• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TELAAH HADIS SEPUTAR BERSIN: PERSPEKTIF ILMU

B. Etika Bersin Dalam Islam

1. Adab Bagi Orang Yang Bersin

a. Anjuran Untuk Memuji Allah Setelah Bersin

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Sulaiman dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu dia berkata; "Dua orang laki-laki tengah bersin di dekat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mendo'akan yang satu dan membiarkan yang lain, maka ditanyakan kepada beliau, beliau pun menjawab: "Orang ini memuji Allah, (maka aku mendo'akannya) dan yang ini tidak memuji Allah."12

Telah menceritakan kepada kami Adam bin Iyas telah menceritakan kepada

kami Ibn Abū Dzi`b telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqburi dari

Ayahnya dari Abū Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi

wasallam: "Sesungguhnya Allah menyukai bersin, dan membenci menguap, Apabila salah seorang dari kalian bersin, hendaklah ia memuji Allah, dan kewajiban seorang muslim yang mendengarnya untuk mendo'akan, sedangkan

12

Al-Imām Abī „Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‟il al-Bukharī, Ṣaī al-Bukhārī, Kitab : Adab, Bab : al-amdi li al-‘ is, no. Hadis: 6221 (al-Qāhirah: al-Maktabah al-Islamiyah 2011 M), h. 706

menguap datangnya dari syetan, hendaknya ia menahan semampunya, jika ia

sampai mengucapkan haaah, maka syetan akan tertawa karenanya."13

Bila meninjau perintah untuk mengucap tamīd setelah bersin seperti tertera

pada hadis di atas, maka hal ini seolah tidak sesuai dengan kenyataan di masyarakat bahwa bersin seringkali diduga sebagai penyakit, karena bersin memang seringkali

menjadi tanda awal bahwa seseorang akan terjangkit penyakit seperti influenza.

Seolah hadis ini menganjurkan untuk mensyukuri penyakit yang tengah menyerang seseorang. Bahkan akan terlihat semakin janggal jika memang dalam keadaan demikian. Akan tetapi hal ini akan menjadi jelas dan berjalan secara beriringan apabila hadis tersebut dihubungkan dengan ilmu medis.

Sebagaimana telah diketahui, membaca tamid merupakan wujud rasa syukur

atas kenikmatan yang telah dianugerahi Tuhan untuk hamba-Nya, maka hal ini sebenarnya bukanlah hal aneh ketika diucapkan setelah bersin. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ketika menghirup udara pernapasan melalui hidung, udara mengalami beberapa perlakuan ketat agar udara yang masuk tersebut sesuai dengan situasi dalam tubuh manusia. Di hidung yang merupakan benteng pertahanan pertama manusia dari berbagai macam ancaman gangguan dari luar tubuh, udara pernapasan disaring terlebih dahulu oleh silla atau rambut-rambut halus dan selaput lendir dalam hidung agar kotoran-kotoran yang terkandung dalam udara tidak ikut masuk ke dalam saluran pernapasan, terlebih lagi tidak sampai masuk ke

13

Al-Imām Abī „Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‟il al-Bukharī, Ṣaī al-Bukhārī, Kitab : Adab, Bab : al-amdi li al-‘ is, no. Hadis: 6223 (al-Qāhirah: al-Maktabah al-Islamiyah 2011 M), h. 706

35

paru. Kemudian setelah itu disesuaikan suhu dan kelembabannya sehingga sedingin atau sepanas apapun udara di luar tubuh tidak mengganggu proses pernapasan dlam tubuh. Bersin merupakan salah satu kegiatan yang refleks yang sering dan wajar dilakukan manusia serta merupakan salah satu cara tubuh untuk memproteksi dirinya sendiri dari benda-benda asing seperti debu dan serbuk sari yang masuk ke dalam hidung agar tidak berlanjut masuk ke bagian dalam tubuh lebih jauh lagi. Sehingga benda asing tersebut dikeluarkan melalui bersin dan menyebabkan tubuh terbebas dari virus, bakteri dan mikroba yang hendak menjangkit ke dalam tubuh sehingga dikeluarkan melalui mulut dan hidung bersama butiran-butiran air yang sangat

lembut.14Maka dalam hal ini Allah telah „menyelamatkan‟ hamba-Nya dari ancaman

penyakit, khususnya penyakit yang penyebab dan penyebarannya melalui saluran

pernapasan, yang paling ringan seperti pilek atau yang lebih serius, seperti pneumonia

yang disebabkan oleh virus. Hal inilah yang nampaknya menjadi sebab dianjurkannya mengucap tahmid setelah bersin. Sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat terhindarnya diri dari penyakit yang hendak menjangkit. Hal ini pulalah yang menimbulkan rasa

empati orang lain atas „selamatnya‟ seseorang dari ancaman serangan penyakit,

sehingga dianjurkan untuk mendoakan orang yang bersin dan mengucapkan tamid

dengan mengucapkan yaramukallah karena Allah telah melimpahkan rahmat atau

kasih sayang-Nya kepada orang yang bersin tersebut.

14

Wawancara pribadi dengan dr. Sandra yang merupakan dokter umum di klinik Berkah Salamah Kertamukti Tangerang Selatan. (Selasa, 16/09/2014)

Makna zahir dari hadis ini memiliki konsekuensi wajib, karena adanya perintah secara tegas. Akan tetapi al-Nawawi menukil kesepakatan tentang disukainya hal

itu.15 Bahwa hadis-hadis ini hanya mengandung makna bahwa Allah menyukai orang

yang mengucap tamid ketika bersin dan orang yang menjawab doa orang yang

bersin, bukan berarti Allah mewajibkan kepada orang bersin untuk mengucap tamid

dan menjawab do‟a mereka. Pada 22 hadis semakna dengan yang telah disebutkan di

atas, mayoritas pengucapan tamid merupakan suatu perintah, meliputi “falyaqul”,

qul”, “falyamad” yang terdapat dalam 14 hadis, sisanya menggunakan lafal “amidallah” terdiri dari 4 hadis, “yaqūlu al-amdu li Allah” terdiri dari 2 hadis, faqālalamidallah terdiri dari 1 hadis, dan tanpa adanya perintah secara langsung teriri dari 1 hadis. Sedangkan lafal yang menunjukkan tentang mendoakan orang yang

bersin, menggunakan fi’il amr seperti “walyaqul” sebanyak 10 hadis, dan sisanya

menggunakan kalimat yang menunjukkan pernyataan, seperti lafal “walyarudda,

fayuqālu lahu, qāla lahu, yushammatahu, faqāla lahu”.

Allah membenci menguap karena menguap adalah aktivitas yang menandakan seseorang banyak makan, yang pada akhirnya membawa pada kemalasan dalam beribadah. Menguap adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah, terlebih-lebih ketika pada waktu shalat. Para nabi tidak pernah menguap, dikarenakan menguap adalah salah satu aktivitas yang dibenci oleh Allah.

15

Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bāri 29: Shahih Bukhari/al-Imam Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani; penerjemah, Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), h. 659

37

Imam Ibn Hajar berkata, “Imam al-Khathabī mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadis di atas dikembalikan kepada sebab yang termaktub dalam hadis itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak tercapainya rasa kenyang. Ini berbeda dengan orang yang menguap. Menguap terjadi karena badan yang kekenyangan, dan badan terasa berat untuk beraktivitas, hal ini karena banyaknya makan. Bersin bisa menggerakkan orang untuk

bisa beribadah, sedangkan menguap menjadikan orang itu malas.16

Bila ditinjau dari ilmu medis, hal ini cukup beralasan. Karena pada dasarnya menguap sering terjadi ketika seseorang merasakan kantuk dan lesu yang dapat menyebabkan terhambatnya aktifitas sehari-hari. Hal ini merupakan suatu gejala bahwa tubuh dan otak sedang membutuhkan oksigen yang jumlahnya dalam tubuh sedang menurun karena kurangnya suplai oksigen dari organ pernapasan. Oleh karena itu, menguap adalah aktifitas menghirup udara dalam-dalam melalui mulut yang bertujuan memenuhi kebutuhan oksigen tadi dan tidak seperti menghirup napas biasa. Karena mulut bukanlah organ yang disiapkan untuk menyaring udara seperti hidung, maka apabila mulut tetap dalam keadaan terbuka ketika menguap, memungkinkan ikut sertanya berbagai jenis mikroba dan debu bersamaan dengan masuknya udara ke

16

Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bāri 29: Shahih Bukhari/al-Imam Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani; penerjemah, Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), h. 682

dalam tubuh. Dengan demikian, hal ini bisa menjadi acuan mengapa Allah menyukai

bersin dan membenci menguap.17

Jika disimpulkan kepada beberapa poin, maka hadis ini memiliki maksud sebagai berikut:

 Orang yang bersin tidak dido‟akan kecuali jika ia memuji Allah

dengan mengucap tamid

 Mendo‟akan orang yang bersin itu disyari‟atkan bagi orang-orang yang mendengar seseorang bersin dan mendengar pula ia memanjatkan pujian yang dipanjatkannya. Jika ada seseorang yang bersin namun orang lain tidak mendengar ia memuji Allah, maka tidak

ada keharusan bagi orang lain untuk mendo‟akan orang yang bersin

tersebut18

Hadis mengenai anjuran untuk membaca tamid setelah bersin dan mendoakan

orang yang bersin memiliki beberapa ide pokok yang terkait dengan beberapa

pembahasan dalam al-Qur‟an. Dalam hadis tentang anjuran untuk mengucap tamid

setelah bersin, dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hal itu sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diperoleh. Sehingga dalam hadis ini mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang

17

Wawancara pribadi dengan dr. Sandra yang merupakan dokter umum di klinik Berkah Salamah Kertamukti Tangerang Selatan. (Selasa, 16/09/2014)

18

M. Abdul Ghoffar, Sharah Riyadh al-Ṣālihīn, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2005), h.

39

besar ataupun yang kecil. Hal ini seperti juga yang diperintahkan Allah dalam al-Qur‟an surat Ibrahim ayat 7:

              

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Dalam ayat ini Allah mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Faedah dan keuntungan yang besar akan diperoleh setiap orang yang banyak bersyukur kepada-Nya, yaitu berupa nikmat yang terus bertambah. Sebaliknya Allah juga mengingatkan kepada orang-orang yang mengingkari nikmat-Nya dan tidak mau bersyukur dengan ancaman berupa azab yang sangat pedih kepada mereka. Sedangkan cara mensyukuri nikmat Allah ada dua, yaitu dengan ucapan setulus hati, kemudian diiringi pula dengan perbuatan, yaitu

menggunakan rahmat tersebut dengan cara dan untuk tujuan yang diridhai-Nya.19 Dan

bersin merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan kepada kita, namun terkadang luput untuk kita syukuri.

Demikian juga mendoakan sesama Muslim juga diajarkan dalam hadis tersebut. Saling mendoakan seperti halnya saling memberi salam merupakan salah satu wujud

dari penghormatan seseorang kepada orang lain. Hal ini terdapat dalam al-Qur‟an

surat al-Nisa‟ ayat 86:

































Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah

penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah

memperhitungkan segala sesuatu.

Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, ayat ini mengajarkan cara lain untuk menjalin hubungan yang lebih akrab lagi, yakni membalas penghormatan

dengan yang sama atau lebih baik. Sedangkan menurut al-Biqā‟i, sebagaimana yang

dikutip oleh Quraish Shihab.20 Ayat ini berpesan bahwa pasti satu ketika kamu akan

mendapat kedudukan terhormat, sehingga ada yang menyampaikan penghormatan

kepadamu. Karena penghormatan bukanlah bagian dari syafa‟at, maka balaslah

dengan segera penghormatan yang diberikan seseorang terhadap dirimu. Penghormatan itu baik dalam bentuk ucapan maupun perlakuan atau pemberian hadiah dan semacamnya. Balaslah penghormatan itu dengan hal yang serupa tidak berlebih dan tidak kurang, atau balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik,

yakni melebihkannya atau meningkatkan kualitasnya21.

Dari penjelasan di atas, walaupun secara tersurat nampak tidak memiliki keterkaitan dengan membalas doa orang yang mendokan kita ketika bersin, tapi

20

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 513

21

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), vol. 2,h. 513

41

secara tersirat dapat disimpulkan bahwa, apabila seseorang mendoakan kita ketika

bersin maka hendaklah kita membalas penghormatan (dalam hal ini do‟a) orang

tersebut dengan yang serupa bahkan disarankan untuk membalas dengan yang lebih baik.

Adapun macam bacaan tamid itu adalah sebagai berikut:

1. Bacaan “Alamdu li Allah”

Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismā'il telah menceritakan kepada

kami Abdul Aziz bin Abū Salamah telah mengabarkan kepada kami Abd Allah

bin Dinār dari Abū Ṣālih dari Abū Hurairah RA. dari Nabi SAW beliau

bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian bersin, hendaknya ia

mengucapkan "Al amdu li Allah" sedangkan saudaranya atau temannya

hendaklah mengucapkan "Yaramukallah (semoga Allah merahmatimu), dan

hendaknya ia membalas; "Yahdikumullah wa yulih bālakum (semoga Allah

memberimu petunjuk dan memperbaiki hatimu)."23

22

Setelah dilakukan kegiatan kritik sanad, yang meliputi ketersambungan sanad, kualitas

periwayat, dan keberadaan syaz atau „illat, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang diriwayatkan

oleh al-Bukhari 5756 tersebut dapat diterima dan berkualitas shahih. Karena memiliki sanad yang bersambung dari mukharij hingga kepada Rsaulullah, diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah dan tidak ditemukan kejanggalan maupun cacat dalam sanadnya.

23

Al-Imām Abī „Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‟il al-Bukharī, Ṣaī al-Bukhārī, Kitab : Adab, Bab : Idha ‘A asa Kaifa Yushammat, no. Hadis: 6224 (al-Qāhirah: al-Maktabah al-Islamiyah 2011 M), h. 706

2. Bacaan “Alamdu li Allah rabb al-‘ālamīn”

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan

kepada kami Abū Ahmad Az Zubairi telah menceritakan kepada kami Sufyan

dari Manshur dari Hilal bin Yasaf dari Salim bin 'Ubaid bahwa dia bersama suatu kaum dalam suatu perjalanan, lalu seseorang bersin dan mengucapkan;

"assalaamu'alaikum", Maka Salim menjawab; “alaika wa ala ummika",

ternyata orang itu merasa tidak enak, maka Salim bertanya; "Bukankah aku tidak mengucapkan selain yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Suatu kali seseorang bersin di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

kemudian dia mengucapkan; "assalaamu'alaikum, " maka Nabi shallallahu

'alaihi wasallam menjawab: 'alaika wa ala ummika (keselamatan atas kamu dan

atas ibumu), " jika salah seorang dari kalian bersin, hendaknya mengucapkan "alamduli Allah rabb al-'ālamīn (segala puji bagi Allah), " dan orang yang

menjawabnya mengucapkan "yarhamu kallaah (semoga Allah merahmatimu), "

kemudian ia mengucapkan "yaghfirullāhu lanā wa lakum (semoga Allah

mengampuni kami dan kalian)."24

24

Sunan al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-aī,kitab adab, bab mā Jā‟a Kaifa Tashmit al-Āṭ is, no. Hadis 2741, juz 5, (1975 M), h. 44

43

3. Bacaan “alamdu li Allah ‘alā kulli āl”

Telah menceritakan kepada kami Mūsā bin Ismā'il berkata, telah menceritakan

kepada kami „Abd al-„Azīz bin Abdullah bin Abū Salamah dari Abdullah bin

Dīnār dari Abū Shalih dari Abū Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian bersin hendaklah mengucapkan 'alamdu li

Allah ‘alā kulli āl (Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan). Dan

hendaklah saudaranya atau temannya mengucapkan yaramukaallahu (semoga

Allah merahmatimu), lalu ia ganti mengucapkan yahdikumullahu wa yulihu

bālakum (semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian dan memperbaiki keadaanmu)."25

Sekelompok ulama berpendapat bahwa melebihkan pujian dengan ucapan „al

amdu’ (segala puji) maka itu lebih baik. Ibn Baṭ al menukil dari al-Ṭabrani bahwa orang bersin memilih antara mengucapkan „al amdu li Allah‟ (segala puji bagi Allah), atau menambahkan „Rabb al-‘ lamīn‟ (Tuhan Semesta alam) atau

menambahkan ‘alā kulli āl’ (atas setiap keadaan). Jadi yang dapat disimpulkan dari

pernyataan ini adalah bahwa, dari semua dalil yang ada itu semua boleh diaplikasikan. Namun siapa yang lebih banyak pujiannya niscaya itu lebih utama dengan catatan pujian-pujian tersebut ada riwayat yang jelas. Al-Nawawi berkata di

kitab al-Adhkār, “para ulama sepakat bahwa pada orang bersin disukai untuk

mengucapkan al amdu li Allah. Apabila dia mengucapkan „al amdu li Allah Rabb

25

Al-Imām Abī Dāud Sulaiman bin al-Ash‟ath, Sunan Abī Dāud, juz 2, no. Hadis 5033

al-‘ lamīn‟ maka itu lebih baik. Sekiranya dia mengucapkan „al amdu li Allah ‘alā kulli hāl‟ maka itu lebih utama26

.

b. Hendaklah Meletakkan Tangan atau Baju ke Mulut dan Merendahkan

Suara Ketika Bersin

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada

kami Yaḥya dari Ibn Ajlan dari Sumay dari Abū Ṣalih dari Abū Hurairah ia

berkata, "Rasulullah SAW. jika bersin meletakkan tangan atau kainnya di

mulut, lalu beliau menahan, atau beliau meredam suaranya dengannya -Yaḥya

masih merasa ragu-."Mengecilkan suara ketika bersin27

Bersin merupakan salah satu mekanisme tubuh untuk mengeluarkan udara pernapasan yang telah bercampur dengan berbagai polusi, bakteri dan virus yang dapat mengganggu keseimbangan tubuh. Hal ini tentu sangat baik jika dikeluarkan dari dalam tubuh seseorang. Namun, yang harus diperhatikan adalah ketika terjadi bersin, seseorang dianjurkan untuk menutup hidung dan mulutnya karena ketika bersin itu disemburkan maka secara otomatis virus dan kuman akan ikut terbawa ke luar, lalu jika mulut dan hidung tidak ditutup, maka virus dan kuman itu akan tersebar

26

Al-Imām Muḥyiddīn Abī Zakariyya Yaḥya bin Sharaf al-Nawawī al-Dimshiqī, al-Adhkār al-Nawawiyyah, (Indonesia: Dār Ihyā‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, t.t.), h. 231

27

Al-Imām Abī Dāud Sulaiman bin al-Ash‟ath, Sunan Abī Dāud, juz 2, Kitab: Adab, Bab: kam marratan yashammatu al-‘ is, no. Hadis 5034 (al-Qāhirah: Dār Ibn al-Haitham, 2007 M), h.493

45

melalui udara dan hal tersebut sangat memungkinkan untuk menjangkit orang yang berada di sekitar. Maka dapat disimpulkan bahwa di antara hikmah dianjurkannya menutup mulut dan hidung ketika bersin adalah, demi menghindari tersebarnya virus, bakteri ataupun kuman yang dapat menyebabkan penyakit melalui udara dan juga karena kadangkala ketika seseorang itu bersin, keluarlah air liur dari mulutnya yang dapat menyembur dan mengenai bahkan juga mengganggu kenyamanan orang lain jika tidak ditutup, maka dianjurkanlah hal ini, dan hal ini pun sesuai dengan anjuran medis. Bahkan dalam ilmu medis, untuk lebih jauhnya dianjurkan untuk mencuci

tangan setelah bersin demi menghindari bersarangnya kotoran di tangan.28

Betapa banyaknya orang yang terganggu atau terkejut dengan kerasnya suara bersin. Maka sudah selayaknya setiap muslim mengecilkan suaranya ketika bersin sehingga tidak mengganggu atau mengejutkan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tiap orang memiliki ciri khas bersin yang berbeda-beda, ada yang dengan suara kecil, ada pula yang dengan suara kencang, ada yang cukup hanya sekali, ada pula yang harus berkali-kali. Namun hal ini dapat disiasati dengan menutup mulut dan hidung ketika bersin sehingga dapat mengurangi suara gemuruh bersin tersebut dan tetap meminimalisir usikan yang dirasakan oleh orang sekitar.

Namun yang perlu diperhatikan pula jangan sampai seseorang ketika bersin menutup rapat hidungnya sehingga menyebabkan terhalangnya udara untuk keluar.

28

Wawancara pribadi dengan dr. Gustav Syukroni, Sp. THT, yang merupakan Dokter yang Bertugas di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang, Jum‟at, 26 Agustus 2014

Maka bukan seperti ini yang dimaksud, karena yang demikian bisa menimbulkan mudharat (efek negatif) bagi orang tersebut. Selain itu juga, yang dianjurkan dalam etika ini menurut ilmu medis adalam menutup bersin dengan kain ataupun lengan,

bukan tangan.29 Karena jika seseorang menutup bersinnya dengan telapak tangan lalu

setelah itu melakukan kegiatan bersalaman, maka justru akan menimbulkan terjadinya penyebaran kuman kepada orang lain dan itu akan menjadi mudharat bagi

orang tersebut. Seiring perkembangan jaman, untuk menutup mulut telah ada tissue

yang bisa langsung dibuang setelah dipakai, sehingga lebih aman bagi orang di sekitarnya dari resiko tertular.

Disebutkan oleh para ulama hikmah dari adab yang kedua ini;

 Mencegah tersebarnya penyakit yang keluar bersamaan dengan

bersinnya seseorang.

 Mencegah terjadinya hal-hal yang mengurangi kenyamanan orang lain

yang melihatnya karena terkadang keluar sesuatu yang kotor ketika bersin30.

29

Wawancara pribadi dengan dr. Sandra yang merupakan dokter umum di klinik Berkah Salamah Kertamukti Tangerang Selatan. (Selasa, 16/09/2014)

30

M. Abdul Ghoffar, Sharah Riyadh al-Ṣālihīn, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2005), h.

47

Dokumen terkait