• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

C. Manajemen Kompensasi Guru Menurut Al-Ghazali

3. Actuating (Pelaksanaan)

Fungsi actuating merupakan bagian dari proses kelompok atau organisasi yang tidak dapat dipisahkan. Adapun istilah yang dapat dikelompokkan dalam fungsi ini adalah directing, commanding,

leading dan coordinating. Keterkaitan istilah ini sangat nyata karena

tindakan actuating sebagaimana tersebut di atas, maka proses ini juga memberikan motivating.

Motivating ini bertujuan untuk memberikan penggerakan dan

kesadaran terhadap dasar dari pada pekerjaan yang akan dilakukan, yaitu menuju tujuan yang telah ditetapkan disertai dengan memberi motivasi-motivasi baru, bimbingan atau pengarahan, sehingga

menimbulkan kesadaran dan kemauan untuk bekerja dengan tekun dan baik. Adapun bimbingan menurut Hadari Nawawi berarti “memelihara, menjaga dan memajukan organisasi oleh setiap personal, baik secara struktural maupun fungsional, agar setiap kegiatannya tidak terlepas dari usaha mencapai tujuan” (M. Yacoeb, 2013).

Dalam realitasnya, kegiatan bimbingan dapat berbentuk sebagai berikut: (a) Memberikan dan menjelaskan perintah, (b) memberikan petunjuk melaksanakan kegiatan, (c) memberikan kesempatan meningkatkan pengetahuan, keterampilan/kecakapan dan keahlian agar lebih efektif dalam melaksanakan berbagai kegiatan organisasi, (d) memberikan kesempatan ikut serta menyumbangkan tenaga dan fikiran untuk memajukan organisasi berdasarkan inisiatif dan kreativitas masing-masing, dan (d) memberikan koreksi agar setiap personal melakukan tugas-tugasnya secara efisien (M. Yacoeb, 2013).

Al-Qur`an dalam hal ini menurut Yacoeb (2013) telah memberikan fondasi dasar terhadap proses bimbingan dan pengarahan ataupun memberikan peringatan dalam bentuk actuating ini. Deskripsi tersebut sesuai dengan firman Allah Swt:

































“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira

kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al-Kahfi: 2)

Al-Qur`an juga menganjurkan agar manusia mau bergerak serta dalam aktualisasi tersebut mereka diharuskan saling menasihati satu sama lain dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah:



































“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-`Ashr: 1-3).

Ayat di atas menegaskan bahwa sebenarnya manusia itu akan mengalami kerugian dalam kehidupan sosialnya, kalau ia tidak melakukan koordinasi dan sosialisasi yang positif antara sesamanya. Manusia juga tidak akan ada apa-apanya kalau ia tidak mau melakukan aktualisasi diri. Ia tidak akan mencapai tujuan jika tidak ada tindakan. Wacana dan prospek yang baik tidak akan membuahkan hasil jika tidak dipraktikkan. Begitu juga seorang pendidik harus selalu mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepada muridnya. Al-Ghazali dalam Ihyâ `Ulumiddîn-nya mengutip sebuah ayat al-Qur`an yang berisi kecaman terhadap para guru dan ulama yang tidak mau mengamalkan ilmu yang dimilikinya.























“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44).

Al-Ghazali mengatakan bahwa seorang guru adalah teladan bagi murid, maka dari itu guru harus mengamalkan ilmunya agar ditiru juga oleh muridnya. Guru dan murid diumpamakan bayangan dan kayu, kapan lurus bayangan kalau kayu itu sendiri bengkok. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa actuating adalah mengelola lingkungan organisasi yang melibatkan lingkungan dan orang lain dengan tata cara yang baik. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan actuating menurut Quth Ibrahim Muhammad (2007: 27-28) terkait pelaksanaan manajemen kompensasi guru, di antaranya:

a. Mengambil Prinsip Pemerataan

Sistem keuangan modern mengambil prinsip pemerataan dalam arti bahwa pemasukan dari sumber-sumber pendapatan publik digunakan untuk pembiayaan “layanan publik” tanpa mengalokasikan sumber pendapatan umum tersebut untuk suatu layanan publik tertentu. Hal itu adalah melalui cara pengecualian. Sedangkan sistem keuangan Islam, sebagaimana yang digagas oleh

al-Ghazali, mengambil prinsip alokasi pada sebagian sumber-sumber pendapatan umumnya melalui teks-teks al-Qur`an. Oleh karena itu, sumber pendapatan dari zakat misalnya, dialokasikan hanya untuk bantuan terhadap kelompok yang ditentukan al-Qur`an dan tidak boleh digunakan untuk selainnya. Dalam hal ini pada masa al-Ghazali, pemerintah mengalokasikan dana khusus yang sangat cukup untuk kompensasi tenaga pendidik (guru).

b. Dilakukan dengan Transparan

Transparansi dalam masalah-masalah keuangan publik mengantarkan kepada pemahaman rakyat atas politik keuangan yang telah ditetapkan oleh Negara demi kebaikan seluruh tugas mereka dan masa depan generasi-generasinya. Pemahaman individu tentang politik ini mengikat rakyat dengan pemerintahannya, yang karenanya akan dapat menopang orientasi-orientasi pemerintah baik secara politik maupun ekonomi, dan bersegera menjalankan kewajiban keuangan seperti pajak dan lainnya. Seharusnya sistem keuangan terkait pembayaran kompensasi guru ditandai dengan kelenturan yang memadai. c. Bersifat Toleran

Seharusnya dalam pelaksanaannya, pemerintah beserta struktur organisasinya tidak melakukan pembebanan kewajiban-kewajiban ekonomi yang tidak benar dan bahkan dengan tak berdasar melakukan pengurangan upah lembur. Dengan demikian,

pemerintah harus memikirkan nasib kompensasi para guru (khususnya honorer) agar mereka dapat mengajar dengan tenang dan fokus. Memang falsafah hidup seorang guru adalah menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdian, yaitu memberikan pelayanan pada masyarakat dan kemanusiaan. Artinya seorang guru lebih tepat kalau tangannya berada di atas (memberi) daripada di bawah (menerima).

Guru menurut al-Ghazali tidak diperkenankan menuntut upah dari hasil mengajarnya, namun di sisi lain seharusnya pemerintah juga mesti memiliki rasa toleransi terhadap jasa dan pengabdian mereka untuk Negara. Proses pelaksanaan manajemen kompensasi guru menurut al-Ghazali harus bersifat sentralistik. Jadi setelah pemerintah mengalokasikan dana di Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah (dalam ABPD), maka gaji guru langsung dialokasikan kepada sekolah ataupun masing-masing guru secara sistematis.

Sementara dalam konteks Indonesia, dalam menggaji guru honorer pihak sekolah biasanya masih mengandalkan dana BOS, padahal penggunaan dana BOS sebetulnya tidak untuk menggaji honor. Ia digunakan untuk operasional, sarana prasarana, penunjang kemudian untuk biaya-biaya yang diperlukan. Kalau saja pemerintah mau menganggarkan dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerahnya (APBD) khusus untuk guru honorer,

langkah itu jauh lebih baik di banding menggaji guru honorer dengan menggunakan dana BOS, karena lebih menyejahteraan dan tak mengganggu anggaran sekolah. Sebagaimana pemerintahan pada masa al-Ghazali, yang selalu memperhatikan nasib daripada guru baik guru yang notabene pegawai negeri maupun honorer.

Dokumen terkait