapat memberikan hasil sesuai yang diharapkan, dengan cara memantapkan sistem ketahanan pangan dan pemgembangan agribisnis, namun demikian disisi lain masih terdapat beberapa masalah yang menjadi faktor penghambat dalam mencapai program dimaksud dan memerlukan upaya-upaya pemecahan dengan optimalisasi pemanfaatan sumber alam, sumberdaya manusia, teknologi dan lain sebagainnya.

Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani dan petugas lapangan serta menggalakkan pemanfaatan pupuk organik dan penanaman padi organik, adalah salah satu upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pada sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dan meningkatkan kesempatan usaha, lapangan kerja serta kesejahteraan petani.

Luas lahan pertanian Kabupaten Wonosobo sebagian besar adalah sawah berpengairan non teknis dan tadah hujan, hanya sebagian kecil yang berpengairan teknis. Luas panen pertanian di Kabupaten Wonosobo dalam empat tahun terakhir dari tahun 2002 sampai dengan 2005, luas panen padi dan buah-buahan mengalami penurunan rata-rata pertahun 3,77 persen untuk luas panen padi dan 9,37 persen untuk buah-buahan, sedangkan untuk palawija mengalami kenaikan rata-rata 8,95 persen begitu pula untuk sayur-sayuran kenaikan rata-rata 13,63 persen. Penurunan luas panen tersebut disebabkan karena pengalihan fungsi lahan baik untuk perumahan maupun untuk perluasan tanaman lainnya. Pengalihan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian seperti perumahan perlu dikendalikan secara bijaksana, sehingga produksi pertanian dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan.

Di sisi lain, Wonosobo pernah mencatat bahwa di kawasan Dieng pernah mengalami masa jayanya dalam hal pertanian, terutama dengan hasil kebunnya yang berupa tanaman kentang. Pada saat itu pendapatan per kapita penduduk Dieng dikabarkan lebih besar dari pendapatan per kapita penduduk Jakarta. Dengan keadaan seperti itu masyarakat Dieng terhanyut dalam euforia sesaat yang menimbulkan pola pikir jangka pendek untuk memperoleh keuntungan dan parahnya, tanpa kesadaran untuk memikirkan persoalan lingkungan pada jangka panjang.

Tindakan para petani di seputar daerah Dieng dalam memanfaatkan dan mengolah tanah guna menanam tanaman kentang, dalam satu segi telah memberi manfaat bagi petani dan lingkungannya berupa perbaikan kesejahteraan hidupnya. Tetapi dalam segi yang lain, penanaman kentang dengan sistem eksploitasi lahan membawa dampak secara luas dan bahkan mengancam ekosistem yang ada.

Ancaman terhadap keseimbangan ekosistem itu, dapat diduga sebagai akibat dari kegiatan agro-ekonomi yang tidak mengindahkan aspek-aspek ekologis, tidak adanya penataan secara politis dan hukum, serta akibat dari perubahan sistem nilai dan sistem sosial masyarakat yang mengarah kepada sikap-sikap konsumtif.

Dalam kaitannya dengan kegiatan agro-ekonomi yaitu penanaman kentang, selama ini berjalan dengan corak yang delematis. Dalam satu segi, masyarakat setempat terbiasa dengan sistem tanaman monokultur dan pilihannya pada tanaman kentang. Pilihan terhadap monokultur tanaman kentang, telah mendorong kepada para petani untuk mengeksploitasi lahan dengan sistem pengolahan berdasarkan teknologi pertanian tradisional yang tidak mengindahkan kepada sifat hara tanah dan bahaya kerusakan hutan.

Kondisi ini diperparah oleh datangnya para pemilik modal dari luar yang mengusahakan hutan dengan sistem sewa, serta adanya kemudahan- kemudahan untuk mendapatkan suntikan dana talangan dari KUT atau semacamnya untuk biaya-biaya memperluas lahan penanaman kentang secara eksploitatif.

Sebagai akibat dari gejala tersebut, adalah mulai munculnya ancaman berupa resistensi tanah karena belum mampunya para petani melakukan diversifikasi tanaman dalam satu segi, dan sistem penanaman tanaman yang kondusif terhadap kualitas tanah dalam segi yang lain. Jika hal ini diabaikan, maka bukan saja kerusakan tanah/lahan yang terjadi tetapi juga kehidupan ekonomi rakyat untuk masa depannya, khususnya kehidupan ekonomi para petani, juga akan semakin terancam.

Ancaman itu, dewasa ini sudah mulai kelihatan. Dari segi ekologi misalnya, telah terjadi sedimentasi sungai dan waduk, erosi areal lahan hutan, mengeringnya sejumlah mata air dan terjadinya tanah longsor, serta hilangnya populasi vegetasi hutan dan satwa. Kondisi ini diperparah oleh adanya penjarahan hutan lingdung oleh masyarakat tanpa bisa dikendalikan.

Akan tetapi, sejak bulan November 2008 lalu sebuah terobosan baru dilakukan untuk memulihkan lingkungan kawasan Dieng yang meprihatinkan.

Seperti yang tertulis dalam http://www.e.wonosobo.com, ada sebanyak 8500 bibit pohon carica telah ditanam masyarakat desa setempat, gabungan kelompok tani, organisasi masyarakat, penyuluh pertanian se-Kabupaten Wonosobo secara serentak pada lahan seluas 900 hektare di kawasan Dieng Wonosobo.

Harus diakui, penanaman carica ini sebagai upaya menyelamatkan lingkungan Dieng. Kawasan Dieng tengah mengalami degradasi akibat pencemaran, penebangan pohon secara liar, dan pengolahan lahan yang tidak ramah lingkungan. Akibat pertanian intensif, yang kurang memperhatikan kaidah konservasi sumber daya alam, berdampak pada timbulnya erosi, banjir, turunnya produktivitas lahan, dan menurunnya produktivitas hasil pertanian.

Dieng sebagai salah satu asset kabupeten tersebut sudah sepantasnya untuk dipulihkan dari kerusakan dengan cara konservasi lahan, serta pelestarian sumber daya alam agar menjamin berlangsungnya kegiatan pertanian, pariwisata, permukiman, dan industri bagi masyarakat. Juga untuk memulihkan kondisi alam yang tercemar atau rusak, dengan menerapkan budidaya yang ramah lingkungan sehingga sesuai peruntukkannya.

Di samping itu, untuk mencegah maraknya kegiatan budidaya yang tidak ramah lingkungan, dan mengembalikan fungsi kawasan lindung secara bertahap. Carica dipilih karena selain merupakan tanaman khas Dieng, perawatannya mudah dan murah, juga bernilai ekonomis tinggi. Carica Dieng sejenis pepaya yang bijinya berwarna hitam daunnya agak lebih tebal, buahnya lebih kecil dan kalau masak warnanya kekuning-kuningan serta beraroma wangi (khas). Apabila akan dimakan langsung, bukan buahnya, melainkan bijinya yang berwarna putih dan rasanya asam manis dengan aroma khas, yang tak terdapat pada buah lain. Daging buahnya sangat enak bila dibuat manisan. Carica sekarang diproduksi secara home industry, dikemas dalam botol dan terkenal dengan nama “Carica Dieng”. Tanaman ini memerlukan ketinggian antara 1800-2200 m.dpl. untuk mendapatkan kualitas buah yang baik. Jenis ini berasal dari Amerika Latin, ditanam dikembangkan di Dieng oleh orang Belanda sekitar tahun 1900. Tanaman ini, seperti halnya Purwaceng, belum dibudidayakan secara maksimal dan hanya merupakan tanaman selingan di ladang petani.

Selain potensi bidang pertanian, pembangunan kehutanan dan perkebunan di Kabupaten Wonosobo mempunyai peran dalam menjaga dan meningkatkan kelestarian lingkungan hidup, mendukung penyediaan bahan baku industri dan penyediaan bahan ekspor non migas sehingga diharapkan dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.

Penanganan lahan reboisasi di Kabupaten Wonosobo dalam tiga tahun terakhir mengalamai peningkatan rata-rata 19,5 persen, untuk tahun 2006 seluas 1.249,80 ha meningkat 43,09 persen dibandingkan tahun 2004 seluas 873,40 ha, sedangkan tahun 2003 dengan luas lahan reboisasi 910,50 ha mengalami penurunan pada tahun 2004 sebesar 4,07 persen. Untuk penanganan lahan penghijauan menurun diatas 53,96 persen dari tahun 2004 seluas 3.150 ha dan diharapkan pada tahun 2006 tidak terjadi penjarahan hutan. Lahan kritis di Kabupaten Wonosobo dalam pengertian lahan tandus seluas 15,285 ha sebagian besar berada di lereng-lereng pegunungan.

Di wilayah Kabupaten Wonosobo terdapat 18.896,42 hektar kawasan hutan negara yang pengelolaannya saat ini dikuasai oleh Perum Perhutani (lihat

Wonosobo dalam Angka 1999). Kawasan hutan yang sebagian berstatus hutan

lidung tersebut merupakan modal yang dapat menjadi potensi yang cukup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan di daerah apabila pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah dan masyarakat daerah Wonosobo. Masyarakat daerah Wonosobo sendiri telah memiliki pengalaman yang cukup baik dalam pengelolaan hutan, yang terbukti pada tahun 1997 dan 1998 luas hutan rakyat di Wonosobo mencapai lebih dari 19.000 ha yang berarti lebih luas dari kawasan hutan negara di Wonosobo.

Menurut Irfan Bakhtiar (dalam http://www.e.wonosobo.com), kondisi kawasan hutan negara di Kabupaten Wonosobo sangat memprihatinkan. Sejak akhir tahun 1998, terjadi penebangan kayu liar secara besar-besaran di kabupaten Wonosobo (lihat Bulletin Akar Edisi 1, Mei 2000. Penebangan liar atau yang lazim disebut penjarahan tersebut terus terjadi hingga sekarang, tanpa dapat dihentikan oleh aparat, baik aparat kepolisian ataupun aparat Perum Perhutani.

Hingga pertengahan tahun 2000 misalnya, tanah kosong akibat penjarahan yang ada di wilayah Bagian Hutan Wonosobo KPH Kedu Utara dan Bagian Hutan Ngadisono KPH Kedu Selatan mencapai 3.348,7 hektar Seperti juga di daerah lain, selain karena adanya ‘cukong’ dan backing dari oknum yang tidak bertanggung jawab, pemicu lain dari penjarahan hutan adalah karena adanya konflik antara masyarakat dengan Perum Perhutani. Konflik tersebut berupa perselisihan struktural dan juga berupa kecemburuan sosial masyarakat terhadap aparat Perum Perhutani.

Suatu hal yang cukup ironis, tambah Irfan Bakhtiar (dalam

http://www.e.wonosobo.com), bahwa hutan yang terjarah di Wonosobo kebanyakan tepat bersebelahan dengan hutan rakyat, yang sampai sekarang masih terlihat tegak berdiri. Hutan rakyat tetap aman, sedangkan hutan negara porak poranda. Itulah yang terjadi. Masyarakat terkesan enggan turut serta menjaga hutan negara. Hal itu disebabkan tidak adanya manfaat yang didapatkan oleh masyarakat desa sekitar hutan dari hutan yang ada di sekelilingnya. Padahal masyarakat tahu persis, bahwa hutan dapat memberi banyak manfaat bagi mereka, namun, dengan penguasaan Perum Perhutani yang sangat ketat, akses masyarakat ke hutan sangat dibatasi, bahkan diputus. Karena itulah, wajar jika rasa memiliki masyarakat terhadap hutan sangat rendah.

Sektor kehutanan, merupakan suatu sektor yang tidak dapat dinilai hasil akhirnya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil untuk mengelola sektor ini haruslah kebijakan yang berorientasi jangka panjang, dengan menyelesaikan permasalahan mendasar. Semua potensi yang ada di masyarakat haruslah diakomodir dan dioptimalkan.

Masyarakat Wonosobo, selama ini dikenal sebagai masyarakat yang memiliki latar belakang budaya pertanian dan budaya kehutanan yang tinggi. Besarnya luas hutan rakyat menunjukkan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk mengelola sumberdaya hutan dengan baik, sepanjang kesempatan diberikan kepadanya. Dengan besarnya potensi masyarakat, gagasan tentang kehutanan masyarakat (pengelolaan hutan berbasis masyarakat) merupakan

gagasan yang sangat realistis untuk dikedepankan sebagai masa depan pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Wonosobo.

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN (Halaman 43-49)

Dokumen terkait