• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan biovailabilitas tablet pyrexin dan tablet progesic dengan tablet parasetamol [Generik] pada kelinci putih jantan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan biovailabilitas tablet pyrexin dan tablet progesic dengan tablet parasetamol [Generik] pada kelinci putih jantan."

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Obat yang beredar di pasaran dapat dibagi menjadi obat generik dan obat merk dagang. Kedua jenis obat tersebut harus terjamin keamanan dan khasiatnya. Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat merk dagang dan obat generik dengan pendekatan farmakokinetika. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan bioavailabilitas obat merk dagang dan obat generik pada kelinci putih jantan.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan eksperimental silang. Sampel yang digunakan adalah tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® yang diberikan kepada kelinci putih jantan dengan desain cross over. Metode yang digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol adalah metode Chafetz et al. (1971) yang telah dimodifikasi.

Hasil yang diperoleh diolah menjadi parameter bioavailabilitas menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah dimodifikasi oleh Jung), kemudian dianalisis statistik dengan metode ANOVA taraf kepercayaan 90%. Hasil penelitian ini adalah nilai AUC(0-inf) (μg.menit/ml) tablet parasetamol generik : 21029,077 + 3336,122; tablet Pyrexin® : 16666,110 + 1456,821; dan tablet Progesic® : 33823,687 + 5640,811. Nilai Cmax (μg/ml) tablet parasetamol generik : 179,743 + 21,631; tablet Pyrexin® : 116,717 + 10,018; dan tablet Progesic® : 236,037 + 15,762. Nilai tmax (menit) tablet parasetamol generik : 24,733 + 1,943; tablet Pyrexin® : 46,433 + 3,353; dan tablet Progesic® : 33,600 + 3,637. Jadi dapat disimpulkan bahwa bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® tidak sama.

Kata kunci : bioavailabilitas, parasetamol, farmakokinetika

(2)

ABSTRACT

The medicine could be classified as generic and brand-name medicine. The safety and efficacy of those tablets should be guaranteed. In this research, brand-name and generic medicine were compared by pharmacokinetics approach. The purpose of this research was comparing bioavailability of brand-name tablets to generic tablet on male-white rabbits.

This research was pure cross experimental research. The samples used in this research were generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet and Progesic tablet®. Those tablets were given to male-white rabbits. This research used cross over design and Chafetz et al. (1971) method to determine concentration of drug in the blood.

The result was converted to bioavailability values by STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, modified by Jung) program, then the bioavailability values were analyzed by ANOVA method with 90% confidence intervals. The result showed that AUC(0-inf) (μg.minute/ml) of generic paracetamol tablet : 21029,077 + 3336,122; Pyrexin® tablet : 16666,110 + 1456,821; and Progesic®tablet : 33823,687 + 5640,811. Cmax (μg/ml) of generic paracetamol tablet : 179,743 + 21,631; Pyrexin® tablet : 116,717 + 10,018; and Progesic® tablet : 236,037 + 15,762. tmax (minute) of generic paracetamol tablet : 24,733 + 1,943; Pyrexin® tablet : 46,433 + 3,353; and Progesic® tablet : 33,600 + 3,637. So, it can be concluded that the bioavailability of generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet, and Progesic® tablet was different.

Key words : bioavailability, paracetamol, pharmacokinetics

(3)

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS

TABLET PYREXIN® DAN TABLET PROGESIC® DENGAN

TABLET PARASETAMOL (GENERIK) PADA KELINCI PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Clara Jeviana Sri Widyarini

NIM : 038114007

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS

TABLET PYREXIN® DAN TABLET PROGESIC® DENGAN

TABLET PARASETAMOL (GENERIK) PADA KELINCI PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Clara Jeviana Sri Widyarini

NIM : 038114007

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007

(5)
(6)
(7)

Jika kita tidak dibimbing oleh Roh Allah, kita bekerja hanya demi kesia-siaan belaka, tanpa makna, terasa hambar apapun yang kita kerjakan…

(St. Yohanes Maria Vianney)

Karya ini kupersembahkan untuk :

My Jesus Christ...

Terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu, Kau selalu menguatkanku saat ku lemah,

Kau selalu mencukupkan kebutuhanku saat ku kekurangan, Kau selalu mengangkatku saat kujatuh....

Papa & Mama tercinta

Kakakku tersayang

Almamaterku…. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Untuk segala sesuatu ada masanya,

Untuk apapun di bawah langit ada waktunya ...

.... IIaammeemmbbuuaattsseeggaallaasseessuuaattuuiinnddaahhppaaddaawwaakkttuunnyyaa..

(Pengkhotbah 3)

(8)

PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat

yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini

dimaksudkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi dari

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses pembuatan dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak

mendapatkan bantuan baik materi maupun dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab

itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Papa dan Mama yang senantiasa mendoakan dan memberikan dorongan

kepada penulis.

2. Ibu Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing I dan penguji yang

telah banyak membantu, mengarahkan dan memberi motivasi kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Christine Patramurti, M. Si., Apt., selaku penguji yang memberikan

saran dan masukan kepada penulis.

5. Ibu C. M. Ratna Rini Nastiti, S. Si., Apt., selaku penguji yang memberikan

saran dan masukan kepada penulis.

6. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran-saran yang

positif dan membangun kepada penulis.

(9)

7. Para laboran : Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Kayat (Laboratorium

Farmakokinetika-Biofarmasetika), Pak Musrimin (Laboratorium Formulasi

dan Teknologi Sediaan Padat), Mas Wagiran (Laboratorium Farmakognosi

Fitokimia), Pak Mukmin (Laboratorium Kimia Analisis Instrumental) yang

telah banyak mendampingi dan membantu kelancaran selama penulis

melakukan penelitian.

8. Mas Robert di Jakarta atas bantuannya memberikan bahan penelitian.

9. Kakakku Ardiatmoko yang selalu memberi motivasi agar penulis tidak patah

semangat dan atas pinjaman laptopnya.

10.Untuk Vincilia “Yeyen” Indriyani atas segala kerja sama, pengetahuan, dan

pemikiran selama menempuh pendidikan dan menyelesaikan skripsi ini serta

kebersamaan perjuangan menyelesaikan PKM.

11.Kepada teman-teman Farmasi 2003 USD yang telah berjuang bersama,

terutama kepada Arnie, Marga, Vita, Mita, Nanda, Raya, Eta, Ria, Galuh,

Tina, Adi, dan Andhika “Ble-q”.

12.Untuk Surya, Angga, Galih, Fanny dan Essy atas kebersamaan kita selama

melaksanakan penelitian di laboratorium.

13.Untuk Alfons, Dewi, Erlisa, Teddy, dan teman-teman KKN (Abit, Mas

Bayu, Titin, Jane, Ratna, Iis, Vicky, “Nyak” Alfonsa, dan Nani).

14.Dan untuk kawan-kawanku, Acay, Dhamet, Indra, Eci, Rinto, Punto, Poke,

Beny, Bowo, Angga “Too-cool” serta semua teman dari SMU Pangudi

Luhur Van Lith Muntilan gen. X, terima kasih untuk dukungan dan

dorongannya.

(10)

Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu

per satu, penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih. Penulis sangat menyadari

bahwa skripsi ini belum sempurna, maka kritikan dan saran atas skripsi ini

merupakan sesuatu yang berharga bagi penulis dan bagi perkembangan pengetahuan

di bidang farmasi. Terima kasih.

Penulis

(11)
(12)

INTISARI

Obat yang beredar di pasaran dapat dibagi menjadi obat generik dan obat merk dagang. Kedua jenis obat tersebut harus terjamin keamanan dan khasiatnya. Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat merk dagang dan obat generik dengan pendekatan farmakokinetika. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan bioavailabilitas obat merk dagang dan obat generik pada kelinci putih jantan.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan eksperimental silang. Sampel yang digunakan adalah tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® yang diberikan kepada kelinci putih jantan

dengan desain cross over. Metode yang digunakan untuk menetapkan kadar

parasetamol adalah metode Chafetz et al. (1971) yang telah dimodifikasi.

Hasil yang diperoleh diolah menjadi parameter bioavailabilitas

menggunakan program STRIPE (Johnston and Woolard, 1983, yang telah

dimodifikasi oleh Jung), kemudian dianalisis statistik dengan metode ANOVA taraf kepercayaan 90%. Hasil penelitian ini adalah nilai AUC(0-inf) (μg.menit/ml) tablet

parasetamol generik : 21029,077 + 3336,122; tablet Pyrexin® : 16666,110 +

1456,821; dan tablet Progesic® : 33823,687 + 5640,811. Nilai Cmax (μg/ml) tablet

parasetamol generik : 179,743 + 21,631; tablet Pyrexin® : 116,717 + 10,018; dan

tablet Progesic® : 236,037 + 15,762. Nilai tmax (menit) tablet parasetamol generik :

24,733 + 1,943; tablet Pyrexin® : 46,433 + 3,353; dan tablet Progesic® : 33,600 +

3,637. Jadi dapat disimpulkan bahwa bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® tidak sama.

Kata kunci : bioavailabilitas, parasetamol, farmakokinetika

(13)

ABSTRACT

The medicine could be classified as generic and brand-name medicine. The safety and efficacy of those tablets should be guaranteed. In this research, brand-name and generic medicine were compared by pharmacokinetics approach. The purpose of this research was comparing bioavailability of brand-name tablets to generic tablet on male-white rabbits.

This research was pure cross experimental research. The samples used in this research were generic paracetamol tablet, Pyrexin® tablet and Progesic tablet®. Those tablets were given to male-white rabbits. This research used cross over design and Chafetz et al. (1971) method to determine concentration of drug in the blood.

The result was converted to bioavailability values by STRIPE (Johnston

and Woolard, 1983, modified by Jung) program, then the bioavailability values were analyzed by ANOVA method with 90% confidence intervals. The result showed that AUC(0-inf) (μg.minute/ml) of generic paracetamol tablet : 21029,077 + 3336,122;

Pyrexin® tablet : 16666,110 + 1456,821; and Progesic®tablet : 33823,687 + 5640,811. Cmax (μg/ml) of generic paracetamol tablet : 179,743 + 21,631; Pyrexin® tablet :

116,717 + 10,018; and Progesic® tablet : 236,037 + 15,762. tmax (minute) of generic

paracetamol tablet : 24,733 + 1,943; Pyrexin® tablet : 46,433 + 3,353; and Progesic® tablet : 33,600 + 3,637. So, it can be concluded that the bioavailability of generic

paracetamol tablet, Pyrexin® tablet, and Progesic® tablet was different.

Key words : bioavailability, paracetamol, pharmacokinetics

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 2

2. Keaslian Penelitian... 2

3. Manfaat ... 3

B. Tujuan ... 3

1. Tujuan Umum ... 3

2. Tujuan Khusus ... 3

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi ... 4

1. Definisi ... 4

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas ... 8

3. Bioavailabilitas dan Disolusi In Vitro ... 18

4. Obat ... 19

B. Parasetamol ... 19

(15)

C. Farmakokinetika ... 23

1. Definisi ... 23

2. Strategi Penelitian Farmakokinetika ... 25

D. Nasib Obat di Dalam Tubuh ... 27

1. Absorpsi ... 27

2. Distribusi ... 29

3. Biotransformasi ... 29

4. Ekskresi ... 30

E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika ... 31

1. Model Kompartemen ... 31

2. Parameter Farmakokinetika ... 32

F. Darah ... 36

1. Plasma Darah ... 36

2. Denaturasi Protein Plasma ... 37

G. Kolorimetri ... 38

1. Definisi ... 38

2. Metode Penetapan Kadar Parasetamol secara Kolorimetri ... 39

H. Desain Cross Over ... 42

I. Keterangan Empiris ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 43

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 43

1. Variabel Penelitian ... 43

2. Definisi Operasional ... 45

C. Bahan Penelitian ... 45

D. Alat Penelitian ... 46

E. Tata Cara Penelitian ... 46

1. Uji Pendahuluan Tablet ... 46

2. Pembuatan Larutan ... 49

3. Pembuatan Larutan Parasetamol ... 50

(16)

4. Cara Perolehan Plasma Darah ... 50

5. Optimasi Metode ... 51

6. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah ... 53

7. Perlakuan Hewan Uji ... 54

F. Analisis Hasil ... 56

1. Kesahihan Metode ... 56

2. Perhitungan Parameter Bioavailabilitas ... 57

3. Cara Penafsiran dan Penyimpulan Hasil Penelitian ... 57

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Pendahuluan Tablet ... 58

1. Uji Keseragaman Bobot ... 59

2. Uji Kekerasan ... 60

3. Uji Kerapuhan ... 61

4. Uji Waktu Hancur ... 62

5. Uji Disolusi ... 63

B. Cara Perolehan Plasma Darah ... 67

C. Optimasi Metode ... 68

1. Penentuan Operating Time (OT) ... 72

2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 74

3. Pembuatan Kurva Baku ... 75

4. Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ... 76

D. Orientasi Dosis dan Waktu Pengambilan Sampel Darah ... 78

E. Perbandingan Bioavailabilitas ... 79

1. Kadar Parasetamol dalam Plasma ... 79

2. AUC(0-inf) ... 83

3. Cmax ... 84

4. tmax ... 86

5. Kriteria Bioekivalen ... 87

(17)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 100

BIOGRAFI PENULIS ... 133

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel I Konsep Desain Cross Over ... 54

Tabel II Parameter-Parameter Farmakokinetika ... 57

Tabel III Hasil Uji Keseragaman Bobot Tablet ... 59

Tabel IV Hasil Uji Kekerasan Tablet ... 61

Tabel V Hasil Uji Kerapuhan Tablet ... 61

Tabel VI Hasil Uji Waktu Hancur Tablet ... 62

Tabel VII Data Persamaan Kurva Baku Disolusi ... 64

Tabel VIII Data Disolusi Tablet ... 65

Tabel IX Kemiripan Profil Disolusi ... 66

Tabel X Data Persamaan Kurva Baku ... 76

Tabel XI Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ... 77

Tabel XII Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat ... 80

Tabel XIII ln Kadar Parasetamol dalam Plasma Setelah Pemberian Produk Obat ... 80

Tabel XIV Nilai Parameter Bioavailabilitas ... 82

Tabel XV Uji Post-Hoc Nilai AUC(0-inf) ... 83

Tabel XVI Uji Post-Hoc Nilai C(max) ... 85

Tabel XVII Uji Post-Hoc Nilai t(max) ... 86

Tabel XVIII Perbandingan Parameter Bioavailabilitas ... 88

Tabel XIX Hasil Penimbangan Tablet ... 100

Tablet XX Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Pembuatan Kurva Baku Uji Disolusi ... 101

Tabel XXI Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Generik .... 102

Tabel XXII Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Pyrexin® .. 102

Tabel XXIII Hasil Perhitungan Disolusi Tablet Parasetamol Progesic® . 102

Tabel XXIV Perhitungan Persentase Kumulatif Obat Terlarut ... 105

Tabel XXV Konversi Perhitungan Dosis antar Jenis Hewan ... 107

(19)

Tabel XXVI Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam

Pembuatan Kurva Baku ... 110

Tabel XXVII Seri Kadar Larutan Intermediet Parasetamol dalam Plasma 110

Tabel XXVIII Konsentrasi Larutan Parasetamol untuk Penentuan Nilai Perolehan Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ... 112

Tabel XXIX Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 1 ... 114

Tabel XXX Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 2 ... 115

Tabel XXXI Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik 3 ... 116

Tabel XXXII Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 1 ... 117

Tabel XXXIII Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 2 ... 118

Tabel XXXIV Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® 3 ... 119

Tabel XXXV Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 1 ... 120

Tabel XXXVI Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 2 ... 121

Tabel XXXVII Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® 3 ... 122

Tabel XXXVIII Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika ... 125

Tabel XXXIX Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk Penentuan Bioekivalensi ... 126

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proses Laju Bioavailabilitas Obat ... 7

Gambar 2 Struktur Parasetamol ... 20

Gambar 3. Metabolisme Parasetamol ... 22

Gambar 4 Proses Obat dalam Tubuh untuk Menimbulkan Efek ... 24

Gambar 5 Proses Farmakokinetika Obat di dalam Tubuh ... 27

Gambar 6 Reaksi Parasetamol dengan Asam Nitrat ... 39

Gambar 7 Reaksi Hidrolisis Parasetamol menjadi p-aminofenol ... 40

Gambar 8 Reaksi Pembentukan Warna pada Metode Chafetz et al. (1971) 41

Gambar 9 Kurva Hubungan antara Kadar Parasetamol dengan Serapan pada Uji Disolusi ... 65

Gambar 10 Profil Disolusi ... 66

Gambar 11 Reaksi antara Asam Klorida dengan Natrium Nitrit Membentuk Ion Nitrosonium ... 69

Gambar 12 Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium Membentuk 2-nitro-4-asetamidofenol Beserta Gugus Kromofor dan Auksokromnya ... 69

Gambar 13 Mekanisme Reaksi antara Parasetamol dengan Ion Nitrosonium 70

Gambar 14 Reaksi antara Asam Nitrit dengan Asam Sulfamat ... 71

Gambar 15 Reaksi Penetralan Asam dan Pembentukan Ion Fenolat dalam Suasana Basa ... 71

Gambar 16 Mekanisme Reaksi antara 2-nitro-4-asetamidofenol dengan Natrium Hidroksida ... 72

Gambar 17 Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 100 μg/ml ... 73

Gambar 18 Pengukuran Operating Time (OT) Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 400 μg/ml ... 73

Gambar 19 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam Plasma Kadar 100 μg/ml ... 74

(21)

Gambar 20 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan

Parasetamol dalam Plasma Kadar 400 μg/ml ... 75

Gambar 21 Kurva Hubungan antara Kadar Parasetamol dengan Serapan .. 76

Gambar 22 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) terhadap Waktu

(t) ... 81

Gambar 23 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) terhadap

Waktu (t) ... 81

Gambar 24 Profil Disolusi Tablet Paraseamol (Generik) (A), Tablet

Pyrexin® (B), dan Tablet Progesic® (C) ... 104

Gambar 25 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t)

pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B), dan

Tablet Progesic® (C) ... 123

Gambar 26 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu

(t) pada Tablet Parasetamol Generik (A), Tablet Pyrexin® (B),

dan Tablet Progesic® (C) ... 124

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Penimbangan Tablet untuk Uji Keseragaman Bobot ... 100

Lampiran 2 Data Kurva Baku Disolusi Tablet ... 101

Lampiran 3 Hasil Uji Disolusi Tablet ... 102

Lampiran 4 Contoh Cara Perhitungan Data Disolusi Tablet ... 103

Lampiran 5 Grafik Uji Disolusi Tablet ... 104

Lampiran 6 Contoh Cara Perhitungan Faktor Kemiripan Profil Disolusi .... 105

Lampiran 7 Contoh Perhitungan Pembuatan Larutan Obat ... 106

Lampiran 8 Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan dan

Perhitungan Dosis Awal untuk Orientasi Dosis ... 107

Lampiran 9 Operating Time Larutan Parasetamol dalam Plasma dengan

Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B) ... 108

Lampiran 10 Panjang Gelombang Maksimum Larutan Parasetamol dalam

Plasma dengan Kadar 100 μg/ml (A) dan 400 μg/ml (B) ... 109

Lampiran 11 Data Kurva Baku Parasetamol ... 110

Lampiran 12 Kurva Baku ... 111

Lampiran 13 Pembuatan Larutan untuk Penentuan Nilai Perolehan

Kembali, Kesalahan Sistematik, dan Kesalahan Acak ... 112

Lampiran 14 Sertifikat Analisis Parasetamol ... 113

Lampiran 15 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Generik ... 114

Lampiran 16 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Pyrexin® ... 117

Lampiran 17 Hasil Pengolahan STRIPE untuk Tablet Progesic® ... 120

Lampiran 18 Kurva Kadar Parasetamol dalam Plasma (Cp) vs. Waktu (t) .... 123

Lampiran 19 Kurva ln Kadar Parasetamol dalam Plasma (ln Cp) vs. Waktu (t) 124

Lampiran 20 Harga Rata-Rata Parameter Farmakokinetika ... 125

Lampiran 21 Perhitungan Rata-Rata Parameter Bioavailabilitas untuk

Penentuan Bioekivalensi ... 126

Lampiran 22 Analisis Statistik (SPSS 14.0) ... 127

(23)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Obat yang beredar di pasaran dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

obat generik dan obat bermerk dagang. Obat generik merupakan obat jadi yang

dipasarkan dengan nama umum (nama generik) bahan aktifnya sedangkan obat

bermerk dagang merupakan obat jadi yang dipasarkan dengan nama dagang yang

dipakai oleh masing-masing produsen (Anonim, 2000).

Setiap produsen pasti melakukan promosi untuk masing-masing produknya

sehingga harga obat bermerk dagang umumnya lebih mahal daripada obat generik

(Anonim, 2000). Fenomena yang sering terjadi adalah dokter jarang meresepkan obat

generik yang harganya lebih murah, sedangkan pasien cenderung untuk memilih obat

bermerk dagang dengan anggapan bahwa harga yang lebih mahal akan memberikan

efek terapeutik yang lebih baik.

Semua obat, baik obat generik maupun obat bermerk dagang, harus terjamin

keamanan dan khasiatnya. Hal tersebut dapat diuji secara farmakokinetika dan

farmakodinamika. Pendekatan farmakokinetika membicarakan tentang nasib obat

tersebut di dalam tubuh, meliputi proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan

ekskresi sedangkan pendekatan farmakodinamika membicarakan tentang efek yang

ditimbulkan obat tersebut di dalam tubuh. Selama ini, kebanyakan pasien dan tenaga

kesehatan memandang obat hanya dari sisi farmakodinamika tanpa mengetahui sisi

(24)

diketahui sebab proses farmakokinetika berpengaruh terhadap keseluruhan aksi obat,

termasuk efek terapeutik yang dihasilkan.

Dalam penelitian ini, dilakukan perbandingan antara obat bermerk dagang

terhadap obat generik secara farmakokinetika, yaitu dengan membandingkan

parameter-parameter bioavailabilitas obat bermerk dagang terhadap obat generik

pada kelinci putih jantan. Sampel yang digunakan adalah beberapa tablet yang

mengandung parasetamol sebagai zat aktif tunggal, yaitu tablet parasetamol

(generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic®. Penulis memilih parasetamol sebab

parasetamol banyak digunakan dalam obat bebas dan obat bebas terbatas sebagai

analgesik-antipiretik yang dapat diperoleh dengan mudah oleh pasien.

1. Permasalahan

Masalah yang diangkat dari latar belakang tersebut adalah apakah tablet

parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® memiliki bioavailabilitas

yang sama ?

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang penulis ketahui, masalah tersebut belum pernah diteliti dalam

penelitian di lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Universitas

(25)

3. Manfaat

Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet

Progesic® pada kelinci putih jantan.

B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui bioavailabilitas tablet parasetamol (generik), tablet

Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih jantan.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan bioavailabilitas antara tablet

parasetamol (generik), tablet Pyrexin®, dan tablet Progesic® pada kelinci putih

(26)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

Berkaitan dengan penelitian Perbandingan Bioavailabilitas Tablet Pyrexin®

dan Tablet Progesic® dengan Tablet Parasetamol (Generik) pada Kelinci Putih

Jantan, maka dalam bab ini ditelaah tentang Bioavailabilitas dan Bioekivalensi,

Parasetamol, Farmakokinetika, Nasib Obat di Dalam Tubuh, Dasar-Dasar

Perhitungan Farmakokinetika, Darah, Kolorimetri, dan Desain Cross Over.

A. Bioavailabilitas dan Bioekivalensi 1. Definisi

Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) merupakan persentase dan kecepatan

zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik

dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut. Bioavailabilitas

dapat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam

urin (Anonim, 2004b).

Terdapat dua macam bioavailabilitas, yaitu bioavailabilitas absolut dan

bioavailabilitas relatif. Bioavailabilitas absolut merupakan perbandingan

bioavailabilitas obat yang diberikan secara ekstravaskular terhadap bioavailabilitas

obat yang diberikan secara intravaskular, sedangkan bioavailabilitas relatif

merupakan perbandingan bioavailabilitas produk obat terhadap pembanding (selain

(27)

Istilah ekivalensi atau kesetaraan digunakan dalam perbandingan suatu

produk obat dengan produk obat lainnya. Ada beberapa istilah ekivalensi menurut

Malinowski (2000).

a. Ekivalensi kimia.

Jika dua atau lebih bentuk sediaan mengandung obat seperti yang tertera pada

etiket.

b. Ekivalensi klinik.

Jika obat yang sama dalam dua atau lebih bentuk sediaan memberikan efek in

vivo yang identik, yang dapat dilihat dari respon farmakologi atau kontrol

terhadap gejala atau penyakit.

c. Ekivalensi terapeutik.

Ekivalensi terapeutik berarti bahwa dua merk obat diharapkan menghasilkan efek

klinik yang sama.

d. Bioekivalensi.

Jika obat dalam dua atau lebih bentuk sediaan yang sejenis mencapai sirkulasi

sistemik dengan jumlah dan kecepatan yang relatif sama.

e. Ekivalensi farmasetik.

Jika dua produk obat mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan dan

kekuatan yang sama.

Bioekivalensi merupakan perbandingan bioavailabilitas dari dua atau lebih

produk obat. Dua produk atau formulasi yang mengandung zat aktif sama dikatakan

(28)

Menurut Pedoman Uji Bioekivalensi Badan POM RI, dua produk obat disebut

bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan

alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan

menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, baik

dalam hal efikasi maupun keamanan. Dua produk obat mempunyai ekivalensi

farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah dan bentuk

sediaan yang sama. Dua produk obat merupakan alternatif farmasetik jika keduanya

mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester,

dsb.) atau bentuk sediaan atau kekuatan.

Studi bioavailabilitas digunakan untuk menunjukkan efek sifat fisika kimia

komponen obat dan bentuk sediaan terhadap farmakokinetika obat. Studi

bioekivalensi digunakan untuk membandingkan bioavailabilitas obat dengan zat aktif

yang sama dari berbagai produk obat. Apabila produk obat tersebut bioekivalen

maka efikasi dan profil keamanan produk-produk obat tersebut dapat dianggap sama

dan dapat digantikan satu dengan yang lain (Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005).

Respon farmakologis pada umumnya terkait dengan konsentrasi obat pada

reseptor sehingga ketersediaan obat dari bentuk sediaan merupakan faktor yang

penting dalam menentukan efikasi obat. Konsentrasi obat pada tempat aksi biasanya

tidak dapat diukur secara langsung sehingga kebanyakan studi bioavailabilitas

melibatkan pengukuran konsentrasi obat di dalam darah atau urin. Hal ini

berdasarkan pada suatu anggapan bahwa obat pada tempat aksi berada dalam

(29)

Obat dalam bentuk sediaan padat yang ditujukan untuk penggunaan sistemik

umumnya mengalami absorpsi melalui suatu rangkaian proses, yaitu disintegrasi

produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media aqueous, dan

absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik (Shargel et al., 2005).

Di dalam proses tersebut, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi

ditentukan oleh tahap yang paling lambat. Tahap yang paling lambat di dalam

rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step).

Bentuk sediaan padat

disintegrasi deagregasi

Granul Partikel kecil

Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat (Malinowski, 2000)

Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan biasanya

merupakan tahap yang paling lambat sehingga menjadi penentu kecepatan terhadap

bioavailabilitas obat (Shargel et al., 2005).

Studi bioavailabilitas dilakukan terhadap bahan obat aktif yang telah

disetujui maupun obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh Food and

Drug Administration (FDA) untuk dipasarkan. Dalam menyetujui suatu produk obat

untuk dipasarkan, FDA harus memastikan bahwa produk obat tersebut aman dan

efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus

memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan

kemurnian (Shargel et al., 2005).

Disolusi obat Disolusi obat

Larutan obat

Absorpsi

Obat dalam darah

(30)

Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA

menghendaki studi bioavailabilitas/farmakokinetika dan bila perlu persyaratan

bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et al., 2005). Akibat perkembangan studi

bioavailabilitas dan bioekivalensi, maka diperlukan suatu kepastian bahwa produk

generik bioekivalen terhadap produk dagang sehingga produk generik tidak perlu

diragukan lagi jika diresepkan oleh dokter (Chereson, 1999).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas

Bioavailabilitas sangat dipengaruhi oleh proses absorpsi. Obat-obat yang

diberikan secara oral harus diabsorpsi terlebih dahulu sebelum memberikan efek

terapeutik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi adalah sebagai berikut.

a. Rute dan cara pemberian.

Obat yang diberikan secara oral, subkutan, intramuskular, intradermal,

hipodermal atau intraperitoneal memerlukan proses absorpsi. Beberapa obat

yang diberikan secara oral akan termetabolisme pada saluran pencernaan dalam

jumlah yang besar sehingga hanya sedikit obat yang dapat mencapai sirkulasi

sistemik. Kebanyakan obat yang diberikan secara oral juga mengalami first- pass

effect sehingga tidak semua obat yang diberikan akan diabsorpsi (Wagner, 1975).

b. Dosis dan aturan dosis.

Dosis yang diberikan harus diperhatikan agar konsentrasi obat dalam darah dapat

(31)

c. Efek bentuk sediaan.

Bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai

sirkulasi sistemik.

1) Sifat fisika kimia obat.

a) Faktor yang mempengaruhi kelarutan.

Laju pelarutan obat dijelaskan dengan persamaan Noyes-Whitney

(Proudfoot, 1990) :

C)

= laju disolusi partikel obat

D = koefisien difusi A = luas permukaan efektif h = tebal lapisan difusi

Cs = kelarutan jenuh obat pada lapisan difusi C = konsentrasi obat pada cairan gastrointestinal

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah sebagai berikut.

(1) Bentuk kristal, amorf, polimorfi, solvate.

Polimorfi.

Banyak obat memiliki lebih dari satu bentuk kristal. Hal ini disebut

dengan istilah polimorfi, sedangkan masing-masing bentuk kristal

disebut dengan istilah polimorf. Bentuk polimorf metastabil memiliki

kelarutan dalam air paling besar (Proudfoot, 1990).

Amorf

bentuk amorf biasanya lebih larut dan laju disolusinya lebih cepat

(32)

Solvate

solvate adalah bentuk kristal yang terbentuk ketika obat berikatan

dengan molekul pelarut (solvent). Jika pelarutnya air, maka bentuk

solvate dinamakan hidrat. Biasanya semakin besar solvation pada

kristal, maka kelarutan dan laju disolusinya akan menurun (Proudfoot,

1990).

(2) Asam bebas, basa bebas, atau bentuk garam.

Bentuk asam bebas, basa bebas dan bentuk garam dapat

mempengaruhi kelarutan obat. Sebagai contoh : garam logam alkali

dari asam organik lemah (misal : natrium atau kalium warfarin) akan

terdisolusi lebih cepat daripada bentuk asam lemahnya. Serupa

dengan itu, garam asam mineral dari basa lemah (misal : amina atau

sulfat) akan terdisolusi dengan lebih cepat daripada basa lemahnya

(Wagner, 1975).

(3) Nilai pKa.

Pengaruh nilai pKa dalam kelarutan obat dapat dijelaskan dalam

persamaan Krebs & Speakman :

untuk asam monobasa : SpH = S0 (1+10(pH-pKa)) (2)

untuk basa monoasam : SpH = S0 (1+10(pKa-pH)) (3)

Keterangan :

SpH = kelarutan pada pH tertentu

S0 = kelarutan intrinsik (kelarutan bentuk tak terion)

(33)

(4) Kompleksasi, solid solution, eutectics.

Laju dan jumlah obat yang diabsorpsi tergantung pada konsentrasi

efektif obat. Kompleksasi dapat mempengaruhi konsentrasi efektif

obat pada cairan gastrointestinal. Contoh kompleksasi yang terjadi

adalah antara mucin dengan obat-obat tertentu (misal streptomisin)

yang membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi (Proudfoot,

1990).

(5) Surfaktan.

Surfaktan memiliki efek yang bervariasi pada laju disolusi dan

absorpsi. Biasanya surfaktan menurunkan tegangan permukaan

sehingga laju disolusi akan meningkat. Namun jika konsentrasi

surfaktan sudah di atas critical micelle concentrations, maka

surfaktan akan membentuk micelle dengan obat sehingga laju absorpsi

obat akan menurun sebab obat yang dapat diabsorpsi hanya obat

dalam bentuk bebas (Wagner, 1975).

b) Faktor yang mempengaruhi transport obat.

(1) Nilai pKa dan pH.

Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik.

Obat-obat yang lebih larut dalam lemak akan lebih mudah melewati

membran sel daripada obat yang kurang larut lemak. Bagi obat yang

bersifat sebagai elektrolit lemah, besarnya ionisasi mempengaruhi laju

(34)

Ionisasi suatu elekrolit lemah tergantung pada nilai pKa dan pH yang

dijelaskan dalam persamaan Handerson-Hasselbach :

untuk asam lemah :

(2) Ada tidaknya muatan.

Muatan pada obat dapat mempengaruhi transport obat menembus

membran. Berdasarkan penelitian Benet dkk., ternyata bentuk ion dari

obat juga dapat menembus membran (Wagner, 1975).

(3) Koefisien partisi.

Semakin besar koefisien partisi obat antara membran dan lumen,

maka laju absorpsi akan semakin besar pula (Wagner, 1975).

(4) Molal volume, monomeric atau micellar, dan difusivitas.

Laju difusi micelle lebih lambat daripada laju difusi monomeric

(Wagner, 1975).

(5) Stagnant water layer (aqueous diffusion layer).

Perpindahan obat melewati aqueous diffusion layer antara luminal dan

permukaan membran dapat menjadi rate limiting step dalam proses

(35)

2) Faktor farmasetika dan pembuatan bentuk sediaan padat.

a) Ukuran partikel dan luas permukaan spesifik.

Laju disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan spesifik

(Wagner, 1975). Penurunan ukuran partikel akan menyebabkan

peningkatan luas permukaan spesifik (York, 1990). Laju disolusi, laju

absorpsi, keseragaman kandungan dalam bentuk sediaan dan stabilitas

bentuk sediaan tergantung pada ukuran partikel dan ukuran distribusinya.

b) Static electrification.

Beberapa proses seperti pencampuran dan penyalutan dapat menghasilkan

static electrification. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi

partikel dan terjadinya unmixing (tidak tercampurnya) obat. Agregasi

menyebabkan penurunan luas permukaan sehingga laju disolusi menjadi

lebih lambat (Wagner, 1975).

c) Tipe bentuk sediaan.

Pada umumnya, urutan laju absorpsi obat dalam bentuk sediaan dari yang

tercepat hingga terlambat adalah larutan, suspensi, tablet, tablet salut

gula, dan tablet salut enterik. Namun urutan tersebut dapat berubah jika

obat terdegradasi oleh asam di lambung (Wagner, 1975).

d) Tipe dan jumlah bahan tambahan.

Secara umum, penggunaan bahan tambahan yang tidak larut air akan

menyebabkan laju disolusi dan absorpsi obat menjadi lebih lambat

dibandingkan dengan penggunaan bahan tambahan yang larut air. Hal ini

(36)

larut air sehingga obat menjadi lebih hidrofob. Penambahan garam netral

akan meningkatan disolusi obat (Wagner, 1975).

e) Ukuran granul dan distribusi ukurannya.

Granulasi merupakan salah satu proses dalam pembuatan tablet. Proses

disintegrasi tablet diasumsikan melalui 2 tahap, yaitu tablet menjadi

granul dan granul menjadi partikel kecil. Oleh karena itu, ukuran granul

dan distribusi ukurannya menjadi penting untuk diperhatikan (Wagner,

1975).

f) Tipe dan jumlah bahan penghancur.

Bahan penghancur akan mengembang oleh adanya air dan mendesak

tablet untuk hancur. Semakin banyak jumlah bahan penghancur yang

digunakan, maka tablet semakin mudah hancur (Wagner, 1975).

g) Waktu pencampuran.

Dalam proses pencampuran terdapat waktu optimum, di mana setelah

waktu optimum terlewati, obat menjadi tidak tercampur lagi (Wagner,

1975).

h) Tekanan dan kecepatan kompresi.

Tekanan kompresi merupakan faktor penentu waktu hancur dan laju

disolusi obat dari tablet (Wagner, 1975).

i) Penyalutan (salut film, salut gula, salut enterik).

Tablet salut film terdisolusi lebih cepat daripada tablet salut gula. Tablet

(37)

enterik tidak larut pada lambung, namun larut pada usus halus (Wagner,

1975).

j) Efek matriks.

Dalam tablet lepas lambat, obat dicampur dengan wax atau polimer

sintetik yang inert dan tidak dapat diabsorpsi di saluran pencernaan, yang

disebut dengan matriks. Saat tablet tersebut diberikan secara oral, cairan

akan masuk ke dalam matriks dan dengan perlahan akan melarutkan obat

dari matriks (Wagner, 1975).

k) Tipe dan jumlah surfaktan.

Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dengan

media disolusi sehingga dapat meningkatkan laju disolusi (Wagner,

1975).

l) Kondisi lingkungan selama pembuatan.

Jika obat mudah terhidrolisis, maka stabilitas bentuk sediaan dapat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama pembuatan (Wagner, 1975).

m) Kondisi saat penyimpanan dan lama penyimpanan.

Stabilitas obat dalam bentuk sediaan tertentu dapat diuji dengan uji

stabilitas bentuk sediaan dengan peningkatan temperatur (Wagner, 1975).

d. Faktor fisiologis.

1) Waktu transit obat.

Semakin lama obat berada di usus halus, maka semakin banyak obat yang

diabsorpsi dengan asumsi bahwa obat stabil pada cairan intestinal (Proudfoot,

(38)

2) Laju pengosongan lambung.

Kebanyakan obat diabsorpsi secara optimal pada usus halus. Penurunan laju

pengosongan lambung akan menurunkan laju absorpsi obat dan menunda

waktu onset obat. Laju pengosongan lambung juga penting untuk obat yang

mudah terdegradasi di lambung. Semakin lama obat berada di lambung, maka

semakin banyak obat yang terdegradasi sehingga bioavailabilitasnya akan

menurun. Adanya makanan akan menurunkan laju pengosongan lambung

sehingga absorpsi obat akan tertunda (Proudfoot, 1990).

3) Luas permukaan area efektif pada tempat absorpsi.

Usus halus memiliki luas permukaan area efektif terbesar karena adanya vili

dan mikrovili. Oleh karena itu, mayoritas obat akan diabsorpsi secara

maksimum pada usus halus, meskipun pH cairan intestinal bukan merupakan

kondisi optimum untuk absorpsi obat-obat asam lemah/basa lemah.

Sebaliknya, luas permukaan lambung dan usus besar relatif kecil karena tidak

memiliki vili dan mikrovili (Proudfoot, 1990).

4) Laju aliran darah.

Aliran darah pada saluran pencernaan merupakan faktor yang penting untuk

membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke tempat kerja. Di dalam

usus terdapat pembuluh-pembuluh darah mesentrika. Obat dilepaskan ke hati

melalui vena porta hepatika dan kemudian menuju ke sirkulasi sistemik. Jika

laju aliran darah mesentrika menurun, maka bioavailabilitas obat juga akan

(39)

5) Nilai pH cairan pada saluran pencernaan.

Nilai pH cairan bervariasi di sepanjang saluran pencernaan. pH lambung

1-3,5; pH usus halus 5-8 (pH duodenum 5-6, pH ileum 8); pH usus besar 8.

Derajat ionisasi obat dipengaruhi oleh nilai pH. Bentuk tak terion akan

diabsorpsi lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai pH pada

saluran pencernaan (karena adanya makanan atau faktor lain) dapat

menyebabkan perubahan jumlah bentuk tak terion sehingga dapat

mempengaruhi absorpsinya (Proudfoot, 1990).

6) Aktivitas enzimatik.

Obat yang diberikan secara oral dan ditujukan untuk sirkulasi sistemik

biasanya mengalami first pass effect, di mana obat akan termetabolisme

sebelum mencapai sirkulasi sistemik. First pass effect menyebabkan

penurunan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990).

7) Mukus dan glycocalyx.

Molekul obat harus melalui unstirred aqueous layer, lapisan mukus, dan

glycocalyx untuk mencapai mikrovili. Glycocalyx adalah bagian yang

menyatu dengan mikrovili, berfungsi sebagai penyalut bagi mikrovili dan

tersusun atas mukopolisakarida (Proudfoot, 1990).

8) Ada tidaknya makanan pada saluran pencernaan.

Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan beberapa mekanisme, di

antaranya mengubah laju pengosongan lambung, memacu sekresi asam dan

(40)

absorpsi, membentuk kompleks dengan obat, meningkatkan viskositas pada

saluran pencernaan (Proudfoot, 1990).

9) Lain-lain : konsentrasi elektrolit, tegangan permukan dan tegangan

antarmuka, emulsifying agents dan complexing agents (misal : garam

empedu), posisi anatomi tubuh dan aktivitas relatif, suhu tubuh, integritas

membran gastrointestinal, tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas

buffer, tonisitas (Wagner, 1975).

3. Bioavailabilitas dan disolusi in vitro

Disolusi adalah proses di mana bahan obat padat larut dalam pelarut. Uji

disolusi dapat menentukan bioavailabilitas suatu obat jika terdapat korelasi yang baik

antara uji in vitro dan in vivo. Korelasi in vitro dan in vivo yang dimaksud adalah

hubungan antara karakteristik biologi obat (efek farmakodinamika atau konsentrasi

obat dalam plasma) dan karakteristik fisika kimia produk obat (Shargel et al., 2005).

Korelasi in vitro dan in vivo ini penting untuk diketahui agar dalam

menentukan bioavailabilitas suatu obat cukup dengan uji in vitro saja, tidak perlu

dengan uji in vivo. Selama ini, uji bioavailabilitas secara in vivo memerlukan waktu

yang lama, biaya yang relatif tinggi, serta terdapat beberapa masalah dalam

pemberian obat kepada subjek uji sehat/pasien (Chereson, 1999).

Parameter uji in vitro yang paling dekat hubungannya dengan

bioavailabilitas adalah laju disolusi. Obat yang masuk ke dalam tubuh dapat

(41)

bentuk sediaannya (laju disolusi) akan menentukan kecepatan dan atau jumlah obat

yang terabsorpsi (Chereson, 1999).

4. Obat

Menurut S. P. Menkes R. I. No. 193/Keb/VII/71, obat adalah suatu bahan

atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah,

mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka,

atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan

atau bagian badan manusia (Lestari, Rahayu, Rya, Suhardjono, Maisunah, Soewarni,

dkk., 2002).

Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam

Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik adalah

nama obat berdasarkan International Nonproprietary Name (I.N.N.) yang ditetapkan

WHO. Nama generik berlaku di negara manapun dan boleh diproduksi oleh setiap

industri, sedangkan obat paten yaitu obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar

atau nama pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari

pabrik yang memproduksinya. Nama dagang adalah nama khas yang dilindungi

hukum yaitu merk terdaftar atau Proprietary Name (Lestari dkk., 2002).

B. Parasetamol

Parasetamol memiliki beberapa sinonim, di antaranya asetaminofen,

p-acetamidophenol, dan N-acetyl-p-aminophenol (Connors, Amidon, and Stella, 1986).

(42)

C8H9NO2 dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berupa serbuk hablur, putih,

tidak berbau, berasa sedikit pahit. Tablet parasetamol mengandung parasetamol

(C8H9NO2) tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang

tertera pada etiket (Anonim, 1995).

HO NHCOCH3

Parasetamol

BM = 151,16

Gambar 2. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)

Kelarutan parasetamol adalah mudah larut dalam etanol (95%) P dan dalam

propilenglikol P; larut dalam air mendidih, dalam natrium hidroksida 1N, dan dalam

aseton P; agak sukar larut dalam air dan dalam gliserol P (Anonim, 1979; Anonim

1995). Parasetamol tidak larut dalam benzen dan eter (Connors et al., 1986).

Titik lebur parasetamol adalah 169°C-172°C. Dalam larutan jenuh, pH

parasetamol adalah sekitar 5,3-6,5. Parasetamol memiliki nilai pKa 9,51.

Parasetamol sangat stabil dalam larutan air dan stabil dalam larutan dengan nilai pH

5-7. Parasetamol dapat membentuk kompleks dengan polyethyleneglycol (PEG) 4000

dan polyvynylpyrrolidone (PVP). Kompleks ini akan meningkatkan kelarutan

parasetamol dalam air dan kecepatan disolusi parasetamol. Parasetamol akan

menghasilkan efek terbaik dalam campuran parasetamol dan PEG dengan

perbandingan parasetamol : PEG = 1 : 2 b/b (Connors et al., 1986; Hanson, 2000).

Parasetamol diabsorpsi secara cepat dan lengkap melalui saluran

pencernaan. Absorpsi parasetamol menurun jika asupan parasetamol diikuti dengan

(43)

Anonim, 2005a). McGilveray dan Mattok (1972) menemukan bahwa adanya

makanan akan menurunkan absorpsi parasetamol. Pemberian makanan bersama 1

gram parasetamol ternyata menurunkan kecepatan absorpsi menjadi lima kali lebih

lambat daripada pemberian parasetamol pada manusia puasa. Makanan yang

mengandung karbohidrat dan pektin dapat menurunkan kecepatan absorpsi

parasetamol. Sebaliknya, keadaan puasa ternyata meningkatkan kecepatan absorpsi

parasetamol walaupun tidak mempengaruhi jumlah total yang diabsorpsi.

Waktu onset parasetamol kurang dari 1 jam dengan durasi 4-6 jam (Lacy et

al., 2003). Parasetamol memiliki tmax 0,5-2 jam. Parasetamol terdistribusi hampir ke

seluruh cairan tubuh (Anonim, 2004a). Di dalam plasma, sebanyak 20-50%

parasetamol akan terikat oleh protein plasma (Lacy et al., 2003). Volume distribusi

parasetamol menurut Melmon & Morelli (1992) adalah 0,94 l/kg. Besarnya

konsentrasi efektif minimum (KEM) parasetamol adalah 10-20 μg/ml, sedangkan

konsentrasi toksik minimum (KTM) adalah 300 μg/ml (Benet, 1992).

Sebanyak 90-95% parasetamol dimetabolisme oleh hati, dalam reaksi

konjugasi glutation, konjugasi glukuronida, dan konjugasi sulfat. Metabolit hasil

konjugasi tersebut merupakan metabolit yang tidak aktif secara farmakologis

(Gibson and Skett, 1991). Proses metabolisme parasetamol dapat dilihat pada

gambar 3.

Sebagian lainnya dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi

metabolit toksik yang berbahaya bagi sel hati (Anonim, 2004a). Glutation di dalam

tubuh dapat berikatan dengan metabolit ini dan membuatnya menjadi tidak toksik.

(44)

dosis parasetamol terlalu tinggi tetap bersifat toksik (Bowman and Rand, 1990;

(tidak aktif) (tidak aktif)

Metabolisme dan konjugasi glutation

Sistein dan konjugasi asam merkapturat (tidak aktif)

urin urin urin

Gambar 3. Metabolisme parasetamol (Gibson and Skett, 1991)

Waktu paruh eliminasi parasetamol sekitar 1-4 jam (Anonim, 2005a). Jalur

eliminasi parasetamol melalui ginjal. Sebanyak 90-100% obat ditemukan dalam urin

sebagai metabolit tidak aktif, sedangkan 2% diekskresi dalam bentuk utuh (Anonim,

2004a). Nilai klirens parasetamol adalah 350 + 100 ml/menit (Benet, 1992).

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang

sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Fenasetin telah diganti oleh parasetamol

dalam banyak sediaan. Namun sampai sekarang tidak dijamin sempurna bahwa

pemberian parasetamol dalam waktu lama lebih kurang toksik terhadap ginjal

(45)

Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan

atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh

dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat

(Wilmana, 2003). Parasetamol memiliki efek analgesik antipiretik yang sama dengan

aspirin. Parasetamol merupakan obat pilihan bagi pasien yang memerlukan efek

analgesik sedang atau antipiretik dan bagi pasien yang kontraindikasi dengan aspirin,

yaitu pasien yang hipersensitif terhadap aspirin, pasien yang mempunyai riwayat

ulcer, pasien dengan penyakit gout, anak yang terinfeksi virus, dan pasien yang

sedang mengkonsumsi antikoagulan (Anonim, 2001a).

C. Farmakokinetika 1. Definisi

Proses yang berawal dari pemberian obat hingga efek yang ditimbulkan oleh

obat dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase farmasetika, farmakokinetika, dan

farmakodinamika. Tahap-tahap tersebut dapat dilihat pada gambar 4.

Fase farmasetika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan larutnya

bahan obat. Oleh karena itu, fase ini terutama ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat

(Mutschler, 1999).

Fase farmakokinetika meliputi proses invasi (absorpsi, distribusi) dan proses

eliminasi (biotransformasi, ekskresi) (Mutschler, 1999). Farmakokinetika merupakan

ilmu yang menggambarkan rentang waktu perpindahan obat masuk ke dalam tubuh,

(46)

Shargel et al. (2005), farmakokinetika mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan

eliminasi obat.

obat dalam

Obat tersedia untuk diabsorpsi (availabilitas farmasetika)

efek

Obat tersedia untuk aksi (availabilitas farmakologi)

Gambar 4. Proses obat dalam tubuh untuk menimbulkan efek (Bowman and Rand, 1990)

Farmakokinetika dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi, fisiologi, dan

fisikakimia. Dalam banyak kasus, aksi farmakologi dan aksi toksikologi obat terkait

dengan konsentrasi obat di dalam plasma. Oleh karena itu, dengan mempelajari

farmakokinetika, farmasis akan mampu memberikan terapi yang tepat kepada pasien

(Makoid and Cobby, 2000).

Fase farmakodinamika merupakan interaksi obat-reseptor dan juga

merupakan proses-proses yang menjadi akhir dari efek farmakologi (Mutschler,

(47)

2. Strategi penelitian farmakokinetika

Definisi dari strategi penelitian farmakokinetika (SPF) adalah rencana yang

disusun sebelum meneliti tahap farmakokinetika obat untuk memperoleh informasi

tentang nasib obat dalam tubuh secara kuantitatif. Objek penelitian farmakokinetika

adalah tahap farmakokinetika obat dengan parameter farmakokinetika sebagai tolok

ukurnya. Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan secara

matematik dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau

urin (Suryawati dan Donatus, 1998).

SPF meliputi tahap-tahap sebagai berikut.

a. Pemilihan rancangan uji coba.

b. Pemilihan subjek uji dan jumlahnya.

c. Pemilihan cuplikan hayati.

d. Pemilihan metode analisis penetapan kadar.

Metode analisis ini memiliki syarat-syarat sebagai berikut.

1) Selektivitas

Selektivitas adalah kemampuan metode analisis untuk membedakan suatu

obat dengan metabolitnya, obat lain dan kandungan endogen cuplikan

hayati.

2) Sensitivitas

Sensitivitas berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur dengan

metode analisis yang digunakan. Hal ini diperlukan karena dalam

(48)

data kadar obat dari waktu ke waktu atau dari kadar tertinggi sampai kadar

terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan.

3) Ketelitian dan ketepatan

Ketelitian dan ketepatan ini akan menentukan kesahihan hasil penetapan

kadar. Ketepatan (akurasi) ditunjukkan oleh kemampuan metode

memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan nilai yang

sesungguhnya. Ketelitian (presisi) menunjukkan kedekatan hasil

pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama.

e. Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat.

Takaran dosis yang diberikan harus menjamin dapat diukurnya kadar obat atau

metabolitnya pada rentang waktu tertentu sehingga diperoleh data yang cukup

memadai untuk analisis farmakokinetika.

f. Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati.

Apabila menggunakan cuplikan darah, sebaiknya pengambilan dilakukan

sebanyak 3-5 kali t½ eliminasi obat yang diuji. Hal ini disebabkan karena pada

kondisi tersebut, 99,2%-99,9% obat telah diekskresi. Frekuensi pengambilan

cuplikan obat sebaiknya dilakukan setidaknya 3 kali pada tahap absorpsi, 3 kali

di sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi.

g. Analisis dan evaluasi hasil.

Langkah-langkah ini meliputi analisis sederetan kadar obat utuh atau

metabolitnya dalam darah atau urin, analisis statistika dan evaluasi.

(49)

D. Nasib Obat di Dalam Tubuh

Obat yang masuk ke dalam tubuh umumnya mengalami absorpsi, distribusi,

dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian,

dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Setiawati,

Zunilda, dan Suyatna, 2003). Seluruh proses ini disebut sebagai proses

farmakokinetika seperti terlihat pada gambar 5.

tempat aksi “reseptor” terikat bebas

jaringan bebas terikat

sirkulasi sistemik

obat bebas

obat terikat metabolit

biotransformasi

ekskresi absorpsi

Gambar 5. Proses farmakokinetika obat di dalam tubuh (Setiawati dkk., 2003)

1. Absorpsi

Kebanyakan obat harus dipindahkan ke tempat aksi oleh darah. Obat yang

diberikan secara ekstravaskular membutuhkan proses absorpsi (Shargel et al., 2005).

Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut

kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen

dari jumlah obat yang diberikan (Setiawati dkk., 2003).

Absorpsi menggambarkan laju obat meninggalkan tempat pemberian dan

jumlah obat yang tersedia. Oleh karena itu, menurut para ahli klinis parameter

(50)

digunakan untuk menggambarkan jumlah obat yang mencapai tempat aksi atau

cairan tubuh. Sebagai contoh, obat yang diberikan per oral harus diabsorpsi terlebih

dahulu dari lambung dan usus halus. Absorpsi ini dipengaruhi oleh sifat bentuk

sediaan dan sifat fisika kimia obat. Obat juga akan mengalami metabolisme di hati

sebelum akhrinya mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya, sejumlah obat yang

diberikan dan diabsorpsi akan menjadi tidak aktif atau berubah bentuk. Jika kapasitas

metabolisme di hati besar, maka bioavailabilitas akan berkurang (disebut sebagai

first-pass effect) (Wilkinson, 2001).

Mekanisme absorpsi dapat terjadi secara difusi pasif, difusi terfasilitasi,

transpor aktif atau pinositosis, fagositosis dan persorpsi. Absorpsi obat melalui

saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif. Absorpsi mudah terjadi bila

obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.

Mekanisme difusi pasif dijelaskan dengan Hukum Fick (Proudfoot, 1990) :

)

Konsentrasi obat di dalam darah jauh lebih kecil daripada konsentrasi obat dalam

saluran cerna (CGI >> CB). Kondisi ini disebut dengan kondisi “sink” yang

memastikan bahwa perbedaan konsentrasi tetap terjaga selama proses absorpsi

(51)

2. Distribusi

Organ target bagi obat biasanya bukan darah sehingga obat harus dapat

menembus jaringan untuk dapat memberi efek yang diharapkan (Clark and Smith,

1993). Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui

sirkulasi darah. Selain tergantung aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh

sifat fisika kimianya (Setiawati dkk., 2003).

Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya dalam

tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang

perfusinya sangat baik, misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,

distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak

secepat organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak (Setiawati dkk.,

2003).

Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan

terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut lemak akan sulit

menembus membran sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel.

Selain itu, distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma dan hanya

obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat

pada protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan

kadar proteinnya (Setiawati dkk., 2003).

3. Biotransformasi

Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur

(52)

molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga lebih mudah larut dalam air dan

kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu,

pada umumnya obat menjadi inaktif sehingga biotransformasi sangat berperan dalam

mengakhiri kerja obat (Setiawati dkk., 2003).

Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan menjadi reaksi fase I dan fase

II. Proses yang termasuk reaksi fase I adalah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi

fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar. Reaksi fase II yang

disebut juga reaksi sintetik merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase

I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino.

Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih

mudah diekskresi (Setiawati dkk., 2003).

Sebagian besar biotransformasi obat dikatalis oleh enzim mikrosom hati,

demikian pula biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu

obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum

endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom (Setiawati dkk., 2003).

4. Ekskresi

Ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi

bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi tergantung pada sifat fisika

kimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi

(Mutschler, 1999). Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi

(53)

metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada

ekskresi melalui paru (Setiawati dkk., 2003).

Organ ekskresi yang terpenting adalah ginjal. Ekskresi meliputi 3 proses

berikut : filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif

di tubuli proksimal dan distal (Setiawati dkk., 2003). Selain melalui ginjal, ekskresi

obat juga dapat terjadi melalui empedu dan usus (feses), kulit (keringat), air liur, air

mata, air susu, paru-paru (udara ekspirasi) dan rambut (Mutschler, 1999; Setiawati

dkk., 2003). Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Pada

ibu menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan

intoksikasi yang membahayakan bagi bayi (Mutschler, 1999).

E. Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika 1. Model kompartemen

Tubuh terdiri dari banyak kompartemen. Masing-masing sel tubuh dan

bagian-bagian dari sel merupakan kompartemen yang kecil. Dalam farmakokinetika,

yang disebut dengan kompartemen adalah organ-organ dan jaringan di mana

kecepatan absorpsi dan klirens obat adalah sama (Clark and Smith, 1993). Model

kompartemen adalah suatu hubungan matematika yang menggambarkan perubahan

konsentrasi terhadap waktu dalam sistem tubuh (Mutschler, 1999).

a. Model satu kompartemen. Pada model satu kompartemen, obat akan

segera terdistribusi ke dalam ruang distribusi secara merata setelah pemakaian. Jika

proses eliminasi mungkin terjadi, maka model satu kompartemen disebut terbuka

(54)

b. Model dua kompartemen. Pada model dua atau lebih kompartemen,

distribusi obat ke dalam ruang distribusi terjadi dengan kecepatan yang

berbeda-beda. Dengan demikian dapat dibedakan menjadi kompartemen pusat, yang secara

kinetika bersifat seperti darah (organ transpor) dan kompartemen perifer. Bila

pertukaran zat antara suatu kompartemen perifer dan kompartemen pusat sangat

lambat, maka disebut kompartemen dalam (Mutschler, 1999).

2. Parameter farmakokinetika

Parameter farmakokinetika diperoleh dari perubahan konsentrasi obat dan

metabolitnya dalam cairan darah (darah, plasma, dan serum) dan dalam urin terhadap

waktu. Kedua cairan tersebut mudah dilewati dan konsentrasi dalam darah, yaitu alat

transpornya, mencerminkan proses kinetika dalam organisme (Mutschler, 1999).

Untuk memperoleh kurva konsentrasi terhadap waktu sebagai hasil dari

berbagai bagian proses farmakokinetika yang berbeda-beda perlu dilakukan

penentuan konsentrasi obat berulang-ulang (Mutschler, 1999). Dalam membuat

kurva konsentrasi terhadap waktu untuk suatu obat, suatu bentuk sediaan tertentu

akan diberikan kepada sekelompok pasien dan sampel darah pasien itu akan diambil

pada periode waktu yang telah ditentukan. Jumlah obat dalam sampel darah ini

kemudian akan dianalisis dan dibuat grafik konsentrasi darah terhadap waktu (Ansel

and Prince, 2006). Kurva konsentrasi darah terhadap waktu dapat digunakan untuk

menentukan atau membuat parameter-parameter berikut (Ansel and Prince, 2006;

(55)

a. Area Under the Curve (AUC). Nilai AUC biasanya dihitung dari profil

kurva konsentrasi plasma terhadap waktu. Nilai AUC menggambarkan jumlah obat

di dalam tubuh dan dapat dihitung dengan aturan trapezoid.

Luas area trapezoid = (tn+1 – tn) . (Cn+ Cn+1) / 2 (7)

Keterangan :

tn+1 = waktu saat n+1 (menit) tn = waktu saat n (menit)

Cn = konsentrasi pada waktu tn (μg/ml) Cn+1 = konsentrasi pada waktu tn+1 (μg/ml)

Jumlah semua area trapezoid merupakan nilai AUC(0-t). Untuk menghitung total

AUC (AUC(0-∞)), maka dilakukan ekstrapolasi bagian akhir area setelah titik akhir

pengukuran (AUC(t-∞)). Prosedur ini sahih jika bagian ekstrapolasi area lebih kecil

dari 10% AUC(0-t) dan sebaiknya data tidak dipakai jika bagian ekstrapolasi lebih

besar dari 20% AUC(0-t).

b. Volume distribusi (Vd). Volume distribusi adalah volume hipotetis cairan

tubuh yang akan diperlukan untuk melarutkan jumlah total obat pada konsentrasi

yang sama seperti yang ditemukan dalam darah.

Cp D

Vd= (8)

Keterangan :

Vd = volume distribusi (ml) D = dosis (mg)

Cp = kadar obat dalam plasma (μg/ml)

Volume distribusi dapat dianggap sebagai volume plasma, cairan ekstraseluler, atau

cairan tubuh total. Jumlah total obat dalam tubuh dapat dihitung dari konsentrasi obat

(56)

yang terdistribusi ke jaringan juga besar atau dapat juga obat terkonsentrasi pada

jaringan tertentu.

c. Klirens (Cl). Klirens merupakan volume darah atau plasma yang dapat

dibersihkan dari obat per satuan waktu. Klirens total diperoleh dari hasil kali tetapan

laju eliminasi (kel) dan volume distribusi (Vd)

Cl = Vd . kel (9)

atau dari hasil bagi dosis (D) dengan AUC.

AUC

Jika obat hanya dieliminasi oleh satu organ, maka klirens total sama dengan klirens

organ tersebut. Namun biasanya nilai klirens total melibatkan beberapa jalur yang

terdiri dari beberapa organ klirens juga. Jalur terpenting adalah hepatik (ClH) dan

ginjal (ClR) sehingga rumus klirens total menjadi :

Cl = ClH + ClR + Clx (11)

Keterangan :

Cl = klirens total (ml/menit) ClH = klirens hepatik (ml/menit) ClR = klirens ginjal (ml/menit) ClX = klirens organ lain (ml/menit)

d. Waktu paruh eliminasi (t½ eliminasi). Nilai t½ eliminasi merupakan waktu

kadar obat dalam darah atau plasma menjadi setengah dari kadar awal.

Gambar

Gambar 2. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)
gambar 3. Sebagian lainnya dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi
Gambar 3. Metabolisme parasetamol (Gibson and Skett, 1991)
Gambar  4. Proses obat dalam tubuh untuk menimbulkan efek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Merpati jantan (Columba livia) yang dikondisikan dalam keadaan demam dengan dehidrasi diberikan secara oral suspensi serbuk tablet parasetamol dosis 300 mg/Kg BB tunggal,

aktifnya sebanyak 50% adalah berbeda-beda. Pada tablet Metronidazol generik.. Winda : Perbandingan Mutu Tablet Metronidazol Generik Dengan Merek Dagang Secara In Vitro, 2010.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar natrium diklofenak dalam sediaan tablet generik dan tablet merk dagang secara Spektrofotometri Ultraviolet yang

Berhubungan dengan masalah mutu antara tablet generik dengan tablet bermerek dagang, maka dilakukanlah uji mutu yang meliputi uji fisik yang terdiri dari

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Uji Perbandingan Mutu Fisik Tablet Allopurinol 100 mg Generik dan Generik Bermerek” ini merupakan salah satu syarat

Penelitian ini merupakan penelitian uji laboratorium yang membandingkan profil disolusi dan penetapan kadar ke tiga tablet amlodipin, terdiri dari inovator (tablet A), generik

Propolis dengan dosis 0,75 ml memberikan proteksi terhadap nekrosis dan degenerasi melemak pada ginjal tikus putih jantan yang diberikan parasetamol dosis tinggi yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan mutu bebe- rapa tablet amoksisilin 500 mg gene- rik dengan non generik yang beredar di pasaran dan untuk mengetahui ada atau tidak