Suma Hui mengepal tinjunya. “Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!” Kao Cin Liong mengangkuk-angguk. “Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu Sin-kiam Mo-li dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang lanjutkan
ceritamu, Sute.”
“Mereka memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan kemudian, memenuhi pula pesan ketiga orang guru saya, maka saya lalu membakar Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah itu ikut terbakar habis. Saya menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa pada malam hari, saya mendapat kesempatan melarikan diri lalu bersembunyi di sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk bersamadhi dan tidak boleh menggerakkan
tenaga sin-kang.”
Kembali Suma Hui dan puterinya menangis dan Kao Cin Liong menghela napas, panjang berkali-kali. “Aih, ayah ibuku dan paman Wan Tek Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!” “Akan tetapi, Suheng. Sudah seringkali saya mendengar dari mereka bahwa mereka memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat. Mereka tewas, walaupun dalam usia yang sudah amat tua, namun tetap sebagai pendekar-pendekar sakti yang mereka inginkan. Mereka sama sekali tidak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan. Andaikata saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat membela mereka sekalipun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya membawa berita buruk.” “Sudahlah, Sute. Engkau tidak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?” “Sudah rata dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru saya.
Tiba-tiba Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah dan ia berkata, “Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin! Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan nenekku!” “Tenanglah, Hong Li.” Mereka itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai dan mempunyai banyak sekali kawan. Apalagi kedua orang kakek itu yang merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-liankauw! Memang kita tidak boleh tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kaulakukan sebelum engkau datang ke sini?” tanya Kao Cin Liong kepada
Sin Hong.
tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka. Diceritakannya tentang penyelidikannya, mengenai pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa akhirnya dia memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat Tiat-liong-pang. “Saya hendak melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimanapun juga, mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan saya terhadap Tiat-liong-pang.” Keluarga Kao itu merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula. “Tiat-liong-pang? Sungguh aneh, menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah yang sudah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan kalau tidak salah, ketuanya, Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas pahalanya terhadap pemerintah.”
“Saya pun sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja dari Tiat-liong-pang. Pasti ada apa-apanya di sana dan saya akan menyelidiki sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.” “Memang sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari sudah malam dan sebaiknya malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir, kiranya besok pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.” Sin Hong tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suhengnya. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang gurunya itu sebelum malapetaka itu datang menimpa. Dalam kesempatan itu, keluarga Kao juga bertanya tentang ilmu yang diwariskan oleh tiga orang tua sakti itu. Sin Hong berterus terang mengakui. bahwa ilmu-ilmu mereka telah dipelajarinya dengan baik, bahkan sebelum mereka meninggal, mereka telah menggabung ilmu-ilmu mereka, diambil inti sarinya dan mereka bertiga bersama-sama menciptakan Pek-ho Sin-kun, lalu mengoperkan sin-kang mereka kepada Sin Hong untuk dipergunakan dalam permainan ilmu silat tinggi itu. Kao Cin Liong berhasil pula membujuk sutenya untuk berdemonstrasi memperlihatkan ilmu silat ciptaan baru itu. Sin Hong tidak berkeberatan dan ibu ayah dan anak itu mengagumi ilmu silat yang amat dahsyat dan hebatnya, juga indah karena banyak di antara gerakan meniru gerakan burung bangau yang anggun, tenang dan gagah.
Setelah pada keesokan harinya Sin Hong pergi meninggalkan rumah suhengnya, Hong Li menghadap kedua orang tuanya. Wajahnya keruh dan alisnya berkerut. “Ayah dan Ibu, aku merasa tidak puas sama sekali melihat sikap susiok Tan Sin Hong itu!” Ayah bundanya terkejut dan memandang puteri mereka penuh perhatian. “Eh, apa maksudmu, Hong Li?” tanya ibunya. “Susiok itu telah diselamatkan nyawanya oleh kakek dan nenek dan juga kakek Tiong Khi Hwesio, kemudian diberi pelajaran ilmu silat bahkan mewarisi penggabungan ilmu mereka. Dia berhutang budi yang tak terhitung banyaknya kepada tiga orang tua itu. Akan tetapi, ternyata dia terlalu mementingkan diri sendiri, setelah keluar dari gurun pasir, dia sibuk mengurusi kematian orang tuanya sendiri dan tidak mencari para pembunuh ketiga orang gurunya!”
“Aih, jangan berkata demikian, anakku! Bukankah sute Tan Sin Hong juga menceritakan betapa tiga orang tua itu selalu menekan kepadanya bahwa dia tidak boleh menyimpan dendam atas kematian ayahnya? Dendam adalah racun yang membakar diri sendiri, anakku. Karena itu, Sin Hong tidak mendendam, biarpun dia melihat sendiri betapa tiga orang gurunya tewas karena dikeroyok musuh, akan tetapi ternyata pihak musuh juga ada empat belas orang yang tewas! Kalau dihitung, kematian tiga orang tua itu tidaklah rugi dan tidak ada yang harus dibuat penasaran.” “Dia boleh saja berpendapat demikian, akan tetapi aku tidak, Ayah! Tanpa dosa, kakek dan nenekku, juga kakek Tiong Khi Hwesio, tiga orang tua yang selama ini kukagumi walaupun aku hanya mendengar penuturan ayah dan ibu saja, telah diserbu orang-orang jahat dan mereka sampai tewas. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja kalau para pembunuhnya ada yang masih berkeliaran? Tidak, aku harus pergi mencari mereka untuk membalas kematian orang-orang tua yang tidak berdosa itu, Ayah!” Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya. Setelah Istana Gurun Pasir terbakar dan kedua orang tuanya tidak ada lagi, memang tidak mungkin lagi mengajak puteri mereka itu merantau ke sana. Hong Li sudah terlalu dewasa dan cukup kuat berjaga diri, maka kalau ia hendak mencari para penjahat itu, hal ini baik sekali untuk mematangkan pengalamannya dan memungkinkannya untuk menemukan jodohnya. “Dengarlah baik-baik, anakku! Kami tidak akan menghalangi niatmu. Kami menggemblengmu selama ini memang dengan harapan agar engkau menjadi seorang pendekar wanita yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi jangan engkau sesalkan kematian kakek dan nenekmu itu. Mereka adalah orang-orang yang sejak mudanya sudah berkecimpung di dunia persilatan, membuat nama besar di dunia kang-ouw, telah menentang dan membasmi entah berapa banyak orang jahat di dunia ini. Siapa bermain air basah, bermain api terbakar, dan kalau kini mereka itu tewas menentang para datuk hitam, hal itu sudah wajar. Setelah pertentangan itu hanya ada dua akibatnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Dan mereka mati dalam tugas mereka, sama sekali mereka tidak menyesal dan tidak perlu disesalkan. Ingat, nenek moyangmu, dari ibumu, para pendekar Pulau Es, juga selalu menentang kejahatan. Kakek buyutmu, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, bersama kedua orang nenek buyutmu, juga tewas dengan gagahnya di Pulau Es, sama dengan kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Kematian seperti itu tidak perlu disesalkan. Jadi, kalau engkau hendak mencari Sin-kiam Mo-li dan orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, jangan sekali-kali dasarnya membalas dendam kematian kedua orang kakek nenekmu,
melainkan karena sudah menjadi tugasmu menentang mereka yang jahat. Mengertikah engkau?”
Hong Li mengangguk. “Aku mengerti Ayah.”
“Akan tetapi, nanti dulu, Hong Li. Benarkah engkau hendak Menentang Sin-kiam Mo-li? Sudah bulat benarkah tekadmu itu? Engkau harus ingat bahwa bagaimanapun juga, di waktu kecil engkau pernah mengangkatnya sebagai guru, bahkan ibu angkat! Nah, yakinkah hatimu bahwa engkau akan mampu menentangnya?” Gadis itu tertegun sejenak dan teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Ketika ia berusia tiga belas tahun, pernah ia diculik seorang pendeta Lama yang sebetulnya adalah penyamaran Sin-kiam Mo-li, dan kemudian di tengah perjalanan, Sin-kiam Mo-li bersandiwara, seolah iblis betina itu yang menyelamatkannya dari tangan pendeta Lama sehingga ia diambil menjadi anak angkat dan murid! Akan tetapi kemudian muncul Gu Hong Beng dan Bi-kwi, juga Bi Lan dan Sim Houw, dan mereka itu berhasil menyelamatkannya, dan ia pun tahu akan tipu muslihat Sin-kiam Mo-li yang berhasil melarikan diri dari tangan
para pendekar itu.
“Ibu, tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar aku pernah menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali mencari dan menentangnya!” “Akan tetapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Biarpun kami sudah menggemblengmu dengan kekuatan sin-kang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apalagi kalau ia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai ilmu sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus berhati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, kini sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng.” “Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.” “Maksud ayahmu bukan minta bantuan, hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat juga memberitahu tentang kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.
“Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.” Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu. Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan agar anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai. Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga mengharapkan anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapatkan cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!
Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain daripada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan! Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita selalu menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi.
Sama sekali tidak!
Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, dan dalam hidup, dan itulah keindahan. Terimalah anak yang terlahir sebagai hasil daripada perbuatan kita sendiri, dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan, berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat SI ANAK itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu dimaksudkan oleh ayah menjadi orang yang berharta dan berkedudukan! Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah kebebasan karena dalam kebebasan itu terletak sinar
kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat. Anak kita merupakan manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri! Lebih condong menjadi korban atau akibat daripada perbuatan kita! Jadi, biarpun dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Kalau begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan? Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita? Kewajiban kitalah untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat DIA berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang mungkin sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi? Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian maupun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan. Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam. “Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya,” kata Kao Cin Liong. “Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun. Kao Cin Liong tersenyum. “Biarkan ia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah
ada garisnya.”
Ada lagi pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung. Pendekar Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, walaupun memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar dan dalam usia empat puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong. Isterinya yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari suaminya. Kini, kedua orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan hampir tidak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw. Memang agak mengherenkan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan yang hanya memiliki seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, membiarkan puterinya itu digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil, dalam usia tiga belas tahun kurang, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu Beng Lokai. Suma Lian suka kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang pendirian orang-orang kang-ouw seperti suami isteri ini berbeda dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu. Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main