• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas

Bioavailabilitas sangat dipengaruhi oleh proses absorpsi. Obat-obat yang

diberikan secara oral harus diabsorpsi terlebih dahulu sebelum memberikan efek

terapeutik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi adalah sebagai berikut.

a. Rute dan cara pemberian.

Obat yang diberikan secara oral, subkutan, intramuskular, intradermal,

hipodermal atau intraperitoneal memerlukan proses absorpsi. Beberapa obat

yang diberikan secara oral akan termetabolisme pada saluran pencernaan dalam

jumlah yang besar sehingga hanya sedikit obat yang dapat mencapai sirkulasi

sistemik. Kebanyakan obat yang diberikan secara oral juga mengalami first- pass

effect sehingga tidak semua obat yang diberikan akan diabsorpsi (Wagner, 1975).

b. Dosis dan aturan dosis.

Dosis yang diberikan harus diperhatikan agar konsentrasi obat dalam darah dapat

c. Efek bentuk sediaan.

Bentuk sediaan obat dapat mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai

sirkulasi sistemik.

1) Sifat fisika kimia obat.

a) Faktor yang mempengaruhi kelarutan.

Laju pelarutan obat dijelaskan dengan persamaan Noyes-Whitney

(Proudfoot, 1990) : C) - (C h A D dt dm s = (1) Keterangan : dt dm

= laju disolusi partikel obat

D = koefisien difusi A = luas permukaan efektif h = tebal lapisan difusi

Cs = kelarutan jenuh obat pada lapisan difusi C = konsentrasi obat pada cairan gastrointestinal

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah sebagai berikut.

(1) Bentuk kristal, amorf, polimorfi, solvate.

Polimorfi.

Banyak obat memiliki lebih dari satu bentuk kristal. Hal ini disebut

dengan istilah polimorfi, sedangkan masing-masing bentuk kristal

disebut dengan istilah polimorf. Bentuk polimorf metastabil memiliki

kelarutan dalam air paling besar (Proudfoot, 1990).

Amorf

bentuk amorf biasanya lebih larut dan laju disolusinya lebih cepat

Solvate

solvate adalah bentuk kristal yang terbentuk ketika obat berikatan

dengan molekul pelarut (solvent). Jika pelarutnya air, maka bentuk

solvate dinamakan hidrat. Biasanya semakin besar solvation pada

kristal, maka kelarutan dan laju disolusinya akan menurun (Proudfoot,

1990).

(2) Asam bebas, basa bebas, atau bentuk garam.

Bentuk asam bebas, basa bebas dan bentuk garam dapat

mempengaruhi kelarutan obat. Sebagai contoh : garam logam alkali

dari asam organik lemah (misal : natrium atau kalium warfarin) akan

terdisolusi lebih cepat daripada bentuk asam lemahnya. Serupa

dengan itu, garam asam mineral dari basa lemah (misal : amina atau

sulfat) akan terdisolusi dengan lebih cepat daripada basa lemahnya

(Wagner, 1975).

(3) Nilai pKa.

Pengaruh nilai pKa dalam kelarutan obat dapat dijelaskan dalam

persamaan Krebs & Speakman :

untuk asam monobasa : SpH = S0 (1+10(pH-pKa)) (2)

untuk basa monoasam : SpH = S0 (1+10(pKa-pH)) (3)

Keterangan :

SpH = kelarutan pada pH tertentu

S0 = kelarutan intrinsik (kelarutan bentuk tak terion)

yang berarti kelarutan asam pada pH mendekati 0 atau kelarutan basa pada pH mendekati 14

(4) Kompleksasi, solid solution, eutectics.

Laju dan jumlah obat yang diabsorpsi tergantung pada konsentrasi

efektif obat. Kompleksasi dapat mempengaruhi konsentrasi efektif

obat pada cairan gastrointestinal. Contoh kompleksasi yang terjadi

adalah antara mucin dengan obat-obat tertentu (misal streptomisin)

yang membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi (Proudfoot,

1990).

(5) Surfaktan.

Surfaktan memiliki efek yang bervariasi pada laju disolusi dan

absorpsi. Biasanya surfaktan menurunkan tegangan permukaan

sehingga laju disolusi akan meningkat. Namun jika konsentrasi

surfaktan sudah di atas critical micelle concentrations, maka

surfaktan akan membentuk micelle dengan obat sehingga laju absorpsi

obat akan menurun sebab obat yang dapat diabsorpsi hanya obat

dalam bentuk bebas (Wagner, 1975).

b) Faktor yang mempengaruhi transport obat.

(1) Nilai pKa dan pH.

Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat-

obat yang lebih larut dalam lemak akan lebih mudah melewati

membran sel daripada obat yang kurang larut lemak. Bagi obat yang

bersifat sebagai elektrolit lemah, besarnya ionisasi mempengaruhi laju

Ionisasi suatu elekrolit lemah tergantung pada nilai pKa dan pH yang

dijelaskan dalam persamaan Handerson-Hasselbach :

untuk asam lemah : [HA]

] A

[ -

= 10(pH-pKa) (4)

untuk basa lemah :

] [HB ] B [ + = 10 (pH-pKa) (5) Keterangan :

A- = fraksi terion dari obat asam lemah HA = fraksi tak terion dari obat asam lemah B = fraksi tak terion dari obat basa lemah HB+ = fraksi terion dari obat basa lemah pH = nilai pH media

pKa = nilai pKa obat

(2) Ada tidaknya muatan.

Muatan pada obat dapat mempengaruhi transport obat menembus

membran. Berdasarkan penelitian Benet dkk., ternyata bentuk ion dari

obat juga dapat menembus membran (Wagner, 1975).

(3) Koefisien partisi.

Semakin besar koefisien partisi obat antara membran dan lumen,

maka laju absorpsi akan semakin besar pula (Wagner, 1975).

(4) Molal volume, monomeric atau micellar, dan difusivitas.

Laju difusi micelle lebih lambat daripada laju difusi monomeric

(Wagner, 1975).

(5) Stagnant water layer (aqueous diffusion layer).

Perpindahan obat melewati aqueous diffusion layer antara luminal dan

permukaan membran dapat menjadi rate limiting step dalam proses

2) Faktor farmasetika dan pembuatan bentuk sediaan padat.

a) Ukuran partikel dan luas permukaan spesifik.

Laju disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan spesifik

(Wagner, 1975). Penurunan ukuran partikel akan menyebabkan

peningkatan luas permukaan spesifik (York, 1990). Laju disolusi, laju

absorpsi, keseragaman kandungan dalam bentuk sediaan dan stabilitas

bentuk sediaan tergantung pada ukuran partikel dan ukuran distribusinya.

b) Static electrification.

Beberapa proses seperti pencampuran dan penyalutan dapat menghasilkan

static electrification. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi

partikel dan terjadinya unmixing (tidak tercampurnya) obat. Agregasi

menyebabkan penurunan luas permukaan sehingga laju disolusi menjadi

lebih lambat (Wagner, 1975).

c) Tipe bentuk sediaan.

Pada umumnya, urutan laju absorpsi obat dalam bentuk sediaan dari yang

tercepat hingga terlambat adalah larutan, suspensi, tablet, tablet salut

gula, dan tablet salut enterik. Namun urutan tersebut dapat berubah jika

obat terdegradasi oleh asam di lambung (Wagner, 1975).

d) Tipe dan jumlah bahan tambahan.

Secara umum, penggunaan bahan tambahan yang tidak larut air akan

menyebabkan laju disolusi dan absorpsi obat menjadi lebih lambat

dibandingkan dengan penggunaan bahan tambahan yang larut air. Hal ini

larut air sehingga obat menjadi lebih hidrofob. Penambahan garam netral

akan meningkatan disolusi obat (Wagner, 1975).

e) Ukuran granul dan distribusi ukurannya.

Granulasi merupakan salah satu proses dalam pembuatan tablet. Proses

disintegrasi tablet diasumsikan melalui 2 tahap, yaitu tablet menjadi

granul dan granul menjadi partikel kecil. Oleh karena itu, ukuran granul

dan distribusi ukurannya menjadi penting untuk diperhatikan (Wagner,

1975).

f) Tipe dan jumlah bahan penghancur.

Bahan penghancur akan mengembang oleh adanya air dan mendesak

tablet untuk hancur. Semakin banyak jumlah bahan penghancur yang

digunakan, maka tablet semakin mudah hancur (Wagner, 1975).

g) Waktu pencampuran.

Dalam proses pencampuran terdapat waktu optimum, di mana setelah

waktu optimum terlewati, obat menjadi tidak tercampur lagi (Wagner,

1975).

h) Tekanan dan kecepatan kompresi.

Tekanan kompresi merupakan faktor penentu waktu hancur dan laju

disolusi obat dari tablet (Wagner, 1975).

i) Penyalutan (salut film, salut gula, salut enterik).

Tablet salut film terdisolusi lebih cepat daripada tablet salut gula. Tablet

enterik tidak larut pada lambung, namun larut pada usus halus (Wagner,

1975).

j) Efek matriks.

Dalam tablet lepas lambat, obat dicampur dengan wax atau polimer

sintetik yang inert dan tidak dapat diabsorpsi di saluran pencernaan, yang

disebut dengan matriks. Saat tablet tersebut diberikan secara oral, cairan

akan masuk ke dalam matriks dan dengan perlahan akan melarutkan obat

dari matriks (Wagner, 1975).

k) Tipe dan jumlah surfaktan.

Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dengan

media disolusi sehingga dapat meningkatkan laju disolusi (Wagner,

1975).

l) Kondisi lingkungan selama pembuatan.

Jika obat mudah terhidrolisis, maka stabilitas bentuk sediaan dapat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama pembuatan (Wagner, 1975).

m) Kondisi saat penyimpanan dan lama penyimpanan.

Stabilitas obat dalam bentuk sediaan tertentu dapat diuji dengan uji

stabilitas bentuk sediaan dengan peningkatan temperatur (Wagner, 1975).

d. Faktor fisiologis.

1) Waktu transit obat.

Semakin lama obat berada di usus halus, maka semakin banyak obat yang

diabsorpsi dengan asumsi bahwa obat stabil pada cairan intestinal (Proudfoot,

2) Laju pengosongan lambung.

Kebanyakan obat diabsorpsi secara optimal pada usus halus. Penurunan laju

pengosongan lambung akan menurunkan laju absorpsi obat dan menunda

waktu onset obat. Laju pengosongan lambung juga penting untuk obat yang

mudah terdegradasi di lambung. Semakin lama obat berada di lambung, maka

semakin banyak obat yang terdegradasi sehingga bioavailabilitasnya akan

menurun. Adanya makanan akan menurunkan laju pengosongan lambung

sehingga absorpsi obat akan tertunda (Proudfoot, 1990).

3) Luas permukaan area efektif pada tempat absorpsi.

Usus halus memiliki luas permukaan area efektif terbesar karena adanya vili

dan mikrovili. Oleh karena itu, mayoritas obat akan diabsorpsi secara

maksimum pada usus halus, meskipun pH cairan intestinal bukan merupakan

kondisi optimum untuk absorpsi obat-obat asam lemah/basa lemah.

Sebaliknya, luas permukaan lambung dan usus besar relatif kecil karena tidak

memiliki vili dan mikrovili (Proudfoot, 1990).

4) Laju aliran darah.

Aliran darah pada saluran pencernaan merupakan faktor yang penting untuk

membawa obat ke sirkulasi sistemik kemudian ke tempat kerja. Di dalam

usus terdapat pembuluh-pembuluh darah mesentrika. Obat dilepaskan ke hati

melalui vena porta hepatika dan kemudian menuju ke sirkulasi sistemik. Jika

laju aliran darah mesentrika menurun, maka bioavailabilitas obat juga akan

5) Nilai pH cairan pada saluran pencernaan.

Nilai pH cairan bervariasi di sepanjang saluran pencernaan. pH lambung 1-

3,5; pH usus halus 5-8 (pH duodenum 5-6, pH ileum 8); pH usus besar 8.

Derajat ionisasi obat dipengaruhi oleh nilai pH. Bentuk tak terion akan

diabsorpsi lebih cepat daripada bentuk terion. Perubahan nilai pH pada

saluran pencernaan (karena adanya makanan atau faktor lain) dapat

menyebabkan perubahan jumlah bentuk tak terion sehingga dapat

mempengaruhi absorpsinya (Proudfoot, 1990).

6) Aktivitas enzimatik.

Obat yang diberikan secara oral dan ditujukan untuk sirkulasi sistemik

biasanya mengalami first pass effect, di mana obat akan termetabolisme

sebelum mencapai sirkulasi sistemik. First pass effect menyebabkan

penurunan bioavailabilitas (Proudfoot, 1990).

7) Mukus dan glycocalyx.

Molekul obat harus melalui unstirred aqueous layer, lapisan mukus, dan

glycocalyx untuk mencapai mikrovili. Glycocalyx adalah bagian yang

menyatu dengan mikrovili, berfungsi sebagai penyalut bagi mikrovili dan

tersusun atas mukopolisakarida (Proudfoot, 1990).

8) Ada tidaknya makanan pada saluran pencernaan.

Makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan beberapa mekanisme, di

antaranya mengubah laju pengosongan lambung, memacu sekresi asam dan

absorpsi, membentuk kompleks dengan obat, meningkatkan viskositas pada

saluran pencernaan (Proudfoot, 1990).

9) Lain-lain : konsentrasi elektrolit, tegangan permukan dan tegangan

antarmuka, emulsifying agents dan complexing agents (misal : garam

empedu), posisi anatomi tubuh dan aktivitas relatif, suhu tubuh, integritas

membran gastrointestinal, tekanan hidrostatik dan intralumenal, kapasitas

buffer, tonisitas (Wagner, 1975).

Dokumen terkait