• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adhitya Nurmawan S.ikom, M.Psi.T (34 tahun)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hubungan Para Pelaku Pernikahan Dengan Masyarakat dan Pandangan Para Informan Pendukung Terhadap Fenomena Pandangan Para Informan Pendukung Terhadap Fenomena

4. Adhitya Nurmawan S.ikom, M.Psi.T (34 tahun)

Sebagai seorang dosen dan guru pak Adhit bisa memberikan peneliti sebuah informasi yang dibutuhkan untuk memperkuat penelitian ini. Dilihat dari sudut pandang psikologi dan komunikasi, permasalahan mengenai pernikahan usia muda sudah sering ditemui dan menjadi hal yang dikhawatirkan juga oleh pak Adhit. maka dari itu pak Adhit memutuskan untuk belajar mengenai psikologi manusia dam komunikasi untuk membantu anak-anak remaja melewati proses menjalani kehidupan remajanya.

Kehidupan dan cara berfikir anak-anak menuju remaja tidak bisa disamakan oleh pemikiran orang dewasa yang sudah cukup matang.

“Saya meyakini bahwa cara berfikir anak-anak itu beda dengan orang dewasa. Mungkin 80% keputusan yang mereka ambil penuh dengan emosi tanpa proses pemikiran yang panjang. Ya itu semua karena mereka kan masih termasuk ke golongan-golongan yang mengedepankan perasaan tanpa logika sehingga hati mereka juga tergolong rapuh. Sama aja mau laki-laki atau perempuan itu sama. Cuma beda di cara menyimpulkan dan penyampaian aja.“26

111

Ketika ditanya mengenai fenomena pernikahan usia muda ini, pak Adhit mempunyai sudut pandang yang berbeda dari informan-informan pendukung lain nya.

“Menurut saya, keputusan mereka untuk menikah muda tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Karna, mereka mengambil keputusan itu atas dorongan-dorongan yang ada di dalam diri mereka sendiri yang mungkin yang tau alasan nya hanyalah diri mereka. “27

Lingkungan saat ini juga sudah tidak bisa dijangkau lagi oleh orang tua jaman sekarang untuk membatasi pergaulan anak-anak mereka. Cara mendidik anak-anak sekarang juga tidak bisa disamakan lagi. Karna semakin dilarang mereka akan semakin penasaran dan melakukan berbagai cara untuk menghilangkan keingintahuannya.

“ Aduh susahnya gini nih, anak sekarang makin orang tua larang malah makin bandel,makin liar istilah kasarnya. Disuruh belajar aja pada susah senangnya main gadget buka Instagram,youtube.dll. semua itu gak bisa lagi orang tua hindarkan. Yang baik ya harusnya dibatasi. “28

Westernisasi efek dari globalisasi tidak hanya memasuki kota-kota besar tetapi juga pedesaan. Banyak ditemui anak-anak pedesaan yang pergaulan nya melebih-lebihi anak kota. Salah satu bukti nyatanya adalah pernikahan usia muda yang semakin merajalela di lingkungan-lingkungan tertentu termasuk desa Sanja.

27

Wawancara Bapak Adhit di Sekolah, tanggal 20 Desember 2018 28

112

“Efek globalisasi itu sangat luas loh. Jangan difikir hanya mode pakaian, makanan aja tapi juga perubahan mindset yang sangat mudah diubah apalagi anak-anak yang filternya belom sekuat orang dewasa. Jadi saya melihatnya gak heran ketika banyak anak-anak di desa memutuskan untuk menikah baik dengan orang yang mereka cinta ataupun gak yang penting mereka fikir mereka bisa jadi orang dewasa secepatnya. Mereka cuma lihat enaknya aja mungkin tapi mereka ga mikirin tanggung jawabnya juga semakin besar. “29

Ketika ditanya mengenai pernikahan usia muda dan nasihat untuk para pelaku pernikahan, pak Adhit sangat jelas berbicara sesuai dengan dasar-dasar ilmu yang dipelajari pak Adhit.

“Gini sih sebenarnya ya, anak-anak itu pada dasarnya memang butuh banyak bimbingan. Karna mereka masih mudah diberikan stimulus dan bisa memproses dengan cepat. Tumbuh kembang mereka masih bisa diarahkan kearah yang baik sesuai keinginan orang tua nya. Tapi kan banyak orang tua yang belum paham atas kesulitan mendidik anak-anak ini di era sekarang. Komunikasi didalam keluarga kepada anak juga harus baik harus sesuai dengan kebutuhan anak-anak ini. Gak bisa terlalu berat tapi juga gak bisa terlalu dimanja selalu dikasih yang mereka inginkan. Anak-anak ini harus lebih dilatih untuk bisa bertanggung jawab sehingga mereka terbiasa memutuskan segala sesuatu dengan memiliki cara berfikir yang realistis. Menikahlah jika memang kalian sudah memiliki kemampuan. Tidak harus kaya tidak juga harus sempurna, tapi harus bertanggung jawab. Tanggung jawab itu bisa didapatkan jika dilatih sedari kecil. Dimata saya pribadi, tidak ada yang salah dengan menikah, yang salah adalah ketika anak-anak ini memilih untuk menikah hanya karna satu atau dua alasan yang masih ada solusi lain salah satu contohnya hanya karna cinta atau berdasarkan nafsu semata. “30

29

Wawancara Bapak Adhit di Sekolah, tanggal 20 Desember 2018 30

113 4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

Pada masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dengan masa dewasa, pada masa ini banyak remaja mengalami perubahan baik secara fisik maupun secara psikologis sehingga mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku. Diantaranya penampilan diri, ketertarikan lawan jenis, berusaha menarik perhatian dan mulai muncul perasaan cinta maka akan timbul dorongan seksual, yang kemudian beralasan untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama untuk melakukan hubungan intim walaupun tidak terikat perkawinan terlebih dahulu sehingga memicu melakukan hal-hal negatif yang tidak dibenarkan.

Perkembangan teknologi dan kebebasan mengakses internet menjadi salah satu faktor utama yang ditemukan peneliti dalam pembentukan kepribadian dan sudut pandang dalam memaknai kehidupan remaja desa Sanja salah satunya adalah sebuah pernikahan. Mereka seperti mempunyai imajinasi atau gambaran tersendiri mengenai seks. Dalam segi usia, sebenarnya wajar saja jika mereka sudah mulai mengerti beberapa hal mengenai lawan jenis bahkan hingga ke hal-hal mengenai seks. Tapi, yang disayangkan adalah jika rasa keingintahuan mereka terhadap seks tidak bisa mereka pelajari dengan benar. Dan mereka juga tidak bisa mendapatkan penjelasan yang sesuai dengan umur dan batasan-batasan yang ada yang bisa dijelaskan oleh pihak-pihak yang

114

mempunyai kredibilitas untuk membahas dan memang memahami tentang sex education. Sebuah bayangan tentang kehidupan seks yang menurut mereka indah itulah yang membuat mereka banyak memutuskan untuk segera melakukan pernikahan tanpa ada nya pertimbangan lebih lanjut.

Hal di atas merupakan salah satu alasan mengapa di desa Sanja banyak melakukan pernikahan usia muda. Para orang tua takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika melihat anaknya sudah saling mencintai lantas tidak secepatnya dinikahkan sehingga para orang tua lebih memilih menikahkan anaknya daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti hamil diluar nikah atau kawin lari yang akan membuat malu keluarga.

Fantasi seksual merupakan pembahasan yang sangat sering kita dengar atau kita temui di sekitar orang-orang dewasa yang usia nya sudah mencapai 20 tahun ke atas bagi laki-laki dan 23 tahun ke atas bagi perempuan. Hal tersebut memang bukan lah hal yang tabu jika dibicarakan atau didiskusikan oleh orang-orang yang memang sudah sepatut nya untuk membahas permasalahan seksual yang lebih mendalam. Terlebih lagi jika membahas fantasi seksual mereka terhadap pasangan mereka, teman kerja, artis favorit atau bahkan anime-anime kartun yang mereka buat sendiri dalam imajinasi mereka untuk memenuhi hasrat seksual sesuai kebutuhan mereka. Tapi, hal ini bisa menjadi hal yang tabu jika dibicarakan oleh

115

anak-anak usia sekolah yang seharusnya mereka belum sampai sejauh itu memikirkan tentang kehidupan seskual. Masih banyak hal yang bisa lebih mereka fikirkan dan mereka bicarakan selain masalah seksual.

Setelah saya melakukan penelitian dan berinteraksi langsung dengan para pelaku pernikahan usia muda dan juga masyarakat di desa Sanja, saya berani membahas tentang fantasi seksual yang anak-anak ini miliki diluar ekspektasi saya melihat mereka sebagai anak-anak kecil yang baru beranjak remaja. Fantasi seksual sangat jelas membuat mereka sering lupa diri dan menginginkan hal-hal diluar kemampuan mereka sebagai anak sekolah yang tugas nya hanyalah belajar dan membantu orang tua. Mereka mencari cara bagaimana hasrat dan fantasi seksual yang mereka miliki bisa tersalurkan dengan baik dan tanpa merugikan nama keluarga serta nama desa Sanja itu sendiri. Anak-anak ini sangat menyadari bahwa culture di lingkungan mereka jauh berbeda dengan lingkungan kota-kota besar yang memandang kegiatan pacaran merupakan kegiatan yang wajar dilakukan oleh anak anak remaja.

Keterbatasan ruang gerak untuk mengeksplor diri juga menjadi salah satu alasan mereka akhirnya menggunakan waktu luang untuk berselancar di internet dan membuat mereka sering menyadari adanya fantasi seksual yang merasuki fikiran mereka.

116

Ketika hasrat itu ada, mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki jalan keluar atau solusi untuk membendung nya lagi akhirnya mereka sering sekali memuaskan diri dengan hal-hal yang bisa mereka dapatkan di internet.

Pernikahan menjadi satu-satunya solusi mereka untuk bisa melampiaskan hasrat seksual yang mereka miliki. Hanya beberapa pihak yang mengerti dan mengetahui permasalahan fantasi seksual ini banyak di alami oleh anak-anak di desa Sanja, masyarakat yang mengerti pun tidak punya pilihan lain selain menikahkan mereka agar hubungan mereka halal di mata agama dan pemerintah sehingga mereka bebas melakukan kegiatan berhubungan badan tanpa ada nya batasan. Sebenarnya setelah menikah pun fantasi seksual ini tidak bisa juga dibendung atau dihilangkan begitu saja. Banyak yang fikiran nya mengenai seks semakin liar karna mereka selalu mencari cara yang lain untuk memberikan mereka kenikmatan dan kepuasan dengan sensasi yang berbeda. Tidak heran jika ada beberapa pasangan muda yang memutuskan untuk berpisah atau bercerai karna kehidupan pernikahan yang mereka bayangkan tidak sesuai dengan yang mereka rasakan, dan juga tidak sesuai nya kehidupan seksual yang mereka alami dengan pasangan halal yang sudah ada sesuai dengan imajinasi mereka. Sehingga ketidakpuasan itu menjadi suatu alasan kekecewaan mereka terhadap sebuah pernikahan.

117

Meningkatnya angka pernikahan usia muda pada Kecamatan Citereup didukung juga oleh rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat dan rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah menyebabkan orang tua banyak yang tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi sehingga menikah di usia muda seakan-akan menjadi solusi yang paling tepat untuk keluar dari himpitan ekonomi yang mereka hadapi. Para orang tua beranggapan bahwa menikahkan anaknya merupakan salah satu solusi untuk meringankan beban hidup keluarga.

Orang tua menikahkan anak yang masih usia belia tidak hanya karena keadaan ekonomi yang kurang mampu, tetapi rendahnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan anak pun menjadi salah satu pemicu berlangsungnya sebuah pernikahan. Kebanyakan pendidikan orang tua hanya lulus Sekolah Dasar dan bahkan ada juga yang tidak sekolah sama sekali sehingga cenderung mudah untuk segera menikahkan anak-anaknya. Hal ini disebabkan karena orang tua yang kurang mengerti ataupun memahami sebuah pernikahan yang ideal. Orang tua yang hanya lulus Sekolah Dasar atau bahkan tidak sekolah sama sekali hanya melihat anaknya sudah besar (Aqil baligh) sehingga ia berfikir sudah waktunya untuk menikah tanpa memikirkan dampak atau efek yang akan ditimbulkan nantinya. Mereka hanya berpegang pada

118

kebiasaan- kebiasaan atau budaya yang mereka anut. Sebagian dari mereka menganggap bahwa pendidikan itu tidak terlalu penting. Para orang tua cenderung akan segera menikahkan anaknya walaupun secara umur dia belum diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 7 ayat 1. Hal itu terjadi setelah remaja lulus SD atau sementara sekolah di SMP. Bagi mereka lulus SD atau SMP saja sudah cukup, intinya mereka sudah bisa membaca dan menulis. Dari awal para orang tua memang sudah tidak mempunyai niat untuk menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi. Baginya pendidikan itu mahal sehingga mereka yang mempunyai keadaan ekonomi kurang mampu tidak sanggup melanjutkan sekolah anaknya lagi.

Pernikahan yang dilakukan saat masih di bawah umur memaksa kedua mempelai untuk meninggalkan pendidikan formal. Tidak saja terputusnya pendidikan yang dapat memangkas potensi untuk tumbuh dan berkembang, tetapi juga menutup kemungkinan anak untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena keterbatasan jenjang pendidikan. Pendidikan yang rendah sama artinya dengan keterbatasan pengetahuan keterampilan maupun kreatifitas yang memungkinkan seseorang untuk bersaing di lapangan kerja yang semakin tinggi daya saingnya.

Faktor budaya juga turut mengambil andil karena memang tidak bisa dihilangkan jika nenek-nenek moyang mereka dari awal

119

desa Sanja itu ada memang sudah banyak yang melakukan pernikahan usia muda. karena kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam budaya setempat mempercayai bahwa seorang perempuan/laki-laki yang lebih cepat menikah adalah perempuan/laki-laki yang pamornya lebih baik dibandingkan anak perempuan/laki-laki lain yang belum menikah. Perempuan yang cepat menikah berarti dianggap cepat laku dan banyak yang menyukai dan ketika seorang laki-laki yang cepat menikah berarti secara finansial dia telah mampu bertaggung jawab . Hal ini secara otomatis akan membuat status sosial keluarga juga ikut meningkat di mata masyarakat. Anggapan miring terhadap anak yang belum menikah masih melekat dalam kehidupan masyarakat Desa Sanja hingga saat ini. Mereka yang terlambat menikah akan menjadi bahan omongan masyarakat setempat dan bahkan bisa dianggap aib bagi keluarganya. Maksudnya bahwa batasan individu dengan meninjau kesiapan dan kematangan usia individu bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk tetap melangsungkan pernikahan.

Melihat fakta yang ada bahwa Pernikahan dini cenderung berdampak pada kehidupan sosial mereka. Mereka akan merasa canggung atau enggan bergaul dengan teman sebayanya, karena mereka berada pada kondisi yang tidak menentu dalam status sosialnya. Ketika bergaul dengan orang tua realitasnya mereka

120

masih remaja begitupun juga sebaliknya, mau main-main dengan teman sebayanya yang remaja, kenyataannya mereka sudah berstatus sebagai suami maupun istri. Maka mereka harus mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dengan baik.

Dalam keluarga, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Peran komunikasi dalam keluarga sangatlah penting, terutama dalam usaha untuk mengurangi ketidakpastian maupun kesalahpahaman yang sering terjadi. Perspektif interaksi simbolik memandang bahwa individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, sulit diramalkan dan rumit dan bagaimana struktur sosial membentuk perilaku tertentu. Karna individu terus berkembang serta berubah dan perubahan itu terjadi karna ada nya interaksi.

Tiga konsep kunci utama dalam teori interaksi simbolik yaitu mind, self, dan society yang saya jadikan acuan untuk lebih menguatkan penemuan saya pada penelitian kali ini. Pikiran (Mind) dan diri (Self) menjadi bagian dari perilaku manusia, bagian dari interaksi dengan orang lain. Interaksi membuat para pelaku pernikahan usia muda mengenal dunia dan mengenal diri mereka sendiri. Mind dan self berasal dari society yang akan membentuk pribadi seseorang. Mulai dari pola pikir mereka, kepribadian mereka, hingga pandangan mereka terhadap hidup yang akan mereka jalani

121

nanti nya. Ketika mereka mempunyai keputusan untuk melakukan pernikahan di usia muda bukan semata-mata mereka hanya langsung mengambil keputusan itu tanpa ada nya sebab. Karena memang apapun pasti terjadi karna adanya sebab-akibat.

Saya sebagai peneliti melihat disini ada satu hal yang dilupakan oleh orang tua, guru, atau bahkan masyarakat di desa Sanja dalam mengawasi perkembangan remaja-remaja di desa Sanja dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Tanpa manusia sadari memang society merupakan pembentuk suatu karakter yang mempengaruhi pola pikir seseorang dalam berkehidupan. Dimulai dari pendidikan keluarga sedari kecil, hingga memilih pertemanan di usia sekolah, itu semua merupakan bagian dari pembentukan karakter dari seseorang. Tapi, masyarakat di desa Sanja tidak menyadari bahwa society di era ini sudah jauh berubah dibandingkan era mereka terdahulu. Society zaman sekarang jauh lebih luas dan jauh lebih berbahaya karena tidak ada nya batasan pertemanan yang bisa mereka temui melalui gadget mereka yang didukung dengan hadir nya internet.

Para orang tua dan seluruh masyarakat desa Sanja ini hanya berfokus pada lingkungan pertemanan mereka yang mereka lihat secara kasat mata sehingga tanpa mereka sadari mereka menyalahkan teman-teman anak nya yang mereka kira sudah menghasut pikiran anak nya. Padahal menghasut pikiran orang lain

122

itu bukan hal yang mudah jika tidak ada persamaan tujuan dan kesamaan makna dari komunikator dan komunikan. Ini berarti, tanpa ada nya hasutan dari orang-orang terdekat pun remaja-remaja ini akan tetap melakukan pernikahan usia muda karena memang mereka sudah lebih jauh terbentuk dulu pola pikir nya mengenai gambaran kehidupan seks yang mengagumkan sebelum bertemu dengan teman-teman yang lain nya.

Remaja-remaja di desa Sanja memang butuh perhatian khusus dari orang-orang yang sudah lebih dewasa untuk menggunakan gadget dan internet di kehidupan sehari-hari mereka. Karena mereka hidup di desa dengan segala keterbatasan yang mereka miliki mereka tidak bisa memilih tontonan atau bacaan mana yang memang ditujukan untuk usia mereka. Mereka hanya melihat apa yang mereka suka. Di usia remaja seperti para pelaku pernikahan usia muda ini memang sedang tinggi sekali keingintahuan dan hasrat mereka terhadap hal-hal baru termasuk seks, sehingga mereka menggunakan gadget mereka untuk mencari tahu segala hal tentang seks bahkan sampai ada yang bisa menyalurkan hasrat seks nya dengan bantuan gadget dan internet.

Karena memang zaman sekarang, lebih banyak remaja-remaja yang aktif dikehidupan dunia maya daripada kehidupan nyata. Maka, lebih banyak juga dari mereka yang memiliki teman di dunia maya daripada teman dilingkungan rumah atau sekolah nya.

123

Yang perlu dikhawatirkan oleh para orang tua dan juga masyarakat desa Sanja, kita ini tidak tahu usia-usia berapa yang sesungguhnya berinteraksi dengan anak mereka di dunia maya yang mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang tidak biasa dipikirkan oleh anak-anak atau remaja-remaja di usia sekolah.

Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada orang tua atau masyarakat desa Sanja ini karena memang saya melihat pendidikan mereka pun tidak memenuhi standart yang baik untuk bisa memahami persoalan-persoalan seperti ini. Bahkan ada dari mereka yang tidak mengerti menggunakan gadget dan internet, jika seperti itu bagaimana mereka bisa mengawasi anak-anak mereka. Maka dari itu, akan lebih baik jika semua elemen masyarakat bergotong royong membantu mengawasi perkembangan anak-anak remaja desa Sanja dalam menyikapi perubahan-perubahan di zaman yang modern dan canggih ini agar anak-anak remaja ini bisa menggunakan gadget dan internet untuk hal-hal yang positif. Dan juga memudahkan mereka dalam mencari pengetahuan-pengetahuan lain yang tidak bisa mereka dapati dibangku sekolah untuk memajukan sumber daya manusia di lingkungan desa Sanja.

124

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang berjudul Fenomena Pernikahan Usia Muda Masyarakat Jawa Barat ( Studi Fenomenologi

Masyarakat Desa Sanja) , maka sebagai akhir dari pembahasan

serta hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan adalah sebagai berikut :

1. Pandangan para pelaku pernikahan usia muda di Desa Sanja terhadap sebuah pernikahan merupakan solusi untuk berbagai macam permasalahan yang ada tanpa memikirkan dampak buruk untuk masa depan mereka sendiri dan juga anak-anak mereka nantinya. Pernikahan usia muda dianggap sebagai sesuatu hal yang positif, sakral dan tidak melanggar aturan.

2. Motif yang mempengaruhi pernikahan usia muda juga berbeda satu sama lain nya. Tapi secara garis besar memang sangat mengejutkan bahwa faktor yang paling utama yang peneliti temukan adalah karna remaja desa Sanja memiliki fantasi seksual yang tinggi terhadap lawan jenis. Faktor lain yang juga menjadi penentu para remaja melakukan pernikahan usia muda adalah faktor ekonomi dan faktor minimnya pendidikan dalam terealisasi nya pernikahan usia muda yang marak di desa Sanja ini.

125 5.2 Saran

5.2.1 Saran Akademis

1. Penelitian yang akan datang diharapkan dapat mengungkap lebih jauh mengenai pernikahan usia muda. 2. Menggunakan lebih banyak teori yang relevan yang bisa

digunakan untuk penelitian studi fenomenologi agar penelitian semakin menjadi lebih akurat.

5.2.2 Saran Praktis

1. Peneliti mengharapkan perlu adanya sosialisasi UU No 1 tahun 1974 kepada semua masyarakat khususnya di desa Sanja agar mereka punya kesadaran hukum dan tidak terkungkung oleh pola fikir mereka yang sangat terbatas dan hanya menitikberatkan kepada adat yang masih dianut. Sosialisasi ini sebaiknya dilakukan oleh para pejabat pemerintah desa maupun pejabat-pejabat lain yang berwenang dalam hal pernikahan dini ini. Akan lebih baik jika penyampaian dilakukan dengan cara yang menyenangkan disesuaikan dengan usia mereka agar bisa