Sin Hong mengerutkan alisnya. Semua dugaan memang menuding ke arah Kwee-piauwsu dan biarpun belum ada bukti, namun hati siapapun memang condong untuk menuduh
keluarga Kwee.
“Oya, Paman Tang. Lay-wangwe itu membuka toko rempah-rempah yang besar di kota raja? Tahukah engkau di jalan mana dia tinggal di kota raja dan bagaimana macam wajahnya?” “Ah, dia sama sekali tidak dapat kita curigai, Sin. Hong,” kata Ciu-piauwsu. “Dia telah menderita rugi yang amat banyak. Harta kekayaannya yang berharga seratus kati emas itu, setelah dia menyita semua harta milik keluargamu, belum juga ada sepersepuluh bagian! Jadi, dalam urusan ini dia yang menderita rugi harta paling banyak dan kami tidak pernah
“Aku pun tidak mencurigai siapa-siapa selama belum ada bukti,” kata Sin Hong, “Akan tetapi aku harus mengetahui dengan jelas semua orang untuk bahan penyelidikanku. Paman Tang di mana alamatnya dan bagaimana macamnya orang itu?” “Aku hanya dua kali bertemu dengan dia, Sin Hong. Pertama kali ketika dia datang membawa peti bersama beberapa orang pembantunya dengan naik kereta. Kemudian ketika dia datang untuk penggantian hartanya yang dirampok, kemudian dia menyerahkan pengurusan penggantian itu kepada pengawalnya. Menurut keterangan pegawainya, Lay-wangwe memiliki toko rempah-rempah besar di Jalan Singa Batu, dan rumahnya seperti istana. Adapun wajah dan bentuk badannya tidak sukar untuk dikenal, tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali, kepalanya bundar dan matanya lebar, memakai gigi emas, hidungnya besar dan mulutnya selalu tersenyum-senyum menyeringai, apalagi kalau berhadapan dengan wanita seperti yang kulihat ketika dia berkunjung dan melihat wanita lewat di depan pintu. Dia termasuk laki-laki yang memiliki ciri mata keranjang. Usianya ketika itu tiga puluh tahunan, jadi sekarang, sudah hampir empat puluh tahun.” “Terima kasih, Paman. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” kata Sin Hong. “Sin Hong, kupikir apa yang dikatakan Ciu-te tadi benar. Engkau hanya akan membuang waktu sia-sia belaka kalau menyelidiki keadaan Lay-wangwe, bahkan kalau engkau muncul dan dia tahu bahwa engkau putera Tan-toako, tentu dia akan marah-marah karena diingatkan akan kerugiannya. Mungkin dia akan menuntut penggantian darimu karena engkau adalah putera Tan-toako. Sebaiknya kalau engkau menyelidiki Kwee-piauwsu. Dia amat mencurigakan dalam hubungan ini karena ada satu hal yang perlu kauketahui. Akan tetapi biarlah nanti saja kuceritakan kepadamu.” Sin Hong merasa heran sekali karena dia melihat betapa pandang mata Tang-piauwsu mengerling ke arah Ciu-piauwsu, seolah-olah hendak memberi tanda bahwa dia tidak ingin apa yang hendak diceritakan kepada Sin Hong itu terdengar oleh orang lain. Agaknya Ciu-piauwsu tidak tersinggung atau tidak memperhatikan ucapan Tang-Ciu-piauwsu itu. Malam itu, setelah makan malam dan berganti pakaian, Sin Hong beristirahat di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, kamarnya sendiri di waktu dia belum meninggalkan tempat ini, akan tetapi kamar yang sudah kosong dan hanya terdapat sebuah dipan sederhana, dia merebahkan diri sambil termenung. Langit-langit kamar itu masih sama seperti dulu, dicat biru namun catnya sudah luntur dan terdapat noda-noda bekas air hujan yang bocor. Dia merasa terharu karena kamar ini sama sekali tidak asing, bahkan dia merasa akrab rebah di situ. Karena lelah, juga karena batinnya lelah pula setelah banyak berpikir, dia pun tertidur dan malam pun mulai makin menghitam dan makin sepi.
***
“Keparat!” Kwee-piauwsu menjadi marah karena urusan pribadi tentang cintanya terhadap mendiang isteri Tan-piauwsu diungkit-ungkit oleh orang itu. “Aku tidak melakukan pembunuhan itu, akan tetapi jangan dikira aku takut menghadapi tantanganmu yang ngawur dan tak berdasar!” Berkata demikian, piauwsu yang tinggi besar itu melolos sabuknya dan sabuk itu ternyata sebuah sabuk rantai baja yang tebal dan panjangnya hampir satu setengah meter. Melihat lawannya sudah mengeluarkan senjatanya, Ciu Hok Kwi segera menerjang dengan pedangnya sambil membentak. “Mampuslah!”
Akan tetapi, Kwee Tay Seng adalah seorang ahli silat Bu-tong-pai yang lihai sekali. Tangannya bergerak dan rantai baja itu membentuk sinar bergulung menangkis serangan pedang yang ditusukkan oleh lawan. “Tranggg....!” Nampak bunga api berhamburan ketika pedang bertemu rantai dan keduanya melangkah ke belakang, merasakan betapa tangan mereka tergetar hebat oleh pertemuan kedua senjata itu, tanda bahwa masing-masing memiliki tenaga yang amat kuat. Ciu Hok Kwi menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan dahsyat dengan pedangnya, dan harus diakui bahwa permainan pedang orang she Ciu ini cukup lihai. Kwee-piauwsu tidak berani memandang rendah. Dia menangkis, dan membalas dengan serangan rantainya. Segera kedua orang itu terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian. Dari belakang batang pohon, kini Sin Hong telah maju bercampur dengan orang-orang yang nonton, tak jauh dari tempat perkelahian. Tadinya dia siap untuk melindungi Ciu-piauwsu, akan tetapi segera dia mendapat kenyataan yang mengagum kan bahwa tingkat kepandaian Ciu-piauwsu tidak kalah dibandingkan dengan tingkat lawan. Karena itu, legalah hatinya dan dia pun mengikuti jalannya perkelahian itu, siap untuk mencegah apabila seorang di antara mereka terancam bahaya maut. Biarpun dia berdiri di bagian terdepan, dia tidak takut dikenal orang karena baru kemarin dia tiba di Ban-goan dan tidak ada orang mengenal dia. Perkelahian itu berlangsung semakin seru dan makin banyak orang datang menonton. Para anggauta piauwsu anak buah Kwee-piauwsu membuat pagar untuk menghalangi para penonton mendekat dan di antara para penonton banyak yang membicarakan perkelahian itu dengan dugaan-dugaan mereka. Sin Hong tentu saja memasang telinga mendengarkan dan percakapan dua orang di sebelahnya menarik perhatiannya. “Hebat sekali orang itu, dapat menandingi Kwee-piauwsu, siapakah dia itu?” “Apakah engkau tidak tahu? Dia adalah orang ke dua dari Peng An Piauwkiok setelah Tang-piauwsu.”
“Akan tetapi mengapa dia datang dan menyerang Kwee-piauwsu?” “Biasa, orang dagang. Tentu karena persaingan.” Karena Sin Hong menoleh, maka dalam waktu beberapa detik lamanya perhatiannya terpecah dan dia tidak melihat betapa pada saat itu rantai di tangan Kwee-piauwsu mengenai lengan kanan Ciu-piauwsu. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Kwee-piauwsu sudah cepat menyusulkan sebuah tendangan yang mengenai lutut Ciu Hok Kwi dan membuatnya roboh terlentang! Akan tetapi Kwee Tay Seng tidak menyerang lagi, melainkan berdiri saja
memandang kepada lawan yang sudah dikalahkannya. Sin Hong sempat melihat betapa kekalahan Ciu Hok Kwi itu karena kesalahan sendiri. Agaknya orang ini terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga menerima sambaran rantai itu dengan lengannya, agaknya dengan niat untuk dapat membalas secepatnya. Akan tetapi ternyata pukulan rantai itu membuat pedangnya terlepas dan tendangan lawan tak dapat dielakkannya lagi. Akan tetapi Ciu Hok Kwi sudah memungut pedangnya, bangkit berdiri dan memandang kepada bekas lawannya dengan mata melotot. “Hari ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain hari aku akan datang menebus kekalahan ini!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit lalu dia lalu pergi dengan langkah agak terpincang. “Hei, orang she Ciu!” Kwee Tay Seng berseru ke arah lawan yang sudah berjalan pergi itu. “Demi Tuhan aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu!” Akan tetapi Ciu Hok Kwi tidak peduli dan terus saja melangkah pergi. Setelah perkelahian itu selesai, orang-orang bubaran, termasuk Sin Hong yang merasa lega juga melihat kesudahan perkelahian itu. Biarpun kalah, Ciu-piauwsu tidak terluka parah. Bahkan kekalahan itu perlu sebagai pelajaran kepada Ciu Hok Kwi untuk kelancangannya. Akan tetapi, setelah melihat sikap Kwee Tay Seng, dalam hatinya Sin Hong merasa semakin kurang yakin bahwa orang she Kwee itu yang merencanakan pembunuhan terhadap keluarganya. Orang itu memperlihatkan sikap yang demikian gagah. Orang seperti itu kalau menghadapi urusan, kiranya akan merasa malu mempergunakan cara-cara yang curang. Sikapnya terhadap Ciu Hok Kwi tadi saja sudah menunjukkan kegagahannya. Setelah dia tiba di rumah kembali, Ciu-piauwsu telah berada di situ dan nampak murung. “Eh, Paman Cui, engkau pergi ke mana sajakah?” Sin Hong bertanya, pura-pura tidak tahu akan peristiwa yang terjadi di depan perusahaan Ban-goan Piauwkiok tadi. “Aku pergi menemui Kwee Tay Seng dari Ban-goan Piauwkiok dan membuat perhitungannya dengan dia. Akan tetapi, dia terlampau lihai dan aku kalah.”
Diam-diam Sin Hong merasa kasihan juga kepada orang yang dengan jujur mengakui kekalahannya itu. Biarpun lancang dan kasar, namun bagaimanapun juga orang ini ingin menuntut balas atas kematian ayah ibunya, juga kematian Tang Lun. Sin Hong tidak banyak bertanya dan mereka lalu mengurus penguburan jenazah Tang-piauwsu. Setelah pemakaman selesai, Ciu-piauwsu mengajak Sin Hong berbincang-bincang tentang Peng An Piauwkiok. Bagaimana baiknya sekarang setelah Tang-piauwsu meninggal dunia dan apa yang akan dilakukan pemuda itu selanjutnya. “Paman Ciu, rumah dan kantor ini sudah digadaikan dan tinggal kurang dari dua tahun lagi masanya akan habis. Aku tidak suka melanjutkan pekerjaan ayah, dan tidak sanggup untuk mengembalikan uang pinjaman. Karena itu, terserah kepadamu, akan kaulanjutkan
perusahaan ekspedisi ini ataukah akan ditutup saja. Dan rumah ini boleh kauserahkan saja kepada yang berhak, yaitu si pemilik uang yang telah memberi pinjaman kepada mendiang Tang-piauwsu untuk mengganti kerugian.” “Aku akan melanjutkan Sin Hong Piauwkiok ini dengan susah payah dibangun oleh mendiang Tan-toako, masa harus ditutup begitu saja? Biarlah aku yang kelak membayar hutang itu. Akan tetapi, karena nama Peng An Piauwkiok sudah kurang dipercaya pedagang, nama piauwkiok ini akan kuganti dan akan kuperbaharui segala-galanya. Pemilik uang itu adalah seorang hartawan yang menjadi sahabat baikku, tentu aku akan dapat meminjam modal dan kelak aku akan menebus rumah dan kantor ini. Akan kusaingi Ban-goan Piauwkiok!” katanya penasaran. Sin Hong mengangguk. “Terserah kepadamu, Paman. Aku tidak akan mencampuri urusan Piauwkiok. Bahkan aku akan pergi sekarang juga.”
“Ke mana Sin Hong?”
“Ke mana saja, Paman. Aku ingin merantau,” kata Sin Hong, tidak mau memberitahukan keinginannya untuk melanjutkan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Dia masih merasa bingung karena setelah melihat sikap Kwee-piauwsu, dia seperti kehilangan pegangan. Kalau bukan orang she Kwee itu yang merencanakan semua pembunuhan itu, lalu siapa lagi? Dan siapa pula orang berkedok yang membunuh Tang Lun? Orang berkedok itu lihai sekali, hal ini dapat diketahuinya ketika dia gagal menangkap lengannya, hanya mendapatkan potongan lengan baju. Akan diselidikinya sampai dia dapat membongkar rahasia itu, pikirnya. Dan dia tidak yakin akan keterlibatan Kwee-piauwsu, namun dia tetap akan menemui piauwsu itu dalam penyelidikannya. Pada hari itu juga, Sin Hong berpamit dan meninggalkan Ciu Hok Kwi, membawa buntalan pakaian dan sisa bekal uang yang dirampasnya dari kepala perampok. Ciu Hok Kwi dengan wajah duka, mengantarnya sampai ke pintu gerbang kantor Piauwkiok yang sudah butut itu. Mereka pun berpisah.
***
Kota Sang-cia-kou terletak di sebelah selatan kota Ban-goan, juga Tembok Besar berdiri megah di luar kota ini yang merupakan perbatasan pula antara Propinsi Ho-pei dan Mongol. Dari kota inilah dahulu tentara Mancu banyak yang menerobos melewati Tembok Besar. Di sebuah lereng bukit yang berdiri di luar kota Sang-cia-kou terdapat sebuah perkampungan dengan bangunan-bangunan besar seperti benteng. Dari tempat ini, kota Sang-cia-kou dapat dilihat dengan jelas dan seluruh penduduk Sang-cia-kou dan sekitarnya mengenal belaka bangunan besar itu, yang nampak seperti benteng di lereng bukit. Perkampungan itu adalah tempat perkumpulan Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) yang amat terkenal sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki pula watak yang keras dan menjagoi di seluruh daerah itu. Bukan hanya karena ketuanya dan anak buahnya berwatak keras dan berkepandaian tinggi yang membuat orang-orang merasa jerih,
melainkan karena perkumpulan itu pun dilindungi oleh pemerintah. Perkumpulan Tiat-liong-pang telah berjasa kepada pemerintah Mancu, ketika pasukan Mancu menyerbu ke selatan, banyak memperoleh bantuan dari perkumpulan ini. Oleh karena itu, setelah pemerintah Mancu yaitu Dinasti Ceng berkuasa, tentu saja perkumpulan ini dianggap berjasa dan dilindungi oleh pemerintah. Hal ini membuat Tiat-liong-pang menjadi sebagai perkumpulan yang kaya dan berpengaruh. Perkumpulan ini bergerak di bidang keamanan dan dengan dalih menjaga keamanan, perkumpulan ini minta sumbangan-sumbangan besar dari para hartawan dan pedagang yang selalu memenuhi tuntutan mereka demi keamanan! Pada waktu itu, setelah dipegang secara turun-temurun, Tiat-liong-pang jatuh ke tangan seorang yang memiliki kepandaian amat tinggi sebagai ketuanya. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka nama Siangkoan Tek atau yang lebih terkenal dengan panggilan Siangkoan Lohan (orang tua gagah Siangkoan). Baru mendengar namanya saja, orang-orang sudah menjadi gentar karena entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang jatuh di tangannya karena berani menentangnya! Kepandaiannya sedemikian hebatnya! sehingga menjadi dongeng di antara orang-orang kang-ouw, seolah-olah Siangkoan Lohan memiliki kesaktian seperti dewa!
Pada hari itu, jalan pendakian ke bukit itu kelihatan ramai oleh orang-orang yang mendaki bukit, tidak seperti biasanya. Sejak pagi, ada saja orang mendaki, ada yang menunggang kuda, ada yang menunggang kereta, ada pula yang berjalan kaki. Dan mereka yang naik ke bukit itu terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi rata-rata kelihatan seperti orang-orang kang-ouw, bahkan banyak yang menyeramkan. Memang mereka adalah orang-orang-orang-orang kang-ouw yang mendaki bukit untuk memenuhi undangan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang karena pada hari itu, di perkumpulan itu diadakan pesta perayaan ulang tahun Siangkoan Lohan yang ke enam puluh. Siangkoan Lohan tidak mengundang terlalu banyak orang. Dipilihnya mereka yang kedudukannya sudah tinggi saja, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang kenamaan, ketua-ketua dan tokoh-tokoh perkumpulan besar. Biarpun demikian, tetap saja melihat mengalirnya para tamu sejak pagi, tidak kurang dari seratus orang datang bertamu! Para murid Siangkoan Lohan, yang menerima tugas dari guru mereka, mengadakan pemilihan. Para tamu yang dianggap sebagai kaum muda yang tingkatnya belum tinggi, dipersilakan duduk di bagian luar sedangkan mereka yang dianggap sebagai tamu kehormatan dipersilakan duduk di dalam dan yang paling dihormati duduk di panggung bersama-sama Siangkoan Lohan sendiri! Hanya kurang lebih tiga puluh orang duduk di ruangan dalam, di antaranya beberapa orang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan, sedangkan selebihnya duduk di ruangan luar, di jamu oleh para pembantu dan murid Siangkoan Lohan. Akan tetapi, mereka yang duduk di luar tidak merasa terhina, karena mereka pun maklum bahwa mereka masih belum pantas
untuk duduk satu ruangan, apalagi satu meja, dengan ketua Tiat-liong-pang itu! Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan yang usianya sudah enam puluh tahun itu masih nampak lebih muda daripada usianya. Tubuhnya yang tinggi kurus masih tetap dan nampak kokoh kuat. Mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke dada. Rambutnya yang mulai dihias uban itu digelung dan ditutupi sebuah topi yang dihias bulu merak dan emas. Pakaiannya gemerlapan indah berwibawa, membayangkan kehormatan dan kekayaan. Sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itulah yang membuat kebanyakan orang tidak berani menatap pandang matanya terlalu lama. Siangkoan Lohan adalah seorang yang congkak, mengandalkan kedudukan, kepandaian dan hartanya sehingga dalam semua surat undangannya, dia mencantumkan bahwa keluarganya tidak menerima sumbangan dalam perayaan itu dan diharapkan agar para tamu datang tanpa membawa sumbangan! Hal ini saja merupakan ketidaklajiman dan sekaligus memperlihatkan kecongkakannya seolah-olah dia hendak mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan sumbangan-sumbangan karena dia sudah kaya raya! Dan semua orang juga tahu belaka akan kekayaan kakek ini. Ketika dia berusia tiga puluh tahun lebih, mengingat akan jasa perkumpulan Tiat-liong-pang, dia dihadiahi seorang puteri dari istana! Seorang gadis yang amat cantik, dan setelah mendapatkan isteri puteri, tentu saja hubungannya dengan istana menjadi dekat dan mengumpulkan kekayaan bagaikan orang mencari pasir di sungai saja bagi Siangkoan Lohan. Isterinya itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka. Biarpun Siangkoan Lohan termasuk seorang pria yang gagah dan tidak buruk, akan tetapi wataknya yang keras, juga kesukaannya mengumpulkan wanita cantik, merongrong hati puteri itu sehingga ketika melahirkan, kesehatannya demikian lemah dan ia pun meninggal dunia ketika melahirkan. Puteranya, yang merupakan anak tunggal karena Siangkoan Lohan tidak pernah lagi mempunyai anak dari wanita lain, sungguhpun amat banyak wanita yang telah digaulinya baik secara sah maupun tidak. Oleh karena hanya mempunyai seorang anak saja, maka sudah tentu dia amat memanjakan anaknya yang diberi nama Siangkoan Liong, sesuai dengan nama perkumpulannya. Dia pun menggembleng puteranya itu sejak kecil dengan ilmu silat, dan mengundang guru-guru kesusastraan untuk mengajar Siangkoan Liong. Anak ini memang cerdik sekali, maka dia dapat menguasai kedua ilmu itu dengan amat baiknya sehingga kini dia menjadi seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat pandai membawa diri seperti seorang terpelajar tinggi.
Ketika para tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan, banyak di antara mereka terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas. Selama ini mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan pemerintah Kerajaan Ceng, dan biarpun sepak terjang ketua dan para anggautanya keras dan menekan terhadap rakyat jelata,
namun mereka menggolongkan diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau mencampuri atau mendekati golongan hitam atau sesat! Dan kini apa yang mereka lihat? Ketua Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai datuk-datuk iblis! Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal menunjukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai. Selain nenek ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang juga amat terkenal karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis. Dan memang benar, kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih, tinggi kurus berwibawa, membawa tongkat setinggi badan adalah Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai, sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah, memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai. Selain tiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang lain yang menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini mencabut pedangnya, pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum minum darah lawan! Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih