Terlepas dari segala perbedaan pemikiran antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, pemikiran antara mereka adalah masalah di masalah, jika dianalisa lebih mendalam sebenarnya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan akumulasi bom waktu dari setting awal perseteruan sebelumnya, Yusuf Hasyim mengakui sendiri, bahwa pembentukan PKU terdapat concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU. Sebab dalam pandangannya, selama kepemimpinan Abdurrahman Wahid, NU mengalami stagnasi, dan dianggap banyak penyelewengan terhadap tradisi serta cita-cita luhur Founding Father NU.123 Karena itu pula, Yusuf Hasyim mengatakan mundur dari musytasar baru
123
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57. Lihat juga KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
hasil Muktamar Cipasung beberapa tahun lalu. Saya membiarkan Abdurrahman Wahid menjadi pimpinan itu beresiko tinggi. Tegasnya suatu ketika.124
Sejak Abdurrahman Wahid memimpin NU selama 3 periode, NU seperti mendapatkan pencerahan. Jika penulis membuat perbandingan antara NU rezim Abdurrahman Wahid dan rezim Idham Chalid yang menjadi ketua sebelumnya, maka tampak berbagai kekontrasan mencolok. Dari sudut penampilan pribadi, Abdurrahman Wahid tampil sebagai figur pemikir yang menggerakkan beberapa gagasan penting dalam wacana Islam kontemporer Indonesia. Abdurrahman Wahid bahkan berani melanggar batas seluas-luasnya antara umat beragama. Beliau juga telah membawa NU masuk ke suatu Horizon baru, berbagai pikiran garda depan Islam diterima dengan lapang dada di organisasi ini. Bahkan tanpa kritik tentunya, melainkan ada kesediaan menerima suatu pluralisme.
Sementara itu, figur Idham Chalid di kalangan NU selalu menjadi ikon bagi kelompok, politikus yang. berambisi memperebutkan jatah politik dalam pemerintahan. Figur Idham juga mewakili sekelompok politikus yang menjadikan NU sebagai ladang vote getting untuk meraih suara di parlemen. NU di bawah ldham selalu dikaitkan dengan up down kehidupan partai di negeri ini. Mungkin di mata anak muda NU sekarang ini, figur Idham bisa dikatakan mewakili penggambaran “pragmatisme politik” yang sudah old fashioned sehingga tidak menarik perhatian. Oleh karena itu, sejumlah figur yang mewarisi Idham’s legacy sekarang ini, seperti Yusuf Hasyim, Slamet Efendi Yusuf, Chalid Mawardi, dkk, kurang mendapat simpati di kalangan anak muda.
124
Secara sederhana, Abdurrahman Wahid telah menjadi simbol bagi segala jenis pembaharuan yang menaikkan kurs NU di mata publik, dari Ormas yang dianggap mewakili tradisional yang terbelakang menjadi Ormas yang bisa menolerensi pluralitas dan pembaharuan pemikiran. Ide-ide Islam kultural, pribumisasi Islam, HAM dan demokrasi merupakan concern yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid selama menahkodai NU. NU tidak akan pernah hidup tanpa
demokrasi, kaidah agamanya. Jika harus ada NU syaratnya ada demokrasi.125
Sudah tentu pembaharuan yang dibawa Abdurrahman Wahid bukan tidak merangsang berbagai polemik, bahkan juga fitnah. Dalam tubuh NU, manuver pemikiran Abdurrahman Wahid juga menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan Kyai-kyai sepuh.
Di akhir periode kepemimpinannya, rupanya komitmen Abdurrahman Wahid yang selalu melatarbelakangi gagasan-gagasan Islam inklusif dibuktikan pula dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa, suatu partai yang terbuka yang bisa menampung aspirasi segenap komponen bangsa tanpa membedakan agama, suku, maupun golongan. Dengan komitmennya, wajar jika Abdurrahman Wahid berkeinginan koalisi dengan Megawati Soekarno Putri yang dianggap sebagai warga NU, yang bermaksud sebagai representasi nasionalis sekuler antara Gus
Dur dengan Megawati banyak titik temu, Gus Dur (baca:PKB) adalah religius
nasionalis, sementara Megawati (baca: PDI-P) nasionalis-religius.126
125
Dedy jamaluddin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam Indonesia, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hal.167.
126
Alexander Litay, “Kami Banyak Titik Temu Dengan PKB”, Republika, 3 Agustus 1998.
Itulah gambaran lebih kurang dalam kepemimpinan Abdurrahman Wahid selama menahkodai NU, dan apabila era Abdurrahman Wahid dikaitkan dengan
concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU dalam perspektif tradisi
dan kultur NU, maka ada korelasi terhadap keinginan-keinginan Yusuf Hasyim tersebut. Korelasi yang terjadi melalui perseteruan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Politisasi atas NU periode Abdurrahman Wahid boleh dibilang hampir sama dengan periode sebelumnya (Idham Chalid). Suatu ketika, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa paska Khittah, NU akan meninggalkan politik praktis, seraya memasuki daerah yang dia sebut sebagai unpolitical politic,127 suatu praktik politik di luar panggung negara. Sedangkan langkah-langkah Abdurrahman Wahid selanjutnya diperiode ketiga paska Muktamar Cipasung mengarah kepada hal-hal yang bersifat politis. Abdurrahman Wahid terlihat lebih banyak terlibat dalam urusan-urusan pragmatisme politik. Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid lebih banyak berhitung dengan ekternalitas variabel-variabel di luar wilayah garapan NU. Padahal, status NU masih memegang konsep khittah 1926. Sebaliknya, rival politik yang selama ini menginginkan NU yang dikenal dengan kelompok khittah plus merasa dikecewakan oleh komitmen bersama melalui konsep khittah 1926 ini. Yusuf Hasyim misalnya, menyatakan bahwa keputusan Abdurrahman Wahid yang mengakui PKB sebagai satu-satunya partai warga NU bisa diibaratkan air susu di balas air tuba terhadap warga NU yang menjadi aktivis partai-partai lain.
127
M. Masyhur Amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik, (Yogyakarta:LKPSM, 1993), hal.151-152.
Lihat kenyataannya, Gus Dur berbicara masalah demokrasi dan transparansi,
tetapi nyata tidak demokratis,128ujar Pak Ud.
Dari sini jelas, korelasi yang menjadi perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim adalah berkaitan dengan interpetasi khittah 1926. Dan ternyata dengan multi interpretasi khittah ini, kedua-duanya berujung pada hal yang sama, yakni mengebawahkan (sub ordination) NU kepada motif-motif yang asing setelah organisasi ini kembali ke khittah 1926.
Menurut analisis penulis, perbedaan keduanya tentang interpretasi khittah ini hanyalah sikap kewajaran di dalam melakukan politisasi atas NU. Tepatnya, Abdurrahman Wahid melakukan politisasi atas NU atau setidaknya memobilisasi NU dengan cara-cara melakukan empowering society yang menjadi idaman selama kepemimpinannya di NU. Sedangkan Yusuf Hasyim melakukan politisasi NU agar memperoleh konstituan ormas atau dalam konteks vote getting.129
Mengacu pada komitmen NU dalam menerapkan diktum khittah 1926, fenomena munculnya partai-partai di kalangan NU, seperti PKB, PKU, PNU, menurut penulis membuktikan bahwa pengamalan warga NU (dalam konteks ini Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim) masih terasa setengah hati. Hal ini sesuai dengan analisis Machrus Irsyam yang menyatakan bahwa kembalinya NU ke Khittah 1926 dalam perkembangan pelaksaannya masih mencemaskan, karena perilaku beberapa elit NU, seperti manuver Abdurrahman Wahid seringkali tidak dapat menempatkan diri sebagai ketua PBNU dan sekaligus aktifis partai.130 Hal
128
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.59.
129
Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”, Aula, Agustus 1988, hal.15.
130
senada juga diungkapkan seorang penggagas konsep khittah 1926, KH.A. Muchid Muzadi, beliau menilai bahwa sosialisasi khittah 1926 di kalangan NU belum dilakukan secara serius, terarah dan terkordinir. Dan inilah yang menanggapi kuat indikasi penafsiran beragam di kalangan elit NU.131 Kedua, concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU, menurut penulis adalah berkaitan dengan kuatnya Abdurrahman Wahid atau lebih tepatnya, terlalu intensifnya pengaruh kharismatik Abdurrahman Wahid. Salah satu dampak detrimental pengaruh itu adalah rusaknya mekanisme keorganisasian dalam tubuh PBNU. Jika ini dibaca dalam kerangka gagasan Max Weber tentang Rutinitas Kharisma maka dapat dikatakan bahwa, karena kharisma Abdurrahman Wahid tidak dapat di mapankan
(institutionalized) secara rutin dalam sebuah mekanisme kelembagaan yang
permanen, maka kharisma dari Abdurrahman Wahid itu akan merusak hubungan-hubungan kelembagaan yang telah disepakati bersama dalam Muktamar. Dalam hal ini misalnya, kedudukan lembaga syuriah yang Qua Defines mestinya berada di atas dan mengendalikan Tanfidziyah, dalam prakteknya malah justru terbalik. Begitu juga yang menyangkut proses-proses yang menyangkut pembuatan kebijakan, hampir bisa dikatakan sepenuhnya pada sosok Abdurrahman Wahid.
Rumor yang beredar luas di kalangan kaum nahdiliyyin bahwa Abdurrahman Wahid waliyullah, merupakan hal yang menambah jarak antara Abdurrahman Wahid dan para Kyai semakin melebar sehingga sulit dikontrol. Menanggapi pengaruh kharisma Abdurrahman Wahid, Fachri Aly menyatakan bahwa faktor “darah biru” Abdurrahman Wahid telah menyebabkan warga NU
131
Kh. Muchid Muzadi, “Menguji Komitmen 15 tahun Khittah 1926”, Harian Duta, 2 Agustus 1999.
mempunyai rasa ewuh pakewuh untuk melancarkan kritik secara terbuka terhadapnya. Abdurrahman Wahid dalam perspektif kultural warganya menurut Fachri melalui pengaruh kharismanya berada dalam wilayah The Sacred
Territory. Sebagai bagian dari The Sacred Territory ini Abdurrahman Wahid
melancarkan gagasannya dan membuka apa yang disebut Peter L. Berger sebagai
The Liberated Territory With Respect to Religion, atau wilayah sekuler dalam
perspektif harfiah kultur umatnya dan sekaligus tampil sebagai mediator besar, sebagai jembatan impersonal. Bahkan tidak berhenti sampai disini saja, yakni sebagai jendela melalui nama nahdliyin untuk melihat dunia luar. Namun lanjut Fachri pada akhirnya Abdurrahman Wahid secara tak langsung menjadi agen pensucian baik terhadap perubahan-perubahan duniawiyah di sekitarnya, maupun terhadap tindakan-tindakannya dalam The Liberated Territory itu sendiri.132 Peran-peran inilah, menurut Fachri yang melontarkan Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin nasional.
Mistifikasi terhadap diri Abdurrahman Wahid di atas, tidak saja datang dari dalam NU sendiri, tetapi lebih banyak justru datang dari luar. Dengan gagasan-gagasan yang tidak bisa dipungkiri lagi, memang ada di sekitar pluralisme agama, hubungan agama dan ideologi negara serta demokrasi. Abdurrahman Wahid telah menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam kontribusi ide-ide baik tingkat nasional maupun internasional. Di sektor politik, dia juga telah menjadi tumpuan publik yang memimpin adanya reformasi politik.
132
Keberaniannya merangkul Megawati telah menerbitkan terjadinya koalisi politik antara kekuatan sekuler dan agama.
Karena mistifikasi semacam ini, diikuti kultur NU yang begitu menghormati Kyai sepuh, Abdurrahman Wahid akhirnya tampil sebagai single
player di NU dan meninggalkan teman-teman yang lain. Suasana kolegalitas yang
dahulu pada saat menjelang atau sesudah Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, menyemangati The Winning Team yang mengsukseskan konsepsi khittah 1926 yang hampir punah. Dengan kekuatan kharisma Abdurrahman Wahid, ia berhasil tampil sebagai seorang "Gus" dalam pengertian komunitas pesantren, seorang putra Kyai yang harus dilayani dan harus diikuti dan didengarkan. Tak heran, akibat kelebihan-kelebihan Abdurrahman Wahid itu pula, akhirnya dia menjadi One Man Show,133 terlihat selalu menimbang-nimbang posenya di hadapan publik.
Fenomena kekuatan kharismatik Abdurrahman Wahid di atas rupanya menjadi perhatian sekaligus kegalauan Yusuf Hasyim. Tampak sekali setelah pengunduran diri Yusuf Hasyim dari mutasyar PBNU, dia rajin mengevaluasi sepak terjang Abdurrahman Wahid. Menurutnya, ada beberapa hal yang sangat merugikan NU, dalam hal ini di contohkan :
Contoh kecil soal Rois Aam KH Ilyas Ruchyat.Beliau ngomong ke saya pernah dimarahi, Gus Dur gara-gara membuat statemen yang bernada ukhuwah Islamiyah tentang Bosnia, Statemen tersebut disahkan oleh NU, Muhammadiyah dan Dewan Dakwah. Eh, Gus Dur tidak setuju dan memarahi KH. Ilyas. Saya berpikir, Kyai Ilyas itukan Rois Aam yang dalam NU kedudukannya paling tinggi, kok diperlakukan seperti itu.134
133
KH. Agoes Aly Mansyhuri, “NU Jaya, NU Ketawa”, Jawa Pos, 24 November 1999.
134
Berkenaan dengan mistifikasi terhadap Abdurrahman Wahid, ataupun gagasan-gagasan “gila” yang oleh banyak orang, khususnya nahdliyin selalu mengamini tanpa adanya reserve, menjadi sorotan suatu kekhawatiran Yusuf Hasyim, karena akan berujung pada pengkultusan individu sehingga memicu timbulnya “ideologi Gus Durianisme”.135 Yusuf Hasyim menyadari bahwa pemikiran Abdurrahman Wahid yang membangsa visioner belum sepenuhnya tersosialisasi di lapisan bawah NU,136 komentar Yusuf Hasyim:
Bagi warga NU terutama yang tingkat fanatisme dan patronasenya tinggi, menganggap bahwa Gus Dur adalah Wali Allah yang waskito. Orang lain boleh saja tak menerima ucapan dan tindakannya. Tapi buat mereka, Gus Dur mustahil keliru. Mungkin ini dapat dimaklumi bila yang mengucapkan adalah warga NU di pelosok desa yang tingkat pendidikannya sederhana. Padahal cukup banyak kekeliruan Gus Dur yang sudah terekspos secara luas ... meski demikian, warga NU tetap yakin. Bila perlu, kekeliruan Gus Dur harus ditakwilkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kebenaran. Bagi mereka Gus Dur bak Nabi Khidzir dan kita adalah Nabi Musa. Anehnya fenomena ini tak cuma menghinggapi konstituen tradisional NU, melainkan juga sejumlah intelektual lokal serta bule yang akrab dengan Gus Dur. Pandangan seperti ini tak pernah terjadi sebelum Gus Dur, tentu bisa menghambat sikap kritis ... lebih dari itu dapat menyemaikan kultus individu.137
Bila ketegangan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim dilihat dari latar belakang penyebabnya, maka dekripsi di atas menunjukkan keterkaitan fakta penyebab yang satu dengan yang lainnya. ada faktor internal dan faktor eksternal yang saling berinteraksi, yaitu ; Pemikiran reformis dari Abdurrahman Wahid, Pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cederung merelatifkan peran lembaga syuriah, merelatifkan peran-peran tokoh sepuh sebelum kepemimpinan dan pemikiran Gus Dur dianggap menyimpang dari tradisi NU selama ini. Adanya
135
“Surat Pembaca”, Aula no. 03 Tahun XX, Maret 1998, hal.4.
136
KH. Yusuf Hasyim, “Romantsime PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
137
KH. Yusuf Hasyim, “Kepemimpinan Gus Dur dan Pesantren”, Gatra, 12 Agustus 2000, hal.22.
kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang mencoba mengembangkan pemikiran anti tesis dari kecenderungan “negara kuat” serta kecenderungan terbangunnya patronase politik antara tokoh-tokoh NU di kalangan birokrat.
Walaupun demikian bila dicermati latar belakang perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara seksama, menurut hemat penulis, maka kekuatan penuh adalah yang disebut pertama, yakni pemikiran-pemikiran reformis Abdurrahman Wahid. Perbedaan prinsipal antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim yaitu bahwa Abdurrahman Wahid menunjukkan jati dirinya yang ingin melakukan perubahan-perubahan dalam internal NU maupun eksternal NU. Atau tepatnya pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cenderung menentang kemapanan. Sementara Yusuf Hasyim melihat kecenderungan itu dianggap akan merusak tatanan kemapanan NU yang selanjutnya akan merusak NU.
Berangkat dari sinilah, wajar jika selama ini Yusuf Hasyim selalu menggugat kemapanan Abdurrahman Wahid. meskipun terlihat bertolak belakang terhadap Abdurrahman Wahid, nampaknya hal ini dilakukan Yusuf Hasyim untuk menghapus barrier bagi nahdliyin agar memiliki keberanian menghadapi kekuatan Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya tak berlebihan apa yang dikatakan Samsuddin Haris bahwa Yusuf Hasyim adalah sosok nurani kaum nahdliyin melainkan juga sosok penafsir realitas eksternal bagi NU dan jamiyahnya.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penulisan skripsi ini sesungguhnya masih terlalu sederhana dan belum bisa dikatakan memadai untuk sebuah kajian atau analisis tentang latar belakang kritisme Yusuf Hasyim terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid, baik dari segi varian maupun karakteristiknya. Apalagi kalau penulisan ini menyertakan pendekatan historis sosiologis yang secara praktis membutuhkan banyak pemikiran untuk merumuskan agar tercapai suatu akurasi dan konsistensi penulisan yang bisa diterima. Meski demikian, penulisan ini mungkin akan tetap berguna setidaknya bagi penulis lain yang ingin mendapatkan beberapa informasi seputar polemik antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim berkenaan dengan NU.
Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara geneologis adalah keturunan darah biru Founding Father NU, yang tentu punya tanggung jawab yang sama besar untuk mengembangkan NU ke arah cita-citanya, yakni mampu menjawab tantangan perubahan sosial sekaligus mewariskan nilai-nilai keislaman berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah untuk meningkatkan kualitas spiritual dan menjaga moralitas bangsa.
Baik Abdurrahman Wahid maupun Yusuf Hasyim akhirnya tampil merumuskan pemikiran dan strateginya dengan mengambil segi positif perjalanan serta kiprah NU sebelumnya. Pemikiran politik serta strategi keduanya merupakan
sintesis dari pergumulan serta kiprah individu masing-masing, baik melalui organisasi NU maupun dunia luar NU. Sehingga, merupakan kenyataan yang wajar jika Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim memberikan pemikiran yang berbeda terhadap cara untuk mewujudkan cita-cita perjuangan NU.
Dalam hal ini, paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim untuk mewujudkan gagasan, strateginya berbeda, Abdurrahman Wahid lebih mendasarkan pada paradigma, dalam istilah Abdurrahman Wahid “Berangkat dari agama untuk menyelesaikan masalah bangsa”, dimana Abdurrahman Wahid ingin mengintegrasikan kegiatan Islam dalam kegiatan bangsa. Secara keseluruhan tanpa menampakkan bentuk-bentuk simbol formal keagamaan atau yang bersifat Islam eksklusif.
Sebaliknya, Yusuf Hasyim mendasarkan pemikiran dan strateginya pada pijakan paradigma “ berangkat dengan agama untuk menyelesaikan masalah bangsa “. Hal ini terlihat jelas kecenderungan Yusuf Hasyim untuk memformilkan Islam dalam kehidupan negara misalnya melalui simbol-simbol serta idiom keislaman yang semuanya lebih mengarah pada eksklusifisme Islam.
Perbedaan paradigma keduanya ini dalam konteks tertentu mempunyai implikasi yang berbeda, khususnya dalam merumuskan hubungan Islam (syariah) dan negara. Meskipun keduanya menolak syariah dijadikan konstitusi negara secara absolut, tetapi lebih menerima dan berhasrat mengislamkan kehidupan bernegara tanpa harus, menimbulkan masalah. Yusuf Hasyim membela Negara Demokrasi untuk melindungi syariah dari penyelewengan atau distorsi, Sedang
Abdurrahman Wahid mendukung Negara Demokrasi justru lebih sebagai keharusan untuk melindungi plurarisme masyarakat bangsa.
Ada beberapa kemungkinan sikap Yusuf Hasyim yang secara faktual terlihat eksklusif dan bersebrangan dengan Abdurrahman Wahid. Pertama, penggunaan formalisasi Islam melalui idiom-idiom Islam, isu-isu sekuleris yang ditujukan pada Abdurrahman Wahid merupakan strategi perjuangan untuk menggoyahkan Abdurrahman Wahid dan PKB.
Kedua, merupakan puncak rivalitas antara Yusuf Hasyim dengan Abdurrahman Wahid. Selama ini melihat perilaku pemikiran sekuler serta sikap Abdurrahman Wahid yang dianggap menyeleweng dari tradisi NU.
B. SARAN-SARAN
Kepada para akademisi hendaknya dapat mendorong munculnya kelompok-kelompok diskusi. Kelompok ini diharapkan tidak hanya dapat mengiyakan pandangan-pandangan elit NU, tetapi juga mampu melahirkan orang-orang yang mampu mengkritik pandangan-pandangannya termasuk pandangan Abdurrahman Wahid. Mengingat figur Abdurrahman Wahid yang begitu kuat terkadang melahirkan fanatisme yang berlebihan