• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAMOPHOBIA, PENISTAAN AGAMA DI INTERNET DAN HUBUNGAN ISLAM DENGAN NON ISLAM DALAM

B. Abdul Basith

1. Riwayat Hidup Abdul Basith

Abdul Basith merupakan salah satu doktor bergelar Ph.D. yang saat ini aktif di fakultas jurusan psikologi di Universtasi Chicago. Salah satu lulusan yang jenius. Dr. Basith memiliki latar belakang pendidikan kosmopolitan. Ia lulus dari pskologi klinis dari Universitas of Liverpool Inggris. Beberapa aktifitasnya juga cukup banyak dan beragam dimana ia pernah menjadi Kepala Inspektur Rumah Sakit Jiwa, Direktur Penelitian dan Pelatihan, Staf Senior Dokter sekaligus Ketua Departemen Psikologi. Karyanya cukup banyak diterbitkan dalam jurnal yang ternama dan telah banyak memberikan makalah dalam konferensi nasional dan internasional. Ia muncul dan terlahir dari keluarga Muslim Eminet India. Ia merupakan pemangku kepentingan pada studi perbandingan agama dunia. Ia juga menjabat di dua organisasi Islam internasional di Chicago dan memilik banyakpublikasi di bidang keagamaan.105

C. Hamka

1. Riwayat Hidup Hamka

Nama kecil penulis buku Tafsir al-Azhar, adalah Abdul Malik. Ia dilahirkan di suatu kampung yang bernama Tanah Sirah di tepi danau Maninjau di Sungai Batang, propinsi Sumatra Barat, pada hari Minggu, tanggal 16 Februari 1908 yang bertepatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H.106 Abdul Malik kemudian lebih dikenal dengan nama Hamka yang sebenarnya merupakan akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ibunya bernama Siti Safiyah.

105

Abdul Basith, The Essence of The Quran, (Chicago; ABC International Group, 1997) h. 3

106

Ayah dari ibuna itu bernama Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah. Dikenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat pada usia mduanya. Waktu masih kecil hamka selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam.107

Ayah Hamka, Abdul Karim Amrullah, merupakan seorang ulama Islam yang cukup terkemuka di Sumatra. Ayah Hamka dikenal juga dengan sebutan Haji Rasul, dan termasuk tokoh yang berpengaruh dalam gerakan pembaruan Islam yang bertujuan pemurnian agama pada awal abad ke -20 di Sumatera Barat.108 Mengingat ayahnya adalah seorang pembaharu di Sumatera Barat, tidak mengherankan jika Hamka lahir dan tumbuh dalam suasana pembaharuan yang diperjuangkan di Minangkabau sejak tahun 1906, setelah ayahnya pulang dari menuntut ilmu pada Syekh Ahmad Khatib di Makah.109

Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca al-Qur‟an di rumah

orang tuanya saat mereka pindah dari Maninjau ke Padang panjang pada tahun 1914.110 Setelah usia tujuh tahun, Hamka dimasukan kesekolah desa. Pada tahun 1916 Hamka masuk sekolah Diniyah yang didirikan oleh Zainuddin Labai el-Yunusi petang hari, di Pasar Usang Padang panjang. Pagi hari Hamka pergi ke sekolah desa, sore hari pergi ke sekolah Diniyah, dan pada malam hari belajar di surau bersama teman-temannya.

107“Nama Saya: Hamka”, dalam Nasir Tamara, Buntara Sanusi, dan Vincent Djauhari

(Editor), Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: 1996), Cet. III, h. 51

108

Tentang pengaruh Abdul Karim Amrullah dalam gerakan pembaruan Islam di Sumatera Barat dapat dilihat pada Murni Jamal, H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20 (Jakarta: INIS, 2002), h. 2

109

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 23-33

110

Pada tahun 1918, Surau Jembatan Besi, tempat ayahnya memberikan pelajaran agama diubah menjadi madrasah, yang dikenal dengan Thawalib School. Agar anaknya menjadi ulama terkenal, Hamka dimasukan ke Thawalib School. Dan berhenti dari sekolah desa.111 Pada Tahun 1923 Hamka mengalami suatu peristiwa, yang mengguncangkan jiwanya ayahnya bercerai dengan ibunya dikarenakan desakan atau campur tangan keluarga. Pada usia masih belia, Hamka telah mengalami penderitaan kejiwaan yang cukup berat yang disebabkan oleh perceraian orang tuanya itu.

Perasaan kecewa Hamka karena perceraian kedua orang tuanya dan beberapa sikap ayahnya yang dinilainya kontradiktif itu membawa Hamka jauh dari lontrol pendidikan ayahnya, pada masa kecilnya Hamka seperti tumbuh menjadi anak nakal dan liar. Pada masa kecilnya, Hamka tampak tidak merasa risih untuk bertindak nakal, meskipun ia dikenal sebagai putra seorang tokoh agama terkemuka di daerahnya.

Awal tahun 1927 dia berangkat dengan kemauannya sendiri ke Makkah,

sambil menjadi koresponden harian “Seruan Islam” di Tanjung Pura (Langkat),

dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta.112

Ketika usia 21 tahun, kembali dari perjalanan ke Makkah, ia dinikahkan dengan Siti Rahm yang berusia 15 tahun.113

111

Di antara kitab yang harus dihafal Hamka adalah Matan Taqrib, Matan Mina dan

Fathul Qaīb. Lihat Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Jilid I, h. 58

112

Hamka, Tasauf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 9

113

Pada 1 Januari 1972 istri Hamka meninggal dunia di Jakarta, dengan meninggalkan sepuluh orang anak: tujuh laki-laki dan tiga perempuan. Satu tahun delapan bulan setelah istri pertamanya meninggal, pada 19 Agustus 1973, ia menikah lagi dengan Hj. Siti Khadijah, dari

Cirebon, Jawa Barat. Lihat “Nama Saya Hamka”, Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat,

Pada tahun 1958 ia dianugrahi gelar doctor honoris causa oleh Universitas al-Azhar, Mesir setelah menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Gelar doktor honoris causa juga diperoleh Hamka dari Universitas Kembangan Malaysia pada 1974.114

Dalam pergerakan Islam di Indonesia, Hamka layak ditempatkan sebagai pemikir Muslim terkemuka. Di samping itu, ia juga dikenal seorang Da‟i.

Ceramah-ceramahnya yang terkesan sejuk dan mencerahkan. Hamka pernah bergelut di bidang politik sebagai anggota konstituante mewakili partai Masyumi, pada tahun 1979 Hamka terpilih menjadi Ketua Umum Majlis Ulama Inonesia.

Hamka wafat pada hari Jum‟at 24 Juli 1981, jam 10.41, dalam usia 73

tahun 5 bulan.115 Beberapa lama sebelum Hamka wafat, ia mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia, sehubungan dengan kontroversi peredaran fatwa tentang pengharaman keikutsertaan Muslim dalam perayaan Natal.

2. Metodologi Tafsir

Metode yang digunakan oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah metode

tahlīli (metode analisis). Buku-buku tafsir yang menggunakan metode tahlīli pada

umumnya menggunakan urutan penafsiran sesuai dengan urutan Sūrah dan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf al-Qur‟an. Buku tafsir al-Azhar, juga

disusun berurutan seperti urutan Sūrah yang tercantum dalam al-Qur‟an, di mulai

dari Sūrah al-Fatihah sebagai induk al-Qur‟an, dan diakhiri dengan Sūrah an-Nas.

Sebagaimana jumlah Sūrah yang terdapat dalam mushaf al-Qur‟an, dalam buku

114

Yunus Amirhamzah, Hamka Sebagai Pengaruh Roman (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 6-7

115

Tafsir al-Azhar juga terdapat 114 Sūrah yang ditafsirkn dengan amat baik oleh

Hamka. Sūrah-sūrah yang terdapat pada kitab itu dibagi ke dalam tiga puluh jilid.

Sebagaimana dikemukakan di atas, buku tafsir al-Azhar, karya Hamka ini

menggunakan metode tahlīli. Metode tahlīli adalah suatu metode tafsir yang

digunakan oleh mufassir untuk menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an

dari berbagai aspek dengan menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan susunan ayat-ayat yang terdapat dalam mushaf al-Qur‟an, melalui pembahasan kosa kata,

sebab al-Nuzul, munasabah, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat sesuai kecendrungan serta keahlian sang mufassir.116 Metode tahlīli ini

disebut juga oleh Baqir al-Shadir, ulama Syi‟ah Irak yang terkemuka, sebagai

metode tajzi‟i.117

3. Corak Tafsir

Corak penafsiran Hamka adalah Tafsir bi al-Ra‟y, dan ia pun sangat

tertarik pada tafsir al-Manar karangan Sayyid Rasyid Ridha yang terkenal dengan corak penafsiran, yaitu corak Tafsir bi al-Ra‟y dengan mendemontrasikan

pengetahuannya yang luas untuk menafsirkan sebuah ayat. Lalu pendekatannya yang dilakukan dengan tafsirnya adalah adaby al-Ijtima‟i.

Tafsir adaby adalah merupakan corak tafsir baru, muncul pada abad XIV Hijriah, yang tidak memberi perhatian kepada segi nahwu, bahasa, istilah-istilah dalam balaghah dan perbedaan-perbedaan mazhab; sebuah tafsir yang tidak menyajikan berbagai segi dari al-Qur‟an, yang segi itu justru menjauhkan

116

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1993), h. 117

117

pembaca dari inti al-Qur‟an.118

Dinamakan Adaby dengan hipotesa bahwa Hamka adalah seorang punjangga yang mengetahui sastra, sehingga setiap karyanya dipengaruhi nilai-nilai sastra, sedangkan Ijtima‟i karena menyajikan persolan

kemasyarakatan.

4. Sistematika Penafsiran

Sistematika penafsirannya adalah sebagai berikut:

a. Menyajikan ayat di awal pembahasan: dalam menafsirkan, Hamka terlebih dahulu menyajikan satu sampai lima ayat yang menurutnya ayat-ayat tersebut satu topik.

b. Terjemahan dari ayat: untuk memudahkan penafsiran, terlebih dahulu Hamka menerjemahkan ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia, agar mudah dipahami pembaca.

c. Menjauhi pengertian kata: dalam menafsirkan, Hamka tidak memberikan pengertian kata, karena mungkin pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemah.

d. Memberikan uraian terperinci: setelah menerjemahkan ayat secara global, Hamka memulai tafsirnya terhadap ayat tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan dengan kejadian pada zaman sekarang, sehingga pembaca dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman sepanjang ma

118

69

ARGUMEN SANGGAHAN ATAS PANDANGAN ISLAM

WATCH DENGAN PENAFSIR MODERN

Dokumen terkait