• Tidak ada hasil yang ditemukan

D Pemberdayaan Kesenian Tradisional Sebagai Promosi Pariwisata

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN (Halaman 74-81)

HASIL DAN PEMBAHASAN

NAMA KECAMATAN DAN JUMLAH KESENIAN

V. D Pemberdayaan Kesenian Tradisional Sebagai Promosi Pariwisata

Kesenian adalah perwujudan ungkapan jiwa melalui media rupa (gambar, lukis, patung, dll.), suara (musik: nyanyian, instrumental), gerak (tari, teater), dan bahasa (sastra, ceritera). Dari sisi bentuknya, suatu pertunjukan kesenian tidak hanya menyangkut satu media kesenian, melainkan juga bisa menyangkut berbagai media sekaligus. Seni teater, umpamanya, merupakan kesatuan dari berbagai media.

Kesenian tradisional memiliki pola atau pakem, yang membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari yang lainnya. Akan tetapi, pakem tersebut bukanlah suatu aturan yang “mati,” melainkan suatu potensi yang dapat berkembang, berubah, dan bercampur satu sama lain. Sehingga, kesenian dalam kehidupannya secara tradisional pun, seyogyanya mampu mengakomodasi perubahan-perubahan isi yang sesuai dengan kepentingan situasi demi situasi, waktu demi waktu. Jika kesenian tradisional memiliki pakem yang kuat, ia pun memiliki ruang kebebasan yang luwes. Keduanya, pakem dan kebebasan kreatif, terjalin secara integral, menjadi bahasa-ungkap yang organis dan cerdas, sehingga perkembangannya pun dapat tumbuh secara alamiah.

Selain sebagai media ungkap atau ekspresi keindahan, kesenian tradisional juga memuat pesan-pesan yang berisikan aspek-aspek pendidikan, kultural, dan spiritual. Dengan demikian, untuk mengintegrasikan sejumlah kepentingan – salah satu di antaranya kepentingan promosi pariwisata, misalnya memasukkan ajaran-ajaran yang relevan dengan kehidupan masa kini — menjadi sangat relevan. Bahkan, jika upaya tersebut dapat dilakukan dengan baik, melalui suatu metode dan mekanisme yang tepat, ia diharap akan turut memperkaya idiom kesenian tradisional itu sendiri.

Bertolak dari sejumlah deskripsi tersebut pada dasarnya untuk memberdayakan kesenian tradisional Kabupaten Wonosobo, dibutuhkan sejumlah strategi. Di antara adalah sebagai berikut: Pertama, mengidentifikasi, menginventarisasi, dan pemetaan terhadap jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional dalam wilayah tersebut.

Kedua, perlu dilakukan workshop yang melibatkan stakeholders kelompok kesenian untuk mengkaji dan menganalisis jenis-jenis kesenian tradisional, sumberdaya pendukung, serta hambatan keberadaan kesenian tradisional guna menentukan prioritas kelompok kesenian yang akan dikembangkan.

Ketiga, perlu adanya pengembangan yang mampu memberdayakan

kelompok kesenian tradisional sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan sebagai wadah bagi masyarakat/generasi muda dalam mengembangkan keterampilan berkesenian, agar kesenian tradisional tetap eksis.

Keempat, dalam melakukan sejumlah kegiatan pemberdayaan diperlukan

adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antarinstansi/lembaga yang melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan kelompok kesenian tradisional.

Kelima, dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dan

kesenian tradisional, baik dalam bentuk pementasan kesenian maupun penguatan kelembagaan kesenian.

Dari kelima strategi pemberdayaan kesenian tradisional Kabupaten Wonosobo tersebut tentu saja akan diintegrasikan dengan wawasan wisata masyarakat lokal selama ini. Seperti telah diuraikan pada pembahasaan terdahulu bahwa Kabupaten Wonosobo mempunyai potensi kesenian tradisional yang cukup memadai. Paling tidak, dengan jumlah cabang kesenian tradisional yang sangat merata di semua kecamatan yang ada akan menjadi modal potensial bagi pengembangan wawasan wisata di wilayah setempat.

Harus diakui bahwa pengembangan kesenian tradisional sebagai suatu komoditas pariwisata budaya, telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi seni tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap kesenian tradisional itu sendiri.

Sebagai komoditas, kesenian tradisional perlu mengikuti hukum ekonomi. Untuk itu, untuk menempatkan posisi kesenian tradisional dalam industri pariwisata budaya, diperlukan pemahaman dan proses bisnis pariwisata budaya. Apalagi, harus disadari bahwa selama ini, paket pariwisata budaya dijual

oleh travel biro atau hotel sebagai produser. Mereka yang “memproduksi dan menjual” karya kesenian tradisional kepada para wisatawan sebagai konsumen. Mereka juga “membeli” karya kesenian tradisional dari para seniman atau organisasi seni tradisi. Karya kesenian tradisional ini biasanya tidak dijual sendiri, tetapi dikemas dan digabung dengan paket lainnya (misalnya paket transportasi, akomodasi, pariwisata alam, dan sebagainya) untuk dijadikan paket pariwisata budaya yang terintegrasi.

Produser atau event organizer pada umumnya memulai dengan melakukan “penelitian” akan kebutuhan dan selera para wisatawan dalam menikmati/membeli karya kesenia tradisional. Di sisi lain, mereka juga melakukan “penelitian” terhadap karya-karya kesenian tradisional yang potensial sehingga dapat dikemas dan dijual kepada wisatawan. Proses selanjutnya adalah mendesain paket pariwisata budaya, di dalamnya termasuk paket kesenian tradisional. Setelah desain selesai, mereka mulai melakukan proses pembelian (seleksi, pemesanan, negosiasi, dan kontrak) karya seni tradisi dari para seniman seni tradisi. Desain paket pariwisata budaya dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Proses berikutnya adalah pelaksanaan delivery (penyampaian) paket pariwisata budaya yang melibatkan para seniman kesenian tradisional.

Dalam situasi seperti ini harga dari kesenian tradisional yang dihasilkan masyarakat sangat ditentukan posisi tawar mereka terhadap produser atau

event organizer yang membeli produknya. Semakin rendah posisi tawar masyarakat pemilik kesenian tradisional tersebut, maka semakin rendah harga yang mereka terima. Di samping itu, dengan semakin rendah posisi tawar, pihak pembeli akan semakin leluasa “mengatur” karya seni tersebut.

Lalu bagaimana posisi tawar masyarakat Kabupaten Wonosobo dalam sebagai pemilik kesenian tradisional dalam mewarnai pengembangan dunia pariwisata di wilayah setempat?

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan sejumlah informan dapat dipetik seatu gambaran bahwa ternyata posisi tawar masyarakat pemilik

kesenian tradisional relatif lemah dibandingkan dengan para produser sebagai pembelinya. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya adalah:

1. Jumlah produser relatif sedikit dibandingkan jumlah seniman seni tradisi, dengan kondisi finansial yang umumnya jauh lebih baik dibandingkan seniman seni tradisi.

2. Jumlah seniman atau organisasi kesenian tradisional yang berjumlah banyak ternyata di antara mereka saling bersaing secara kurang sehat. 3. Karya seni yang dihasilkan oleh seniman atau organisasi kesenian

tradisional pada umumnya relatif sama, sedikit sekali yang memiliki karya sangat unik yang sulit sekali ditiru seniman lain.

4. Produser dengan mudah berpindah dari satu seniman ke seniman lain tanpa mengurangi kualitas paket wisata budaya mereka.

5. Produser memiliki informasi relatif lengkap mengenai kesenian tradisional di suatu wilayah maupun tentang pasar wisata budaya, sementara seniman kesenian tradisional justru kurang memiliki informasi tentang pasar dan industri pariwisata budaya dan hanya tergantung dari pilihan para produser ini.

Berangkat dari kelemahan posisi tawar itulah, maka sangat penting untuk dipecahkan suatu solusi dengan sejumlah strategi pemberdayaan masyarakat pemilik kesenian tradisional tersebut. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat kesenian tradisional untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang lebih menurut mereka lebih baik dan menangkal upaya eksploitasi, penjarahan, dan pelecehan oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kepedulian pada seni tradisi. Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat kesenian tradisional memiliki kekuatan untuk “mendidik” para pembeli atau para konsumennya dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi.

Dari aspek bisnis, ada beberapa pilihan strategi peningkatan posisi tawar dan daya saing bagi masyarakat kesenian tradisional dalam industri pariwisata budaya antara lain:

1. Mengembangkan dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan selera setiap segmen pasar yang dilayani.

2. Secara kontinu mengembangkan dan memasarkan produk yang unik dengan fungsi dan manfaat yang sulit ditiru oleh produk-produk substitusi.

3. Meningkatkan pelayanan kepada pembeli atau user, kalau diperlukan diberikan secara customized.

4. Melakukan kerja sama atau koalisi untuk menghadapi kekuatan pembeli, pemasok, atau produk substitusi.

Salah satu aturan dianggap sukses dalam bisnis adalah apabila melayani kebutuhan dan selera konsumen konsumen secara lebih baik dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian pula, masyarakat kesenian tradisional perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera konsumennya, mengembangkan produk, menyampaikan produk, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen.

Dengan menyimak sejumlah uraian itu, tentu masyarakat kesenian tradisional Kabupaten Wonosobo perlu secara kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk baru berbasis kesenian tradisional (produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari produk yang ada). Dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return, yakni suatu produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Suatu produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati.

Lebih dari itu, masyarakat kesenian tradisi Kabupaten Wonosobo untuk selalu melakukan inovasi. Seni tradisi itu sendiri dalam sejarah dan kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Diyakini bahwa karya kesenian tradisional saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya kesenian tradisional sebelumnya. Bahkan, banyak pihak yang berkepentingan terhadap kesenian tradisional berkeinginan agar ia tidak sekedar menjadi objek penderita tapi menjadi subjek bahagia, tidak sekedar pemasok tetapi juga

pemilik, produser, dan pemasar. Hal ini bisa dilakukan jika dari kelompok masyarakat kesenian tradisional Kabupeten Wonosobo mampu memunculkan suatu kemampuan untuk melakukan integrasi ke hilir yakni menjadi produser yang handal, sehingga terjalin koordinasi dan integrasi yang kuat antara sektor pasokan dengan sektor produksi maupun sektor pemasaran dan distribusi. Demi mendukung sejumlah strategi itu, diperlukan model-model pemberdayaan masyarakat kesenian tradisional Kabupeten Wonosobo dalam rangka meningkatkan pemahaman wisata di lingkungan wilayah tersebut.

Bab VI

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN (Halaman 74-81)

Dokumen terkait