• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan bioa vailabilitas antara tablet biogesic dan tablet pamol dengan tablet parasetamol generik pada kelinci putih jantan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbandingan bioa vailabilitas antara tablet biogesic dan tablet pamol dengan tablet parasetamol generik pada kelinci putih jantan - USD Repository"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS ANTARA TABLET BIOGESIC® DAN TABLET PAMOL® DENGAN TABLET PARASETAMOL GENERIK

PADA KELINCI PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Vincilia Indriyani

NIM : 038114008

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS ANTARA TABLET BIOGESIC® DAN TABLET PAMOL® DENGAN TABLET PARASETAMOL GENERIK

PADA KELINCI PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Vincilia Indriyani

NIM : 038114008

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

(6)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar atas kasih, kuasa, mujizat, dan

penyertaan-Nya yang sempurna sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Perbandingan Bioavailabilitas antara Tablet Biogesic® dan Tablet Pamol® dengan Tablet Parasetamol Generik pada Kelinci Putih Jantan”. Skripsi ini ditulis

untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada

Program Studi Farmasi di Universitas Sanata Dharma.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bimbingan, bantuan,

dukungan, dan doa dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis hendak

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua tercinta dan adikku, Willy, atas doa, pengertiannya, dan dukungan

semangatnya yang tak pernah berhenti hingga hari ini.

2. Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma dan terima kasih atas pinjaman bukunya yang sangat membantu

penyelesaian skripsi ini.

3. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan

tenaga, juga atas masukan, saran, pengajaran, dukungan, dan semangat yang

selalu menginspirasi dalam penyusunan skripsi ini.

4. Christine Patramurti, M. Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah berkenan

menguji dan memberikan masukan serta saran atas penulisan skripsi ini.

(7)

5. C. M Ratna Rini Nastiti, S. Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah berkenan

menguji, memberikan bimbingan, masukan dan saran yang sangat berarti dalam

penyusunan skripsi ini.

6. Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen yang telah berkenan memberikan

masukan, dukungan dan dorongan semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

7. Clara ”Jephi”ana Sri Widyarini, sahabat, teman praktikum, dan rekan kerja, atas

persahabatan yang indah, kerja sama yang luar biasa, canda tawa, pemikiran,

pengetahuan, semangat, motivasi, dan doa hingga kita bisa menyelesaikan kuliah

kita, PKM dan skripsi kita bersama.

8. Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Yuwono, Pak Mus, Pak Mukmin, Mas

Wagiran, dan segenap karyawan yang telah membantu dan menyemangati.

9. Teman-teman seperjuangan di laboratorium : Fany, Essy, Surya, Galih, dan

Angga atas dukungan semangat dan canda tawanya selama ini.

10.Kesukaan Bapa’s crew yaitu Ci Anita, Ci V’ri, Ci Esme, Ci Vina, Astri, Juwi, Ine,

Indri, Dian, dan Christina, serta anak sel-ku Agnes, Heni, dan Jenny, atas doa,

perhatian, dan kebersamaan persekutuan kita yang indah.

11.Ko Andrey, Koko Can, dan Fang-fang, sahabat-sahabat terbaik, yang selalu ada

menemani hari-hariku, yang selalu mempercayaiku, mendukung dan

mendoakanku.

12.Bu Ina dan Ko Dian, teman sekaligus guru musikku yang selalu memberikan

semangat dan memaklumi kesibukanku dalam pengerjaan skripsi ini.

(8)

13.Adhy, Tirza, Eta, Arnie, dan teman-teman kuliah khususnya angkatan 2003

kelompok praktikum A, terima kasih atas semangat dan segala kebersamaan kita

selama ini.

14.Semua pihak yang telah banyak membantu.

Atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini, penulis mengucapkan

banyak terima kasih. Penulis menyadari sepenuhnya penulisan skripsi ini tidak

terlepas dari keterbatasan dan kekurangan penulis. Oleh karena itu, diharapkan kritik

dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis

bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi perbendaharaan dan perkembangan ilmu

pengetahuan.

Penulis

(9)
(10)

INTISARI

Obat yang beredar di masyarakat dapat dibagi menjadi obat generik dan obat dagang. Perbandingan kedua produk obat tersebut dapat ditinjau dari penelitian farmakokinetika. Penelitian ini dimaksudkan untuk membandingkan bioavailabilitas obat dagang terhadap obat generik pada kelinci putih jantan.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan eksperimental silang. Konsentrasi parasetamol dalam plasma kelinci ditentukan dengan metode kolorimetri berdasarkan metode Chafetz et al. (1971) yang telah dimodifikasi. Data kemudian diubah menjadi parameter-parameter bioavailabilitas dan dianalisis dengan ANOVA mengggunakan taraf kepercayaan 90%.

Hasil penelitian yaitu tmaks (menit) untuk tablet parasetamol generik = 24,233

± 1,193; tablet Biogesic® = 28,000 ± 4,371; tablet Pamol® = 58,467 ± 1,976. Cmaks (μg

/ml) untuk tablet parasetamol generik = 193,927 ± 38,345; tablet Biogesic® = 162,870 ± 34,831; tablet Pamol® = 156,647 ± 42,072. AUC(0-∞) (μg.menit/ml) untuk tablet

parasetamol generik = 22896,410 ± 3731,193; tablet Biogesic® = 22198,470 ± 698,045; tablet Pamol® = 25525,490 ± 7181,70. Hasil ini menunjukkan ada perbedaan tidak bermakna nilai AUC(0-∞) dan nilai Cmaks antara tablet Biogesic® dan tablet

Pamol® dengan tablet parasetamol generik. Namun, terdapat perbedaan bermakna nilai tmaks tablet Pamol® terhadap tablet parasetamol generik. Jadi, dapat disimpulkan

tablet Biogesic® bioekivalen dengan tablet generik, sedangkan tablet Pamol® bioinekivalen dengan tablet generik.

Kata kunci utama : obat generik, obat dagang, parasetamol, bioavailabilitas, bioekivalen.

(11)

ABSTRACT

Drugs can be divided into two groups, are generic drugs and brand-name drugs. The comparison of them could be found out by pharmacokinetic research. This research was aimed to compare the bioavailability of brand-name drugs to generic drugs on male white rabbits.

The research was pure cross experimental research. Paracetamol concentrations in rabbits’ plasma were determined by a colorimetric method based on modified-Chafetz et al. method (1971). The data were presented as bioavailability parameters, and were analyzed using ANOVA with 90% confidence interval.

The results showed that tmax (min) for generic paracetamol tablets = 24,233 ±

1,193; Biogesic® tablets = 28,000 ± 4,371; Pamol® tablets = 58,467 ± 1,976. Cmax (μg

/ml) for generic paracetamol tablets = 193,927 ± 38,345; Biogesic® tablets = 162,870 ± 34,831; Pamol® tablets = 156,647 ± 42,072. AUC(0-∞) (μg.min/ml) for generic

paracetamol tablets = 22896,410 ± 3731,193; Biogesic® tablets = 22198,470 ± 698,045; Pamol® tablets = 25525,490 ± 7181,70. There were insignificant differences of AUC(0-∞) and Cmaks between Biogesic® and generic tablets, and between Pamol®

and generic tablets. However, significant difference of tmaks was found out between

Pamol® and generic tablets. Therefore, we conclude that Biogesic® and generic tablets were bioequivalent, but Pamol® and generic tablets were bioinequivalent.

Keywords : generic drugs, brand-name drugs, paracetamol, bioavailability, bioequivalent.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DARTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 2

2. Keaslian Penelitian... 2

3. Manfaat ... 2

B. Tujuan ... 3

1. Tujuan Umum ... 3

2. Tujuan Khusus ... 3

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 4

A. Nasib Obat di Dalam Tubuh ... 4

B. Fase Farmakokinetika ... 5

1. Absorpsi dan Bioavailabilitas ... 6

2. Distribusi ... 23

3. Biotransformasi atau metabolisme ... 23

(13)

4. Ekskresi ... 24

C. Bioekivalensi ... 25

1. Definisi ... 25

2. Studi Bioavailabilitas dan Bioekivalensi ... 26

3. Korelasi in vitro dan in vivo ... 27

D. Dasar-Dasar Farmakokinetika ... 28

1. Definisi ... 28

2. Model Farmakokinetika ... 28

3. Parameter Farmakokinetika ... 29

4. Strategi Penelitian Farmakokinetika ... 35

E. Desain Cross Over ... 37

F. Parasetamol ... 37

G. Darah ... 41

H. Kolorimetri ... 43

1. Definisi ... 43

2. Kriteria Analisis Kolorimetri ... 43

3. Metode Kolorimetri untuk Parasetamol ... 44

I. Keterangan Empiris ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 48

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 48

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 48

1. Variabel Penelitian ... 48

2. Definisi Operasional ... 50

C. Bahan Penelitian ... 51

D. Alat Penelitian ... 51

E. Tata Cara Penelitian ... 51

1. Uji Pendahuluan Tablet Parasetamol ... 51

2. Pembuatan Larutan ... 53

3. Pengambilan Plasma Darah ... 55

(14)

4. Validasi Metode Analisis ... 55

5. Orientasi Dosis ... 58

6. Metode Bioanalitik Parasetamol dalam Plasma Darah ... 59

F. Analisis Hasil ... 61

1. Nilai Perolehan Kembali (Recovery), Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ... 61

2. Pengolahan Data dengan program STRIPE ... 62

3. Analisis Data secara statistik ... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

A. Uji Sifat Fisik Tablet Parasetamol ... 64

1. Uji Keseragaman Bobot ... 64

2. Uji Kekerasan ... 66

3. Uji Kerapuhan ... 66

4. Uji Waktu Hancur ... 67

5. Uji Disolusi ... 68

B. Pengambilan Plasma Darah Kelinci ... 72

C. Validasi Metode Analisis ... 73

1. Penentuan Operating Time (OT) ... 78

2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol ... 80

3. Pembuatan Kurva Baku ... 81

4. Penentuan Nilai Perolehan kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ... 83

D. Orientasi Dosis dan Orientasi Waktu Pengambilan Cuplikan ... 85

E. Perbandingan Bioavailabilitas ... 87

1. Nilai tmaks ... 89

2. Cmaks ... 90

3. AUC(0-∞) ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

A. Kesimpulan ... 101

(15)

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103

LAMPIRAN ... 108

BIOGRAFI PENULIS ... 142

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I Desain Operasional Penelitian ... 59

Tabel II Parameter-parameter Farmakokinetika beserta satuannya ... 62

Tabel III Hasil Rata-rata Uji Keseragaman Bobot Tablet ... 65

Tabel IV Hasil Rata-rata Uji Kekerasan Tablet ... 66

Tabel V Hasil Uji Kerapuhan Tablet ... 67

Tabel VI Hasil Uji Waktu Hancur Tablet ... 68

Tabel VII Data Persamaan Kurva Baku Disolusi ... 69

Tabel VIII Hasil Uji Disolusi ... 70

Tabel IX Nilai Faktor Kemiripan (f2) ... 72

Tabel X Data Persamaan Kurva Baku ... 82

Tabel XI Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan4 Acak Parasetamol di Dalam Plasma Kadar 100 µg/ml ... 84

Tabel XII Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak Parasetamol di Dalam Plasma Kadar 400 µg/ml ... 84

Tabel XIII Nilai Rata-Rata Parameter-Parameter Bioavailabilitas ... 87

Tabel XIV Hasil Analisis Statistik untuk tmaks ... 89

Tabel XV Hasil Analisis Statistik untuk ln Cmaks ... 90

Tabel XVI Hasil Analisis Statistik untuk AUC(0-∞) ... 92

Tabel XVII Nilai Rata-rata Geometrik Parameter-parameter Bioavailabilitas 98 Tabel XVIII Hasil Uji Keseragaman Bobot ... 108

Tabel XIX Hasil Uji Kekerasan ... 109

Tabel XX Hasil Uji Disolusi Tablet Parasetamol Generik ... 112

Tabel XXI Hasil Uji Disolusi Tablet Biogesic® ... 113

Tabel XXII Hasil Uji Disolusi Tablet Pamol® ... 114

Tabel XXIIII Perhitungan Faktor Kemiripan ... 115

Tabel XXIV Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan ... 118

Tabel XXV Data Tablet Parasetamol Generik 1 ... 124

(17)

Tabel XXVI Data Tablet Parasetamol Generik 2 ... 125

Tabel XXVII Data Tablet Parasetamol Generik 3 ... 126

Tabel XXVIII Data Tablet Biogesic® 1 ... 127

Tabel XXIX Data Tablet Biogesic® 2 ... 128

Tabel XXX Data Tablet Biogesic® 3 ... 129

Tabel XXXI Data Tablet Pamol®1 ... 130

Tabel XXXII Data Tablet Pamol® 2 ... 131

Tabel XXXIII Data Tablet Pamol® 3 ... 132

Tabel XXXIV Nilai Rata-rata Aritmatika Parameter-parameter Farmakokinetika ... 133

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proses Obat dalam Tubuh hingga Menimbulkan Efek ... 5

Gambar 2. Proses Farmakokinetika Obat di dalam Tubuh ... 6

Gambar 3 Proses Perjalanan Absorpsi Obat ... 7

Gambar 4 Struktur Parasetamol ... 38

Gambar 5 Metabolisme Parasetamol ... 41

Gambar 6 Reaksi Parasetamol dengan Asam Nitrat ... 45

Gambar 7 Reaksi Hidrolisis Parasetamol menjadi p-aminofenol ... 45

Gambar 8 Reaksi Pembentukan Warna ... 46

Gambar 9 Kurva Baku Disolusi ... 69

Gambar 10 Kurva Nilai Rata-rata Kumulatif Uji Disolusi ± SD ... 71

Gambar 11 Reaksi antara Asam Klorida dengan Natrium Nitrit Sehingga Membentuk ion Nitrosonium ... 74

Gambar 12 Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium Membentuk 2-nitro-4-asetamidofenol ... 75

Gambar 13 Reaksi antara Asam Nitrit dengan Asam Sulfamat ... 76

Gambar 14 Reaksi antara 2-nitro-4 asetamidofenol dalam Suasana Basa Menghasilkan ion 2-nitro-4 asetamidofenolat ... 76

Gambar 15 Reaksi Menstabilkan Diri Ion 2-nitro-4 asetamidofenolat ... 77

Gambar 16 Mekanisme Reaksi Parasetamol dalam Metode Chafetz et al. ... 78

Gambar 17 Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 100 μg/ml ... 79

Gambar 18 Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 400 μg/ml ... 79

Gambar 19 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol 100 μg/ml ... 80

Gambar 20 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol 400 μg/ml ... 81

(19)

Gambar 21 Kurva Baku Parasetamol ... 83

Gambar 22 Kurva Rata-rata Kadar Parasetamol dalam Plasma versus Waktu 93

Gambar 23 Kurva Rata-rata ln Kadar Parasetamol dalam Plasma versus Waktu 93 Gambar 24 Kurva Hasil Uji Disolusi Tablet Parasetamol Generik ... 112

Gambar 25 Kurva Hasil Uji Disolusi Tablet Biogesic® ... 113

Gambar 26 Kurva Hasil Uji Disolusi Tablet Pamol® ... 114

Gambar 27 OT Larutan Parasetamol Kadar 100µg/ml ... 120

Gambar 28 OT Larutan Parasetamol Kadar 400µg/ml ... 120

Gambar 29 λmaks Larutan Parasetamol Kadar 100µg/ml ... 121

Gambar 30 λmaks Larutan Parasetamol Kadar 400µg/ml ... 121

Gambar 31 Kurva Baku Parasetamol ... 122

Gambar 32 Sertifikat Analisis Parasetamol ... 123

Gambar 33 Kurva Hubungan Kadar Tablet Parasetamol Generik vs Waktu .. 134

Gambar 34 Kurva Hubungan Kadar Tablet Biogesic®vs Waktu ... 134

Gambar 35 Kurva Hubungan Kadar Tablet Pamol®vs Waktu ... 134

Gambar 36 Kurva Hubungan ln Kadar Tablet Parasetamol Generik vs Waktu 135

Gambar 37 Kurva Hubungan ln Kadar Tablet Biogesic® vs Waktu ... 135

Gambar 38 Kurva Hubungan ln Kadar Tablet Pamol® vs Waktu ... 135

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Uji Keseragaman Bobot ... 108

Lampiran 2 Hasil Uji Kekerasan ... 109

Lampiran 3 Contoh Cara Perhitungan Data Disolusi ... 110

Lampiran 4 Hasil Uji Disolusi ... 112

Lampiran 5 Perhitungan Pembuatan Larutan Parasetamol untuk Kurva Baku 116 Lampiran 6 Contoh Perhitungan Pembuatan Larutan Obat ... 117

Lampiran 7 Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan dan Perhitungan Orientasi Dosis ... 118

Lampiran 8 Contoh Perhitungan Volume Pemberian Larutan Parasetamol Pada Hewan Uji ... 119

Lampiran 9 Hasil Scanning Penentuan Operating time dan Panjang Gelombang Maksimum Parasetamol ... 120

Lampiran 10 Hasil Scanning Kurva Baku ... 122

Lampiran 11 Sertifikat Analisis Parasetamol ... 123

Lampiran 12 Hasil Pengolahan Data Dengan Program STRIPE Untuk Tablet Parasetamol Generik ... 125

Lampiran 13 Hasil Pengolahan Data Dengan Program STRIPE Untuk Tablet Biogesic® ... 127

Lampiran 14 Hasil Pengolahan Data Dengan Program STRIPE Untuk Tablet Pamol® ... 130

Lampiran 15 Nilai Rata-rata Parameter-parameter Farmakokinetika ... 133

Lampiran 16 Contoh Perhitungan Nilai Rata-rata Geometrik Parameter Bioavailabilitas ... 133

Lampiran 17 Kurva Kadar Parasetamol Dalam Plasma (Cp vs t) ... 134

Lampiran 18 Kurva ln Kadar Parasetamol Dalam Plasma (ln Cp vs t) ... 135

Lampiran 19 Hasil Pengolahan Data Secara Statistik Dengan Program SPSS 136

(21)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Obat tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat. Dewasa ini, semakin

tinggi permintaan masyarakat akan obat. Obat telah menjadi kebutuhan dalam

masyarakat. Hal tersebut memicu berkembangnya industri-industri obat sehingga obat

yang beredar di masyarakat menjadi sangat beragam. Obat dalam masyarakat dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu obat generik dan obat bermerek dagang (trade mark). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan kedua jenis obat tersebut.

Oleh sebab itu, obat yang beredar di dalam masyarakat harus terjamin mutu, khasiat,

dan keamanannya.

Obat generik merupakan obat jadi yang menggunakan nama zat aktif yang

terkandung di dalamnya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia

atau buku resmi lainnya. Obat bermerek dagang merupakan obat jadi dengan nama

dagang yang dilindungi hukum yaitu merek terdaftar. Banyaknya obat jadi dengan zat

aktif yang sama yang beredar di masyarakat baik obat generik maupun obat bermerek

dagang, menimbulkan pertanyaan apakah obat-obat tersebut adalah sama.

Perbandingan kedua jenis obat tersebut dapat ditinjau dari segi farmakokinetika.

Dalam penelitian ini, dilakukan analisis farmakokinetika yaitu dengan

melakukan studi bioavailabilitas dan bioekivalensi dengan cara membandingkan

(22)

kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi dalam tubuh. Penelitian ini menggunakan

tablet Biogesic® dan tablet Pamol® selaku obat bermerek dagang yang mengandung

senyawa aktif tunggal parasetamol dengan tablet parasetamol generik sebagai

pembandingnya. Penelitian ini dilakukan pada hewan uji yaitu kelinci putih jantan.

Parasetamol dipilih sebagai obat yang akan diteliti dikarenakan parasetamol sangat

lazim digunakan dalam masyarakat baik sebagai obat flu, demam, sakit kepala, nyeri

haid, dan sebagainya.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka dapat dirumuskan

permasalahan yaitu apakah tablet Biogesic® dan tablet Pamol® memiliki

bioavailabilitas yang sama dengan tablet parasetamol generik?

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang diketahui penulis, belum pernah dilakukan penelitian mengenai

perbandingan bioavailabilitas antara tablet Biogesic® dan tablet Pamol® dengan tablet

parasetamol generik pada kelinci putih jantan di lingkungan penelitian Universitas

Sanata Dharma dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

3. Manfaat penelitian

Penelitian mengenai perbandingan bioavailabilitas tablet parasetamol ini

(23)

memberikan informasi akan perbandingan bioavailabilitas tablet obat bermerek

dagang dan tablet obat generik yang mengandung parasetamol pada hewan uji.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Tujuan umum :

Untuk mengetahui bioavailabilitas tablet parasetamol generik, tablet

Biogesic®, dan tablet Pamol®.

2. Tujuan khusus:

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bioavailabilitas yang bermakna

antara tablet Biogesic® dan tablet Pamol® terhadap tablet parasetamol generik, pada

(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

Berkaitan dengan penelitian yang berjudul “Perbandingan Bioavailabilitas

Antara Tablet Biogesic® dan Tablet Pamol dengan Tablet Parasetamol Generik pada ® Kelinci Putih Jantan”, maka dilakukan studi pustaka yang akan mendukung analisis

profil bioavailabilitas yang dihasilkan dari penelitian ini. Studi pustaka yang

dilakukan meliputi penjelasan mengenai nasib obat di dalam tubuh, fase

farmakokinetika, bioekivalensi, dasar-dasar farmakokinetika, desain cross over,

parasetamol, darah, dan kolorimetri.

A. Nasib Obat di Dalam Tubuh

Proses yang terjadi pada selang antara pemberian obat hingga timbul efek

dibagi menjadi 3 fase yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetika, dan fase

farmakodinamika. Fase farmasetik meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan

melarutnya bahan obat. Fase farmakokinetika termasuk proses-proses yang

berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat ke dalam organisme (absorpsi,

distribusi), yang disebut juga proses invasi dan proses eliminasi yaitu proses-proses

yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat (biotransformasi, ekskresi). Fase

farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga proses-proses yang

(25)

Disintegrasi dari bentuk sediaan

Disolusi Obat

EFEK

pemberian

Fase farmasetik

Obat tersedia untuk diabsorpsi (availabilitas farmasetik)

Obat tersedia untuk aksi (availabilitas farmakologis)

Fase farmakokinetika

Fase farmakodinamika

Dosis formulasi obat

Absorpsi, distribusi, metabolisme,

ekskresi

Interaksi obat-reseptor

Gambar 1. Proses obat dalam tubuh hingga menimbulkan efek (Bowman and Rand, 1990)

B. Fase Farmakokinetika

Untuk obat-obat yang diberikan secara ekstravaskuler diperlukan suatu

proses absorpsi. Tempat aksi obat biasanya bukan di dalam darah sehingga obat yang

berada dalam sirkulasi sistemik harus menembus jaringan untuk dapat memberi efek.

Perpindahan obat ini disebut proses distribusi. Eliminasi adalah proses pengeluaran

obat, baik bentuk utuh maupun metabolitnya dari dalam tubuh, dapat melalui ginjal

(26)

Tempat Aksi “Reseptor” terikat bebas

Jaringan

terikat bebas

Absorpsi Ekskresi

Sirkulasi sistemik

obat bebas

obat terikat metabolit

Biotransformasi

Distribusi

Gambar 2. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh (Wilkinson, 2001)

1. Absorpsi dan Bioavailabilitas

a. Definisi absorpsi dan bioavailabilitas

Absorpsi menjelaskan mengenai perpindahan obat dari tempat pemberian ke

dalam sirkulasi sistemik (darah). Tetapi secara klinik, yang lebih penting adalah

bioavailabilitas (Wilkinson, 2001). Bioavailabilitas (ketersediaan hayati)

merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang

mencapai / tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif setelah

pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas dapat diukur dari kadarnya dalam

(27)

disintegrasi

Tablet Granul atau deagregasi

agregat

Suspensi partikel halus di cairan gastrointestinal

Larutan obat dalam cairan gastrointestinal

disolusi disolusi disolusi

absorpsi

Obat dalam darah, cairan tubuh, dan jaringan

Gambar 3. Proses perjalanan absorpsi tablet (Proudfoot, 1990)

Produk obat umumnya mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian

proses, yang meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat,

pelarutan obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju

sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan, dan absorpsi,

kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahap yang paling lambat

(rate limiting step) (Shargel, Wu-Pong and Yu, 2005).

b. Mekanisme transpor obat

Setelah molekul obat dalam bentuk larutan maka obat harus berdifusi dari

cairan gastrointestinal ke membran kemudian berada dalam sirkulasi sistemik

dalam bentuk utuh (Mayersohn, 2002). Membran biologis tersusun dari protein dan

(28)

membran biologis. Kebanyakan dari obat menembus membran dengan mekanisme

yang disebut difusi pasif (Proudfoot, 1990). Difusi pasif menunjukkan perpindahan

komponen dari fase aqueous melewati suatu membran dimana membran tersebut

bersifat pasif, tenaga penggerak perpindahan tersebut hanya merupakan gradien

konsentrasi komponen (Mayersohn, 2002).

Mekanisme difusi pasif dapat ditunjukkan secara matematis dengan hukum

Fick :

(1)

( )

dt

=

D

Δ

⎜⎜

→ m b g m/aq m m b g dQ

X

C

C

R

A

b

( )

dQdtb g b

→ = kecepatan obat berada di darah (b) setelah berdifusi dari cairan

saluran cerna (g)

Dm = koefisien difusi obat melewati membran

Am = luas permukaan membran yang tersedia untuk proses difusi obat = koefisien partisi obat antara membran dan cairan aqueous pada

saluran cerna Rm/aq

-C = gradien konsentrasi antara konsentrasi obat di cairan saluran cerna

(C Cg b

g) dengan konsentrasi obat di dalam darah pada tempat absorpsi

(C ) b

ΔXm = ketebalan dari membran

Pada kondisi dan obat tertentu maka nilai Dm, Am, Rm/aq, dan ΔXm adalah konstan

maka dapat digantikan sebagai koefisien permeabilitas (P).

(2)

( )

=P

(

g −Cb

)

(29)

Volume dimana obat terdistribusi dalam darah jauh lebih besar

dibandingkan volume cairan saluran cerna dan karena sirkulasi darah melewati

saluran gastrointestinal cepat dan terus menerus membawa obat yang terabsorpsi,

maka nilai C >> Cg b. Kondisi ini yang disebut kondisi sink (Mayersohn, 2002).

(3)

( )

dt g b g

dQ

C . b

→ ≅P

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi dan Bioavailabilitas Obat

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas suatu obat seperti

tercantum di bawah ini.

1). Faktor mekanis

Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yaitu :

a). Rute dan metode pemberian

Ketika obat diberikan ke dalam tubuh, obat harus dapat menembus

membran hingga dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Contoh rute

dan metode pemberian mempengaruhi bioavailabilitas : ada beberapa obat

yang tidak terabsorpsi jika diberikan secara oral, ada obat yang bila

diberikan secara oral akan mengalami first-pass effect yang berlebihan

sehingga hanya sebagian kecil dari obat yang dapat masuk ke dalam

sirkulasi sistemik dan akan menghasilkan AUC kecil, sehingga obat perlu

(30)

Dosis dan aturan dosis b).

Dosis dan aturan dosis berkaitan dengan konsentrasi terapeutik yang dapat

dicapai suatu obat di dalam plasma, yang berarti berhubungan dengan

Cmaks dan AUC yang dihasilkan (mempengaruhi bioavailabilitas obat)

(Shargel et al., 2005).

c). Efek dari bentuk sediaan.

Faktor dari bentuk sediaan yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas

yaitu:

(1). Faktor fisikakimia bahan dalam obat meliputi sebagai berikut.

Faktor yang mempengaruhi kelarutan

Absorpsi obat tergantung seberapa cepat obat larut dalam cairan

gastrointestinal, sehingga faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi

obat akan mempengaruhi bioavailabilitas obat. Kecepatan disolusi obat

ditentukan dari persamaan Noyes dan Whitney (Proudfoot, 1990) :

(4)

)

C

(

D

dm

=

C

s h

A dt

dm/dt = kecepatan disolusi partikel obat

D = koefisien difusi larutan obat di cairan gastrointestinal

A = luas permukaan efektif dari partikel obat

h = ketebalan lapisan difusi sekitar partikel obat

Cs = kelarutan jenuh obat di lapisan difusi

(31)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan obat antara lain :

(a). Bentuk kristal

Polymorphism. Banyak obat dapat berada dalam lebih dari satu bentuk kristal. Polimorfi bentuk metastable memiliki kelarutan

dalam aqueous dan kecepatan disolusi yang lebih besar dibandingkan polimorfi bentuk stable.

Amorphous state. Obat dalam bentuk amorf biasanya lebih mudah

larut dan lebih cepat terdisolusi daripada obat dalam bentuk kristal

sehingga akan mempengaruhi bioavailabilitas.

Solvates. Obat bergabung dengan molekul dari pelarut dan membentuk bentuk kristal yang disebut solvates. Secara umum,

semakin banyak solvasi maka semakin rendah kelarutan dan

kecepatan disolusi obat sehingga dapat mempengaruhi

bioavailabilitas obat (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

(b). Asam bebas, basa bebas, bentuk garam, nilai pKa

Bentuk garam akan lebih cepat larut di larutan aqueous

dibandingkan asam atau basa lemah (Wagner, 1975). Jumlah obat

asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam larutan di cairan

lambung dan di darah dapat dihitung dengan persamaan

(32)

[ ]

[ ]

pH-pKa HA

A log

-=

untuk obat asam lemah (5)

[ ]

[ ]

pKa-pH B

BH log =

+

untuk obat basa lemah (6)

pH = keasaman media

pKa = keasaman senyawa

-] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat asam lemah [A

[HA] = fraksi tak terion (molekul) dari senyawa yang bersifat asam

lemah

+

[BH ] = fraksi terion dari senyawa yang bersifat basa lemah

[B] = fraksi tak terion (molekul) dari senyawa yang bersifat basa

lemah

(c). Kompleksasi, larutan solid, dan eutetics

Bioavailabilitas tergantung dengan konsentrasi efektif obat.

Kompleksasi merupakan interaksi fisikakimia yang dapat terjadi

antara bahan-bahan di dalam bentuk sediaan atau di dalam cairan

gastrointestinal sehingga akan mempengaruhi konsentrasi efektif

obat di dalam cairan gastrointestinal (Proudfoot, 1990). Larutan

solid dan eutectics menghasilkan efek bervariasi pada kecepatan

disolusi karena dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan obat

(33)

(d). Surfaktan

Surfaktan dapat menghasilkan efek bervariasi pada proses disolusi

dan absorpsi. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan

sehingga meningkatkan kecepatan disolusi (Wagner, 1975).

Faktor yang mempengaruhi transpor obat

Faktor utama yang mempengaruhi obat dalam proses absorpsi obat

menembus membran adalah koefisien partisi, banyaknya ionisasi dalam

cairan biologis yang ditentukan dari nilai pKa, pH cairan medium obat

terlarut, dan berat molekul atau volume (Mayersohn, 2002).

(a). Koefisien partisi

Membran biologis merupakan lapisan lipid sehingga obat yang larut

dalam lemak (lipofil) lebih dapat menembus membran. Ko/w adalah

rasio kelarutan obat di dalam minyak (oil) dengan kelarutan obat di

dalam air (water). Hal ini berarti obat-obat yang memiliki nilai Ko/w

lebih besar akan lebih banyak yang dapat menembus membran

biologis dan dapat diabsorpsi. Peningkatan nilai Ko/w akan

meningkatkan kecepatan absorpsi (Mayersohn, 2002)

(b). Nilai pKa, pH, keberadaan muatan

(34)

akan terionisasi pada cairan biologis. Arti pentingnya ionisasi dalam

proses absorpsi obat didasarkan pada observasi dimana obat dalam

bentuk non ion memiliki nilai Ko/w lebih besar dibandingkan obat

dalam bentuk ion. Hal ini berarti membran bersifat permeabel

terhadap bentuk non ion dari obat asam lemah dan basa lemah

(Mayersohn, 2002; Proudfoot, 1990).

(c). Molal volume, difusivitas

Difusivitas berkaitan dengan berat molekular. Bentuk misel akan

berdifusi lebih lambat dari fase aqueous bulk menuju ke lapisan

difusi dan berdifusi lebih lambat dalam melewati lapisan difusi

dibandingkan molekul obat monomerik (Wagner, 1975).

(d). Stagnant water layers / aqueous diffusion layer

Proses pelarutan obat diawali dengan pelarutan obat pada permukaan

partikel padat yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel

yang disebut stagnant water layers (Shargel et al., 2005). Obat harus

berdifusi melewati stagnant water layers yang bersifat aqueous, isi

cairan gastrointestinal dan lapisan membran, maka hal ini dapat

(35)

(2). Faktor farmasetik dan pembuatan obat

Faktor-faktor yang termasuk di dalamnya yang mungkin menyebabkan

adanya perbedaan pada parameter-parameter bioavailabilitas adalah

sebagai berikut.

(a). Ukuran partikel dan luas permukaan area

Peningkatan luas permukaan area obat untuk kontak dengan cairan

gastrointestinal akan meningkatkan kecepatan disolusi. Secara

umum, semakin kecil ukuran partikel obat, semakin besar luas

permukaan area dan semakin besar kecepatan disolusi, yang akan

meningkatkan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

(b). Static electrification dari obat padat

Banyak proses farmasetik seperti blending, pencampuran, coating,

dan sebagainya dapat menghasilkan static electrification dari bahan

padat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan obat tidak

bercampur. Agregasi dapat menurunkan luas permukaan efektif

sehingga dapat menurunkan kecepatan disolusi (Wagner, 1975).

(c). Jenis bentuk sediaan

Jenis bentuk sediaan mempengaruhi langkah-langkah obat dari

pemberian hingga terlarut dalam cairan gastrointestinal. Semakin

(36)

bentuk larutan di cairan gastrointestinal, maka makin banyak

penghalang absorpsi obat dan akan mempengaruhi bioavailabilitas

obat. Bioavailabilitas obat larutan aqueous > suspensi aqueous >

kapsul > tablet tidak bersalut > tablet bersalut (Proudfoot, 1990).

(d). Jenis dan jumlah bahan tambahan (eksipien) seperti bahan pengisi,

bahan pelicin, bahan pengikat, garam netral, garam asam atau garam

basa, dan lain-lain

Eksipien dianggap bahan yang inert, yang tidak memiliki pengaruh

terhadap aksi terapeutik dan tidak mengubah aksi biologik dari obat

yang terkandung di dalam bentuk sediaan. Namun, disadari bahwa

eksipien dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang

terabsorpsi dengan cara membentuk kompleks obat-eksipien yang

tidak larut seperti tetrasiklin dengan dikalsium fosfat. Selain itu,

perubahan eksipien dapat mempengaruhi bioavailabilitas (Proudfoot,

1990). Diluen yang tidak larut air akan memberikan kecepatan

disolusi yang lebih rendah dibandingkan bila digunakan diluen yang

larut air. Kemungkinannya karena kecepatan deagregasi obat

menurun dan obat menjadi lebih bersifat hidrofobik. Garam netral

dapat mempengaruhi disolusi karena air dapat lebih mudah masuk

sehingga mempercepat hancurnya tablet dan larutnya tablet

(37)

(e). Ukuran granul dan distribusi ukurannya

Dalam proses pembuatan tablet, proses granulasi merupakan proses

pengikatan campuran dan mempengaruhi sifat alir. Setelah granul

dibentuk menjadi tablet maka tablet akan mempertahankan

integritasnya. Ukuran granul dan distribusi ukurannya penting

karena mempengaruhi hancurnya tablet menjadi granul yang

kemudian hancur menjadi partikel-partikel kecil, sehingga akan

mempengaruhi ukuran partikel yang mempengaruhi luas permukaan

dan akan menentukan bioavailabilitas obat (Wagner, 1975).

(f). Jenis dan jumlah bahan penghancur dan metode mencampurnya

Bahan penghancur biasanya merupakan bahan yang akan

mengembang apabila ada air yang kemudian akan menekan tablet

untuk hancur. Proses disintegrasi tablet dalam cairan aqueous pada

saluran gastrointestinal merupakan salah satu rate limiting step yang

menentukan bioavailabilitas obat (Wagner, 1975).

(g).Waktu pencampuran

Pada proses pencampuran, diperlukan waktu optimum pencampuran

sehingga bahan-bahan tercampur sempurna, namun setelah melewati

(38)

tersebut tidak tercampur dengan baik sehingga akan mempengaruhi

konsentrasi obat dalam tubuh (Wagner, 1975).

(h). Tekanan kompresi

Tekanan kompresi menentukan waktu hancur tablet dan kecepatan

disolusi obat dari bentuk tablet (Wagner, 1975).

(i). Efek matrik

Untuk obat-obat yang lepas lambat maka terjadi efek matrik. Ketika

obat diberikan secara oral, maka pada fase aqueous, air akan masuk

ke dalam matrik yang terbuat dari polimer sintetik yang tidak

terabsorpsi pada saluran gastrointestinal, kemudian obat akan

terlepas dari matrik secara perlahan-lahan (Wagner, 1975).

(j). Jenis dan jumlah surfaktan

Surfaktan yang dimaksud dapat berupa agen pengemulsi, agen

pelarut, pensuspensi, penstabil, atau sebagai wetting agent. Surfaktan

dapat meningkatkan, menurunkan atau menunjukkan tidak adanya

efek pada proses transpor obat menembus membran. Surfaktan dapat

menurunkan tegangan permukaan antara obat dengan media disolusi

sehingga meningkatkan kecepatan disolusi. Selain itu, surfaktan

(39)

mempengaruhi enzim pemetabolisme obat atau ikatan obat dengan

reseptor. Surfaktan dapat mengganggu integritas dan fungsi

membran, surfaktan juga dapat mengubah waktu pengosongan

lambung (Wagner, 1975; Proudfoot, 1990).

(k). Bentuk dan geometri

Bentuk dan geometri akan mempengaruhi kecepatan disolusi obat.

Hal ini berhubungan dengan luas permukaan area efektif dan bentuk

sediaan (Wagner, 1975).

(l). Kondisi lingkungan selama pembuatan

Kelembaban selama pembuatan dapat mempengaruhi potensi dari

bentuk sediaan yang dibuat misalkan aspirin karena kondisi lembab

akan terhidrolisis sehingga mempengaruhi bentuk sediaan yang

dibuat (Wagner, 1975).

(m). Kondisi penyimpanan dan lama penyimpanan

Kondisi dan lama penyimpanan akan mempengaruhi stabilitas obat.

Stabilitas akan mempengaruhi waktu hancur dan kecepatan disolusi

(40)

2). Faktor Fisiologi

Faktor fisiologik mempengaruhi pelepasan, disolusi obat dari bentuk

sediaan, absorpsi pada saluran pencernaan dan dapat mempengaruhi profil

bioavailabilitas obat. Faktor-faktor tersebut yaitu :

a. Motilitas usus dan waktu transit obat dalam usus

Usus merupakan tempat utama terjadinya absorpsi obat sehingga semakin

besar kecepatan transit usus maka semakin kecil waktu tinggal obat di dalam

usus berarti makin kecil waktu obat kontak dengan tempat absorpsi sehingga

jumlah obat yang terabsorpsi menjadi kecil (Proudfoot 1990).

b. Kecepatan pengosongan lambung

Kebanyakan obat diabsorpsi di usus halus sehingga penurunan kecepatan obat

dalam bentuk larutan meninggalkan lambung, akan menurunkan kecepatan

absorpsi obat dan menunda onset efek terapeutik dari obat. Selain itu, ada

obat-obat yang akan mengalami degradasi akibat pH lambung dan aktivitas

enzim dalam cairan lambung jika terjadi penundaan pengosongan dalam

lambung sehingga akan menurunkan konsentrasi efektif obat dan

mempengaruhi bioavailabilitas. Salah satu faktor yang meningkatkan

kecepatan pengosongan lambung adalah rasa lapar Proudfoot, 1990).

c. Tempat absorpsi dan area permukaan yang efektif untuk absorpsi obat

(41)

villi dan mikrovilli pada usus halus sehingga kebanyakan obat akan

terabsorpsi maksimum di dalam usus halus yang berarti akan menghasilkan

kecepatan dan jumlah obat terabsorpsi yang maksimum (menentukan

bioavailabilitas). Glycocalyx merupakan lapisan pada mikrovilli. Absorpsi obat dari lumen usus halus untuk mencapai pembuluh darah harus melewati

beberapa barrier. Larutan obat untuk mencapai mikrovilli harus berdifusi menembus unstirred layer, lapisan mukus dan glycocalyx (Proudfoot, 1990).

d. Nilai pH cairan gastrointestinal, konsentrasi elektrolit

Keasaman (pH) cairan di saluran gastrointestinal bervariasi, pH cairan

lambung antara 1-3,5; pH cairan usus halus antara 5-8 (pH 5-6 di duodenum

dan sekitar pH 8 di ileum), pH cairan usus besar sekitar 8. Nilai pH cairan

gastrointestinal akan mempengaruhi absorpsi obat. Nilai pH cairan

gastrointestinal dapat menentukan absorpsi dalam berbagai cara karena

kebanyakan obat merupakan asam lemah atau basa lemah, kelarutan

komponen-komponen tersebut dalam air dipengaruhi pH, dan kecepatan

disolusi dari bentuk sediaan terutama tablet dan kapsul juga dipengaruhi pH.

Bagian obat yang terionisasi lebih larut dalam air daripada bagian obat yang

tak terionisasi (Mayersohn, 2002; Shargel et al., 2005).

e. Stabilitas obat pada saluran gastrointestinal

(42)

mengalami degradasi dan mengalami metabolisme di saluran gastrointestinal,

akibatnya fraksi obat yang terabsorpsi menjadi lebih kecil sehingga

menurunkan bioavailabilitas obat (Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

f. Metabolisme hepatik

Hati merupakan tempat utama terjadinya metabolisme. First-pass effect

merupakan fenomena dimana sebagian obat sebelum mencapai sirkulasi

sistemik mengalami metabolisme di hati sehingga akan menurunkan jumlah

obat yang terabsorpsi yang berarti menurunkan bioavailabilitas (Proudfoot,

1990)

g. Keberadaan makanan di saluran pencernaan

Mekanisme makanan dalam mempengaruhi bioavailabilitas obat yaitu dengan

mengubah kecepatan pengosongan lambung, menyebabkan terjadinya

stimulasi sekresi gastrointestinal, kompetisi antara komponen makanan dan

obat, kompleksasi obat dengan komponen dalam makanan, meningkatkan

viskositas dari isi gastrointestinal, dan dapat mengubah aliran darah ke hati

(Proudfoot, 1990; Wagner, 1975).

h. Faktor-faktor lain : kecepatan aliran darah, agen pengemulsi dan

pengkompleks, tegangan permukaan dan tegangan interfasial, gross

(43)

tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas buffer, dan tonisitas (Wagner,

1975).

2. Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi

darah (Setiawati, Zulnida, Suyatna, 2002). Distribusi merupakan proses perpindahan

obat dari sirkulasi sistemik menuju ke jaringan dan organ tubuh serta ke cairan tubuh

lainnya seperti cairan interstitial dan cairan intercellular (Wilkinson, 2001).

Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam

tubuh. Distribusi fase pertama berjalan dengan cepat yaitu ke organ-organ yang

perfusinya cepat seperti hati, ginjal, dan otak. Distribusi fase kedua memerlukan

waktu lebih lama sebelum mencapai keseimbangan konsentrasi obat di jaringan

dengan yang di dalam darah, yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak secepat

organ di atas seperti otot, visera, kulit, dan jaringan lemak (Setiawati dkk., 2002;

Wilkinson, 2001).

3. Biotransformasi atau metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur

kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini

molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan

kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu,

(44)

mengakhiri kerja obat (Setiawati dkk., 2002). Biotransformasi terjadi pada hati,

saluran cerna, ginjal, dan paru-paru (Wilkinson, 2001).

Reaksi biotransformasi obat dapat dibedakan menjadi 2 fase. Reaksi fase I

adalah reaksi fungsional yang mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar,

meliputi reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis (Setiawati dkk., 2002). Reaksi fase II

merupakan reaksi biosintetik (konjugasi). Reaksi ini merupakan reaksi konjugasi obat

atau metabolit hasil reaksi fase pertama dengan menggunakan substrat endogen

seperti asam glukuronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat. Konjugat yang

dihasilkan akan bersifat polar, inaktif dan dengan cepat dapat diekskresi melalui urin

dan feses (Setiawati dkk., 2002; Wilkinson, 2001).

4. Ekskresi

Ekskresi merupakan peristiwa pengeluaran obat dan atau metabolitnya dari

dalam tubuh. Ginjal merupakan organ terpenting untuk mengekskresi obat dan

metabolitnya. Obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk metabolit hasil

biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih

cepat daripada obat larut lemak (Setiawati dkk., 2002).

Ekskresi di sini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di

glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal

dan distal. Selain melalui ginjal, ekskresi dapat terjadi pada paru-paru, hati, kelenjar

ludah, dan kelenjar susu, keringat, air mata, dan rambut (Setiawati., 2002; Wilkinson,

(45)

C. Bioekivalensi 1. Definisi

Ekivalensi dapat didefinisikan antara lain :

a. Ekivalensi kimia menunjukkan dua atau lebih sediaan obat mengandung

jumlah yang sama yang tertera pada label (kurang lebih pada rentang

tertentu) (Malinowski, 2000).

b. Ekivalensi klinik terjadi ketika obat yang sama dari dua atau lebih sediaan

obat menunjukkan efek in vivo yang identik yang terukur dari respon

farmakologik atau dari kontrol gejala atau penyakit (Malinowski, 2000).

c. Ekivalensi terapeutik menyatakan bahwa dua merek produk obat diharapkan

akan menghasilkan hasil klinik yang sama (Malinowski, 2000). Dua produk

obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai ekivalensi

farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian

dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan

keamanan yang sebanding. Dengan demikian, ekivalensi / inekivalensi

terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik (Anonim, 2004 b).

Ekivalensi farmasetik

d. ditujukan pada dua produk dengan kesamaan bentuk

sediaan, zat aktif dan jumlah zat aktif (Malinowski, 2000; Anonim 2004 b).

e. Alternatif farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi

berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb.) atau bentuk sediaan atau

kekuatan (Anonim, 2004 b; Chereson, 1999).

(46)

sediaan yang sama mencapai sirkulasi sistemik dengan kecepatan dan

jumlah yang sama atau bisa disebut memiliki bioavailabilitas yang sama.

Bioekivalensi ditunjukkan jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik

atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis

molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding

sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan

(Malinowski, 2000; Anonim, 2004 b).

2. Studi Bioavailabilitas dan Bioekivalensi

Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah

disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh

Food and Drug Administration (FDA) untuk dipasarkan. FDA dalam menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman

dan efektif sesuai label indikasi penggunaan serta harus memenuhi seluruh standar

yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian (Shargel et al.,

2005).

Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA

menghendaki studi bioavailabilitas / farmakokinetika dan bila perlu persyaratan

bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et al., 2005). Dalam tahun-tahun terakhir

ini, studi bioavailabilitas dan bioekivalensi dilakukan untuk menurunkan biaya

kesehatan dengan cara meningkatkan pemakaian obat generik. Oleh sebab itu,

(47)

dagang (Chereson, 1999).

Bioavailabilitas dari produk obat sering menentukan efikasi terapeutik dari

obat tersebut karena hal ini mempengaruhi onset, intensitas, dan durasi dari respon

terapeutik obat tersebut (Chereson, 1999). Pada studi bioekivalensi, dibutuhkan suatu

formulasi obat sebagai standar pembanding yang hendaknya mengandung obat aktif

terapeutik dalam formulasi yang paling banyak berada dalam sistemik (yakni larutan

atau suspensi), dalam jumlah sama, dan hendaknya diberikan dengan rute sama

seperti formulasi yang dibandingkan (Shargel et al., 2005).

Bioekivalensi dapat dilakukan menggunakan uji in vitro jika uji in vitro

memiliki korelasi yang baik dengan data bioavailabilitas secara in vivo. Selain itu, uji

bioekivalensi dapat dilakukan melalui studi farmakodinamika melalui uji

perbandingan klinis (Malinowski, 2000).

3. Korelasi in vitro dan in vivo

Korelasi in vitro dan in vivo yang dimaksud adalah hubungan antara karakteristik biologi obat (efek farmakodinamika atau konsentrasi obat dalam plasma)

dan karakteristik fisika kimia produk obat (Shargel et al., 2005). Korelasi in vitro dan

in vivo ini penting untuk diketahui agar dalam menentukan bioavailablitas suatu obat cukup dengan uji in vitro saja, tidak perlu dengan uji in vivo. Selama ini, uji

bioavailabilitas secara in vivo memerlukan waktu yang lama, biaya yang relatif tinggi,

serta terdapat beberapa masalah dalam pemberian obat kepada subjek uji sehat/pasien

(48)

Parameter uji in vitro yang paling dekat hubungannya dengan

bioavailabilitas adalah kecepatan disolusi. Obat yang masuk ke dalam tubuh dapat

diabsorpsi jika sudah dalam bentuk larutan sehingga kecepatan obat untuk larut dari

bentuk sediaannya (laju disolusi) akan menentukan kecepatan dan atau jumlah obat

yang terabsorpsi (Chereson, 1999).

D. Dasar-dasar Farmakokinetika 1. Definisi

Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi

dan eliminasi (terdiri dari metabolisme dan ekskresi) dari obat. Studi farmakokinetika

meliputi pendekatan eksperimental dan teoritis. Aspek eksperimental dari

farmakokinetika meliputi perkembangan teknik pengambilan sampel biologis, metode

analisis obat dan metabolitnya, dan prosedur pengolahan data. Aspek teoritis dari

farmakokinetika meliputi perkembangan model farmakokinetika yang digunakan

untuk memprediksikan proses disposisi yang terjadi setelah pemberian obat. Aplikasi

dari metode statistik termasuk dalam studi farmakokinetika yaitu untuk penetapan

parameter farmakokinetika dan interpretasi data (Shargel, Wu-Pong, B. C. Yu, 2005).

2. Model Farmakokinetika

Model farmakokinetika adalah struktur hipotesis yang digunakan untuk

menggambarkan kecepatan dari proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi obat

(49)

Model farmakokinetika digunakan untuk menginterpretasikan data-data

farmakokinetika (Shargel et al., 2005).

Kompartemen dianggap sebagai sebuah jaringan atau kumpulan jaringan

yang memiliki kesamaan aliran darah dan afinitas terhadap obat. Di setiap

kompartemen, obat dianggap terdistribusi secara seragam. Model ini merupakan suatu

sistem terbuka apabila obat dapat dieliminasi dari tubuh (Shargel et al., 2005).

Kompartemen farmakokinetik ini tidak berhubungan dengan lokasi secara anatomi

tubuh namun hanya parameter operasional yang diturunkan secara matematis

(Mutschler, Derendorf, Schäfer-Korting, Elrod and Estes, 1995).

Model satu kompartemen menunjukkan bahwa setelah pemberian, obat

terdistribusi secara langsung. Model dua atau lebih kompartemen, terjadi distribusi

obat ke dalam ruang distribusi yang dapat dilewatinya dengan kecepatan

berbeda-beda (Mutschler et al., 1995). Model dua kompartemen, obat dapat berpindah antara

kompartemen sentral ke dan dari kompartemen perifer (jaringan). Kompartemen

sentral menggambarkan plasma dan organ yang memiliki perfusi tinggi dan secara

cepat seimbang dengan obat. Jumlah total obat di dalam tubuh dapat dihitung dari

jumlah obat di dalam kompartemen sentral ditambah dengan obat di dalam

kompartemen jaringan (Shargel et al., 2005).

3. Parameter Farmakokinetika

Parameter farmakokinetika adalah konstanta yang menunjukkan profil obat

(50)

farmakokinetika diperoleh dari profil kinetika dari obat yang dapat diperoleh melalui

kurva konsentrasi obat terhadap waktu. Konsentrasi obat dapat diukur sebagai fungsi

terhadap waktu di beberapa cairan tubuh seperti darah, plasma, serum, saliva, dan

urin. Konsentrasi obat dalam darah mencerminkan perubahan kinetika di sirkulasi

sistemik. Untuk mendapatkan kurva konsentrasi obat terhadap waktu maka perlu

dilakukan pengukuran konsentrasi obat berulangkali pada beberapa titik waktu

(Mutschler et al., 1995). Parameter-parameter farmakokinetika antara lain:

a. AUC (Area under the curve)

AUC merupakan ukuran dari jumlah obat di dalam tubuh dan dapat

dihitung dengan menggunakan rumus trapezoid, yaitu :

[

]

t n-1 n

(

n n-1

t t t

2 C C AUC n

1

-n −

+

=

)

(7)

AUC = area di bawah kurva

tn = waktu pengamatan dari konsentrasi obat Cn

tn-1 = waktu pengamatan sebelumnya yang berhubungan dengan konsentrasi

obat Cn-1 (Mutschler et al., 1995).

Rumus trapezoid ini menganggap titik-titik data berada pada suatu

fungsi linier. Jika titik-titik data tersebar secara luas, maka lengkung dari garis

akan menyebabkan kesalahan yang besar dalam memperkirakan area. Pada

suatu waktu area di bawah kurva kadar plasma-waktu diekstrapolasikan

(51)

Dalam hal ini area tersisa,

[

]

k C AUC t pn

tn =

(8)

Cpn = konsentrasi dalam plasma terakhir pada tn

k = slop yang diperoleh dari bagian akhir kurva (Shargel et al., 2005).

Untuk menghitung AUC total (AUC) maka dilakukan ekstrapolasi

bagian akhir area setelah titik terakhir yang diukur (AUCtn - ∞). Prosedur yang

digunakan disebut sahih bila bagian ekstrapolasi tersebut kira-kira di bawah

10% dari AUC total dan tidak boleh digunakan bila melebihi 20% dari AUC

total (Mutschler et al., 1995).

b. Volume distribusi (Vd)

Parameter ini menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh

dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume

penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi

hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang

terdiri dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam

tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum (Setiawati, 2002).

DB = Vd . C (9) p

D = jumlah obat dalam tubuh B

(52)

Tubuh dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan volume yang

konstan. Oleh karena itu, volume distribusi untuk suatu obat umumnya

konstan (Shargel et al., 2005). Volume distribusi besar menunjukkan jumlah

obat yang terdistribusi ke dalam jaringan besar atau terkonsentrasi di jaringan

tertentu (Mutschler, et al., 1995).

c. Bersihan total (Klirens / Cl)

Klirens adalah volume plasma yang dibersihkan dari obat per satuan

waktu oleh seluruh tubuh (ml/menit). Parameter ini menunjukkan kemampuan

tubuh untuk mengeliminasi obat. Untuk obat dengan kinetika orde satu, Cl

merupakan bilangan konstan pada kadar obat yang biasa ditemukan dalam

klinik.

oral oral IV

IV

AUC F.D AUC

D

Cl= = (10)

el d k V

Cl= ⋅ (11)

D = Dosis

F = Fraksi obat yang

terabsorpsi

AUC = Area under the curve Vd = Volume distribusi

(53)

Umumnya bersihan total merupakan hasil beberapa bersihan bagian

bersama-sama, yang terpenting adalah bersihan ginjal (ClR) dan bersihan hati

(ClH) (Mutschler, 1991).

d. Waktu paruh eliminasi (t ) dan kecepatan eliminasi ½

Waktu paruh eliminasi adalah waktu yang diperlukan untuk turunnya

kadar obat dalam plasma atau serum pada fase eliminasi (setelah fase absorpsi

dan distribusi) menjadi separuhnya. Untuk obat-obat dengan kinetika orde

reaksi satu, t½ ini merupakan bilangan konstan, tidak tergantung dari besarnya

dosis, interval pemberian, kadar plasma maupun cara pemberian (Setiawati,

2002).

el el k

0,693 k

2 ln t

2

1 = = (12)

kel adalah konstanta kecepatan eliminasi.

Waktu paruh eliminasi adalah parameter farmakokinetik yang berbeda

dengan waktu paruh dari efek atau waktu yang diperlukan untuk menjadikan

efek farmakologi menjadi separuh dengan efek semula (Mutschler et al.,

1995).

Kecepatan eliminasi merupakan kecepatan pengeluaran per satuan

(54)

2 1 t

2 ln

kel = (13)

e. Bioavailabilitas

Parameter ini menunjukkan fraksi dari dosis obat yang mencapai

peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif (Setiawati, 2002). Faktor yang

menentukan bioavailabilitas adalah kecepatan dan jumlah obat yang dilepas

dari bentuk sediaannya, kecepatan dan jumlah obat yang mengalami absorpsi,

dan besarnya efek lintas pertama (Mutschler et al., 1995).

Besarnya bioavailabilitas absolut dapat dihitung dengan cara sebagai

berikut :

( )

% 100 AUC

AUC F

i.v x ⋅

= (14)

F = bioavailabilitas absolut

AUC = AUC pemberian nonsistemik x

= AUC pemberian intravaskuler AUCiv

Dalam kasus apabila dosis dan formulasi untuk rute pemberian i.v

tidak ada, maka dapat ditentukan bioavailabilitas relatif yang diperoleh

dengan cara :

( )

% 100 AUC

AUC F

standar x

rel= ⋅ (15)

(55)

= AUC pemberian nonsistemik AUCx

AUCstandar = AUC produk standar

Parameter untuk menggambarkan kecepatan absorpsi adalah

konsentrasi obat dalam plasma maksimum (Cmaks) dan selang waktu antara

pemberian obat hingga mencapai konsentrasi maksimum dalam plasma

(tmaks) (Mutschler et al., 1995). 4. Strategi Penelitian Farmakokinetika

Strategi penelitian farmakokinetika (SPF) adalah rencana yang disusun

sebelum meneliti tahap farmakokinetika obat, guna memperoleh informasi tentang

nasib obat dalam tubuh secara kuantitatif. Objek penelitian farmakokinetika adalah

tahap farmakokinetika obat dengan parameter farmakokinetika sebagai tolok ukurnya.

Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara matematik dari

hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin (Suryawati

dan Donatus, 1998).

Tahap-tahap SPF meliputi :

1. Pemilihan rancangan uji coba.

2. Pemilihan subjek uji dan jumlahnya.

3. Pemilihan cuplikan hayati.

4. Pemilihan metode analisis penetapan kadar.

Syarat-syarat metode analisis yaitu :

(56)

selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan suatu

obat dengan metabolitnya, obat lain dan kandungan endogen cuplikan

hayati.

b. sensitivitas

sensitivitas berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur dengan

metode analisis yang digunakan. Hal ini diperlukan karena untuk

menghitung parameter farmakokinetika suatu obat diperlukan kadar obat

tertinggi sampai terendah pada rentang waktu tertentu.

c. ketelitian dan ketepatan

ketelitian dan ketepatan ini akan menentukan kesahihan hasil penetapan

kadar. Ketepatan (accuracy) ditunjukkan oleh kemampuan metode

memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai yang

sesungguhnya. Ketelitian (precision) menunjukkan kedekatan hasil

pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama.

5. Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat.

Takaran dosis yang diberikan harus menjamin dapat diukurnya kadar obat atau

metabolitnya pada rentang waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cukup

memadai untuk analisis farmakokinetika.

6. Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati.

Bila menggunakan cuplikan darah, sebaiknya pengambilan dilakukan sebanyak 3

– 5 kali t ½ eliminasi obat yang diuji. Hal ini disebabkan karena pada kondisi

(57)

obat sebaiknya dilakukan setidaknya 3 kali pada tahap absorpsi, 3 kali di sekitar

puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi.

7. Analisis dan evaluasi hasil.

Langkah-langkah ini meliputi analisis sederetan kadar obat utuh atau

metabolitnya dalam darah atau urin, analisis statistika dan evaluasi (Suryawati

dan Donatus, 1998).

E. Desain Cross Over

Desain cross over merupakan desain blok secara acak dimana tiap blok menerima lebih dari satu formulasi obat pada waktu yang berbeda. Keuntungan dari

desain cross over pada studi bioavailabilitas-bioekivalensi adalah tiap subjek bertindak sebagai kontrol sendiri, desain ini menghilangkan variasi biologik

antarsubjeknya, dan dengan randomisasi yang tepat maka hal ini akan memberikan

kalkulasi yang paling baik mengenai perbedaan tiap formulasi (Chow and Jen-Pei,

2000)

Perlakuan pertama dan perlakuan kedua dipisahkan oleh periode washout

yang cukup untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari

lima kali waktu paruh terminal dari obat, atau lebih lama jika mempunyai metabolit

aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang). Jika obat mempunyai kecepatan

eliminasi yang sangat bervariasi antarsubjek, periode washout yang lebih lama

diperlukan untuk memperhitungkan kecepatan eliminasi yang lebih rendah pada

(58)

(> 24 jam), dapat dipertimbangkan penggunaan desain dua kelompok paralel

(Anonim, 2004 b).

F. Parasetamol

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari

101,0 % C H NO8 9 2, dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berupa serbuk hablur

putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1

N, mudah larut dalam etanol. Tablet parasetamol mengandung parasetamol tidak

kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket

(Anonim, 1995). Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95 %) P, dalam

13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P, dan dalam 9 bagian propilenglikol P,

larut dalam larutan alkali hidroksida. Khasiat dan penggunaan : analgetikum,

antipiretikum (Anonim, 1979).

NHCOCH3 HO

N-(4-hydroxyphenyl)acetamide

Gambar 4. Struktur Parasetamol (Anonim, 1995)

Titik lebur parasetamol 169 °C – 172 °C, tidak larut dalam benzen dan eter,

namun larut dalam larutan basa hidroksida. Parasetamol memiliki pH 5,3 sampai 6,5

pada larutan jenuh. Parasetamol sangat stabil dalam larutan berair dengan pH 5-7.

(59)

2000).

Melalui uji klinis, telah terbukti bahwa makanan dapat menurunkan tingkat

absorpsi parasetamol. Pada keadaan puasa secara nyata dapat meningkatkan

kecepatan absorpsi parasetamol walaupun tidak mempengaruhi jumlah total yang

diabsorpsi (McGilveray and Mattok, 1972). Menurut Lacy, Armstrong, Goldman, dan

Lance (2003), parasetamol cepat diabsorpsi dan hampir sempurna, namun apabila

parasetamol dikonsumsi diikuti dengan makanan berkarbohidrat tinggi akan terjadi

penundaan absorpsi yang berarti menunjukkan penurunan kecepatan absorpsi.

Menurut Proudfoot (1990), makanan akan menurunkan laju pengosongan lambung

sehingga akan menunda onset parasetamol.

Onset dari parasetamol relatif cepat, yaitu kurang dari 1 jam, sedangkan

durasinya sekitar 4 – 6 jam. Parasetamol memiliki tmax 0,5 – 2 jam. Obat ini tersebar

ke seluruh cairan tubuh. Availabilitas oral parasetamol adalah 88 ± 15% (Benet,

1992). Dalam plasma, 20 – 50% parasetamol akan terikat oleh protein plasma

(Anonim, 2004 a ; Lacy et al., 2003). Volume distribusi dari parasetamol adalah 0,94

L/kg (Melmon and Morelli, 1992) atau pada manusia 70 kg, volume distribusinya

sekitar 67 ± 8 L (Benet, 1992).

Parasetamol memiliki t½ sebesar 1 sampai 4 jam (Anonim, 2005 c). Dalam

urin, terdapat 90 – 100% metabolit tidak aktif, namun kadang ditemukan 3%

parasetamol dalam bentuk utuh (Anonim, 2004 a ; Mutschler et al., 1995). Efek

analgesik antipiretik dari parasetamol akan timbul apabila konsentrasinya dalam

(60)

(Kadar Efek Minimum) parasetamol adalah bila kadar parasetamol dalam darah

adalah sebesar 10µg/ml hingga 20 µg/ml, sedangkan nilai KTM (Kadar Toksik

Minimum) parasetamol adalah bila kadar parasetamol dalam plasma lebih besar dari

300 µg/mL (Benet, 1992).

Parasetamol akan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian

parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya

dengan asam sulfat. Selain itu, parasetamol juga dapat mengalami hidroksilasi.

Metabolit hasil hidroksilasi ini, dapat menimbulkan methemoglobinemia dan

hemolisis eritrosit (Wilmana, 2002). Klirens parasetamol adalah 250 ml/menit sampai

450 ml/menit. Klirens parasetamol akan turun apabila terjadi disfungsi hati. Klirens

akan meningkat bila terjadi hipertiroidsm (Melmon and Morelli, 1992).

Parasetamol mengalami metabolisme fase kedua yang menghasilkan

inaktivasi farmakologis dari obat induk. Seperti yang terlihat pada gambar 5,

parasetamol mengalami konjugasi glutation, glukuronida, dan konjugasi sulfat, dan

sebagai hasilnya konjugasi fase kedua tidak aktif secara farmakologis (Gibson and

Skett, 1991).

Parasetamol dalam dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian karena

akan menghasilkan nekrosis pada hati, tapi dosis terapi tidak akan menyebabkan

hepatotoksik. Dosis kecil dari parasetamol akan dieliminasi melalui proses konjugasi

yang kemudian diikuti dengan ekskresi, tapi pada dosis yang berlebihan enzim yang

berperan mengalami saturasi maka obat akan mengalami proses metabolisme yang

(61)

Hidroksilamin akan bereaksi nonenzimatik dengan glutation dan kemudian

akan didetoksifikasi. Namun, karena jumlah glutation di hati terbatas maka apabila

parasetamol dikonsumsi berlebihan maka hidroksilamin yang mungkin terbentuk

akan bereaksi dengan makromolekul dan merusak struktur dan fungsinya sehingga

akan menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel ini dapat dicegah dengan pemberian

sulfidril nukleofilik yang akan bereaksi dengan hidroksilamin elektrofilik dan untuk

mencegah hilangnya glutation secara berlebihan dapat digunakan systeamin dan

dimerkaprol (Benet, 1992).

HO HN COCH3

O HN COCH3

S O

O

HO O HN COCH3

O OH HO

HO

HOOC

Parasetamol (aktif)

Konjugasi sulfat

Konjugasi glukuronida

(tidak aktif) (tidak aktif)

Metabolisme dan konjugasi glutation

Sistein dan konjugasi asam merkapturat (tidak aktif)

ekskresi urin ekskresi urin ekskresi urin

Gambar 5. Metabolisme parasetamol (Gibson and Skett, 1991)

Sinonim parasetamol di antaranya asetaminofen, p-acetamidophenol,

N-acetyl-p-aminophenol (Connors et al., 1986). Parasetamol merupakan derivat para

amino fenol, suatu metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama (Wilmana,

(62)

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol

menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek

sentral seperti salisilat (Wilmana, 2003).

G. Darah

Darah terdiri atas unsur-unsur padat, yaitu eritrosit, leukosit serta trombosit

yang tersuspensi di dalam suatu media cair yakni plasma. Pada darah normal, jumlah

plasma mencapai 55% dari volume darah. Konsentrasi total protein dalam plasma

manusia kurang lebih 77,5 g/dL, dan membentuk bagian utama unsur-unsur padat

plasma.

Begitu darah membeku (mengalami koagulasi), fase cair yang tertinggal

dinamakan serum. Serum sudah tidak lagi mengandung faktor-faktor pembekuan

(termasuk fibrinogen) (Murray, Granner, Mayes, and Rodwell, 1990). Plasma

dihasilkan dari melakukan sentrifugasi pada darah dan ditambahkan ke dalamnya

bahan antikoagulan Chamberlain, 1995).

Plasma ma

Gambar

Tabel XXVI Data Tablet Parasetamol Generik 2  ..........................................
Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan
Gambar 1. Proses obat dalam tubuh hingga menimbulkan efek (Bowman and Rand, 1990)
Gambar 2. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh (Wilkinson, 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil uji analisis secara statistika dengan metode independent simple T-test didapatkan hasil bahwa mutu fisik tablet parasetamol antara metode gelatinasi dan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa air perasan buah Iabu bligo dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci putih jantan sebesar 9.7.,92%o dibandlng

Pada penelitian ini telah dilakukan uji efek netralisasi air perasan buah belimbing manis (Averhoa carambola, Z.) terhadap hiperkolesterolemia pada kelinci jantan putih

Dosis hepatotoksik parasetamol yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati pada tikus jantan galur wistar diperoleh dari penelitian Linawati, Apriyanto, Susanti, Wijayanti,

PROFIL DISOLUSI TERBANDING TABLET GLIBENKLAMID PADA PRODUK GENERIK DENGAN MERK DALAM LARUTAN DAPAR.. FOSFAT PH

Hasil pemeriksaan mutu yang dilakukan terhadap tablet parasetamol generik dan bermerek dengan penetapan kadar memenuhi persyaratan tidak kurang dari 90% dan tidak

Pengujian efektivitas gel ekstrak biji kelengkeng terhadap diameter luka bakar digunakan lima ekor kelinci putih jantan dengan masing-masing perlakuan satu ekor

Pengaruh Infusa Kulit Buah Manggis Garcinia mangostana Terhadap Profil Farmakokinetika Parasetamol Pada Tikus Putih Jantan Rattus norvegicus L... Evaluasi Kejadian Interaksi Obat Pada