• Tidak ada hasil yang ditemukan

Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)

Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dilakukan dengan cara menyimpan produk pangan pada lingkungan ekstrim, sehingga menyebabkan produk pangan yang disimpan cepat rusak, baik pada suhu atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Salah satu keuntungan metode ASS (Accelerated

Storage Studies) atau metode akselerasi ini adalah waktu yang relatif singkat (3-4

bulan), namun memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

Pendekatan metode ASLT dapat dilakukan dengan model kadar air kritis. Menurut Kusnandar (2006) dikutip Nugroho (2007), model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Selain model kadar air kritis, metode ASLT dapat dilakukan dengan model Arrhenius. Model Arrhenius banyak digunakan untuk pendugaan umur simpan bahan pangan yang mudah rusak oleh reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein, serta yang sensitif terhadap suhu (Ristiani, 2014).

Model Arrhenius banyak digunakan oleh industri pangan karena dapat memberikan kerusakan produk pangan secara tepat dengan waktu yang relatif singkat. Model Arrhenius menggunakan teori kinetika yang pada umumnya

menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan. Model persamaan matematika pada pendekatan kadar air diturunkan dari hukum difusi Fick unidireksional. Terdapat empat model matematika yang sering digunakan, yaitu model Heiss dan Eichner (1971), model Rudolf (1986), model Labuza (1982), dan model paruh waktu (Syarief dan Halid, 1993).

Menurut Syarief dan Halid (1993), dalam penentuan umur simpan, metode Arrhenius sangat baik untuk diterapkan dalam penyimpanan produk pada suhu penyimpanan yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Selanjutnya laju penurunan mutu ditentukan dengan persamaan Arrhenius berdasarkan persamaan.

𝐾𝑇 = 𝐴0 . π‘’βˆ’πΈπ‘Ž/𝑅𝑇 = 𝐴0 . π‘’βˆ’π΅/𝑇 Keterangan:

KT = laju reaksi pada suhu T

A0 = konstanta laju kinetik pre-eksponensial Ea = energi aktivasi (Joule/g mol)

R = tetapan gas konstan (8.315 J/g moloK) T = temperature penyimpanan (oK)

B = konstanta eksponensial

Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh temperatur terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik garis lurus hubungan ln K dengan (1/T). Dengan demikian, energi aktivasi yang besar mempunyai arti bahwa nilai ln K berubah cukup besar dengan hanya perubahan beberapa derajat dari temperatur. Dengan demikian, nilai slope akan besar (Arpah,

2001). Lebih lanjut, besarnya nilai energi aktivasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1) Kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan karatenoid, klorofil, atau oksidasi asam lemak.

2) Sedang (Ea 15-30 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan vitamin, kerusakan pigmen yang larut air, dan reaksi Mailard.

3) Besar (Ea 50-100 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena denaturasi enzim, inaktivasi mikroba dan sporanya.

Reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu. Oleh sebab itu model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 (Kusnandar, 2006 dikutip Wahyuningrum, 2010). Laju perubahan A menjadi B pada reaksi ordo 0 dinyatakan sebagai berikut:

𝑑𝐢 𝑑𝑇= π‘˜

dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan sebagai berikut:

𝐢𝑑 = 𝐢0 + 𝐾𝑑 Dimana:

C0 = nilai mutu awal

Ct = nilai mutu pada masa akhir shelf life K = konstanta laju reaksi

Menurut Labuza (1982) dan penelitian Hariyadi dan Andarwulan (2006), tipe kerusakan pangan yang mengikuti model reaksi ordo nol adalah perubahan kadar air; degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku); reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering dan produk susu kering); dan reaksi oksidasi lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada

snack, makanan kering dan pangan beku).

Jika pada reaksi ordo nol, persentase penurunan mutu bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Pada reaksi ordo satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan sebagai berikut:

𝑑𝐢

𝑑𝑇 = 𝐾 𝐢 𝑛

dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut: 𝑙𝑛 𝐢𝑑= ln 𝐢0+ 𝐾𝑇 (𝑑) Dimana:

C0 = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t Ct = nilai mutu pada akhir masa shelf life K = konstanta laju reaksi ordo-1 (first order)

Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo satu diantaranya (1) ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering); (2) pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas); (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982 dan Hariyadi dan Andrawulan, 2006).

Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun ordo satu dapat dipengaruhi oleh suhu. Secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi. Oleh sebab itu konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi.

Penentuan umur simpan dengan pendekatan Arrhenius dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu penetapan parameter kriteria kadaluarsa, pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir penurunan mutu yang dapat ditolerir (Kusnandar, 2004 dikutip Ristiani, 2014). Menurut Herawati, 2008 dikutip Ramadhani, 2015, penentuan umur simpan dengan AAS perlu mempertimbangkan faktor teknis dan ekonomis dalam distribusi produk yang di dalamnya mencakup keputusan manajemen yang bertanggung jawab.

Perubahan indikator mutu disebabkan adanya pengaruh dari faktor lingkungan, seperti suhu, kelembaban, dan tekanan udara atau karena faktor komposisi produk pangan tersebut. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan, semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia di dalam bahan pangan akan semakin cepat. Oleh karena itu faktor suhu harus selalu diperhitungkan dalam menduga kecepatan penurunan mutu,. Penggunaan suhu inkubasi untuk mengetahui umur simpan produk dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Suhu Percobaan Penyimpanan (Β°C) yang Dianjurkan untuk Menguji Masa Kadaluarsa Makanan

Jenis makanan beku Jenis makanan kering – semi basah

Makanan yang diolah secara termal

-40 (kontrol) 0 (kontrol) 5 (kontrol)

-15 Suhu kamar Suhu kamar

-10 30 30

-5 35 35

40 40

45 (jika diperlukan) Sumber : Syarief dan Halid, 1993

Model Q10 merupakan pemanfaatan lebih lanjut dari model Arrhenius. Model ini dipakai untuk menduga berapa besar perubahan laju reaksi oksidasi atau laju penurunan mutu produk makanan jika produk tersebut disimpan pada suhu-suhu tertentu (Ristiani, 2014). Model Q10 dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa produk makanan tertentu yang disimpan pada berbagai suhu (Syarief dan Halid, 1993). Q10 disebut juga dengan istilah faktor percepatan reaksi yang dirumuskan sebagai berikut:

𝑄10= 𝐾35 𝐾25=

𝐴0π‘’βˆ’πΈπ‘Ž/𝑅(𝑇+10) 𝐴0π‘’βˆ’πΈπ‘Ž/𝑅(𝑇)

Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan pada suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, yang selanjutnya dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan yang diinginkan melalui persamaan Arrhenius. Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan

mutu) pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian dihitung umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya (Wahyuningrum, 2010).

Dokumen terkait