• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Tablet Furosemida Generik PAda KAntung Terbalik (Everted Sac) Jejunum Kelinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Tablet Furosemida Generik PAda KAntung Terbalik (Everted Sac) Jejunum Kelinci"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ERLIA ANGGRAINY SIANIPAR

030804053

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TERBALIK (EVERTED SAC) JEJUNUM KELINCI

Oleh :

ERLIA ANGGRAINY SIANIPAR

NIM : 030804053

Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal, November 2007

Pembimbing I Panitia Penguji

(Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, MSc., Apt.) (Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt)

NIP 130 809 699 NIP 131 283 716

Pembimbing II (Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, MSc., Apt.)

NIP 130 809 699

(Drs. Kasmirul Ramlan S., MS., Apt.) (Dr. Edy Suwarso, SU, Apt.)

NIP 131 283 722 NIP 130 935 887

(Drs. Syafruddin, MS., Apt. ) NIP 130 535 834

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan,

(3)

absorpsi tablet furosemida generik pada jejunum kelinci. Percobaan ini dilakukan

dengan metode kantung terbalik jejunum kelinci, memakai alat Crane dan Wilson

yang telah dimodifikasi. Konsentrasi tablet furosemida generik yang digunakan

adalah 0,001 M, 0,002 M dan 0,003 M dengan media larutan dapar fosfat pH 6,0

isotonis. Kadar furosemida yang terabsorpsi diperiksa dalam larutan dapar fosfat

dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277,0 nm

dan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik Analysis of

Variance (ANOVA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju absorpsi tablet furosemida generik

dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi. Laju absorpsi pada konsentrasi 0,003 M

(4,0604 mcg/ml.menit) lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 0,001 M

(3,8338 mcg/ml.menit) dan 0,002 M (1,8750 mcg/ml.menit). Pada konsentrasi 0,003

mM menit ke- 40 tercapai konsentrasi puncak (C

maks

) sebesar 0,8509 mcg/ml, pada

konsentrasi 0,001 M menit ke- 5 tercapai konsentrasi puncak (C

maks

) sebesar 1,4211

mcg/ml dan pada konsentrasi 0,002 M menit ke- 15 tercapai konsentrasi puncak

(C

maks

) sebesar 0,3670 mcg/ml, namun laju absorpsi pada ketiga konsentrasi

(4)

furosemide tablet at rabbit’s jejunum had been researched. This experiment was done

with everted sac of rabbit’s jejunum, used Crane and Wilson apparatus which have

been modified. The concentration of generic furosemide tablet were 0.001 M, 0.002

M and 0.003 M in buffer phosphate at pH 6.0 isotonis medium. Determination of

absorpted furosemide which was checked in buffer phosphate isotonic solution by

using ultraviolet spectrophotometer at wavelength 277.0 nm and obtained data was

analyzed by using statistical test of Analysis of Variance (ANOVA).

The result of the research showed that the absorption of generic furosemide

tablet was influenced by concentration difference. Absorption rate of furosemide of

concentration 0.003 M (4.0604 mcg/ml.menit) was higher compared to concentration

0.001 M (3.8338 mcg/ml.menit) and 0.002 M 1.8750 mcg/ml.menit). The maximum

concentration (C

max

) of concentration 0.003 M at 40

th

minutes was 0.8509 mcg/ml,

maximum concentration (C

max

) of concentration 0.001 M at 5

th

minutes was 1.4211

mcg/ml and maximum concentration (C

max

) of concentration 0.002 M at 15

th

minutes

(5)

penulisan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Laju

Absorpsi Tablet Furosemida Generik pada Kantung Terbalik (Everted sac)

Jejunum Kelinci” ini dengan baik.

Penulis mempersembahkan terimakasih dan rasa hormat yang

sebesar-besarnya kepada Ayahanda B. Sianipar dan Ibunda N. br. Tampubolon tercinta

serta saudara-saudaraku yang kusayangi (Chrisman Sianipar, Robin Frengky

Sianipar, dan Andriando Fridolin Sianipar) yang penuh kesabaran dan kasih

sayang serta telah memberikan bantuan moril, materil, dan doa yang tiada

hentinya selama kuliah hingga penyelesaian skripsi ini.

Atas segala bimbingan, bantuan, serta fasilitas yang tidak ternilai selama

penulis melaksanakan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini, maka

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, MSc., Apt. dan Bapak Drs. Kasmirul

Ramlan Sinaga, MS., Apt. yang telah banyak memberikan bimbingan dan

perhatiannya kepada penulis selama penelitian hingga selesainya

penyusunan skripsi ini.

2.

Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas

Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama menuntut

ilmu di Fakultas Farmasi

3.

Bapak Drs. Syahrial Yoenoes, SU., Apt. selaku Dosen Penasehat

Akademik yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama penulis

melaksanakan perkuliahan.

(6)

6.

Teman-teman Fakultas Farmasi yang tidak dapat disebutkan satu persatu

atas dukungan dan kebersamaan selama perkuliahan hingga penyelesaian

skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan berkat dan balasan yang

berlipat ganda atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan

yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada

khususnya.

Medan, November 2007

Penulis,

(7)

LEMBAR PENGESAHAN ...

iii

KATA PENGANTAR ...

iv

ABSTRAK ...

vi

ABSTRACT ...

vii

DAFTAR ISI ...

viii

DAFTAR TABEL ...

xii

DAFTAR GAMBAR ...

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...

xiv

BAB I. PENDAHULUAN ...

1

1.1 Latar Belakang ...

1

1.2 Perumusan Masalah ...

3

1.3 Hipotesis ...

4

1.4 Tujuan Penelitian ...

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...

5

2.1 Uraian Bahan ...

5

2.2 Farmakologi ...

6

2.2.1 Cara Kerja ...

6

2.2.2 Farmakokinetika ...

6

2.2.3 Efek Samping ...

6

(8)

2.4 Faktor-Faktor dalam Bioavailabilitas Obat ...

9

2.5 Struktur Membran Sel ...

10

2.6 Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis ...

11

2.7 Usus Halus ...

17

2.8 Metode Kantung Terbalik ...

19

2.9 Kinetika Laju Absorpsi ...

20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...

23

3.1 Alat ...

23

3.2 Bahan ...

23

3.3 Hewan Percobaan ...

23

3.4 Pembuatan Pereaksi...

23

3.4.1 Larutan Air Bebas Karbondioksida ...

23

3.4.2 Larutan Kalium Dihidrogenfosfat 0,2 M ...

24

3.4.3 Larutan NaOH 0,1 N………..

24

3.4.4 Larutan NaOH 0,2 N………..

24

3.4.5 Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis..………..

24

3.4.6 Larutan Etanol Netral...

24

3.4.7 Larutan Indikator Fenolftalein... 24

3.5 Prosedur ...

24

(9)

3.5.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Furosemida

dalam Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

25

3.5.5 Pembuatan Kurva Kalibrasi Furosemida dalam

Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

25

3.5.6 Pembuatan Larutan Obat dari Tablet Furosemida

Generik dengan Konsentrasi 0,01 M dalam Larutan

Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

26

3.5.7 Pembuatan Larutan Obat dari Tablet Furosemida

Generik dengan Konsentrasi 0,001 Mm, 0,002 M dan

0,003 M ...

26

3.5.8 Penentuan Pola Penembusan Membran ...

26

3.5.8.1 Pembuatan Jejunum Terbalik (Everted sac)

Kelinci ...

26

3.5.8.2 Penentuan Penembusan Membran Jejunum

Terbalik Kelinci ...

27

3.5.9 Analisis Data ...

28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

29

4.1 Penentuan Normalitas NaOH ...

29

(10)

Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

30

4.5 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Konsentrasi

Kumulatif Larutan Tablet Furosemida Generik yang

Terabsorpsi pada Kantung Terbalik (Everted sac)

Jejunum Kelinci ...

30

4.6 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Absorpsi Tablet

Furosemida Generik pada Kantung Terbalik Jejunum Kelinci 35

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

38

5.1 Kesimpulan ...

38

5.2 Saran ...

38

(11)

pada Interval Waktu Tertentu dalam mcg/ml...

30

Tabel 2. Data Laju Absorpsi Tablet Furosemida Generik pada

Berbagai Konsentrasi ( mcg/ml menit) ...

32

Tabel 3. Data Perbandingan harga AUC (Area Under The Curve)

Tablet Furosemida Generik pada Berbagai Konsentrasi

dalam mcg.menit/ml ...

33

Tabel 4. Data harga AUC (Area Under Curve) Furosemida Baku

dengan Konsentrasi 0,002 M pada PH 6,0 Jejunum Terbalik

Kelinci dalam mcg.menit/ml ...

34

Tabel 5. Data Variasi Konsentrasi pada Uptake 15 Menit dari Tablet

(12)

Gambar 2. Proses Laju Bioavailabilita Obat ...

9

Gambar 3. Struktur Membran Sel ...

11

Gambar 4. Difusi Pasif Melalui Pori ...

12

Gambar 5. Difusi dengan Fasilitas ...

14

Gambar 6. Sistem Pengangkutan Aktif ...

16

Gambar 7. Sistem Pengangkutan Secara Pinositosis ...

16

Gambar 8. Skema Usus Halus dengan Villi dan Perfusinya ...

18

Gambar 9. Grafik Konsentrasi Kumulatif terhadap Waktu dari 0,001 M,

0,002 M dan 0,003 M Tablet Furosemida Generik ...

32

Gambar 10. Grafik Michaelis Menten dari Absorpsi Tablet Furosemida

Generik pada Kantung Terbalik (Everted sac) Jejunum

Kelinci ...

36

(13)

Lampiran 2. Contoh Perhitungan Kadar Furosemida Baku...

44

Lampiran 3. Flowsheet Pembuatan Larutan Induk Baku Furosemida

dalam Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

46

Lampiran 4.

Flowsheet Penentuan λ Maksimum Furosemida dalam

Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

47

Lampiran 5. Penentuan Kurva Serapan Furosemida Baku dalam

Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

48

Lampiran 6. Flowsheet Pembuatan Kurva Kalibrasi Furosemida dalam

Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis ...

49

Lampiran 7. Penentuan Persamaan Garis Regresi dan Kurva

Kalibrasi Furosemida Baku dalam Larutan Dapar Fosfat

pH 6,0 isotonis ...

50

Lampiran 8. Flowsheet Pembuatan Jejunum Terbalik (Everted sac)

Kelinci ...

52

Lampiran 9. Flowsheet Penentuan Pola Penembusan Membran Oleh

(14)

Konsentrasi dalam mcg/ml ...

54

Lampiran 11. Contoh perhitungan Penentuan Harga Konsentrasi

Kumulatif Tablet Furosemida Generik dalam Cairan

Serosa Kantung Terbalik (Everted sac) Jejunum Kelinci

pada Berbagai Konsentrasi dalam mcg/ml ...

55

Lampiran 12. Contoh Perhitungan Penentuan Harga AUC (Area Under

The Curve) Tablet Furosemida Generik pada Berbagai

Konsentrasi dalam mcg.menit/ml...

56

Lampiran 13. Data Absorbansi Tablet Furosemida Generik dalam Cairan

Serosa Kantung Terbalik (Everted sac) jejunum Kelinci

pada Berbagai Konsentrasi ...

57

Lampiran 14. Data Konsentrasi Tablet Furosemida Generik dalam Cairan

Serosa Kantung Terbalik (Everted sac) jejunum Kelinci

pada Berbagai Konsentrasi dalam mcg/ml ...

60

Lampiran 15. Data Konsentrasi Tablet Furosemida Generik dalam Cairan

Serosa Kantung Terbalik (Everted sac) Jejunum Kelinci

ada Berbagai Konsentrasi dalam 10

-3

M ...

61

Lampiran 16. Data Konsentrasi Kumulatif Tablet Furosemida Generik

dalam Cairan Serosa Kantung Terbalik (Everted sac)

(15)

Lampiran 18. Perhitungan Analysis of Variance (ANOVA) Konsentrasi

Kumulatif Tablet Furosemida Generik pada Kantung

erbalik (Everted sac) Jejunum kelinci dengan Berbagai

Konsentrasi ...

64

Lampiran 19. Perhitungan Analysis of Variance (ANOVA) dan Least

Significant Difference (LSD) terhadap Area Under Curve

(AUC) Tablet Furosemida Generik pada Kantung

Terbalik (Everted sac) Jejunum kelinci dengan

Berbagai Konsentrasi ...

65

Lampiran 20. Gambar Grafik Log Konsentrasi Kumulatif Terhadap Waktu

dari 0,001 M, 0,002 M dan 0,003 M Tablet Furosemida

Generik dengan Menggunakan Orde Satu ...

66

Lampiran 21. Gambar Grafik Konsentrasi Kumulatif Terhadap Akar Waktu

dari 0,001 M, 0,002 M dan 0,003 M Tablet Furosemida

Generik dengan Menggunakan Orde Higuchi ...

67

(16)

absorpsi tablet furosemida generik pada jejunum kelinci. Percobaan ini dilakukan

dengan metode kantung terbalik jejunum kelinci, memakai alat Crane

dan

Wilson

yang telah dimodifikasi. Konsentrasi tablet furosemida generik yang digunakan

adalah 0,001 M, 0,002 M dan 0,003 M dengan media larutan dapar fosfat pH 6,0

isotonis. Kadar furosemida yang terabsorpsi diperiksa dalam larutan dapar fosfat

dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277,0 nm

dan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik Analysis of

Variance (ANOVA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju absorpsi tablet furosemida generik

dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi. Laju absorpsi pada konsentrasi 0,003 M

(4,0604 mcg/ml.menit) lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 0,001 M

(3,8338 mcg/ml.menit) dan 0,002 M (1,8750 mcg/ml.menit). Pada konsentrasi 0,003

mM menit ke- 40 tercapai konsentrasi puncak (C

maks

) sebesar 0,8509 mcg/ml, pada

konsentrasi 0,001 M menit ke- 5 tercapai konsentrasi puncak (C

maks

) sebesar 1,4211

mcg/ml dan pada konsentrasi 0,002 M menit ke- 15 tercapai konsentrasi puncak

(C

maks

) sebesar 0,3670 mcg/ml, namun laju absorpsi pada ketiga konsentrasi

(17)

furosemide tablet at rabbit’s jejunum had been researched. This experiment was done

with everted sac of rabbit’s jejunum, used Crane and Wilson apparatus which have

been modified. The concentration of generic furosemide tablet were 0.001 M, 0.002

M and 0.003 M in buffer phosphate at pH 6.0 isotonis medium. Determination of

absorpted furosemide which was checked in buffer phosphate isotonic solution by

using ultraviolet spectrophotometer at wavelength 277.0 nm and obtained data was

analyzed by using statistical test of Analysis of Variance (ANOVA).

The result of the research showed that the absorption of generic furosemide

tablet was influenced by concentration difference. Absorption rate of furosemide of

concentration 0.003 M (4.0604 mcg/ml.menit) was higher compared to concentration

0.001 M (3.8338 mcg/ml.menit) and 0.002 M 1.8750 mcg/ml.menit). The maximum

concentration (C

max

) of concentration 0.003 M at 40

th

minutes was 0.8509 mcg/ml,

maximum concentration (C

max

) of concentration 0.001 M at 5

th

minutes was 1.4211

mcg/ml and maximum concentration (C

max

) of concentration 0.002 M at 15

th

minutes

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Absorpsi obat mengharuskan molekul-molekul obat berada dalam bentuk

larutan pada tempat absorpsi. Disolusi dari bentuk-bentuk sediaan padat dalam

cairan-cairan saluran cerna merupakan syarat untuk menyampaikan suatu obat ke

sirkulasi sistemik setelah pemberian oral (Lachman, dkk, 1991).

Umumnya absorpsi obat pada saluran cerna terjadi secara difusi pasif

sehingga untuk dapat diabsorpsi, obat harus larut dalam cairan pencernaan.

Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh

sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi, serta sifat-sifat-sifat-sifat fisikokimia obat

tersebut (Shargel dan Yu, 1999). Obat-obat yang diabsorpsi oleh difusi pasif, yang

menunjukkan kelarutan dalam air rendah, cenderung memiliki laju absorpsi oral

lebih lambat daripada yang menunjukkan kelarutan dalam air yang tinggi

(Lachman, dkk, 1991).

(19)

1.

Molekul (senyawa) ditranspor dari daerah yang mempunyai perbedaan

potensial kimia yang rendah menuju yang lebih tinggi.

2.

Hasil metabolisme senyawa akan mengganggu transpor.

3.

Kecepatan transpor akan mengalami penjenuhan apabila konsentrasi dari

senyawa meningkat.

4.

Sistem transpor umumnya memperlihatkan struktur kimia spesifik.

5.

Senyawa kimia dengan struktur yang hampir sama akan bekerja sebagai

kompetitif inhibitor (Gennaro, 2000).

Metode kantung terbalik merupakan teknik in vitro yang mudah dan cepat

dilaksanakan serta dapat ditemukan seluruh tipe sel dan lapisan mukosa sehingga

mencerminkan proses/lingkungan sebenarnya saat obat mengalami proses

absorpsi di usus (Barthe, et al, 1999).

Metode kantung terbalik (everted sac) baik digunakan untuk menentukan

absorpsi pada tempat yang berbeda pada usus halus. Hal ini sangat berguna untuk

mengestimasi

first-pass metabolism dari obat dalam sel epithelial intestinal

(Chowhan, and Amaro, 1977).

(20)

furosemida dalam rentang pH 1,9 - 3,9 menunjukkan bahwa semakin tinggi pH

semakin lambat laju penguraian, yang memperlihatkan bahwa furosemida

terhidrolisis karena katalisis ion hidrogen spesifik. Tanjung (2001), telah meneliti

tentang uji bioekivalensi terhadap tablet furosemida generik dan nama dagang

yang menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara

statistika antara produk generik dan nama dagang.

Siregar (2006), meneliti pengaruh perbedaan pH terhadap laju absorpsi

furosemida pada duodenum kelinci, menunjukkan bahwa laju absorpsi furosemida

lebih cepat pada pH 5,8 dibandingkan pH 6,0. Matondang (2006), telah meneliti

tentang pengaruh perbedaan pH terhadap absorpsi furosemida pada jejunum

kelinci memperlihatkan bahwa laju absorpsi pada pH 6,0 > pH 7,0 > pH 6,6.

Selanjutnya Panggabean (2006), telah meneliti tentang pengaruh perbedaan pH

terhadap absorpsi furosemida pada ileum kelinci, menyatakan bahwa laju absorpsi

pada pH 7,0 lebih cepat daripada pH 7,6 dan pH 8,0; serta absorpsi furosemida

pada intestine kelinci paling tinggi dalam jejunum pada pH 6,0.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas peneliti tertarik untuk meneliti

pengaruh konsentrasi terhadap laju absorpsi furosemida yang dilakukan pada

jejunum terbalik kelinci dengan tablet furosemida generik sebagai model.

1.2

Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

(21)

b.

Bagaimana efek perbedaan konsentrasi terhadap laju absorbsi tablet

furosemida generik pada kantung terbalik (Everted sac) jejunum kelinci?

1.3

Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

a.

Ada pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi tablet

furosemida generik pada kantung terbalik (Everted sac) jejunum kelinci.

b.

Perbedaan konsentrasi akan mempengaruhi laju absorpsi tablet furosemida

generik pada kantung terbalik (Everted sac) jejunum kelinci.

1.4

Tujuan

Berdasarkan hipotesis di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian

ini adalah:

a.

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi

tablet furosemida generik pada kantung terbalik (Everted sac) jejunum

kelinci.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan

Gambar 1. Rumus Bangun Furosemida

Nama kimia

: Asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat

Rumus molekul

: C

12

H

11

ClN

2

O

5

Berat molekul

: 330,74

S

Pemerian

: Serbuk hablur, putih sampai hampir kuning; tidak berbau.

Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton,

dalam dimetilformamida dan dalam larutan alkali

hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam

etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam

kloroform

(23)

2.2 Farmakologi

2.2.1 Cara Kerja

Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai

diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja

furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal.

Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak

mempengaruhi tekanan darah yang normal. Pada penggunaan oral, furosemida

diabsorpsi sebagian secara cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses

(Lukmanto,2003)

2.2.2 Farmakokinetika

Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan

masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi furosemida dalam saluran

cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60-69 % pada subyek normal, dan ± 91-99 %

obat terikat oleh plasma protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah

pemberian secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Siswandono,1995).

Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasmanya 30-60

menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat

empedu ( Tjay dan Kirana, 2002).

2.2.3 Efek Samping

(24)

Secara umum, pada injeksi intra vena terlalu cepat dan jarang terjadi

ketulian (reversible) dan hipotensi. Dapat juga terjadi hipokaliemia reversibel

(Tjay dan Kirana, 2002).

2.2.4 Penggunaan Klinik

Furosemida dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan dan

sedang, karena dapat menurunkan tekanan darah (Siswandono,1995).

2.2.5 Sediaan dan Posologi

Furosemida tersedia dalam bentuk tablet 20, 40, 80 mg dan preparat

suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak 2

mg/kg BB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kg BB (Ganiswara,1995).

2.2.6 Klasifikasi Furosemida Berdasarkan Biofarmasi

Furosemida memiliki nilai kelarutan 0,01 mg/ml, C log P 1,9 dan log P

0,74 serta nilai pKa 3,9. Berdasarkan nilai log P, maka furosemida digolongkan

kepada kelas ke 4, yaitu sebagai obat yang memiliki kelarutan rendah dan

permeabilitas rendah sesuai dengan Biopharmaceutics Classification System

(BCS) (Anonim, 2002).

2.3 Absorpsi Obat melalui Saluran Cerna

Absorpsi obat didefinisikan sebagai penetrasi suatu obat melewati

membran tempat pemberian (site of application), dan obat tersebut berada dalam

bentuk yang tidak mengalami perubahan (Syukri,2002).

(25)

a.

Bentuk Sediaan

Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat,

yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respons biologis obat.

Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan, proses

absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan

hayati kemungkinan juga berlainan.

Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi absorpsi obat. Makin

kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin

besar sehingga kecepatan melarut obat makin besar.

Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan

pengisi, pelicin, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi

waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan

absorpsi obat.

b.

Sifat Kimia Fisika Obat

Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat

dapat mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal

atau polimorf, kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasai juga mempengaruhi

proses absorpsi obat.

c.

Faktor Biologis

(26)

lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat

absorpsi.

d.

Faktor Lain-lain

Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara

lain adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan

adanya penyakit tertentu (Siswandono, 2000).

2.4 Faktor-Faktor dalam Bioavailabilitas Obat

Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu

rangkaian proses (Gambar 2). Proses tersebut meliputi disintegrasi produk obat

yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media ‘aqueous’, dan absorpsi

melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.

Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan

sering kali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan

terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tetapi

sebaliknya untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju

pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran

merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahapan penentu kecepatan.

Gambar 2. Proses laju bioavailabilitas obat

(Shargel,1988)

Pelepasan Partikel

Dengan Obat Pelarutan Absorpsi padat

cara peng- hancuran Obat dalam

produk obat

Obat Dalam larutan

(27)

2.5 Struktur Membran Sel

Penelitian Dawson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli

(1956) mengemukakan suatu lembaran lipida protein sebagai model membran.

Model membran tersebut terdiri dari dua basal lipida monomolekular (yang terdiri

dari fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke

bagian dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fasa

berair. Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipid yang polar

(salah satu diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan

protein globular) mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan

statis tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang

hidup.

(28)

Gambar 3. Stuktur Membran Sel

2.6

Cara Penembusan Obat Melalui Membran Biologis

Pada umumnya obat menembus membran biologis secara difusi.

Mekanisme difusi dipengaruhi oleh struktur kimia, sifat fisika kimia obat dan sifat

membran biologis.

Cara penembusan obat ke dalam membran biologis dibagi atas :

1.

Difusi pasif

Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi tiga,

yaitu difusi pasif melalui pori (cara penyaringan), difusi pasif dengan cara melarut

dalam lemak penyusun membran dan difusi pasif dengan fasilitas.

a.

Difusi Pasif Melalui Pori

(29)

untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri

atas rantai panjang (Aiache, dkk, 1993)

Gambar 4. Difusi Pasif Melalui Pori

b.

Difusi Pasif dengan Cara Melarut pada Lemak Penyusun Membran

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau

elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan di

kedua sisi membran.

Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin

besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Kebanyakan zat aktif

merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian

molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak

terionkan. Hanya fraksi zat aktif yang terionkan dan larut dalam lemak yang

dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.

(30)

tak terionkan (satu-satunya yang bergantung pada konsentrasi), serta derajat

ionisasi molekul.

c.

Difusi Pasif dengan Fasilitas

Beberapa bahan obat dapat melewati membran sel karena ada tekanan

osmosa, yang disebabkan adanya perbedaan kadar antar membran,

pengangkutan ini berlangsung dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah

dengan kadar yang lebih rendah dan berhenti setelah mencapai

kesetimbangan, gerakan ini tidak memiliki energi dan terjadi secara spontan.

Diduga molekul obat membentuk kompleks dengan suatu molekul

pembawa dalam membran, yang bersifat mudah larut dalam lemak, sehingga

dengan mudah bergerak menembus membran. Pada sisi membran yang lain

kompleks akan terurai melepas molekul obat dan molekul pembawa bebas

kembali ke tempat semula.

(31)
[image:31.595.233.383.114.288.2]

Gambar 5. Difusi dengan Fasilitas

Hukum difusi Fick :

)

(

C

1

C

2

S

e

KxD

dt

dQ

=

Keterangan :

dt

dQ

= laju pelintasan zat aktif melalui membran

K

= koefisien partisi membran biologik / cairan pelarutan

D

= koefisien difusi molekul zat aktif melintasi membran

S

= permukaan membran yang kontak dengan pelarutan

e

= tebal membran

C

1

-C

2

Dari persamaan tersebut, dapat dilihat hal-hal yang berpengaruh pada

penyerapan zat aktif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa laju penyerapan

berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran (C

= perbedaan konsentrasi di kedua sisi membran

1

-C

2).
(32)

2. Transpor Aktif

Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan

suatu bagian dari membran, berupa enzim atau paling tidak senyawa protein

dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran.

Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada

permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju permukaan asalnya (transpor

selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus perjalanan terjadi dari mukosa

menuju serosa).

Sistem transpor aktif bersifat jenuh, artinya jika semua molekul pembawa

telah digunakan maka kapasitas maksimalnya tercapai. Sistem ini menunjukkan

adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul.

Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas sama

pada pembawa tertentu, dan molekul yang mempunyai afinitas tinggi dapat

menghambat kompetisi transpor dari molekul yang afinitasnya lebih rendah.

(33)
[image:33.595.211.410.114.254.2]

Gambar 6. Sistem Pengangkutan Aktif

3.

Pinositosis

Pinositosis merupakan tipe khas pengangkutan aktif dari obat yang

mempunyai ukuran molekul besar dan misel-misel seperti lemak, amilum,

gliserin, vitamin A,D,E dan K. Pengangkutan ini digambarkan seperti sistem

fagositosis pada bakteri (Siswandono, 1995).

Gambar 7. Sistem Pengangkutan Secara Pinositosis

[image:33.595.221.401.435.611.2]
(34)

lipid membran sel mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi terhadap bentuk

obat yang larut dalam lipid. Obat asam lemah dan basa lemah mungkin berada

dalam keadaan tak terion pada harga pH dari fasa berair pada bagian eksternal dan

internal membran. Selama bentuk tak terion dari obat lebih mudah larut dalam

lipid dari pada bentuk terion, bentuk tak terion larut ke dalam membran dan

seterusnya maka difusi akan lebih cepat dari pada bentuk terion (Wolf,1994).

2.7

Usus Halus

Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan

mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga

penyerapan zat makanan.

Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya

lipatan-lipatan mukosa usus yang berupa valvula conniventes atau lipatan-lipatan kerckring, yang

terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum. Di daerah tersebut

villi-villi usus tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus

(mikrovilli) dan mempunyai aktivitas yang kuat. Adanya anyaman kapiler darah

dan getah bening pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang

besar. Gerakan usus dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan

mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh darah. Keadaan pH serta

tebal dinding yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan

penembusan yang cukup besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam

yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung.

(35)

Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut lemak atau

fraksi-fraski tak terionkan yang larut lemak.

Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena

konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradien

difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada

penyerapan susjacent.

[image:35.595.216.406.388.641.2]

Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan

terhadap pembawa yang sama atau terjadi penjenuhan sistem transpor yang dapat

membatasi pelintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum

terhadap molekul-molekul yang tidak larut (Aiache, dkk, 1993).

(36)

2.8

Metode Kantung Terbalik (

Everted sac

)

Preformulasi melibatkan sejumlah pemeriksaan untuk menghasilkan

informasi yang bermanfaat untuk tahap formulasi selanjutnya meliputi kestabilan

fisikokimia dan kecocokan dosis obat secara biofarmasi.

Penelitian awal biofarmasi dari senyawa obat juga dilakukan selama

preformulasi. Uji-uji ini didesain untuk menelusuri karakteristik ketersediaan

senyawa obat secara in vitro. Hasil penelitian ini mengkontribusikan suatu produk

sediaan obat yang efektif, rasional, aman, dan ekonomis.

Suatu teknik dengan menggunakan everted intestinal sac dapat digunakan

dalam mengevaluasi karakteristik absorpsi dari zat obat (Ansel,1989).

Dalam persiapannya, teknik everted sac menggunakan bagian dari intestin,

disayat dari bagian omentum dan sirkulasi mesenterikum. Intestin ini dibalik

sehingga permukaannya berada pada bagian luar dan ujung dari bagian ini diikat,

larutan buffer dimasukkan melalui kateter pada bagian lainnya, dan bagian luar

usus direndam dalam larutan berisis obat dengan suhu 37

o

C, dialiri oksigen 95%

dan CO

2

Everted sac merupakan teknik yang sederhana yang menghadirkan

kerumitan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengujian konsentrasi obat

secara in vivo.

50%. Kedua bagian, baik serosa maupun mukosa dapat dijadikan sampel

untuk analisis.

(37)

mesenterikum dan kehadiran obat secara total pada bagian dalam kantung pada

difusi melalui serosa.

Selain metode everted sac, terdapat beberapa metode lain yang juga dapat

digunakan untuk melakukan percobaan secara in vitro pada usus halus antara lain:

Everted Intestinal Ring

Metode ini hampir serupa dengan metode everted sac, namun pada metode

ini usus halus dibagi secara horisontal menjadi bentuk cincin-cincin yang

berukuran 2-5 mm. Cincin-cincin ini dibenamkan tanpa pemberian

oksigen, larutan obat dikontrol oleh temperatur. Konsentrasi obat yang

ditentukan antara cincin-cincin dan media. Kebaikan dan keburukan dari

metode ini sama besarnya dengan metode everted sac. Secara teknis

metode ini lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan metode everted

sac, tetapi pengambilan dari permukaan mukosa dan serosa dapat terjadi.

Isolated Mucosal Strips

(Swarbrick, and Boylan, 1992)

2.9

Kinetika Laju Absorpsi

a.

Orde reaksi

Reaksi orde nol

Laju peruraian obat secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Laju pengurangan konsentrasi =

k

dt

dCa

=

(38)

Bila data dari suatu studi stabilitas mengikuti reaksi orde nol, grafik x

(jumlah yang bereaksi) versus t (waktu) merupakan garis lurus dengan

kelandaian menyamai k. Nilai k menyatakan jumlah obat yang terurai per

satuan waktu, dan titik potong garis pada waktu nol sama dengan

konstanta.

jumlah

yang bereaksi

(x)

Waktu (t)

Reaksi ode pertama

Laju pengurangan konsentrasi = -

dt

dCa

= k Ca

Dengan memakai persamaan tersebut untuk reaksi orde pertama dihasilkan

garis lurus bila dibuat grafik logaritma konsentrasi Ca terhadap waktu.

Kecepatan atau konstanta laju reaksi, k, dapat dihitung dari kelandaian

garis dikalikan 2,303.

% obat yang

tersisa

(39)

b. Persamaan Michaelis Menten

V =

]

[

]

[

C

K

C

V

m maks

+

+ Kd [C]

Dimana;

V

= Kecepatan absorpsi awal (mcg/ml.menit)

V

maks

K

= Kecepatan absorpsi maksimum (mcg/ml.menit)

m

[C]

= Konsentrasi (M)

= Tetapan Michaelis Mentens (M)

Kd

= Koefisien Difusi

(Inui, et al, 1988)

3. Lineweaver Burk

Kurva hubungan konsentrasi [C] dan kecepatan absorpsi [V] yang

dikemukakan oleh Michaelis mentens dapat diubah ke dalam kurva garis lurus

apabila digunakan harga resiproknya (1/V dan 1/C). Persamaannya adalah:

1/v =

maks m V K

C

1

+

maks

V

1

Bentuk kurva:

1/v 1/Vmaks

1/Km 1/C

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah alat permeasi in vitro Crane dan Wilson

(modifikasi), spektrofotometer UV-visibel (Shimadzu), neraca analitik (Metler

Toledo), termostat, pH meter (Hanna), stop watch, termometer, tabung oksigen

dan regulator, gelas ukur, pipet volume, maat pipet, tabung reaksi, labu takar,

gelas beaker, kapas, sarung tangan, kotak untuk kelinci, botol aquadest, satu set

alat bedah, dan alat lain yang dibutuhkan.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah furosemida baku (Arandy laboratoris),

eter p.a., natrium hidroksida p.a. (E Merck), Kalium dihidrogen fosfat p.a.

(E.Merck), Natrium Klorida p.a. (E.Merck), NaCl fisiologis, aquadest, jejunum

kelinci.

3.3 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah kelinci jantan dengan berat 1,5 - 2 kg.

3.4 Pembuatan Pereaksi

3.4.1 Larutan Air Bebas Karbondioksida

(41)

3.4.2 Larutan Kalium Dihidogenfosfat 0,2 M

Dilarutkan sejumlah 27,218 g kalium dihidrogenfosfat P dalam air bebas

karbondioksida P secukupnya hingga 1000 ml (Depkes RI, 1979).

3.4.3 Larutan NaOH 0,1 N

Dilarutkan sejumlah 4,001 g natrium hidroksida secukupnya hingga

1000 ml (Depkes RI,1979).

3.4.4 Larutan NaOH 0,2 N

Dilarutkan sejumlah 8,001 g natrium hidroksida secukupnya hingga

1000 ml (Depkes RI, 1979).

3.4.5 Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis

Dicampur 50,0 ml kalium dihidrogenfosfat 0,2 M dengan 5,6 ml natrium

hidroksida 0,2 N dan 1,24 g NaCl, kemudian dicukupkan dengan air bebas

karbondioksida P hingga 200 ml (Depkes RI, 1979).

3.4.6 Larutan Etanol Netral

Pada sejumlah etanol (95%) P ditambahkan 0,5 ml larutan fenolftalein P

dan natrium hidroksida 0,02 N atau 0,1 N secukupnya hingga larutan berwarna

merah jambu. Etanol netral P harus dibuat baru (Depkes RI, 1979).

3.4.7 Larutan Indikator Fenolftalein

Dilarutkan 1 g fenolftalein P dalam 100 ml etanol P (Ditjen POM, 1995).

3.5 Prosedur

3.5.1 Pembakuan Larutan NaOH 0,1 N

(42)

dilarutkan dalam 15 ml air bebas karbondioksida P. Ditambahkan 2 tetes

fenolftalein LP dan titrasi dengan larutan natrium hidroksida hingga terjadi warna

merah muda yang mantap (Ditjen POM, 1995).

3.5.2 Penetapan Kadar Furosemida Baku

Ditimbang seksama lebih kurang 600 mg, dilarutkan dalam 50 ml etanol

yang telah ditambah 3 tetes fenolftalein LP, dan sebelumnya telah dinetralkan

dengan natrium hidroksida 0,1 N. Dititrasi dengan natrium hidroksida 0,1 N

sampai titik akhir berwarna merah muda (Ditjen POM, 1995).

3.5.3 Pembuatan Larutan Induk Baku Furosemida Dalam Larutan Dapar

Fosfat pH 6,0 Isotonis

Ditimbang seksama 50,0 mg furosemida yang telah dikeringkan pada suhu

105

o

3.5.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Furosemida Dalam

Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis

C selama 3 jam. Kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu

tentukur 100 ml dilarutkan dengan NaOH 0,1 N sampai serbuk larut lalu

dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 6,0 isotonis hingga garis tanda.

Dari larutan induk baku dipipet 0,75 ml, dimasukkan ke dalam labu

tentukur 50 ml, dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 6,0 isotonis sampai

garis tanda. Diukur panjang gelombang maksimum.

3.5.5 Pembuatan Kurva Kalibrasi Furosemida Dalam Dapar Fosfat pH 6,0

Isotonis

(43)

dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 6,0

isotonis sampai garis tanda. Diukur pada panjang gelombang maksimum.

3.5.6

Pembuatan Larutan Obat Dari Tablet Furosemida Generik Dengan

Konsentrasi 0,01 M Dalam Larutan Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis

Ditimbang sejumlah serbuk dari tablet furosemida generik setara dengan

826,850 mg. Lalu serbuk dilarutkan dengan NaOH 0,1 N. Kemudian dipindahkan

ke dalam labu tentukur 250 ml, dicukupkan dengan larutan dapar fosfat pH 6,0

isotonis hingga garis tanda.

3.5.7

Pembuatan Larutan Obat Dari Tablet Furosemida Generik Dengan

Konsentrasi 0,001 M, 0,002 M dan 0,003 M

Dari larutan tablet furosemid generik 0,01 M dipipet masing-masing

25 ml, 50 ml, dan 75 ml atau setara dengan konsentrasi 0,001 M, 0,002 M dan

0,003 M, lalu dimasukkan dalam labu tentukur 250 ml, dicukupkan dengan

larutan dapar fosfat pH 6,0 isotonis sampai garis tanda.

3.5.8 Penentuan Pola Penembusan Membran Oleh Furosemida

3.5.8.1 Pembuatan Jejunum Terbalik (

Everted sac

) Kelinci

Hewan percobaan berupa kelinci jantan dengan berat antara 1,5 – 2 kg,

dipuasakan selama 20 – 24 jam. Setelah kelinci tersebut dianestesi dengan eter,

kemudian dilakukan pembedahan pada bagian perut tetapi jangan sampai

mengenai tulang dada. Seluruh usus dikeluarkan dan dibersihkan bagian dalamnya

dari kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat, pembuluh darah halus,

dan sebagainya dengan bantuan pinset dan gunting. Kemudian usus diikat pada

jarak

±

25 cm dari pylorus (ujung lambung) dan bagian ini merupakan duodenum.

(44)

lalu diikat dengan benang, bagian atas digunakan untuk pemeriksaan laju

absorpsi kontrol dan bagian bawah digunakan sebagai pemeriksaan laju absorpsi

sampel. Lamanya usus digunakan dalam percobaan dihitung sejak usus dipisahkan

dari pilorus. Kemudian setiap bagian dipotong tetapi salah satu ujungnya tetap

terikat. Lalu dimasukkan ke dalam larutan NaCl dingin didiamkan beberapa

menit, kemudian diangkat dan dibalik dengan menggunakan batang pengaduk

berpenampang 2 mm. Lalu dijepit pada bagian yang ada ikatan dan dilepaskan

dengan pinset dari batang pengaduk, dicelupkan ke dalam larutan NaCl dingin

(Sinaga, 1995; Kooshapur and Chaiden, 1999).

3.5.8.2 Penentuan Penembusan Membran Jejunum Terbalik Kelinci

Jejunum terbalik kelinci dengan panjang efektif masing-masing 7 cm diikat

pada kanula dan masing-masing diisi dengan cairan serosa 2 ml ke dalamnya

berupa larutan dapar fosfat pH 6,0 isotonis yang tidak mengandung bahan obat.

Jejunum terbalik bagian atas yang digunakan sebagai kontrol, dimasukkan ke

dalam tabung berisi 75 ml cairan mukosa yang mengandung larutan buffer posfat

pH 6,0 isotonis yang tidak mengandung bahan obat. Sedangkan untuk jejunum

terbalik bagian bawah yang digunakan sebagai percobaan, dimasukkan ke dalam

tabung berisi 75 ml cairan mukosa yang mengandung bahan obat furosemida

dengan konsentrasi 0,001 M. Selanjutnya dimasukkan termostat dengan

temperatur 37

±

0,5

o

C. Selama berlangsung percobaan dijaga agar seluruh bagian

(45)

Pada menit 5, 10, 15, 20, 30, 35, 40, 45 cairan serosa diambil ± 1 ml melalui

kanula dan selanjutnya dipipet 0,5 ml diencerkan dengan larutan fisiologis pH 6,0

isotonis hingga 25 ml. Dimasukkan kembali sebanyak 1 ml untuk setiap

pengambilan cairan serosa. Serapan larutan yang diperiksa, diukur panjang

gelombang maksimum yaitu 277,0 nm dengan spektrofotometer ultraviolet.

Dilakukan cara yang sama dengan cara diatas untuk konsentrasi 0,002 M dan

0,003 M (Sinaga, 1995; Kooshapur and Chaiden, 1999).

3.5.9 Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap laju absorpsi

tablet furosemida generik, dilakukan pengujian dalam dapar fosfat pH 6,0 isotonis

pada temperatur 37 ± 0,5

o

Ketergantungan konsentrasi terhadap laju absorpsi tablet furosemida

generik pada kantung terbalik (everted sac) usus halus dihitung dengan persamaan

Michaelis menten.

C sehingga diperoleh data konsentrasi kumulatif dan

laju absorpsi furosemida pada berbagai konsentrasi. Data hasil perhitungan diuji

dengan menggunakan

Analysis of Variance

(ANOVA) program SPSS dengan

taraf kepercayaan

95% (α

= 0,05).

Untuk mengetahui harga kecepatan absorpsi maksimum (V

maks

),

konstanta Michaelis (K

m

), dilakukan dengan menggunakan Lineweaver-Burk

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Normalitas NaOH

Untuk mengetahui normalitas NaOH maka dilakukan pembakuan degan

menggunakan lebih kurang 150 mg kalium biftalat P yang sebelumnya telah

dihaluskan dan dikeringkan pada suhu 120

o

4.2 Penetapan Kadar Furosemida Baku

C selama 2 jam, dan dilarutkan dalam

15 ml air bebas karbondioksida P. Ditambahkan 2 tetes fenolftalein LP dan

dititrasi dengan larutan natrium hidroksida hingga terjadi warna merah muda yang

mantap. Normalitas NaOH yang diperoleh adalah sebesar 0,0918 N. Hasil dapat

dilihat pada lampiran 2 halaman 44.

Penetapan kadar furosemida baku dilakukan secara titrasi semi bebas air

yaitu denagn menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pentiter dan indikator

fenolftalein sehingga diperoleh kadar furosemida baku sebesar 99,3276 %. Hasil

dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 45.

4.3 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Furosemida Dalam Larutan

Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis

(47)

4.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Furosemida Dalam Dapar Fosfat pH 6,0

Isotonis

Untuk menentukan kurva kalibrasi dari furosemida baku dalam larutan

dapar fosfat pH 6,0 isotonis dilakukan pengukuran absorbansi dari larutan induk

furosemida pada konsentrasi 2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 5,5; 7,5; 9,5 dan 11,5 mcg/ml

sehingga diperoleh absorbansi dari masing-masing konsentrasi. Hasil dapat dilihat

pada Lampiran 6 dan 7, halaman 49 - 51.

4.5 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Konsentrasi Kumulatif

Larutan Tablet Furosemida Generik Yang Terabsorpsi Pada Kantung

Terbalik (

Everted sac

) Jejunum Kelinci

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap absorpsi

kumulatif larutan tablet furosemida generik, dilakukan pengujian dalam larutan

dapar fosfat pH 6,0 isotonis pada temperatur 37 ± 0,5

o

Tabel 1. Data Konsentrasi Kumulatif Tablet Furosemida Generik pada

Interval Waktu Tertentu dalam mcg/ml

C dengan hasil seperti yang

terlihat pada Tabel 1.

Menit

ke

Konsentrasi Tablet Furosemid Generik (mcg/ml)

F

Hitung

0,001 M

0,002 M

0,003 M

5

71,0568 ± 10,7200

5,3628 ± 2,4537

8,9905 ± 6,0227

75,583

10

95,3076 ± 16,2251

8,6751 ± 6,2457

17,1136 ± 5,4650

71,303

15

116,9033 ± 24,1369 33,0442 ± 8,9225

42,3502 ± 29,9713

12,823

20

149,2902 ± 5,2420

30,9148 ± 11,7108

58,4648 ± 36,3735

10,000

25

177,7208 ± 3,5132

40,0894 ± 11,9844

59,5820 ± 26,4886

10,756

30

173,2124 ± 32,7231 41,2066 ± 20,4659

99,3691 ± 9,7032

16,126

35

194,2166 ± 41,1625 51,5510 ± 15,2794

117,7839 ± 2,5094

11,800

40

208,7277 ± 40,8872

74,1325 ± 8,2533

118,6909 ± 69,5954 10,545

45

228,8906 ± 35,9878 82,4132 ± 26,9905 189,3927 ± 25,2618 6,5000

[image:47.595.109.518.498.660.2]
(48)

(Sudjana, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi kumulatif tablet

furosemida yang terabsorpsi dalam larutan dapar fosfat pada berbagai konsentrasi

menunjukkan perbedaan yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa

konsentrasi kumulatif furosemida yang terabsorpsi dalam larutan dapar fosfat

pH 6,0 isotonis pada konsentrasi 0,001 M (228,8906. ± 35,9878 mcg/ml) >

konsentrasi 0,003 M (189,3927 ± 25,2618 mcg/ml) > konsentrasi 0,002 M

(82,4132 ± 26,9905 mcg/ml).

(49)

-50 0 50 100 150 200 250

0 10 20 30 40 50

waktu ( menit )

k

ons

e

nt

ra

s

i k

um

ula

tif

(

m

c

g/m

l)

0,001 M; y = 3,8338 x + 61,413 0,002 M; y = 1,875 x - 6,644 0,003 M; y = 4,0604 x - 22,427

Gambar 9. Grafik Konsentrasi Kumulatif Terhadap Waktu dari 0,001 M,

0,002 M dan 0,003 M Tablet Furosemida Generik

Gambar 9 menunjukkan slope masing-masing konsentrasi dari persamaan

garisnya di mana laju absorpsi adalah merupakan slope, yakni laju absorpsi

mengacu kepada orde reaksi nol, dimana dc/dt = k, laju absorpsi ditunjukkan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Data Laju Absorpsi Tablet Furosemida Generik pada Berbagai

Konsentrasi (mcg/ml.menit)

Konsentrasi

0,001 M

0,002 M

0,003 M

Laju Absorpsi

3,8338

1,8750

4,0604

[image:49.595.117.506.116.357.2]
(50)

menjelaskan bahwa kemungkinan mekanisme permeasi tidak hanya difusi pasif

saja, tetapi juga bekerja sistem transpor yang lain sehingga dapat disimpulkan

dalam hal ini bahwa konsentrasi mempengaruhi laju absorpsi dari tablet

furosemida generik.

Berdasarkan hal di atas, maka dilakukan penentuan harga AUC (Area

Under The Curve) tablet furosemida generik pada berbagai konsentrasi untuk

[image:50.595.106.523.374.529.2]

mengetahui perbedaan jumlah furosemida yang terabsorpsi, yang dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Perbandingan Harga AUC (

Area Under The Curve

)

Furosemida pada Berbagai Konsentrasi dalam mcg.menit/ml

n

Konsentrasi 0,001 M Konsentrasi 0,002 M Konsentrasi 0,003 M

1

23,1510

10,5515

18,7583

2

17,5705

8,1905

15,2800

3

24,9213

5,3675

13,7423

Rata-rata

21,8809

8,0365

15,9268

Keterangan : F hitung = 15,470 dan F tabel = 5,14

Dari Tabel 3 terlihat bahwa harga AUC furosemida pada konsentrasi

0,001 M lebih besar dari pada harga AUC furosemida pada konsentrasi 0,002 M

dan 0,003 M.

(51)

bahwa jumlah furosemida yang terabsorpsi melalui membran jejunum terbalik

pada konsentrasi 0,001 M > 0,003 M > 0,002 M.

[image:51.595.211.435.306.423.2]

Pada Tabel 4 ditampilkan data harga AUC pada furosemida baku dengan

konsentrasi 0,002 M sebagai perbandingan dengan harga AUC pada tablet

furosemida generik.

Tabel 4. Data Harga AUC (

Area Under The Curve

) Furosemida Baku

dengan Konsentrasi 0,002 M pada pH 6,0 Jejunum Terbalik Kelinci

dalam mcg.menit/ml.

n

Harga AUC

1

13,2675

2

11,7496

3

10,4411

4

10,4492

5

12,2063

6

10,1119

Rata-rata

11,3709

Dari Tabel 3 dan Tabel 4 terlihat bahwa harga AUC furosemida baku lebih

besar dari pada tablet furosemida generik pada konsentrasi 0,002 M yaitu sebesar

11,3709 mcg.menit/ml dan 8,0365 mcg.menit/ml. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh faktor formulasi dan pengaruh komponen bahan tambahan

sebagai bahan penyusun dari sediaan tablet sehingga jumlah obat yang terabsopsi

menjadi rendah.

(52)

4.6 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Absorpsi Tablet Furosemida

Generik pada Kantung Terbalik Jejunum Kelinci

Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap absorpsi dari

tablet furosemida generik, dilakukan dengan menggunakan persamaan Michaelis

menten menggunakan data Tabel 5 seperti yang terlihat pada Gambar 10.

Persamaan Michaelis Mentens:

V =

]

[

]

[

C

K

C

V

m maks

+

+ Kd [C]

Dimana;

V

= Kecepatan absorpsi awal (mcg/ml/menit)

V

maks

K

= Kecepatan absorpsi maksimum (mcg/ml/menit)

m

[C]

= Konsentrasi (M)

= Tetapan Michaelis Mentens (M)

(Inui, et al, 1977)

Tabel 5. Data Variasi Konsentrasi pada

Uptake

15 Menit dari Tablet

Furosemida Generik

C

(10

-3

Absorpsi (V)

(mcg/ml/15 menit)

M)

SD

1/C

(1/10

-3

1/V

M)

(1/mcg/ml/15 menit)

1/SD

1

0,2934

0,1971

1,0000

3,4083 5,0736

2

0,3670

0,1405

0,5000

2,7248 7,1174
(53)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

C (10-3 M)

K

ecep

at

an

A

b

so

rp

si

(

m

cg

/m

l/

15 m

en

it

[image:53.595.133.495.116.360.2]

)

Gambar 10. Grafik Michaelis Menten dari Absorpsi Tablet Furosemida

Generik Pada Kantung Terbalik (

Everted sac

) Jejunum Kelinci

Gambar 10. memperlihatkan adanya ketergantungan kosentrasi terhadap

absorpsi dari tablet furosemida generik Dan untuk mengetahui nilai konstanta

Michaelis Menten (K

m

) dan kecepatan maksimum (V

maks

) terhadap laju absorpsi

dari tablet furosemida generik dengan konsentrasi 0,001 M, 0,002 M dan 0,003 M

pada suhu ± 37

o

C dan pH 6,0 isotonis, dihitung dengan memakai kurva

Lineweaver burk plot menggunakan data pada Tabel 5 dan Gambar 11 sehingga

diperoleh hasil kecepatan maksimum (V

maks

) adalah 0,8198 mcg/ml/15 menit

dan konstanta Michaelis (K

m

) dalah 1,8690.10

-3

M. Sehingga dapat dinyatakan

(54)

y = 2.2798x + 1.2198 R2 = 0.8524 -6.0

-4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

1/C (1/10-3 M)

1/

V

(

1/

(m

cg

/m

l/

15 m

en

it

)

Keterangan : Temperatur : ± 37

o

n = 3

[image:54.595.135.499.115.408.2]

C

pH = 6,0 isotonis

Gambar 11. Kurva

Lineweaver – Burk

Dari Absorpsi Tablet Furosemida

Generik Pada Kantung Terbalik (

Everted sac

) Jejunum Kelinci

Salah satu kelemahan dari metode everted sac intestine adalah terjadinya

ikatan protein dengan obat yang mengakibatkan jumlah zat yang diabsorbsi lebih

besar dari yang sebenarnya. Ikatan protein obat dapat saja terjadi pada mukosa

dan pada serosa, maka untuk memperoleh data yang lebih rinci sebaiknya

dilakukan dengan metode intestinal mucosa homogenated dan dengan

menggunakan alat penentuan kadar yang lebih sensitif yaitu KCKT.

1/Vmaks = 1,2198

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Laju absorpsi tablet furosemida generik pada kantung terbalik (Everted sac)

jejunum kelinci dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi.

b. Pada konsentrasi 0,003 M (4,0604 mcg/ml.menit) laju absorpsi tablet

furosemida generik lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 0,001 M

(3,8338 mcg/ml.menit) dan 0,002 M (1,8750 mcg/ml.menit). Pada

konsentrasi 0,003 M menit ke- 40 tercapai konsentrasi puncak (C

maks

)

sebesar 0,8509 mcg/ml, pada konsentrasi 0,001 M menit ke- 5 tercapai

konsentrasi puncak (C

maks

) sebesar 1,4211 mcg/ml dan pada konsentrasi

0,002 M menit ke- 15 tercapai konsentrasi puncak (C

maks

5.2 Saran

) sebesar

0,3670 mcg/ml . Kemudian harga AUC pada konsentrasi 0,001 M ( 21,8809

mcg.menit/ml) lebih tinggi daripada konsentrasi 0,002 M ( 8,0365

mcg.menit/ml) dan konsentrasi 0,003 M ( 15,9268 mcg.menit/ml) yang

berbeda signi

fikan (α < 0,05), dengan menggu

nakan uji statistik ANOVA

dan LSD dengan nilai F hitung (15,470) > F tabel (5,14).

(56)
(57)

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M, Devissaguet, J., and Guyot-herman, A.M. (1993).

Farmasetika

Biofarmasi . Penerjemah : Widji Soerartri. Dr. Airlangga University Press.

Surabaya. hal. 32-42, 178-179 dan 247-248.

Anonim. Online 2002. WHO: List of Essential Drugs. 12

th

ed. revised April.

Ansel, C.H. (1989). Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah: Farida Ibrahim.

Cetakan I. Edisi IV. Universitas Indonesia Press. Jakarta. hal. 112.

Armstrong, Frank B. (1995). Buku Ajar Biokimia. Cetakan I. Edisi ketiga.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hal. 105-107.

Barthe, L., Woodley, J., and Houin, G. (1999). Gastrointestinal Absorption of

Drugs : Methods and Studies. Fundamental and Clinical Pharmacology.

13: p. 154-168

Chowhan, Z.T., and Amaro, A.A (1977). Everted rat intestinal sacs as an in vitro

model for assessing absorptivity of new drugs. Journal of Pharmaceutical

Sciences 66. p. 1249-1253.

Connors, K.A. (1986). Chemical Stability of Pharmaceuticals. Second Edition.

John Wiley and Sons. New York. p. 474-475

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan RI.

Jakarta. hal. 262,648,672, 674,746 dan 755.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan RI.

Jakarta. hal. 400-401.

Ganiswara, G.S. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisis IV. Universitas

Indonesia Press. Jakarta. hal. 4 dan 389-391.

Gennaro, A. R. (2000).

Remington : The Science and Practice of Pharmacy.

Volume II. International Student Edition. p. 1116.

(58)

Joshita, D. (1991). Laju Peruraian Furosemida Dalam Suasana Asam. Master

theses from Publisher.

Kooshapur, H., and Chaiden, M. (1999). Intestinal Transport of Human Insulin in

Rat. Medical Journal of Islamic Academic of Sciences. Vol 12. No.1.

Lachman, L., Lieberman, H. A., and Kanig, J. L. (1991). Teori dan Praktek

Farmasi Industri I dan III. Edisi III. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hal. 482, 1516-1521

Lukmanto, H. (2003). Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia. Edisi II.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. hal. 588

Matondang, H. (2006).

Pengaruh pH Terhadap Laju Absorpsi Furosemida Pada

Jejunum Terbalik (Everted sac) Kelinci. Skripsi Departemen Farmasi

FMIPA USU. Medan.

Panggabean, J.I. (2006).

Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi

Furosemida Pada Kantung Terbalik (Everted sac) Ileum Kelinci. Skripsi

Departemen Farmasi FMIPA USU. Medan.

Rowland, M., and Tozer, T. N. (1980).

Clinical Pharmacokinetics. Lea and

Febiger. Philadelphia. p. 16-17.

Shargel, L., and Yu, A.B.C. (1999). Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan. Edisi II. Airlangga University Press. Surabaya. hal. 85-94

Sinaga, K.R. (1995). Peningkatan Pelarutan dan Absorpsi Teofilina Berdasarkan

Pembentukan Dispersi Padat. Departemen Farmasi FMIPA USU Medan.

Siregar, M.K., (2006).

Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi

Furosemida Pada Kantung Terbalik (Everted sac) Duodenum Kelinci.

Skripsi Departemen Farmasi FMIPA USU. Medan.

Siswandono, M.S. (1995). Kimia Medisinal. Cetakan I. Airlangga University

Press. Surabaya. hal. 222 dan 463.

Siswandono, M.S. (2000). Kimia Medisinal. Cetakan 2. Airlangga University

Press. Surabaya. hal. 127-130.

Sudjana. (1993). Pengantar Statistik. Gadjah Mada University Press. Surabaya.

hal.262 dan 312.

(59)

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Penerbit UII Press. Yogyakarta. Hal : 12-15.

Tamai, I., Ling, H. Y., Simanjuntak, M. T., Nishikido, J., and Tsuji, A. (1987).

Stereospecific Absorption and Degradation of Cephalexin. Journal

Pharmacy and Pharmacology. Vol 40. Page. 320-324.

Tjay, T. H., dan Kirana R. (2002). Obat-Obat Penting. Cetakan Kedua. Edisi

Kelima. PT Elexmedia Komputindo. Jakarta. Hal. 492.

Tanjung, D. (2001). Uji bioekivalensi Tablet Furosemida Generik dan Nama

Dagang. Skripsi Jurusan Farmasi FMIPA USU Medan.

Wolf, M.E. (1994). Asas-asas Kimia Medisinal. Edisi keempat. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

(60)

Lampiran 1.

Flowsheet Rancangan Percobaan

Furosemida

Sifat Fisikokimia

Serbuk hablur berwarna putih s/d kekuningan dan tidak berbau Praktis tidak larut dalam air pKa 3,9

Log P 0,74

Kelarutan 0,01 (mg/ml) Panjang gelombang 275 nm Titik lebur 206oC

Penelitian yang telah dilakukan antara lain :

1. Laju Penguraian Furosemida Dalam Suasana Asam (Joshita D.,1991) 2. Uji Bioekivalensi Tablet Furosemida Generik dan Nama Dagang

(Doharni Tanjung,2001)

3. Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi Furosemida pada Duodenum Terbalik (Everted sac) Kelinci (Siregar,2006) 4. Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi Furosemida pada

Jejunum Terbalik (Everted sac) Kelinci (Matondang,2006) 5. Pengaruh Perbedaan pH Terhadap Laju Absorpsi Furosemida pada

Ileum Terbalik (Everted sac) Kelinci (Panggabean, 2006)

absorpsi furosemida pada intestine kelinci paling tinggi dalam jejunum pada pH 6,0. Proses absorpsi yang terjadi selain difusi pasif kemungkinan juga terjadi mekanisme absorpsi lain

Faktor yang mempengaruhi transpor aktif antara lain :

1. Molekul (senyawa) ditranspor dari daerah yang mempunyai perbedaan potensial kimia yang rendah menuju yang lebih tinggi.

2. Hasil metabolisme senyawa akan mengganggu transpor.

3. Kecepatan transpor akan mengalami penjenuhan apabila konsentrasi dari senyawa meningkat. 4. Sistem transpor umumnya memperlihatkan struktur kimia spesifik.

5. Senyawa kimia dengan struktur yang hampir sama akan bekerja sebagai kompetitif inhibitor.

Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Terhadap Laju Absorpsi Tablet Furosemida Generik Pada Jejunum Terbalik (Everted sac) Kelinci

Dilakukan melalui proses Uptake

Variasi waktu dan Konsentrasi tetap Variasi Konsentrasi dan Waktu tetap

Diukur secara Spektrofotometri UV (277,0 nm)

Diperoleh hasil V maks dan Km melalui Kurva Lineweaver -Burk

Diukur secara Spektrofotometri UV (277,0 nm)

Diperoleh Hasil AUC, C maks, dan t maks

(61)

Lampiran 2. Contoh Perhitungan Kadar Furosemida Baku

1. Pembakuan NaOH 0,1 N

No

Berat Kalium Biftalat (mg)

Volume Titrasi(ml)

1.

151

8,00

2.

152

7,95

3.

152

8,15

Perhitungan :

N

=

Biftalat

VxBEKalium

ftalat

mgKaliumBi

N

1

2

,

204

00

,

8

151

x

=

= 0,0924 N

N2

= 0,0936 N

N3

= 0,0913 N

Dihitung harga N

rata-rata

Nr

dan deviasi (d)

1

N

N

N

093

,

0

2

0936

,

0

0924

,

0

2

2

1

=

+

=

+

=

d

1

100

%

0

,

6451

%

1

1

1

=

x

Nr

Nr

N

=

Nr

2

= 0,0918 N dengan d

2

Nr

= 0,5988 %

3

= 0,0924 N dengan d

3

Maka, normalitas NaOH adalah harga N

= 1,24 %

rata-rata

dengan deviasi terkecil yaitu d

2

=

(62)

2. Penetapan Kadar Furosemida Baku

No.

Berat Sampel (mg)

Volume titrasi (ml)

1.

606

19,75

2.

607

19,85

3.

605

19,80

Contoh Perhitungan :

Kadar (K) =

x

100

%

l

beratsampe

VxNxBE

K

1

100

%

606

74

,

330

0918

,

0

75

,

19

x

Nx

mlx

=

= 98,9518 %

K2 = 99,2890 %

K3 = 99,3663 %

Dihitung harga K

rata-rata

Kr

dan deviasi (d)

1

99

,

1204

%

2

%

2890

,

99

%

9518

,

99

2

2

1

=

+

=

+

K

K

=

d

1

100

%

0

,

1701

%

1

1

1

=

x

Kr

Kr

K

=

Kr

2

= 99,1590 % dengan d

2

Kr

= 0,2090 %

3

= 99,3276 % dengan d

3

Maka, kadar furosemida baku adalah harga K

= 0,0389 %

rata-rata

dengan deviasi terkecil yaitu

(63)

Lampiran 3.

Flowsheet Pembuatan Larutan Induk Baku Furosemida dalam

Dapar Fosfat pH 6,0 Isotonis

Furosemida baku

Larutan Induk Baku Konsentrasi 500 mcg/ml

Dikeringkan pada suhu 105°C selama

3 jam

Ditimbang seksama 50,0 mg

Dimasukkan secara kuantitatif kedalam

labu tentukur 100 ml.

Ditambah tetes demi tetes NaOH 0,1 N

sampai serbuk larut.

(64)

Lampiran 4.

Flowsheet P

enentuan λ Maksimum Furosemida d

alam Dapar

Fosfat pH 6,0 Isotonis

Larutan Induk Baku

Panjang Gelombang

maksimum

Dipipet 0,75 ml

(65)
(66)

Lampiran 6.

Flowsheet Pembuatan Kurva Kalibrasi Furosemida Baku dalam

Dapa

Gambar

Gambar 1. Rumus Bangun Furosemida
Gambar 2. Proses laju bioavailabilitas obat
Gambar 3. Stuktur Membran Sel
Gambar 4. Difusi Pasif Melalui Pori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu kondisi, tindakan dan potensi, baik bersifat alamiah atau hasil rekayasa yang berbentuk fisik maupun non fisik yang berasal dari luar maupun dari dalam

[r]

Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul

Pengendalian penyakit busuk batang di Malaysia juga dilakukan dengan memangkas bagian tanaman yang terserang dan aplikasi fungisida dengan cara disemprotkan ke seluruh

Aset tetap yang diperoleh perusahaan seharusnya dicatat senilai harga perolehan ditambah dengan biaya-biaya lain terkait perolehan atas aset tetap tersebut dan dilakukan

Lahan gambut yang mengalami degradasi mempunyai resiko yang besar akan terjadinya kebakaran. Penelitian menunjukkan bukti mengenai hubungan antara pembukaan lahan, drainase dan

(1) Pembantu Rektor, Dekan, Ketua Lembaga, Kepala Unit Pelaksana Teknis, dan Kepala Biro menyampaikan laporan kepada Rektor dengan tembusan kepada Biro Administrasi

(3) Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI), sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini,