PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG KEBANGSAAN
A. PANDANGAN KEBANGSAAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM
Runtuhnya rezim Orde Baru serta naiknya Orde Reformasi pada tanggal 21 Mei 1998, yang ditandai oleh lengsernya Soeharto dari singgasana kepresidenan diganti oleh BJ. Habibie, telah memberi implikasi determinan terhadap konstelasi perpolitikan Indonesia. Terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan bernegara, terutama dalam dimensi politik. Gejala euphoria politik dengan hasrat yang meluap-luap untuk mendirikan partai politik adalah satu indikasi dalam era perubahan ini.
Di tengah hiruk pikuknya panggung politik Orde Reformasi, ternyata berimplikasi juga terhadap eksistensi NU sebagai gerakan keagamaan dalam merespon perkembangan. Persoalan tampak menjadi dilematik betapa konsep Kembali Khittah 26, seolah dirusak oleh kalangan internal NU sendiri. Di
senggement NU dengan politik melalui “konsep khittah” relatif gagal, karena
konflik yang tajam terjadi diantara elite NU sendiri, Jam'iyah NU ternyata gagal dengan munculnya partai-partai di tengah warga Nahdliyin. Kelompok realis menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan kelompok idealisme yang tetap berpihak pada ciri-ciri NU.
Fenomena ini dapat dilihat ketika terjadi tarik menarik antara penggagas partai di Rembang tanggal 6 Juni 1998 terkait dengan sifat terbuka atau tertutupnya partai di kalangan ini. Sebagian kelompok menghendaki partai terbuka, tanpa embel-embel Islam, yang berarti dapat menampung aspirasi segenap kelompok bangsa. Dan sebagian kelompok lain, menghendaki partai yang bersifat tertutup yang khusus mewadahi umat Islam, lebih spesifik warga NU sendiri. Meskipun akhirnya dikalangan NU lahir beberapa partai baik yang bersifat terbuka maupun tertutup.
Apabila penulis perhatikan tentang pandangan visi dan startegi perjuangan politik NU baik oleh Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sebetulnya sesuai dengan watak dasar NU. Paham Ahlussunnah wal Jama'ah yang menjunjung tinggi sikap tawassuth (moderat), tawazun (proporsional) dan tasamuh (toleran), serta sejalan dengan tatanan sosial politik dan ekonomi NU berdasarkan prinsip-prinsip adalah adlah (keadilan), syuro (permusyawaratan) dan musawah (persamaan) yang merupakan modal dasar bagi Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim untuk dikembangkan dalam membangun wawasan kebangsaan.
Masalahnya mengapa visi dan strategi perjuangan politik NU antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tidak bisa dipersatukan? Dalam hal ini jika penulis menyimak pandangan keduanya melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU, tampak bahwa problem yang diperdebatkan dapat dikotakkan pada domain sektarian Islam, seperti menyangkut legislasi syari'at Islam seperti legislasi hukum perkawinan Islam dalam hukum positif dan lain-lain yang jumlahnya sangat terbatas. Diluar itu tidak ada perbedaan yang signifikan.
Sepertinya pandangan Abdurrahman Wahid tentang gagasan “sekulerisme” di Indonesia, untuk memecahkan problem fundamental keislaman dan keIndonesiaan dilatarbelakangi oleh setting sosial yang terjadi di Indonesia, sama persis dengan kondisi yang melatarbelakangi munculnya sekulerisme di Turki. Terjadinya kemerosotan moral yang hampir pada semua aspek kehidupan. Kepemimpinan yang tidak amanah, moral korup, budaya kekerasan, manipulasi agama, tidak pekanya umat beragama terhadap isu-isu kemanusiaan sebagaimana pernah terjadi di Turki pada masa peralihan menuju sekulerisme, juga dapat dirasakan di sini. Kondisi itu sama-sama menjadi keprihatinan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim.
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sama-sama gelisah menghadapi problem fundamental yang dialami dalam kehidupan keberagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Hanya perbedaannya, Yusuf Hasyim tidak menjadikan pola hubungan agama dengan negara di Indonesia sebagaimana yang berlaku selama ini sebagai penyebab timbulnya masalah. Solusinya, menurut Yusuf Hasyim, akomodasi negara terhadap mainstream Islam politik merupakan sebuah keharusan. Untuk menghindari ketegangan disatu sisi, sekaligus memperkuat legitimasi negara di mata umat di sisi lain atau dalam bahasa Yusuf Hasyim formalisasi agama diperlukan sebagai identitas Islam yang mayoritas di Indonesia.103 Sebaliknya, Abdurrahman Wahid menganggap bahwa hubungan agama dan negara (formalisme agama) tidak diperlukan, karena tidak sesuai struktur kebangsaan lndonesia yang majemuk. Menurutnya dengan menggunakan
103
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. Lihat juga wawancara, Pak Ud, Sabili No 13 Tahun VI, 6 Januari 1999, hal. 49.
terminologi keagamaan seperti asas, idiom, simbol-simbol formal keagamaan akan mudah dituduh melakukan politisasi agama. Sehingga tidak aneh kalau solusi yang ditawarkan Abdurrahman Wahid adalah dalam bentuk mensekulerkan negara, alasannya menurutnya karena Indonesia bukanlah negara agama.104
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, meskipun garis pemikirannya berbeda, sama-sama mendasarkan gagasannya demi kepentingan Jam'iyah NU dan bangsanya, hanya yang satu melalui jalur formal kebangsaan, sedangkan satunya tidak. Dan meskipun keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda secara diamental, semua gagasannya diabdikan untuk kepentingan dan eksistensi Nahdlatul Ulama.
104
Gus Dur, “PKB, Sayriah dan PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Lihat juga Rumadi, “Kegamangan Politik Kyai NU”, Aula no.05 tahun XXIII, Mei 2001.hal.71-72.
Perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang Visi dan Strategi Politik NU.
Basis pergumulan di NU
Kecenderungan
paradigma pemikiran dan gerakan
Interprestasi khittah NU 1926
Isu-isu agama dan politik
Latar belakang pendirian partai
Intelektual105
Berpijak pada paradigma berangkat dari agama menyelesaikan masalah bangsa (intregrasi Islam dalam bangsa tanpa menampakkan bentuk-bentuk yang eksklusif Islam)106
Mengarah pada kebebasan untuk memilih atau tidak memilih partai politik dan tidak mengidentifikasikan dengan sebutan NU (dikenal dengan politik kultural)107
Pemisahan antara agama dan politik108
PKB, mewadahi aspirasi warga nahdliyin sejak NU tidak menjadi partai politik atau sejenak NU termaginalkan secara politis109
Politisi praktis (tidak menunjukan latar belakang yang jelas juga tidak berangkat dari tradisi NU yang kuat )110
Berpijak pada paradigma berangkat dengan agama menyelesaikan masalah bangsa (kelompok yang berharap menguasai posisi strategis kekuasaan sehingga sebagian besar
kekuatannya mampu
diserap oleh negara)111 Mengarah pada pelepasan untuk memilih PPP, tetapi tidak memilih PDI-P dengan Golkar serta menginginkan NU tampil sebagai partai politik sendiri (dikenal dengan khittah plus)112
Politik harus diikuti dengan agama113
PKU, tidak terceminkan keislamannya dalam PKB, keberatan atas dukungan PKB terhadap Megawati yang dicitrakan sebagai
warga NU sebagai
nasionalis sekuler114
105
Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982.
106
Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No. 1,Tahun 1994. hal.37
107
Marzuki Wahid dkk, Geger Di Republik NU, Perebutan wacana, Tafsir Sejarah, Tafsiran Makna,(Jakarta: Kompas-Lakspedam, 1999), hal.216-217.
108
Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3 November 1998.
109
Sahar L. Hasan dkk (ed), Memilih Partai Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hal.24.
110
Komitmen terhadap partai
Pola hubungan agama dan negara
Negara yang dicita-citakan
Pandang terhadap visi politik NU ( wawasan keagamaan )
Untuk melindungi
pluralitas atau lebih mengutamakan
kepentingan nasional115 Intregasi Islam dalam kegiatan bangsa116
Negara demokrasi yang
tidak ada
fundamentalisme Islam117
Bagi NU Syariat Islam berlaku sebagai konvensi bukan aturan formal118
Untuk melindungi syari’ah atau menjadikan siyasah (politik)untuk
memperjuangkan syari’ah119
Formulasi hukum Islam yang relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara120
Negara demokrasi
/masyarakat madani dengan representasi politik Islam sebagai umat mayoritas atau semua kelompok diorganisir secara seimbang121
Bagi NU, berbagai hal yang menyangkut masalah publik yang termasuk didalamnya adalah masalah kenegaraan dan kebangsaan merujuk fiqh sebagai implementasi lahiriah dari syariah122
Persamaan Visi dan Startegi Perjuangan Politik NU Antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim
111
Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No. 1,Tahun 1994. hal.37.
112
Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”, Aula, Agustus 1988, hal.13-14.
113
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57-58.
114
Yusuf Hasyim, “Romantrisme PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
115
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
116
Ibid.
117
Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3 November 1998.
118
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
119
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
120
Ibid.
121
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.40.
122
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
1. Islam sebagai agama pembebasan sepenuhnya kompatibel dengan visi politik NU
2. Kehadiran negara Islam di Indonesia, ditolak bukan semata-mata karena tidak adanya perintah langsung dari al Qur’an dan Hadist untuk melahirkan itu, tetapi kehadirannya juga bisa tidak bermakna kondusif bagi upaya mempertahankan intregitas bangsa yang pluralistik
3. Penerimaan negara yang demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistis untuk mewujudkan terbentuknya suatu tatanan masyarakat yang adil, egaliter sebagaimana dicita-citakan oleh Islam.
B. ANALISA PERBANDINGAN STRATEGI POLITIK NU