• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.8 Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP)

Untuk suatu produk atau jasa tertentu, penetapan harga atau tarifnya harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Salah satu metode untuk

mengukur kemampuan masyarakat adalah dengan survei Ability To Pay (ATP)

dan Willingness To Pay (WTP).

Kemampuan untuk membayar (Ability To Pay) adalah kemampuan

31

pengelolaannya (Permata, 2012). Prinsip Ability To Pay (ATP) didasarkan pada

besarnya alokasi biaya dari pendapatan rutin yang diterimanya. Pendekatan yang

digunakan dalam analisis ability to pay untuk penelitian ini berdasarkan metode

hosehold budget (alokasi pendapatan).

Menurut Permata (2012), dengan menggunakan metode household

budget untuk travel cost, nilai ATP individual yang dapat diterima oleh pengguna jasa dapat dihitung dengan menggunakan rumus 2.14 berikut :

ATP = %

(2.13)

Dimana :

ATP = dalam rupiah (Rp)

I = pendapatan (income), dalam rupiah (Rp)

%C = persentase dari pendapatan untuk travel cost, dalam persen (%)

D = frekuensi perjalanan

Dengan metode household budget, untuk analisis ATP dalam penelitian

ini, prinsip yang digunakan adalah total alokasi pendapatan yang digunakan untuk membayar iuran air dibandingkan dengan total pendapatan. Maka dengan menggunakan dasar rumusan yang sama dengan penelitian Permata (2012), rumus besaran ATP untuk penelitian ini adalah :

ATP = %

(2.14)

Dimana :

ATP = ATP responden dalam rupiah per meter kubik (Rp/m3)

I = pendapatan (income), dalam rupiah (Rp)

%C = persentase dari pendapatan untuk biaya air irigasi, dalam persen (%)

D = jumlah air yang digunakan, dalam meter kubik (m3)

Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan membayar dari pemakai atas imbalan terhadap suatu barang atau jasa yang dinikmatinya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis WTP berdasarkan pada persepsi petani sebagai pemakai air terhadap pembayaran tarif air yang berupa BJPSDA irigasi. Nilai WTP yang diperoleh dari responden, dalam hal ini petani, berupa nilai maksimum rupiah yang bersedia dibayarkan oleh petani.

32

Untuk memperoleh nilai WTP, dapat digunakan pendekatan dengan

menggunakan metode Contingent Value (CV), yaitu menjelaskan suatu skenario

kebijakan tertentu secara hipotetik yang dituangkan kedalam sebuah kuesioner, dan kemudian ditanyakan atau diserahkan kepada konsumen untuk mengetahui WTP yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa tertentu (Fernandez, et.al, 2004 dalam (Diana, 2014). Ada tiga format CV yang dapat dilakukan dan dituangkan dalam kuesioner, yaitu :

1. Open-ended elicitation format, atau pertanyaan terbuka, yaitu metode yang dilakukan dengan bertanya langsung kepada konsumen berapa jumlah atau nilai maksimum yang ingin dibayar terhadap suatu barang atau jasa. Kelebihan metode ini adalah konsumen tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang akan diberikan. Metode ini tidak menggunakan nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan timbul bias data dari awal. Kekurangan metode ini adalah kurang tepatnya nilai yang diberikan konsumen, kadang terlalu besar atau terlalu kecil, sehingga tidak dapat menggambarkan nilai WTP yang sebenarnya.

2. Close ended referendum elicitation format (bidding game format), atau pertanyaan tertutup, dimana konsumen ditanya apakah mau atau ingin membayar sejulah uang tertentu yang dijadikan titik awal dengan memberikan pilihan ya atau tidak, ataupun setuju atau tidak setuju. Jika jawabannya ya, maka besarnya nilai tawaran akan dinaikkan sampai tingkat yang disepakati. Jika jawabannya tidak, maka nilai tawaran akan diturunkan sampai jumlah yang disepakati. Kelebihan metode ini adalah memberikan waktu berpikir lebih lama bagi konsumen untuk menentukan WTP, sedangkan kelemahannya adalah kemungkinan akan mengandung bias data dari awal.

3. Payment card elicitation (squential referendum method atau discrate choice method). Pada metode ini, konsumen diminta untuk memilih WTP yang realistik menurut preferensinya untuk beberapa hal yang ditawarkan dalam bentuk kartu. Untuk mengembangkan kualitas metode ini, dapat diberikan

semacam nilai patokan (benchmark) yang menggambarkan nilai yang

33

jasa. Kelebihan metode ini adalah dapat memberikan semacam rangsangan yang akan diberikan tanpa harus merasa terintimidasi dengan nilai tertentu. Kelemahannya adalah konsumen masih bisa terpengaruh oleh besaran nilai yang tertera pada kartu yang disodorkan.

Nilai WTP yang diperoleh dari masing-masing responden yaitu berupa maksimum rupiah yang bersedia dibayarkan oleh responden, diolah untuk

mendapatkan nilai rata-rata (mean) dari nilai WTP tersebut dengan persamaan :

MWTP =

∑ WTPi (2.15)

Dimana :

MWTP = rata-rata WTP, dalam rupiah per meter kubik (Rp/m3)

n = jumlah sampel

WTPi = nilai WTP maksimum responden ke i

Beberapa studi terdahulu mengenai analisis ATP dan WTP, merumuskan bahwa ATP/WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :

1. Simanjuntak (2009) dalam Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap

Peningkatan Pelayanan Sistem Penyediaan Air Bersih Dengan WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) (Studi Kasus Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor), merumuskan faktor-faktor yang berpengaruh pada WTP adalah :

a. Umur responden

b. Tingkat pendidikan responden

c. Tingkat pendapatan responden

d. Penilaian responden terhadap pelayanan

e. Tingkat pengetahuan responden tentang iuran yang ditetapkan

f. Jumlah pemakaian air

2. Menurut Suhartono (2003) dalam Analisis Keterjangkauan Daya Beli

Pengguna Jasa Angkutan Umum Dalam Membayar Tarif (Studi Kasus Pengguna Jasa Angkutan Kota di Kabupaten Kudus), faktor yang berpengaruh pada ATP adalah :

a. Karakteristik penumpang

34

Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP adalah :

a. Besaran tarif

b. Kualitas pelayanan

c. Persepsi terhadap tarif baru

d. Persepsi terhadap fluktuasi tarif

3. Menurut Guntoro (2003) dalam penelitian yang berjudul Analisis Model

Kemampuan dan Kemampuan Bayar Petani Atas Iuran Pelayanan Air Irigasi (Studi Kasus Daerah Irigasi Sidorejo Kabupaten Grobogan), faktor-faktor yang berpengaruh pada ATP adalah :

a. Luas lahan

b. Pendapatan bersih petani

Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh pada WTP adalah :

a. Tingkat pendidikan

b. Pengalaman bertani

c. Luas lahan

d. Pendapatan bersih petani

e. Volume air terpenuhi

f. Tersedianya sumber air alternatif

4. Dalam Evaluasi Penerapan Tarif Angkutan Umum Kereta Api (Studi Kasus

Kereta Api Madiun Jaya Ekspres (Fricilia & Legowo, 2015), faktor-faktor yang mempengaruhi ATP adalah :

a. Besar penghasilan

b. Kebutuhan transportasi

c. Total biaya transportasi

d. Prosentase penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap WTP adalah :

a. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan

b. Utilitas pengguna terhadap angkutan tersebut

c. Perilaku pengguna.

5. Permata (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Ability To Pay

dan Willingness To Pay Pengguna Jasa Kereta Api Bandara Soekarno Hatta - Manggarai, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ATP adalah :

35

a. Penghasilan keluarga

b. Alokasi biaya untuk mendapatkan barang/jasa

c. Intensitas untuk mendapatkan barang / jasa

d. Jumlah anggota keluarga

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap WTP adalah :

a. Produk yang ditawarkan

b. Kualitas dan kuantitas pelayanan

c. Utilitas atau manfaat kepada pengguna

d. Penghasilan pengguna

Menurut Permata (2012), hasil nilai ATP dan WTP memiliki hubungan keterkaitan. Berikut ini merupakan penjelasan hubungan antara ATP dan WTP :

1. ATP > WTP

Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai ATP konsumen lebih besar dibandingkan dengan nilai WTP konsumen. Kondisi ini terjadi apabila konsumen memiliki penghasilan yang relatif lebih tinggi tapi utilitas (manfaat) terhadap jasa / barang relatif lebih rendah. Pengguna pada kondisi

ini disebut choiced riders.

2. ATP < WTP

Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai ATP konsumen lebih rendah dibandingkan dengan nilai WTP konsumen. Kondisi ini terjadi apabila konsumen memiliki penghasilan yang relatif lebih rendah tetapi utilitas (manfaat) terhadap jasa / barang relatif lebih tinggi. Pengguna pada kondisi

ini disebut captive riders.

3. ATP = WTP

Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai ATP konsumen sama dengan nilai WTP konsumen. Kondisi ini terjadi apabila terjadi keseimbangan antara utilitas (manfaat) yang diterima konsumen, dengan biaya yang dikeluarkan oleh konsumen untuk membayar jasa / barang tersebut.

Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna yang dalam hal ini dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan, dapat menggunakan prinsip sebagai berikut :

36

1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang

diberlakukan sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat sasaran. Intervensi/campur tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung atau subsidi silang dibutuhkan pada kondisi nilai tarif yang berlaku lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya sama dengan nilai ATP.

2. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan, sehingga bila nilai WTP

masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan.

3. Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat

keleluasaan dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru.

Penjelasan diatas dapat digambarkan seperti pada gambar 2.2 sebagai berikut :

Sumber : Permata (2012)

Gambar 2.2 Zona ATP dan WTP Terhadap Tarif