• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM HKBP DI SAMOSIR

2.5 Adat dan Gereja HKBP

Peralihan dari setiap tingkat kehidupan manusia ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat.

Dalam kehidupan orang Batak Toba, khususnya di daerah Samosir setelah masuknya agama masih banyak yang percaya dengan hal-hal mistis dimana sangat bertentangan dengan ajaran agama. Dengan menghindari hal-hal tersebut HKBP membuat pelarangan dan pengajaran tentang akan Kristen, dimana adat batak yang digunakan dalam kehidupan tidak semua dapat diterima oleh agama tersebut.

Sinkretisme dalam kehidupan orang-orang Batak didasarkan pada pemahaman, bahwa upacara adat itu hanya merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur. Karena itu keberadaannya perlu dilestarikan dengan cara

menyingkirkan beberapa hal yang dinilai mengandung unsur Hasipelebeguon (mersifat mistis) seperti: perdukunan (Hadatuon), kesurupan (siar-siaran), pembuatan patung-patung (gana-ganaan), jimat (parsimboraon), menyembah setan (mamele begu) dan hal-hal lainnya. Hasipelebeguon itu hanya sebagian dari bentuk tipuan yang dimainkan oleh iblis. Hasipelebeguon itu mengambil bentuk yang lebih halus, sehingga sekilas bisa dianggap tidak bertentangan dengan Firman Tuhan. Diluar itu, masih banyak lagi bentuk hasipelebeguon lain yang sangat dibenci oleh Tuhan.

Dalam hal ini HKBP banyak melakukan pelarangan untuk tidak mengikuti ajaran-ajaran sesat yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Adat batak yang diterima dan sesuai dengan ajaran Kristen yang diatur dalam RPP HKBP adalah 24

a. Parbagason (Perkawinan)

Di dalam Gereja HKBP sistem perkawinan diatur sesuai dengan ajaran Kristen, adapun aturan tersebut adalah

1. Batas umur menikah, yaitu umur laki-laki harus lebih dari 19 tahun, dan perempuan minimal 16 tahun serta dilakukan konseling pra nikah.

2. Pengajaran tentang tanggungjawab kekeluargaan orang Kristen kepada orang

yang akan menikah.

3. Sesuai dengan ajaran Kristen HKBP tidak mengakui dan melakukan

pemberkatan:

a. Seorang laki-laki menikah dengan ibu tirinya.

24

b. Seorang laki-laki dengan saudara perempuannya/ putri dari saudara perempuan ayahnya / putri saudara perempuan ibu kandungnya.

c. 2 orang laki-laki sedarah (satu ayah dan ibu) menikah dengan 2 orang

perempuan bersaudara (satu ayah dan ibu).

4. Setelah dilakukan martumpol (pengucapan janji pernikahan dengan tata cara gereja) di dalam gereja, ataupun di kantor gereja (didepan keluarga kandung dan penatua/sintua), Rencana pernikahan itu harus diberitahukan kepada pendeta untuk di umumkan dalam kebaktian minggu dua kali berturut. Kalaupun satu kali diinformasikan, harus mempunyai surat keterangan dari Pendeta Resort.

5. Pernikahan orang Kristen harus diberkati di gereja oleh pendeta setempat.

6. Dilakukan pemberkatan di Gereja setelah digoda sigadis atau kawin lari

(mahiturun/mangalua) apabila:

a. Adanya surat pemeritahuan dari seorang pendeta apabila ada acara gereja maupun adat yang tidak sesuai dengan pihak.

b. Adanya surat pemberitahuan (panolopion) dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan, ataupun dari wali.

c. apabila tidak ada yang bisa hadir dari pihak keluarga ataupun yang mewakili, pemberkatan bisa dilakukan apabila umurnya lebih dari 21.

7. Tidak boleh mengambil perempuan yang sudah cerai, apabila laki-laki yang

diceraikannya belum kawin, dilakukan pemberkatan apabila bersih dari kesalahan perceraian ataupun telah menerima hukum gereja. Begitupun sebaliknya pada perempuan.

8. Dikucilkannya orang yang melakukan bigami (beristri dua) dan poligami.

9. Terlebih dahulu selesai masa uji jemaat yang mengaku salah, baru bisa

dicampuri sebagaimana layaknya seorang jemaat

10.Gereja tidak akan melakukan pemberkatan kepada seorang duda atau janda

sebelum 6 bulan meninggal suami atau istrinya.

11.Dilarang kawin/hidup bersama (samen level), kumpul kebo ataupun kawin

kontrak.

b. Hari kelahiran dan pembabtisan bayi

1. Pihak gereja memperhatikan bayi yang baru lahir supaya tidak terjadi adanya keberhalaan.

2. Bayi harus dibabtis atas nama Allah.

3. Disangsikan bayi laki-laki yang lahir dibawah 9 bulan, dan bayi perempuan

dibawah 8 bulan terhitung setelah hari pemberkatan di gereja. Selain ada surat keterangan dokter.

c. Manjalo surat malua (naik sidi/katekisasi)

Sakramen mengenai penjelasan langsung/lisan kepada remaja (calon baptis) gereja tentang makna keimanan dan agama. Para pelayan gereja harus memberikan pengajaran sakramen ini, supaya pengetahuan akan firman Tuhan yang tertulis Di Alkitap dan Katekismus.

d. Meninggal

Gereja harus berperan dalam acara kematian supaya tidak terjadi keberhalaan dan sesuai dengan ajaran kristen. HKBP membuat ybng patut dilaksanakan dan yang tidak dilaksanakan dalam upacara kematian yaitu:

Tidak boleh dilakukan dalam upacara kematian:

1. Menjalankan daging mentah sebelum di kubur orang yang telah meninggal,

kepada orang meninggal yang sudah meranak cucu.

2. Menjalankan daging kepada kerabat orang yang meninggal

3. Membuat garam ke dalam peti mati atau melangkahi mayat.

4. Tidak memberkati orang yang mati bunuh diri. Yang patut dilakukan dalam upacara kematian:

1. Pelaksanaan pembakaran mayat (kremasi) dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya tanah wakaf atau adanya alasan dari keluarga yang meninggal. Akan tetapi harus diawasi pihak gereja supaya tidak terjadi keberhalaan.

2. Orang yang meninggal boleh dibawa ke gereja apabila rajin beribadah dan ikut dalam perjamuan kudus pada masa kehidupannya, karena permintaan dari keluarganya.

3. Dilakukan pemberkatan kepada orang yang meninggal tetapi mayatnya tidak

ditemuka n.

Yang patut diperhatikan/diawasi:

1. Jemaat patut diperhatikan yang melakukan ziarah kekuburan untuk mengenang

akan tetapi tidak berlaku adanya keberhalaan.

2. Keluarga jemaat yang meninggal patut diperhatikan supaya tidak melakukan

hal-hal keberhalaan.

3. Jemaat yang melaksanakan pesta besar waktu meninggal keluarganya supaya

4. Tidak restui mendirikan tugu, karena tidak baik dalam kepercayaan, ekonomi, dan kehidupan karena keangkuhan. Akan tetapi tugu boleh didirikan apabila persatuan marga, dan persatuan ompu (nenek moyang)

e. Mangongkal holi (mengangkat tulang-tulang)

Mangongkal holi (mengangkat tulang-tulang) boleh dilakukan apabila: 1. Kuburan yang sudah rusak.

2. Kuburan dijadikan jalan umum, karena bencana alam, untuk perkampungan,

industri, pembangunan, membuat tugu persatuan, dan menyatukan tulang kedalam satu kuburan yang baru dibangun.

3. Manyatukan kuburan karena mati di perantauan.

4. Bila ada jemaat yang mempersatukan tulang (saring-saring/holi-holi) harus

dicampuri oleh penatua atau dari pihak gereja, supaya tidak terjadi hal-hal keberhalaan.

5. Harus diketahui penatua/sintua, adanya acara manongkal holi dan menyimpan

tulang sebelum dimasukkan kedalam kuburan. Dan dalam upacara tersebut tidak dilakukan pemberkatan selayaknya jemaat yang baru meninggal.

f. Gondang

a. Jemaat harus diajarkan tentang kematian sesuai dengan ajaran Kristen.

b. Dalam musik gondang dapat membuat orang kesurupan karena kurang

percayanya kepada Tuhan, oleh sebab itu penatua/sintua harus memperhatikan orang yang melaksanakan musik gondang, dan semua acara yang diikuti musik gondang harus di campuri penatua/sintua serta diawali dan diakhiri dengan acara gereja.

c. Penatua harus memperhatikan supaya jemaat tidak melakukan acara menyembah berhala dengan memberi sesajen ditempat yang dikeramatnya, dan upacara yang berbau dengan keberhalaan.

d. Huria harus mencampuri acara kematian yang diikuti dengan gondang, akan

tetapi tidak dilakukan ritual keberhalaan, dan harus diketahui huria bagaimana jalannya acara gondang tersebut.

Dalam acaraa adat-istiadat orang Batak gereja tidak berperan untuk menentukan kapan dilaksankannya upacara adat, danbagaimana prosesinya. Gereja berperan dalam pembukaan, dan menutup acara adat sesuai dengan ajaran HKBP serta mengawasi jalannya upacara adat, supaya tidak terjadi keberhalaan.

Sinkretisasi ini adalah sebagai upaya untuk mengelola, menyatukan, mengkombinasikan dan menyelaraskan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sehingga terbentuk suatu prinsip yang baru. Dengan adanya sinkretisasi, maka penganut-penganut dapat menerima tanpa merasa bahwa mereka menganut prinsip yang berlawanan.

Dokumen terkait