• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

B. Fase Farmakokinetika

1. Absorpsi dan Bioavailabilitas

a. Definisi absorpsi dan bioavailabilitas

Absorpsi menjelaskan mengenai perpindahan obat dari tempat pemberian ke dalam sirkulasi sistemik (darah). Tetapi secara klinik, yang lebih penting adalah bioavailabilitas (Wilkinson, 2001). Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai / tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin (Anonim, 2004 b).

disintegrasi

Tablet Granul atau deagregasi

agregat

Suspensi partikel halus di cairan gastrointestinal

Larutan obat dalam cairan gastrointestinal

disolusi disolusi disolusi

absorpsi

Obat dalam darah, cairan tubuh, dan jaringan

Gambar 3. Proses perjalanan absorpsi tablet (Proudfoot, 1990)

Produk obat umumnya mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses, yang meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan, dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahap yang paling lambat (rate limiting step) (Shargel, Wu-Pong and Yu, 2005).

b. Mekanisme transpor obat

Setelah molekul obat dalam bentuk larutan maka obat harus berdifusi dari cairan gastrointestinal ke membran kemudian berada dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh (Mayersohn, 2002). Membran biologis tersusun dari protein dan lipid sehingga obat-obat yang larut dalam lemak akan lebih mudah melewati

membran biologis. Kebanyakan dari obat menembus membran dengan mekanisme yang disebut difusi pasif (Proudfoot, 1990). Difusi pasif menunjukkan perpindahan komponen dari fase aqueous melewati suatu membran dimana membran tersebut bersifat pasif, tenaga penggerak perpindahan tersebut hanya merupakan gradien konsentrasi komponen (Mayersohn, 2002).

Mekanisme difusi pasif dapat ditunjukkan secara matematis dengan hukum Fick : (1)

( )

dt

=D Δ

⎜⎜

⎛ −

m b g m/aq m m b g dQ

X

C

C

R

A

b

( )

dQdtb g b

= kecepatan obat berada di darah (b) setelah berdifusi dari cairan saluran cerna (g)

Dm = koefisien difusi obat melewati membran

Am = luas permukaan membran yang tersedia untuk proses difusi obat = koefisien partisi obat antara membran dan cairan aqueous pada saluran cerna

Rm/aq

-C = gradien konsentrasi antara konsentrasi obat di cairan saluran cerna (C

Cg b

g) dengan konsentrasi obat di dalam darah pada tempat absorpsi (C ) b

ΔXm = ketebalan dari membran

Pada kondisi dan obat tertentu maka nilai Dm, Am, Rm/aq, dan ΔXm adalah konstan maka dapat digantikan sebagai koefisien permeabilitas (P).

(2)

( )

=P

(

g −Cb

)

b g dt dQ C . b

Volume dimana obat terdistribusi dalam darah jauh lebih besar dibandingkan volume cairan saluran cerna dan karena sirkulasi darah melewati saluran gastrointestinal cepat dan terus menerus membawa obat yang terabsorpsi, maka nilai C >> Cg b. Kondisi ini yang disebut kondisi sink (Mayersohn, 2002).

(3)

( )

dt g b g dQ C . b ≅P

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi dan Bioavailabilitas Obat

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas suatu obat seperti tercantum di bawah ini.

1). Faktor mekanis

Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yaitu : a). Rute dan metode pemberian

Ketika obat diberikan ke dalam tubuh, obat harus dapat menembus membran hingga dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Contoh rute dan metode pemberian mempengaruhi bioavailabilitas : ada beberapa obat yang tidak terabsorpsi jika diberikan secara oral, ada obat yang bila diberikan secara oral akan mengalami first-pass effect yang berlebihan sehingga hanya sebagian kecil dari obat yang dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan akan menghasilkan AUC kecil, sehingga obat perlu diberikan dengan cara lain (Wagner, 1975).

Dosis dan aturan dosis b).

Dosis dan aturan dosis berkaitan dengan konsentrasi terapeutik yang dapat dicapai suatu obat di dalam plasma, yang berarti berhubungan dengan Cmaks dan AUC yang dihasilkan (mempengaruhi bioavailabilitas obat) (Shargel et al., 2005).

c). Efek dari bentuk sediaan.

Faktor dari bentuk sediaan yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas yaitu:

(1). Faktor fisikakimia bahan dalam obat meliputi sebagai berikut. Faktor yang mempengaruhi kelarutan

Absorpsi obat tergantung seberapa cepat obat larut dalam cairan gastrointestinal, sehingga faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi obat akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Kecepatan disolusi obat ditentukan dari persamaan Noyes dan Whitney (Proudfoot, 1990) :

(4)

)

C

(

D dmdt

=

hA

C

s

dm/dt = kecepatan disolusi partikel obat

D = koefisien difusi larutan obat di cairan gastrointestinal A = luas permukaan efektif dari partikel obat

h = ketebalan lapisan difusi sekitar partikel obat Cs = kelarutan jenuh obat di lapisan difusi

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan obat antara lain : (a). Bentuk kristal

Polymorphism. Banyak obat dapat berada dalam lebih dari satu bentuk kristal. Polimorfi bentuk metastable memiliki kelarutan dalam aqueous dan kecepatan disolusi yang lebih besar dibandingkan polimorfi bentuk stable.

Amorphous state. Obat dalam bentuk amorf biasanya lebih mudah larut dan lebih cepat terdisolusi daripada obat dalam bentuk kristal sehingga akan mempengaruhi bioavailabilitas.

Solvates. Obat bergabung dengan molekul dari pelarut dan membentuk bentuk kristal yang disebut solvates. Secara umum, semakin banyak solvasi maka semakin rendah kelarutan dan kecepatan disolusi obat sehingga dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

(b). Asam bebas, basa bebas, bentuk garam, nilai pKa

Bentuk garam akan lebih cepat larut di larutan aqueous dibandingkan asam atau basa lemah (Wagner, 1975). Jumlah obat asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam larutan di cairan lambung dan di darah dapat dihitung dengan persamaan Henderson-Hasselbach (Proudfoot, 1990) adalah sebagai berikut.

[ ]

[ ]

pH-pKa HA A log -=

untuk obat asam lemah (5)

[ ]

[ ]

pKa-pH B

BH log + =

untuk obat basa lemah (6)

pH = keasaman media pKa = keasaman senyawa

-] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat asam lemah [A

[HA] = fraksi tak terion (molekul) dari senyawa yang bersifat asam lemah

+

[BH ] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat basa lemah

[B] = fraksi tak terion (molekul) dari senyawa yang bersifat basa lemah

(c). Kompleksasi, larutan solid, dan eutetics

Bioavailabilitas tergantung dengan konsentrasi efektif obat. Kompleksasi merupakan interaksi fisikakimia yang dapat terjadi antara bahan-bahan di dalam bentuk sediaan atau di dalam cairan gastrointestinal sehingga akan mempengaruhi konsentrasi efektif obat di dalam cairan gastrointestinal (Proudfoot, 1990). Larutan solid dan eutectics menghasilkan efek bervariasi pada kecepatan disolusi karena dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan obat (Wagner, 1975).

(d). Surfaktan

Surfaktan dapat menghasilkan efek bervariasi pada proses disolusi dan absorpsi. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga meningkatkan kecepatan disolusi (Wagner, 1975).

Faktor yang mempengaruhi transpor obat

Faktor utama yang mempengaruhi obat dalam proses absorpsi obat menembus membran adalah koefisien partisi, banyaknya ionisasi dalam cairan biologis yang ditentukan dari nilai pKa, pH cairan medium obat terlarut, dan berat molekul atau volume (Mayersohn, 2002).

(a). Koefisien partisi

Membran biologis merupakan lapisan lipid sehingga obat yang larut dalam lemak (lipofil) lebih dapat menembus membran. Ko/w adalah rasio kelarutan obat di dalam minyak (oil) dengan kelarutan obat di dalam air (water). Hal ini berarti obat-obat yang memiliki nilai Ko/w lebih besar akan lebih banyak yang dapat menembus membran biologis dan dapat diabsorpsi. Peningkatan nilai Ko/w akan meningkatkan kecepatan absorpsi (Mayersohn, 2002)

(b). Nilai pKa, pH, keberadaan muatan

akan terionisasi pada cairan biologis. Arti pentingnya ionisasi dalam proses absorpsi obat didasarkan pada observasi dimana obat dalam bentuk non ion memiliki nilai Ko/w lebih besar dibandingkan obat dalam bentuk ion. Hal ini berarti membran bersifat permeabel terhadap bentuk non ion dari obat asam lemah dan basa lemah (Mayersohn, 2002; Proudfoot, 1990).

(c). Molal volume, difusivitas

Difusivitas berkaitan dengan berat molekular. Bentuk misel akan berdifusi lebih lambat dari fase aqueous bulk menuju ke lapisan difusi dan berdifusi lebih lambat dalam melewati lapisan difusi dibandingkan molekul obat monomerik (Wagner, 1975).

(d). Stagnant water layers / aqueous diffusion layer

Proses pelarutan obat diawali dengan pelarutan obat pada permukaan partikel padat yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel yang disebut stagnant water layers (Shargel et al., 2005). Obat harus berdifusi melewati stagnant water layers yang bersifat aqueous, isi cairan gastrointestinal dan lapisan membran, maka hal ini dapat menjadi rate-limiting step dalam proses absorpsi (Wagner, 1975).

(2). Faktor farmasetik dan pembuatan obat

Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yang mungkin menyebabkan adanya perbedaan pada parameter-parameter bioavailabilitas adalah sebagai berikut.

(a). Ukuran partikel dan luas permukaan area

Peningkatan luas permukaan area obat untuk kontak dengan cairan gastrointestinal akan meningkatkan kecepatan disolusi. Secara umum, semakin kecil ukuran partikel obat, semakin besar luas permukaan area dan semakin besar kecepatan disolusi, yang akan meningkatkan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

(b). Static electrification dari obat padat

Banyak proses farmasetik seperti blending, pencampuran, coating, dan sebagainya dapat menghasilkan static electrification dari bahan padat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan obat tidak bercampur. Agregasi dapat menurunkan luas permukaan efektif sehingga dapat menurunkan kecepatan disolusi (Wagner, 1975).

(c). Jenis bentuk sediaan

Jenis bentuk sediaan mempengaruhi langkah-langkah obat dari pemberian hingga terlarut dalam cairan gastrointestinal. Semakin banyak langkah-langkah dalam perjalanan obat hingga berada dalam

bentuk larutan di cairan gastrointestinal, maka makin banyak penghalang absorpsi obat dan akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas obat larutan aqueous > suspensi aqueous > kapsul > tablet tidak bersalut > tablet bersalut (Proudfoot, 1990).

(d). Jenis dan jumlah bahan tambahan (eksipien) seperti bahan pengisi, bahan pelicin, bahan pengikat, garam netral, garam asam atau garam basa, dan lain-lain

Eksipien dianggap bahan yang inert, yang tidak memiliki pengaruh terhadap aksi terapeutik dan tidak mengubah aksi biologik dari obat yang terkandung di dalam bentuk sediaan. Namun, disadari bahwa eksipien dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang terabsorpsi dengan cara membentuk kompleks obat-eksipien yang tidak larut seperti tetrasiklin dengan dikalsium fosfat. Selain itu, perubahan eksipien dapat mempengaruhi bioavailabilitas (Proudfoot, 1990). Diluen yang tidak larut air akan memberikan kecepatan disolusi yang lebih rendah dibandingkan bila digunakan diluen yang larut air. Kemungkinannya karena kecepatan deagregasi obat menurun dan obat menjadi lebih bersifat hidrofobik. Garam netral dapat mempengaruhi disolusi karena air dapat lebih mudah masuk sehingga mempercepat hancurnya tablet dan larutnya tablet (Wagner, 1975).

(e). Ukuran granul dan distribusi ukurannya

Dalam proses pembuatan tablet, proses granulasi merupakan proses pengikatan campuran dan mempengaruhi sifat alir. Setelah granul dibentuk menjadi tablet maka tablet akan mempertahankan integritasnya. Ukuran granul dan distribusi ukurannya penting karena mempengaruhi hancurnya tablet menjadi granul yang kemudian hancur menjadi partikel-partikel kecil, sehingga akan mempengaruhi ukuran partikel yang mempengaruhi luas permukaan dan akan menentukan bioavailabilitas obat (Wagner, 1975).

(f). Jenis dan jumlah bahan penghancur dan metode mencampurnya

Bahan penghancur biasanya merupakan bahan yang akan mengembang apabila ada air yang kemudian akan menekan tablet untuk hancur. Proses disintegrasi tablet dalam cairan aqueous pada saluran gastrointestinal merupakan salah satu rate limiting step yang menentukan bioavailabilitas obat (Wagner, 1975).

(g).Waktu pencampuran

Pada proses pencampuran, diperlukan waktu optimum pencampuran sehingga bahan-bahan tercampur sempurna, namun setelah melewati waktu optimum pencampuran, ada kemungkinan bahan-bahan

tersebut tidak tercampur dengan baik sehingga akan mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh (Wagner, 1975).

(h). Tekanan kompresi

Tekanan kompresi menentukan waktu hancur tablet dan kecepatan disolusi obat dari bentuk tablet (Wagner, 1975).

(i). Efek matrik

Untuk obat-obat yang lepas lambat maka terjadi efek matrik. Ketika obat diberikan secara oral, maka pada fase aqueous, air akan masuk ke dalam matrik yang terbuat dari polimer sintetik yang tidak terabsorpsi pada saluran gastrointestinal, kemudian obat akan terlepas dari matrik secara perlahan-lahan (Wagner, 1975).

(j). Jenis dan jumlah surfaktan

Surfaktan yang dimaksud dapat berupa agen pengemulsi, agen pelarut, pensuspensi, penstabil, atau sebagai wetting agent. Surfaktan dapat meningkatkan, menurunkan atau menunjukkan tidak adanya efek pada proses transpor obat menembus membran. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antara obat dengan media disolusi sehingga meningkatkan kecepatan disolusi. Selain itu, surfaktan dapat menghasilkan perubahan biologis yang mungkin dapat

mempengaruhi enzim pemetabolisme obat atau ikatan obat dengan reseptor. Surfaktan dapat mengganggu integritas dan fungsi membran, surfaktan juga dapat mengubah waktu pengosongan lambung (Wagner, 1975; Proudfoot, 1990).

(k). Bentuk dan geometri

Bentuk dan geometri akan mempengaruhi kecepatan disolusi obat. Hal ini berhubungan dengan luas permukaan area efektif dan bentuk sediaan (Wagner, 1975).

(l). Kondisi lingkungan selama pembuatan

Kelembaban selama pembuatan dapat mempengaruhi potensi dari bentuk sediaan yang dibuat misalkan aspirin karena kondisi lembab akan terhidrolisis sehingga mempengaruhi bentuk sediaan yang dibuat (Wagner, 1975).

(m). Kondisi penyimpanan dan lama penyimpanan

Kondisi dan lama penyimpanan akan mempengaruhi stabilitas obat. Stabilitas akan mempengaruhi waktu hancur dan kecepatan disolusi obat, yang akan mempengaruhi bioavailabilitas (Wagner, 1975).

2). Faktor Fisiologi

Faktor fisiologik mempengaruhi pelepasan, disolusi obat dari bentuk sediaan, absorpsi pada saluran pencernaan dan dapat mempengaruhi profil bioavailabilitas obat. Faktor-faktor tersebut yaitu :

a. Motilitas usus dan waktu transit obat dalam usus

Usus merupakan tempat utama terjadinya absorpsi obat sehingga semakin besar kecepatan transit usus maka semakin kecil waktu tinggal obat di dalam usus berarti makin kecil waktu obat kontak dengan tempat absorpsi sehingga jumlah obat yang terabsorpsi menjadi kecil (Proudfoot 1990).

b. Kecepatan pengosongan lambung

Kebanyakan obat diabsorpsi di usus halus sehingga penurunan kecepatan obat dalam bentuk larutan meninggalkan lambung, akan menurunkan kecepatan absorpsi obat dan menunda onset efek terapeutik dari obat. Selain itu, ada obat-obat yang akan mengalami degradasi akibat pH lambung dan aktivitas enzim dalam cairan lambung jika terjadi penundaan pengosongan dalam lambung sehingga akan menurunkan konsentrasi efektif obat dan mempengaruhi bioavailabilitas. Salah satu faktor yang meningkatkan kecepatan pengosongan lambung adalah rasa lapar Proudfoot, 1990).

c. Tempat absorpsi dan area permukaan yang efektif untuk absorpsi obat

villi dan mikrovilli pada usus halus sehingga kebanyakan obat akan terabsorpsi maksimum di dalam usus halus yang berarti akan menghasilkan kecepatan dan jumlah obat terabsorpsi yang maksimum (menentukan bioavailabilitas). Glycocalyx merupakan lapisan pada mikrovilli. Absorpsi obat dari lumen usus halus untuk mencapai pembuluh darah harus melewati beberapa barrier. Larutan obat untuk mencapai mikrovilli harus berdifusi menembus unstirred layer, lapisan mukus dan glycocalyx (Proudfoot, 1990).

d. Nilai pH cairan gastrointestinal, konsentrasi elektrolit

Keasaman (pH) cairan di saluran gastrointestinal bervariasi, pH cairan lambung antara 1-3,5; pH cairan usus halus antara 5-8 (pH 5-6 di duodenum dan sekitar pH 8 di ileum), pH cairan usus besar sekitar 8. Nilai pH cairan gastrointestinal akan mempengaruhi absorpsi obat. Nilai pH cairan gastrointestinal dapat menentukan absorpsi dalam berbagai cara karena kebanyakan obat merupakan asam lemah atau basa lemah, kelarutan komponen-komponen tersebut dalam air dipengaruhi pH, dan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan terutama tablet dan kapsul juga dipengaruhi pH. Bagian obat yang terionisasi lebih larut dalam air daripada bagian obat yang tak terionisasi (Mayersohn, 2002; Shargel et al., 2005).

e. Stabilitas obat pada saluran gastrointestinal

mengalami degradasi dan mengalami metabolisme di saluran gastrointestinal, akibatnya fraksi obat yang terabsorpsi menjadi lebih kecil sehingga menurunkan bioavailabilitas obat (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

f. Metabolisme hepatik

Hati merupakan tempat utama terjadinya metabolisme. First-pass effect merupakan fenomena dimana sebagian obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik mengalami metabolisme di hati sehingga akan menurunkan jumlah obat yang terabsorpsi yang berarti menurunkan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990)

g. Keberadaan makanan di saluran pencernaan

Mekanisme makanan dalam mempengaruhi bioavailabilitas obat yaitu dengan mengubah kecepatan pengosongan lambung, menyebabkan terjadinya stimulasi sekresi gastrointestinal, kompetisi antara komponen makanan dan obat, kompleksasi obat dengan komponen dalam makanan, meningkatkan viskositas dari isi gastrointestinal, dan dapat mengubah aliran darah ke hati (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

h. Faktor-faktor lain : kecepatan aliran darah, agen pengemulsi dan pengkompleks, tegangan permukaan dan tegangan interfasial, gross anatomical body position, suhu, integritas membran saluran pencernaan,

tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas buffer, dan tonisitas (Wagner, 1975).

Dokumen terkait