• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO ( BERAGAMA ) FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO ( BERAGAMA ) FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

i

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO ( BERAGAMA )

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

SKRIPSI

“FENOMENA PERNIKAHAN USIA MUDA PADA

MASYARAKAT JAWA BARAT

(STUDI FENOMENOLOGI MASYARAKAT DESA SANJA) “

Diajukan Oleh :

Nama : Ajeng Nur Azmia Nim : 2014 – 41 – 065

Konsentrasi : Hubungan Masyarakat

Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Program Studi Ilmu Komunikasi Jakarta

(2)

i

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta kemudahan-Nya di dalam proses penyelesaian skripsi ini, dengan judul “ Fenomena Pernikahan Usia Muda Mayarakat Jawa Barat ( Studi Fenomenologi Masyarakat Desa Sanja )“ .

Skripsi ini merupakan tugas akhir dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Penulis menyadari bahwa didalam penyelesaian skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus disempurnakan . Dengan kerendahan hati, penulis megharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangn, guna menyempurnakan penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan bidang studi Hubungan Masyarakat.

Jakarta, 28 November 2018

(3)

ii

UCAPAN TERIMAKASIH

Selama persiapaan sampai dengan selesainya skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sedalam–dalamnya kepada ALLAH SWT dan junjungan Nabi Muhammad SAW. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Prof.DR.Moestopo (Beragama) : Prof.Dr.Dr.Dr. Rudi Hariyanto.MM.MSN

2. Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof.DR.Moestopo (Beragama) : Dr. Prasetya Yoga Santoso. MM

3. Dosen pembimbing I : Fizzy Andriani SE. MSI yang telah memberikan bimbingan, waktunya dan pengarahan yang sangat berharga dalam penyusunan skipsi ini serta atas luang waktu yang diberikannya selama bimbingan

4. Dosen pembimbing II : Dr. Novita Damayanti MSI yang telah memberikan bimbingan, waktunya dan pengarahan yang sangat berharga dalam penyusunan skipsi ini serta atas luang waktu yang diberikannya selama bimbingan.

5. Kedua Orang Tua saya Bapak Edi Kusbari (Alm) , Ibu Riske Actorina , serta kakak saya Annisa Risdiananda S.sos untuk kasih

(4)

iii

sayang, doa, dorongan, saran, semangat,dan motivasi selama penulis menuntut ilmu.

6. Kepada Ayah Agus Tiyono atas kebaikan nya dan juga bantuan nya baik secara moral maupun material.

7. Seluruh Dosen FIKOM Universiras Prof.Dr.Moestopo (beragama) yang telah memberikan pengetahuannya kepada penulis.

8. Terima kasih untuk para staff administrasi dan sekretariat di Universitas Prof. Dr. Moestopo ( Beragama ) yang telah membantu dan mempermudah kelancaran proses terkait administrasi.

9. Masyarakat Desa Sanja yang membantu penulis dalam melaksanakan penelitian serta memberikan bahan materi dan informasi lengkap yang dibutuhkan oleh penulis

10. Terimakasih Aldwin Dinata untuk segala cinta, kesabaran, dan doa nya yang selalu menemani penulis. Tidak pernah lelah untuk menghibur serta kasih sayang yang tidak ada habisnya.

11. Terimakasih untuk Abi, Umi, Sharfinna Dinata atas segala support dan semangat nya.

12. Perezsquad, Nanda, Rita, Syiffa yang tak pernah lelah menghibur dan meramaikan hari-hari penulis.

13. Terimakasih untuk sahabat – sahabat saya, Syiffa Aulia, Adinda Shafira, Riefky Rizaldi, Nur Ligina, Elsa Nur Fitriana, Septyrika Lia, yang selalu mendukung dari proses pengerjaan skripsi hingga skripsi saya terselesaikan.

(5)

iv

14. Semua saudara, teman, kerabat yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas saran, dukungan, dan doa yang diberikan kepada penulis.

Jakarta, 28 November 2018

(6)

v DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Fokus Penelitian ... 8 1.3 Pertanyaan Penelitian ... 9 1.4 Tujuan Penelitian ... 9 1.5 Kegunaan Penelitian ... 9 1.5.1 Kegunaan Akademis ... 9 1.5.2 Kegunaan Praktis ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP & TEORI 2.1 Kajian Pustaka ... 11

(7)

vi

2.2.1 Komunikasi Interpersonal ... 15

2.2.2 Komunikasi Pernikahan dan Keluarga ... 21

1. Komunikasi Pernikahan ... 21

2. Komunikasi Keluarga ... 24

2.2.3 Teori Fenomenologi ... 27

2.2.4 Interaksi Simbolik ... 29

2.3 Bagan Alur Fikir ... 41

BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian ... 42

3.2 Pendekatan Penelitian ... 50

3.3 Jenis/Format Penelitian ... 51

3.4 Metode Penelitian ... 53

3.5 Objek dan Subjek Penelitian ... 56

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.7 Teknik Keabsahan Data... 59

3.8 Teknik Analisis Data ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek ... 65

4.2 Deskripsi Subyek Penelitian ... 68

(8)

vii

A. Pandangan para pelaku pernikahan usia muda terhadap sebuah pernikahan dan motif melakukan pernikahan usia muda di Desa Sanja

Kecamatan Citereup Kabupaten Bogor ... 73

B. Hubungan Para Pelaku Pernikahan Dengan Masyarakat dan Panangan Para Informan Pendukung Terhadap Fenomena Pernikahan Usia Muda di Desa Sanja Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor ... 100

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 113

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 124 5.2 Saran ... 125 5.2.1 Saran Akademis ... 125 5.2.2 Saran Praktis ... 125 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Persentase Pernah Kawin Usia 20-24 Tahun yang menikah sebelum 18 tahun menurut Status Perkawinan, Daerah Tempat Tinggal, dan Usia ... 8

(10)

ix

ABSTRAK

Nama : Ajeng Nur Azmia NIM : 2014 – 41 – 065 Program studi : Ilmu Komunikasi Konsentrasi : Hubungan Masyarakat

Judul : Fenomena Pernikahan Usia muda Masyarakat Jawa Barat (Studi Fenomenologi Masyarakat Desa Sanja)

Jumlah/Bab : 5 Bab + 126 Halaman Pembimbing I : Fizzy Andriani, SE. MSi Pembimbing II : Dr. Novita Damayanti, MSi

Perceraian di Indonesia semakin marak beriringan dengan pernikahan usia muda yang juga semakin banyak terjadi. Di desa Sanja, pernikahan dianggap hal yang lumrah untuk anak dibawah umur yang menyebabkan banyak anak putus sekolah bahkan banyak yang hidupnya semakin kekurangan. penelitian ini mengetengahkan dua pokok permasalahan, yakni: (1) Pandangan pernikahan bagi pelaku pernikahan usia muda di Desa Sanja Kecamatan Citereup Kabupaten Bogor. (2) Motif dari pelaku pernikahan usia muda melakukan pernikahan di Desa Sanja Kecamatan Citereup Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan para pelaku pernikahan usia muda Desa Sanja terhadap pernikahan dini melalui pengalaman langsung dan mengetahui apa sebenarnya motif yang mempengaruhi para pelaku pernikahan usia muda melakukan sebuah pernikahan.

Penelitian ini menggunakan landasan komunikasi interpersonal, komunikasi pernikahan dan keluarga, teori fenomenologi, teori interaksi simbolik, dan fantasi seksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian Studi Fenomenologi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam dan analisis dokumen. Teknik analisis data menggunakan metode interaktif miles dan Huberman dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena pernikahan usia muda bagi pelaku pernikahan dimaknai sebagai (1) Suatu peristiwa yang positif, sakral, dan tidak melanggar aturan. (2) Tindakan solutif untuk

(11)

x

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan (3) Tuntutan status sosial (4) solusi untuk memecahkan pokok masalah yang ada. Hubungan yang terjalin antara si pelaku pernikahan dengan masyarakat Sanja yaitu (1) Cenderung harmonis (2) Mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat yakni mendapat perlakuan ataupun penghargaan yang berbeda dibandingkan remaja yang belum menikah.

Implikasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa pernikahan usia muda merupakan salah satu solusi yang disetujui dan lumrah di masyarakat Desa Sanja yang telah berlangsung hingga saat ini. Kemajuan teknologi dan ketidaksiapan mental para remaja menerima modernisasi ini menjadi alasan terkuat mereka mempunyai imajinasi tersendiri terhadap seks dan pandangan tersendiri terhadap sebuah pernikahan. Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi faktor penguat terjadinya pernikahan usia muda ini. Di samping itu, dominasi adat-istiadat terkesan didudukkan dan menjadi alasan untuk me legal kan kegiatan pernikahan usia muda di atas dari segala aturan hukum yang ada.

(12)

xi ABSTRACT

Name : Ajeng Nur Azmia

NIM : 2014 – 41 – 065

Program study : Communication

Konsentrasi : Public Relations

Title : Phenomena

Number of Pages : V Chapter & 126 Pages Menthor I : Fizzy Andriani, SE.MSi Menthor II : Dr. Novita Damayanti, MSi

Divorce in Indonesia is increasingly prevalent with young age marriages which are also increasingly happening. In Sanja village, marriage is considered a common thing for underage children which causes many children to drop out of school and even many whose lives are increasingly deprived. This study presents two main issues, namely: (1) The views or meanings of marriage for young marriage actors in Sanja Village, Citereup Sub-District, Bogor Regency. (2) The motives of young marriages carry out marriages in Sanja Village, Citereup Sub-District, Bogor Regency. This study aims to find out how the views of the young marriage participants of Sanja Village on early marriage through direct experience and find out what exactly the motives that affect young married people to do a marriage.

This study uses the theory of interpersonal communication,

marriage and family communication, phenomenology, symbolic

interaction, and sexual fantasy. This study uses a qualitative approach to the type of phenomenological study research. Data collection techniques are carried out by observation, in-depth interviews and document analysis. The data analysis technique uses the interactive miles and Huberman methods performed in three stages, namely: data reduction, data presentation and conclusions or verification.

The results of the study indicate that the phenomenon of young marriage for marriage actors is defined as (1) an event that is positive, sacred, and does not violate the rules. (2) Action solutions to avoid undesirable things (3) Social status demands (4) solutions to solve the underlying problems. The relationship between the marriage person and the Sanja community is (1) Tend to be harmonious (2) Get a separate place in the heart of the community that is getting different treatment or appreciation than unmarried teenagers.

(13)

xii

The implications of this study indicate that young age marriage is one of the agreed and common solutions in the Sanja Village community that has continued to the present. Technological advances and mental unpreparedness of teenagers accepting this modernization is the strongest reason they have their own imagination of sex and their own views on marriage. Economic and educational factors are the reinforcing factors for this young marriage. In addition, the dominance of customs seems to be seated and is a reason to legalize the above young marriage activities from all existing legal rules.

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.6 Latar Belakang Masalah

Tingkat perceraian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Kenaikan angka perceraian mencapai 16-20 persen berdasarkan data yang didapatkan sejak tahun 2009-2018. Dari tahun ke tahun perceraian yang meningkat memang tidak melonjak terlalu tinggi tetapi hal ini perlu dikhawatirkan. Diketahui, bahwa kebanyakan perceraian tersebut dilakukan oleh pasangan yang usia nya dibawah 24 tahun. Selain itu, meningkatnya jumlah perceraian selama sepuluh tahun terakhir berbanding lurus dengan meningkatnya pernikahan di usia muda. Informasi ini diberikan oleh Anwar Saadi, Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama pada tanggal 29 mei 2018 dalam pertemuan pra research yang dilakukan oleh penulis.

Faktor utama perceraian yang sering terjadi di Indonesia disebabkan karna ketidaksiapan mental pelaku pernikahan sehingga banyak terjadi kdrt, faktor ekonomi yang setelah menikah menjadi lebih miskin karna harus menghidupi pasangan dan juga anak, serta kasus perselingkuhan. Ketiga faktor tersebut merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh pasangan dalam mengajukan perceraian. Dalam usaha menghindari konflik maupun mengatasi

(15)

2

persoalan yang muncul dalam bahtera rumah tangga kedua belah pihak harus melakukan penyesuaian sehingga tercipta komunikasi yang harmonis. Di dalam rumah tangga pertengkaran atau bentrokan sering sekali terjadi dan merupakan hal yang biasa, tetapi apabila berkelanjutan akan menyebabkan perceraian apabila kedua belah pihak belum memiliki kedewasaan yang cukup dalam menghadapi perbedaan dan belum menemukan cara yang tepat untuk mengontrol emosi.

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan ikatan sakral antara pasangan pria dan wanita yang diakui secara sosial untuk membangun keluarga, melegalkan hubungan seksual, melegitimasi dan membesarkan anak, membagi peran antar pasangan. Perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang langgeng antara kedua pasangan, sehingga dalam menjalani perkawinan dibutuhkan kedewasaan dan tanggung jawab baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, peraturan undang-undang mengatur batasan umur pernikahan. Namun pada kenyataannya masih banyak dijumpai perkawinan yang dilakukan dibawah batasan umur pernikahan dan usia anak atau diistilahkan sebagai perkawinan usia anak.

(16)

3

UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, dan memenuhi syarat-syarat perkawinan yang salah satunya adalah, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)

tahun, harus mendapat izin tertulis dari orang tua”. Izin ini sifatnya

wajib, karena di usia tersebut dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga izin dijadikan dasar oleh PPN/penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan izin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluh satu) tahun, maka para calon pengantin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada izin dari orang tua/wali. Calon pengantin wanita apabila menikah secara Islam, maka orang tuanya merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh karena itu izin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang

(17)

4

perlindungan anak menyatakan bahwa definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.Terlihat jelas hukum legal dan agama sudah sejalan karena mengedepankan pentingnya kedewasaan dan kesiapan bagi calon pasangan pengantin, dan peranan orang tua memegang kunci penting untuk keberlangsungan terjadinya pernikahan.

Fenomena perkawinan usia anak masih menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat karena adanya sudut pandang yang berbeda. Pertentangan antara hukum legal yaitu di mana hukum legal secara undang-undang menyatakan sah untuk perempuan yang menikah di usia 16 tahun asalkan mendapat izin dari orang tuanya, dan Hak Anak yang menyatakan seseorang yang berusia 18 tahun kebawah statusnya adalah anak yang seharusnya masih memerlukan bimbingan, pendidikan dan pengawasan dari orang tua. Hingga saat ini, belum terdapat titik temu untuk anak-anak perempuan yang berusia 16-18 tahun.

Tradisi kebudayaan menikah muda masih sangat tinggi di Indonesia. Ada tujuh provinsi di Indonesia disinyalir paling banyak melakukan pernikahan di usia muda. Tujuh wilayah tersebut adalah Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, Kabupaten Cianjur , Bogor, dan Indramayu Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Kabupaten Malang dan Bangkalan Provinsi Jawa Timur, Kota Yogyakarta, Kabupaten Amuntai dan Balangan

(18)

5

Provinsi Kalimantan Selatan, serta Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Salah satu dari sekian banyaknya wilayah di Indonesia ada satu desa di Kabupaten Bogor yang juga memiliki angka yang tinggi untuk kasus pernikahan di usia muda. Desa itu adalah desa Sanja. Sanja adalah desa di kecamatan Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Sejarah tentang kata 'sanja' tidak diketahui secara pasti ,akan tetapi di desa ini terdapat pemakaman umum yang di sana ada makam yang sering disebut 'mbah Sanja' mungkin dari situlah nama desa ini berasal. Penduduk masyarakat desa Sanja multi etnis, karena di desa ini dan tetangga desa terdapat puluhan pabrik yang menjadikan pendatang dari berbagai daerah seperti etnis jawa, minang, batak,madura dll. Akan tetapi masyarakat asli desa ini adalah etnis sunda. pada umumnya masyarakat desa Sanja bermata pencaharian sebagai pegawai di pabrik-pabrik sekitar Sanja dan desa tetangga, tetapi ada juga yang bekerja sebagai wirausaha, PNS, tentara. (Solahudin. SE , Kepala Desa )

Fenomena Pernikahan Muda ini terbilang sangat unik karena pernikahan seperti ini sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di daerah tersebut, bahkan menjadi tradisi sekaligus identitas dari keberagaman adat desa Sanja. Ada beberapa hal yang mendasari munculnya fenomena seperti ini, yang pertama adalah opini tentang lebih banyaknya kaum perempuan daripada laki-laki dengan

(19)

6

perbandingan 1:10. Dari sudut pandang inilah, masyarakat desa Sanja melakukan perjodohan sedini mungkin dikarenakan takut anak mereka tidak bisa mendapatkan pasangan hidup nantinya. Yang kedua, karena adanya perasaan hutang budi. Perjodohan karena ini akan dilakukan jika terdapat dua keluarga kekerabatan yang mempunyai anak dengan berbeda jenis kelaminnya. Bahkan , perjodohan ini bisa direncanakan sejak dalam kandungan. Tinggal menunggu lahirnya si jabang bayi apakah terlahir dengan jenis kelamin yang berbeda, apabila terlahir dengan jenis kelamin yang sama maka perjodohan tersebut batal. Lalu yang ketiga, perjodohan juga bisa disebabkan karena mereka ingin mengikat tali kekeluargaan antar kerabat agar mengeratkan kembali hubungan keluarga yang mulai menjauh. Disini mereka merasa antar kedua keluarga sudah mengenal latar belakang keluarga masing-masing, sudut pandang yang ingin meneruskan keturunan dengan menjodohkan anaknya dengan seseorang yang sudah dikenal baik garis keturunan, bibit, bebet, dan bobotnya. Selain itu agar harta yang diperoleh dari jerih payah keluarga selama ini tidak jatuh pada orang lain dan tetap akan dimiliki oleh keluarga tersebut.

Sifat dan cara berpikir yang belum stabil memungkinkan banyaknya persoalan yang terjadi dalam rumah tangga yang mengakibatkan interaksi dalam rumah tangga tidak berjalan dengan baik. Dalam praktek pernikahan usia muda ada fase yang dilewati

(20)

7

oleh pelaku, yakni fase remaja yang langsung melompat ke fase orang tua, sehingga tidak mengherankan jika banyak persoalan yang tejadi dalam rumah tangga karena didasari oleh perilaku sosial yang belum matang sehingga berujung pada kurangnya kemampuan beradaptasi satu sama lain. Dalam keluarga, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Peran komunikasi dalam keluarga sangatlah penting, terutama dalam usaha untuk mengurangi ketidakpastian maupun kesalahpahaman yang sering terjadi. Tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi akan menciptakan suatu jarak sehingga dibutuhkan sebuah komunikasi yang intens untuk mengurangi jarak tersebut. Melalui komunikasi, manusia dapat mengikat hubungan sesama dan sebaliknya dapat menimbulkan kesenjangan dan konflik yang berkepanjangan.

Melihat dari fenomena pernikahan muda tersebut, dapat dikatakan masyarakat adat hanya memikirkan nama keluarga tanpa memikirkan keselamatan dari pelaku pernikahan usia muda tersebut. kurangnya akses pendidikan yang dimiliki para masyarakat desa Sanja membuat mereka tidak punya kesempatan untuk memiliki wawasan luas serta edukasi yang mendalam tentang pernikahan di usia muda. Baik dari segi psikis, reproduksi, maupun agama.

(21)

8

Tabel 1.1. Persentase Pernah Kawin Usia 20-24 Tahun yang menikah sebelum 18 tahun menurut Status Perkawinan, Daerah Tempat Tinggal, dan Usia

Tahun Status Perkawinan

Daerah Tempat Tinggal (Bogor)

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan <18 18+ <18 18 + < 18 18 + (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 2015 Kawin 92,55 96,74 96,64 97,56 95,3 97,18 Cerai Hidup 6,98 3,02 3,00 2,13 4,31 2,54 Cerai Mati 0,48 0,24 0,36 0,31 0,40 0,28 2017 Kawin 92,77 96,63 96,37 96,73 95,22 96,69 Cerai Hidup 7,02 3,06 3,36 2,99 4,53 3,02 Cerai Mati 0,22 0,31 0,27 0,28 0,25 0,29

Sumber: Susenas, 2015 dan 2017

1.7 Fokus Penelitian

Penelitian ini berjudul “Fenomena Pernikahan Muda Pada Masyarakat Jawa Barat” ( Studi Fenomenologi Masyarakat Desa Sanja)”. Untuk menghindari pembahasan secara universal dan keluar dari pokok masalah yang ada penulis berfokus pada menganalisa sebuah nomena yang ada di dalam individual para pelaku pernikahan usia muda dan memaknai pernikahan usia muda yang terjadi di desa Sanja. Dimana fenomena pernikahan usia muda menjadi sebuah ujung tombak status sosial yang memperkuat identitas seseorang

.

(22)

9 1.8 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pandangan para pelaku pernikahan usia muda terhadap pernikahan?

2. Apa motif yang mempengaruhi perilaku para pelaku pernikahan usia muda?

1.9 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pandangan para pelaku pernikahan usia muda terhadap pernikahan

2. Untuk mengetahui motif yang mempengaruhi perilaku pernikahan usia muda terhadap pernikahan

1.10 Kegunaan Penelitian

1.10.1 Kegunaan Akademis

Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitan yang berhubungan dengan masalah pernikahan di usia muda, lebih khusus lagi mengenai sebuah makna pernikahan usia muda terhadap fenomena di desa Sanja Kabupaten Bogor. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi bagi para peneliti-peneliti selanjutnya dengan tema yang sejenis.

(23)

10 1.10.2 Kegunaan Praktis

Secara praktik hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, sebagai berikut :

1. Pemerintah, sebagai pengambil kebijakan dalam rangka menentukan berbagai peraturan yang akan dikeluarkan. 2. Para masyarakat ataupun pelaku pernikahan usia muda itu

sendiri untuk memberikan masukan ataupun arahan mengenai pernikahan dini.

(24)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP & TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Peneliti melakukan studi penelitian terdahulu sebagai bahan acuan dalam mengembangkan dan perbandingan untuk penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dalam hal ini, penulis mencari penelitian terdahulu yang sesuai dan berhubungan dengan penelitian yang saat ini dilakukan oleh penulis.

Penelitian pertama adalah milik Hairi (UIN Sunan Kalijaga Yogya,2009) dengan judul Fenomena Pernikahan Usia Muda Di Kalangan Masyarakat Muslim Madura (Studi Kasus di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pemekasan). Masalah penelitiannya adalah besarnya presentasi angka pernikahan di bawah umur dan minimnya angka perceraian yang terjadi di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupatem Pemekasan. Metode Penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Tujuan penelitian menemukan faktor minimnya terjadi perceraian akibat dari pernikahan di usia muda. Teori yang digunakan yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi keluarga dan paradigma yang digunakan adalah paradigma konstruktivistik. Hasil penelitian yang diperoleh Hairi adalah menemuka faktor minimnya terjadi perceraian akibat pernikahan usia muda.

(25)

12

Penelitian kedua ditulis oleh Muhammad Nizar (UIN Syarif Hidayatullah,2014), dengan judul Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Masalah penelitiannya adalah anak-anak yang melakukan pernikahan usia muda di Desa Cikurutug jauh lebih dihargai keberadaannya dibanding anak-anak yang belum menikah. Metodelogi penelitian nya studi kasus dengan tujuan penelitian menjelaskan pandangan masyarakat Cikurutug terhadap pernikahan usia muda. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah komunikasi pernikahan dan komunikasi interpersonal. Paradigma penelitian ini menggunakan konstruktivistik dengan hasil penelitian menemukan pandangan masyarakat Desa Cikurutug terhadap pernikahan usia muda sehingga mereka jauh lebih dihargai di kehidupan bermasyarakat.

(26)

13 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No. Hal Yang Di Review Hairi ( UIN Sunan Kalijaga Yogya,2009) Muhammad Nizar (UIN Syarif Hidayatullah, 2014)

Ajeng Nur Azmia ( Univ. Moestopo, 2018) 1 Judul Penelitian Fenomena Pernikahan Di Usia Muda Di Kalangan Masyarakat Muslim Madura (Studi Kasus di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pemekasan) Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Fenomena Pernikahan Usia Muda Pada Masyarakat Jawa Barat ( Studi Fenomenologi Masyarakat Desa Sanja ) 2 Masalah Penelitian Besar nya presentasi angka pernikahan di bawah umur dan minimnya angka perceraian yang terjadi di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pemekasan. Anak-anak yang melakukan pernikahan usia muda di desa Cikurutug jauh lebih dihargai keberadaan nya dibanding anak-anak yang belum menikah Angka perceraian yang semakin meningkat berkesinambungan dengan pernikahan usia muda yang semakin sering dilakukan di desa Sanja. Banyak anak yang terlantarkan masa depan nya akibat dari perceraian yang terjadi. 3 Metodelogi

Penelitian

Studi Kasus Studi Kasus Fenomenologi 4 Tujuan

Penelitian

Menemukan faktor minim nya terjadi perceraian akibat dari pernikahan di usia muda. Menjelaskan pandangan masyarakat desa Cikurutug terhadap pernikahan usia muda. Mengungkap sebuah nomena yang ada pada para pelaku pernikahan usia muda dan juga menemukan motif

(27)

14 terjadinya pernikahan usia muda. 5 Teori/Paradi gma Penelitian Teori Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Keluarga Paradigma Konstruktivistik. Teori Komunikasi Pernikahan, Komunikasi Interpersonal. Paradigma Konstruktivistik. Teori Fenomenologi, Interaksi Simbolik, Komunikasi Interpersonal. Paradigma Konstruktivistik 6 Hasil Penelitian Menemukan faktor minim nya terjadi perceraian akibat pernikahan usia muda. Menemukan pandangan masyarakat desa Cikurutug terhadap pernikahan usia muda sehingga mereka jauh lebih dihargai di kehidupan bermasyarakat. Mengungkap sebuah nomena para pelaku pernikahan usia muda dimana nomena merupakan

sesuatu yang tidak tampak dan

terfokuskan pada hati, fikiran, perasaan para pelaku pernikahan usia muda dan juga menemukan motif terjadinya pernikahan usia muda di desa Sanja.

7 Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada faktor minim nya terjadi perceraian. Penelitian ini fokus kepada mengetahui pandangan masyarakat desa Cikurutug terhadap pelaku pernikahan usia muda. Penelitian ini menggabungkan penjelasan antara pandangan para pelaku pernikahan usia muda dengan mengetahui juga apa motif yang menyebabkan pernikahan usia muda banyak dilakukan di desa Sanja.

(28)

15

2.2 Kerangka Konsep-Konsep Penelitian dan Teori 2.2.1 Komunikasi Interpersonal

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin Communicare yang artinya memberitahukan dan berasal dari bahasa Inggris Communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan lain-lain antara dua atau lebih. Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal. Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih.

Menurut Deddy Mulyana, mengatakan bahwa:

“Komunikasi interpersonal/komunikasi antarpribadi berarti komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Ia menjelaskan bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang. komunikasi demikian menunjukkan pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat dan mereka saling mengirim serta menerima pesan baik verbal maupun nonverbal secara simultan dan spontan.

Efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan

(29)

16

(openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality).

1) Keterbukaan (openness)

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya.

Memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.

Memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran. Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda

(30)

17

bertanggungjawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).

2) Empati (Empathy) empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk „mengetahui‟ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada dikapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama.Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Seseorang dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.

(31)

18

3) Sikap Mendukung (supportiveness)

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung.Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4) Sikap Positif (Positiveness)

Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

(32)

19 5) Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidaksependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

Defenisi komunikasi interpersonal yang berpusat pada pesan terutama mengutamakan kepragmatisannya, orang memproduksi dan menginterpretasi si pesan untuk mencapai tujuan sosial atau fungsi sosial. Banyak tipologi fungsi komunikasi telah

(33)

20

diusulkan oleh teoritikus. Tiga kelas umum fungsi komunikasi interpersonaladalah sebagai berikut:

3. Fungsi pengelolaan interaksi

Fungsi pengelolaan interaksi adalah fungsi-fungsi yang diasosiasikan dengan membangun dan mempertahankan percakapan yang koheren. Tujuan ini meliputi:

a) Memulai dan mengakhiri interaksi percakapan juga mempertahankannya dengan mengarahkan focus topik percakapan dan membagi giliran bicara.

b) Memproduksi pesan-pesan yang dapat dipahami, mengandung informasi yang memadai, dan relevan secara pragmatis yang tepat sesuai dengan struktur percakapan bergiliran.

c) Mendefinisikan diri sosial (sosial selves) dan situasi social. d) Mengelola kesan dan mempertahankan muka, serta

e) Memantau dan mengelola afeksi.

Tercapainya tujuan-tujuan yang pada umumnya tidak terucapkan dan sudah pasti ini membentuk “konsensus latar belakang” yang akan membantu mencapai tujuan-tujuan lain. 4. Fungsi pengelolaan hubungan

Fungsi pengelolaan hubungan diasosiasikan dengan memulai, memelihara, dan memperbaiki hubungan. Tujuan-tujuan ini berfokus pada membangun huubungan, mencapai tingkat privasi dan keintiman yang diinginkan, mengelola ketegangan, mengatasi ancaman terhadap integritas dan ketahanan hubungan (misalnya, perpisahan secara geografis, dan kecemburuan) menyelesaikan konflik, dan menyudahi hubungan atau mengubah karakter dasar hubungan. Kebutuhan untuk mengelola hubungan timbul dari perbedaan-perbedaan rutin di antara individu-individu, persaingan di antara pasangan atas sumber daya yan terbatas, “batu-batu sandungan” yang

wajar terjadi dalam perjalanan perkembangan hubungan, dan tekanan-tekanan yang selalu ada dalam menyeimbangkan “ketegangan-ketegangan dialektis”.

5. Fungsi instrumental

Fungsi instrumental adalah fungsi yang biasanya mendefinisikan focus sebuah interaksi dan membantu membedakan episode interaksi yang satu dengan episode interaksi berikutnya. Tujuan-tujuan instrumental yang umum meliputi memperoleh kepatuhan atau menolak kepatuhan, meminta atau memberikan informasi, meminta atau memberikan dukungan, dan mencari atau memberi hiburan. Riset

(34)

21

menunjukkan bahwa ringkat komunikasi “relasional” ini sangat penting dalam mengungkapkan perasaaan-perasaan yang berhubungan dengan kontrol, kepercayaan, dan keintiman. (Berger, 2014:220)

2.2.2 Komunikasi Pernikahan dan Keluarga

1. Komunikasi Pernikahan

Seperti telah disebutkan, penelitian tentang komunikasi pernikahan telah mencapai kecanggihan teoritis dan metodologi yang signifikan dan bisa dianggap sebagai area disiplin yang sudah matang. Karena motivasi yang mendasari banyak penelitian pada awalnya adalah untuk mengidentifikasi apa yang membuat orang bahagia dan puas dalam pernikahan dan tekait erat dengannya apa yang membuat pernikahan stabil, upaya menjelaskan dan memprediksi kepuasan dan stabilitas pernikahan (yakni, perceraian) telah menerima jatah perhatian yang paling besar di dalam penelitian. Berbagai penyelidikan ini menengarai efek dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kognisi dan perasaan terhadap kepuasan dan stabilitas, seperti kecemasan dan depresi, atribusi, kecermatan empati, harapan, dan keterjangkauan harapan. Penelitian lain secara lebih eksplisit difokuskan pada efek komunikasi pernikahan terhadap kepuasan dan stabilitas, khususnya penelitian tentang komunikasi yang berhubungan dengan konflik pernikahan, tentang pola interaksi penuntutan/penarikan diri, tentang

(35)

22

ketersediaan dukungan sosial, dan tentang pengungkapan perasaan positif di dalam pernikahan.

Salah satu contoh penelitian terkemuka dari penelitian tentang konflik pernikahan adalah karya Gottman dan para rekannya. Dengan menyelidiki proses interaksi yang mana pada pasangan menikah yang paling paling relevan dengan stabilitas dan kepuasan hubungan, Gottman mendapati bahwa perilaku selama interaksi konflik sangat prediktif bagi stabilitas dan kepuasan hubungan, dalam satu studi dengan akurasi 80% untuk kepuasan dan 83% untuk stabilitas setelah 6 tahun. Yang terutama, perilaku yang mengungkapkan perasaan negatif kepada pasangan, seperti kritik, sikap membela diri, penghinaan, dan penarikan diri, bisa memprediksikan ketidakpuasan dan perceraian.

Bagaimanapun, efek dari pengungkapan perasaan selama konflik tidak terbatas hanya pada emosi negatif. Setidaknya dalam satu studi, Gottman mendapati bahwa hanya pengungkapan perasaan positif kepada pasangan yang memprediksikan stabilitas dan kepuasan pernikahan dari waktu ke waktu. Tidak seperti selazimnya, pengungkapan perasaan negatif tidak menghasilkan daya prediksi di dalam penelitian ini. Temuan ini menunjukkan bahwa pengungkapan perasaan positif memiliki efek tersendiri terhadap fisiologi secara agak

(36)

23

berlawanan dengan yang ada pada perasaan negatif maupun bahwa tidak semua efek pengungkapan perasaaan selama komunikasi konflik diperantarai oleh kesiagaan fisiologis. Betatapun, temuan yang kontradiktif tersebut menunjukkan bahwa meskipun upaya untuk mendemonstrasikan efek pengungkapan emosi telah berhasil dilakukan upaya untuk menjelaskan efeknya tidak begitu berhasil.

Terkait erat dengan studi konflik adalah studi tentang pola penuntutan penarikan diri di dalam pernikahan. Penuntutan -penarikan diri ditandai oleh satu pasangan menuntut, mengkritik, atau selain itu meminta perubahan perilaku pihak lainnnya dan pasangannya menanggapi dengan penghindaran atau penolakan untuk berubah secara lugas.

Aspek lain komunikasi pernikahan terkait dengan interaksi positif bukannya negatif yang juga telah mendapatkan banyak perhatian adalah pengungkapan perasaan positif, yang pada umumnya dikaitkan dengan peningkatan keintiman dan kepuasan hubungan. Perasaan positif terutama sangat kuat ketika dikomunikasikan secara nonverbal. Pendapat bahwa perasaan positif adalah pusat hubungan antarpribadi dan bahwa ia dikomunikasikan terutama secara nonverbal sudah lama dilontarkan oleh kelompok Palo Alto. Penelitian luas oleh Noller menemukan bahwa komunikasi non verbal yang efektif terkait

(37)

24

dengan kepuasan pernikahan dan juga bahwa perempuan lebih akurat daripada pria dalam mengemas maupun menguraikan komunikasi nonverbal.

2. Komunikasi Keluarga

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, selama ini kurang banyak penelitian ilmu sosial tentang komunikasi keluarga dibandingkan tentang komunikasi pernikahan. Model dan teori komunikasi keluarga sama mengesankannya dengan yang ada pada komunikasi pernikahan.

a. Model Sirkumpleks Olson

Olson berargumen bahwa sistem keluarga paling bagus digambarkan, dan fungi mereka paling baik dipahami, dengan mempertimbangkan dua atribut fundamental keluarga: kohesi dan adaptasi. Secara spesifik, menurut model Sirkumpleks, tingkat yang moderat di kedua dimensi tersebut menunjukkan fungsi terbaik, sedangkan eksterm di dua dimensi tersebut terkait dengan fungsi yang kurang optimal. Untuk kohesi, ini berarti bahwa keluarga yang terpisah atau terlibat berfungsi lebih baik daripada keluarga yang entah tercerai atau terjerat, dan untuk adaptasi, ini berarti bahwa keluarga yang luwes atau terstruktur berfungsi lebih baik daripada keluarga yang kaku atau kacau.

Komunikasi keluarga didefinisikan oleh Olson sebagai dimensi ketiga yang berlaku untuk memfasilitasi. Artinya, adalah komunikasi keluarga yang menentukan kemana keluarga akan tergolong menuruti dua dimensi dasar kohesi dan adaptasi. Dalam penerapan tersebut, setelah penyuluh menetapkan kemana keluarga tersebut

(38)

25

tergolong menuruti kedua dimensi, mereka bisa menyarankan perilaku komunikasi spesifik yang mengalihkan keluarga menuju kadar moderat dimensi, sehingga meningkatkan atau memulihkan fungsi keluarga. Olson mengidentifikasi bahwa keterampilan komunikasi spesifik yang memfasilitasi peralihan tersebut meliputi keterampilan berbicara seperti berbicara untuk diri dan menghindari berbicara untuk orang lain, keterampilan mendengarkan seperti kegiatan mendengarkan secara aktif dan empati, dan keterampilan komunikasi umum seperti pengungkapan diri, kejelasan, keterangkaian, penjejakan, dan penunjukan rasa hormat dan penghargaan kepada orang lain.

b. Teori pola-pola komunikasi keluarga.

Olson mengaitkan perilaku komunikasi spesifik di dalam keluarga dengan berbagai hasil keluarga dan anak adalah teori pola-pola komunikasi keluarga (Family Communication Patterns Theory). FCPT mendalilkan bahwa

pembentukan realitas sosial bersama adalah proses dasar yang diperlukan bagi keluarga agar berfungsi dan mendefinisikan hubungan keluarga. Keluarga menciptakan realitas melalui dua perilaku komunikasi: orientasi

(39)

26

percakapan dan orientasi kepenurutan, yang juga

menentukan pola komunikasi keluarga. (Berger,2014:687) Secara teoritis bersilangan, kedua orientasi ini mendefinisikan ruang konseptual dengan empat tipe keluarga. Fitzpatrick telah mengidentifikasikan empat tipe keluarga. adalah sebagai berikut:

1. Tipe Konsensual melakukan percakapan namun juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Tipe keluarga ini sering sekali mengobrol bersama tetapi pemegang otoritas utama dalam hal ini adalah orang tua adalah pihak yang membuat keputusan. Keluarga jenis ini adalah yang sangat menghargai komunikasi secara terbuka namun tetap menghandaki kewenangan orang tua yang jelas. Tipe orang tua ini biasanya sangat mendengarkan apa yang dikatakan anak-anaknya. Orang tua kemudian membuat keputusan, tetapi keputusan itu tidak selalu sejalan dengan keinginan anaknya, namun mereka selalu berupaya menjelaskan alasan keputusan itu agar anak-anaknya mengerti alasan suatu keputusan.

2. Tipe Pluralis

Tipe keluarga ini yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga pada tipe pluralis ini seringkali berbicara secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusannya masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak mereka, karena setiap pendapat dinilai berdasarkan kebaikannya, yaitu pendapat mana yang terbaik, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan.

3. Tipe Protektif

Tipe keluarga yang ketiga adalah protektif, yaitu keluarga yang jarang melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang tinggi. Jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga tapi sedikit terdapat komunikasi. Orang tua dari tipe keluarga ini tidak melihat alasan penting mengapa mereka menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol, mereka juga tidak

(40)

27

melihat mengapa mereka harus menjelaskan keputusan yang mereka buat. Alasan inilah orangtua atau suami istri semacam ini dikategorikan sebagai terpisah dalam hal orientasi perkawinannya.

4. Tipe Laizzes Faire

Tipe keluarga ini adalah keluarga yang jarang melakukan percakapan dan memiliki kepatuhan yang rendah.Tipe ini disebut dengan Laizzes Faire, lepas tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga dari tipe ini tidak terlalu dengan apa yang dikerjakan anggota keluarga lainnya dan tentu saja mereka tidak ingin membuang waktunya untuk membicarakan mereka. Suami istri dari tipe ini cenderung memiliki orientasi perkawinan campuran, artinya mereka tidak memiliki skema yang sama yang menjadi dasar untuk mereka berinteraksi. Mereka memiliki orientasi yang merupakan kombinasi dari orientasi terpisah dan independen atau kombinasi lainnya. (Morissan, 2013:292294)

2.2.3 Teori Fenomenologi

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutic, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.

Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengkalasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak didepan kita, dan bagaimana penampakannya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan

(41)

28

bahwa fenomenologi mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena dan bagaimana kita memahami fenomena yang sedang terjadi.

Teori Fenomonologi Edmund Husserl

Husserl adalah pendiri dan tokoh utama dari alliran filsafat fenomenologi. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam sejarah fenomenologi, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Franz Brentano, terutama pemikirannya tentang “kesengajaan”. Bagi Husserl fenomenologi adalah ilmu tentang hakikat dan bersifat a priori. Dengan demikian, makna fenomena menurut Husserl berbeda dengan makna fenomena menurut Immanuel Kant. Jadi Kant mengatakan bahwa subjek hanya mengenal fenomena bukan noumena, maka bagi Husserl fenomena mencakup noumena (pengembangan dari pemikiran Kant).

Bila dibandingkan dengan konsep kesadaran dari Descartes yang bersifat tertutup, kesadaran menurut Husserl lebih bersifat terbuka. Husserl juga menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah. Namun dia meneriman konsep forman fenomenologi Hegel, serta menjadikannya sebagai dasar perkembangan semua tipe fenomenologi. Fenomena pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran manusia.

(42)

29

Menurut Husserl, dengan fenomenologi kita dapat mempelajari bentuk-bentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan dasar yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang, dilihat dari aspek-aspek yang terkait dengannya. Semuanya itu bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya. Oleh karena itu, tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna, dimana makna itu lebih luas dari sekedar bahasa yang mewakilinya. (Prof D. Engkus Kuswarno, M.S, Fenomenologi, 2009)

2.2.4 Interaksi Simbolik

Teori interaksi simbolik adalah teori yang dibangun sebagai respon terhadap teori-teori psikologi aliran behaviorisme, etnologi, serta struktural-fungsionalis. Teori ini sejatinya dikembangkan dalam bidang psikologi sosial dan sosiologi dan memiliki seperangkat premis tentang bagaimana seorang diri individu (self) dan masyarakat (society) didefinisikan melalui interaksi dengan orang lain dimana komunikasi dan partisipasi memegang peranan yang sangat penting.

Dalam tradisi pendekatan dalam penelitian ilmu komunikasi, teori interaksi simbolik berakar pada semiotika dan fenomenologi.

(43)

30

Sehingga dapat dikatakan bahwa interaksionisme simbolik merupakan sebuah teori yang paling berpengaruh dalam sejarah bidang studi komunikasi. Sebagaimana yang telah kita pahami bersama bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna melalui pesan, baik pesan verbal maupun pesan nonverbal yang berupa simbol-simbol, tanda-tanda, dan perilaku. Makna sebagai pemahaman pesan yang diberikan oleh orang lain tidak dapat terjadi kecuali kedua belah pihak atau para partisipan komunikasi dapat memperoleh makna yang sama bagi setiap kata, frasa, atau kode verbal yang ada. Dari ulasan singkat di atas, terlihat bahwa sebagai suatu proses pembentukan makna, komunikasi memiliki beberapa prinsip-prinsip komunikasi diantaranya adalah bahwa komunikasi diawali dengan diri (the self) dan komunikasi selalu melibatkan orang lain misalnya masyarakat (society) dalam konteks luas. Hal inilah yang coba dijelaskan oleh George Herbert Mead yang dikenal sebagai penggagas utama teori interaksi simbolik. Dengan demikian, teori interaksi simbolik merupakan teori yang menekankan pada peran komunikasi dalam membentuk dan mengelola hubungan interpersonal dan kelompok sosial.

Teori interaksi simbolik bermula dari interaksionisme simbolik yang digagas oleh George Herbert Meadyakni sebuah perspektif sosiologi yang dikembangkan pada kisaran pertengahan abad 20 dan berlanjut menjadi beberapa pendekatan teoritis yaitu aliran

(44)

31

Chicago yang diprakarsai oleh Herbert Blumer, aliran Iowa yang diprakarsai oleh Manford Kuhn, dan aliran Indiana yang diprakarsai oleh Sheldon Stryker.

Ketiga pendekatan teoritis tersebut mempengaruhi berbagai bidang disiplin ilmu salah satunya ilmu komunikasi. Teori interaksi simbolik dapat diterima dalam bidang ilmu komunikasi karena menempatkan komunikasi pada baris terdepan dalam studi eksistensi manusia sebagai makhluk sosial.

Interaksionisme simbolik sebagai perspektif sosiologi dapat kita runut asal muasalnya saat idealisme Jerman atau pre-Sokratik, dan mulai berkembang pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang ditandai dengan berbagai tulisan dari beberapa tokoh seperti Charles S. Peirce, William James, dan John Dewey.

Interaksionisme simbolik lahir ketika diaplikasikan ke dalam studi kehidupan sosial oleh para ahli sosiologi seperti Charles H. Cooley, W.I. Thomas, dan George Herbert Mead. Dari sekian banyak ahli sosiologi yang menerapkan interaksionisme simbolik, Mead-lah yang secara khusus melakukan sistematisasi terhadap perspektif interaksionime simbolik.

George Herbert Mead menjelaskan bahwa manusia termotivasi untuk bertindak berdasarkan pemaknaan yang mereka berikan kepada orang lain, benda, dan kejadian. Pemaknaan ini diciptakan melalui bahasa yang digunakan oleh manusia ketika

(45)

32

berkomunikasi dengan pihak lain yakni dalam konteks komunikasi antarpribadi atau komunikasi interpersonal dan komunikasi intrapersonal atau self-talk atau dalam ranah pemikiran pribadi mereka. Bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan manusia mengembangkan sense of self dan untuk berinteraksi dengan pihak lain dalam suatu masyarakat.

Dikarenakan pemikiran Mead tidak pernah dapat dipublikasikan, Herbert Blumer kemudian mengumpulkan, menyunting, dan mempublikasikan pemikiran Mead ke dalam sebuah buku bertajuk Mind, Self, and Society (1937) sekaligus memberikan nama dan mengenalkan istilah teori interaksi simbolik.

Pengertian Interaksionisme Simbolik

Terdapat dua pengertian mengenai interaksionisme simbolik atau teori interaksi yang diutarakan oleh para ahli, yaitu :

1. Herbert Blumer mendefinisikan interaksionisme simbolik atau teori interaksi simbolik sebagai sebuah proses interaksi dalam rangka membentuk arti atau makna bagi setiap individu.

2. Scott Plunkett mendefinisikan interaksionisme simbolik sebagai cara kita belajar menginterpretasi serta memberikan arti atau makna terhadap dunia melalui interaksi kita dengan orang lain. Sebagaimana teori konstruksi sosial atau konstruksi realitas sosial, teori interaksi simbolik atau interaksionisme simbolik dibangun berdasarkan asumsi ontologi yang menyatakan bahwa realitas dibentuk secara sosial. Apa yang kita yakini benar didasarkan atas bagaimana kita dan orang lain berbicara tentang apa yang kita percaya untuk menjadi benar. Realitas selanjutnya didasarkan pada pengamatan, interpretasi, persepsi, dan konklusi yang dapat kita sepakati melalui pembicaraan. (Fisher, 1978:358)

(46)

33

Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa teori interaksi simbolik tidak seperti teori komunikasi lainnya yang mengasumsikan komunikasi secara sederhana sebagai sebuah pertukaran pesan atau transmisi pesan yang terjadi diantara dua individu sebagaimana digambarkan dalam berbagai model komunikasi yang telah kita kenal sebelumnya. Teori interaksi simbolik berpendapat bahwa diri (self) dan masyarakat (society) dibentuk, dikonsep ulang, dan diciptakan ulang dengan dan melalui proses komunikatif.

Prinsip Utama dalam Teori Interaksi Simbolik

Menurut Herbert Blumer, teori interaksi simbolis menitikberatkan pada tiga prinsip utama komunikasi yaitu meaning, language, dan thought.

1. Meaning

Berdasarkan teori interaksi simbolis, meaning atau makna tidak inheren ke dalam obyek namun berkembang melalui proses interaksi sosial antar manusia karena itu makna berada dalam konteks hubungan baik keluarga maupun masyarakat. Makna dibentuk dan dimodifikasi melalui proses interpretatif yang dilakukan oleh manusia.

2. Language

Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk menamakan sesuatu. Bahasa merupakan sumber makna yang berkembang secara luas melalui interaksi sosial antara satu dengan yang lainnya dan bahasa disebut juga sebagai alat atau instrumen. Terkait dengan bahasa, Mead menyatakan bahwa dalam kehidupan sosial dan komunikasi antar manusia hanya mungkin dapat terjadi jika kita memahami dan menggunakan sebuah bahasa yang sama.

(47)

34 3. Thought

Thought atau pemikiran berimplikasi pada interpretasi yang kita berikan terhadap simbol. Dasar dari pemikiran adalah bahasa yaitu suatu proses mental mengkonversi makna, nama, dan simbol. Pemikiran termasuk imaginasi yang memiliki kekuatan untuk menyediakan gagasan walaupun tentang sesuatu yang tidak diketahui berdasarkan pengetahuan yang diketahui. Misalnya adalah berpikir. (Irianto, 2015:133)

Konsep Kunci Interaksi Simbolik

Dalam bukunya Mind, Self, and Society (1934), George Herbert Mead menggambarkan bagaimana pikiran individu dan diri individu berkembang melalui proses sosial. Mead menganalisa pengalaman dari sudut pandang komunikasi sebagai esensi dari tatanan sosial. Bagi Mead, proses sosial adalah yang utama dalam struktur dan proses pengalaman individu. Berdasarkan judul bukunya, maka dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga konsep kunci utama yaitu mind, self, dan society.

1. Mind

Menurut Mead, mind berkembang dalam proses sosial komunikasi dan tidak dapat dipahami sebagai proses yang terpisah. Proses ini melibatkan dua fase yaitu conversation of gestures (percakapan gerakan) dan language (bahasa).

Keduanya mengandaikan sebuah konteks sosial dalam dua atau lebih individu yang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.

(48)

35

Mind hanya tampil manakala simbol-simbol yang

signifikan digunakan dalam komunikasi. Mind adalah proses yang dimanifestasikan ketika individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan menggunakan simbol-simbol signifikan yaitu symbol atau gestur dengan interpretasi atau makna. Mind juga merupakan komponen individu yang menginteruspsi tanggapan terhadap stimuli atau rangsangan. Adalah mind yang meramal masa depan dengan cara mengeksplorasi kemungkinan tindakan keluaran sebelum dilanjutkan dengan tindakan.

2. Self

Self diartikan melalui interaksi dengan orang

lain. Self merujuk pada kepribadian reflektif dari individu. Self adalah sebuah entitas manusia ketika ia berpikir mengenai siapa dirinya. Untuk memahami konsep tentang diri, adalah penting untuk memahami perkembangan diri yang hanya mungkin terjadi melalui pengambilan peran. Agar kita bisa melihat diri kita maka kita harus dapat mengambil peran sebagai orang lain untuk dapat merefleksikan diri kita. Pengambilan peran ini merupakan bagian yang sangat penting dalam pengembangan diri. Gambaran mental inilah yang oleh Charles H. Cooley dinamakan dengan looking glass-self dan dibentuk secara sosial.

(49)

36

Menurut Mead, self dikembangkan melalui beberapa tahapan, yaitu :

1. Tahap persiapan – imitasi yang tidak berarti

2. Tahap bermain – terjadi bermain peran namun bukan merupakan konsep yang menyatu dalam perkembangan diri 3. Tahap permainan – merupakan tahap perkembangan diri

Self adalah fungsi dari bahasa. Seorang individu harus menjadi anggota suatu komunitas sebelum kesadaran diri membentuknya. Self merupakan proses yang berlangsung terus menerus yang mengkombinasikan “I” dan “Me”. Oleh karena itu, dalam self terdiri dari dua bagian, yaitu “I” dan “Me”.

a. I – diri yang aktif, merupakan kecenderungan impulsif dari diri individu, bersifat spontan, dan juga merupakan aspek dari eksistensi manusia yang tidak terorganisasi. b. Me – merupakan diri yang menjadi objek renungan kita

atau merupaka gambaran diri yang dilihat melalui cermin diri dari reaksi yang diberikan oleh orang lain.

Menurut Mead, suatu tindakan diawali dalam bentuk “I” dan diakhiri dalam bentuk “Me”. “I”

memberikan tenaga penggerak sementara “Me” memberikan arahan. “I” bersifat kreatif dan spontan yang tersedia bagi perubahan dalam masyarakat. Karenanya dalam konsep self adalah sesuatu yang kuat dan komprehensif memahami bagaimana fungsi manusia dalam masyarakat dan fungsi masyarakat itu sendiri. Konsep tersebut juga sekaligus menunjukkan hubungan antara individu dan masyarakat. (Irianto, 2015:135)

Menurut Bernard M. Meltzer terdapat 3 (tiga) implikasi dari kepribadian (selfhood), yaitu :

1. Kepemilikan diri membuat individu dari sebuah masyarakat dalam bentuk miniatur, manusia dapat melibatkan diri dalam interaksi, mereka dapat memandang diri mereka sendiri dalam cara pandang yang baru.

2. Kemampuan untuk bertindak terhadap diri sendiri membuat kemungkinan sebuah pengalaman batin yang tidak perlu mencapai ekspresi secara terang-terangan, manusia dapat memiliki kehidupan mental.

3. Seorang individu dengan dirinya dapat mengarahkan dan mengendalikan perilakunya. (Irianto, 2015:137)

(50)

37 3. Society

Society atau masyarakat dibentuk melalui interaksi antar individu yang terkoordinasi. Menurut Mead, interaksi yang tejadi pada manusia menempati tingkatan tertinggi bila dibandingkan makhluk lainnya. Hal ini dikarenakan digunakannya berbagai macam simbol signifikan yaitu bahasa. Meskipun terkadang manusia memberikan respon atau tanggapan secara otomatis dan tanpa berpikir panjang terhadap gestur manusia lainnya, interaksi manusia ditransformasikan dengan kemampuannya untuk membentuk dan menginterpretasikan secara langsung dengan menggunakan sistem simbol konvensional. (Irianto, 2015:138)

Komunikasi manusia memiliki makna dalam gerakan simbolik dan tidak meminta tanggapan langsung. Manusia harus menafsirkan setiap gerakan dan menentukan makna mereka. Dikarenakan komunikasi manusia melibatkan interpretasi dan penugasan makna maka hal tersebut dapat terjadi ketika ada consensus dalam makna. Makna simbol hendaknya dibagikan dengan manusia lainnya.

Makna bersama selalu terjadi melalui pengambilan peran. Untuk menyelesaikan suatu tindakan, pelaku harus menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Perilaku dipandang sebagai sosial tidak hanya ketika memberikan respon terhadap orang lain melainkan juga ketika telah tergabung di dalam perilaku orang lain. Manusia menanggapi diri mereka sebagaimana orang lain menanggapi mereka dan dengan demikian mereka berbagi perilaku orang lain secara imaginer.

(51)

38

Menurut Littlejohn, interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat ( Littlejohn, 1996:159). Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan dinamis manusia, sebagai bandingan pendekatan struktural yang memfokuskan diri pada individu dan ciri-ciri kepribadiannya, atau bagaimana struktur sosial membentuk perilaku tertentu individu. Perspektif interaksi simbolik memandang bahwa individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karna individu terus berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi, interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berfikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001:61)

Interaksi simbolik telah mengilhami perspektif lainnya, seperti “teori penjulukan” (labelling theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodelogi dari Harold Garfinkel.

(52)

39

Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap varian-varian interaksionisme simbolik ( Mulyana,2001:68).

Teori interaksi simbolik memiliki tiga konsep utama, yaitu :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Teori interaksi simbolik mengasumsikan bahwa makna diciptakan melalui interaksi dan dimodifikasi melalui interpretasi. Teori ini juga mengasumsikan bahwa bagaimana manusia berinteraksi dengan manusia lainnya tergantung pada makna yang diberikan oleh oleh manusia lainnya. Komunikasi yang efektif tidak akan terjadi tanpa adanya makna yang dibagikan. Kita akan mudah berkomunikasi dengan mereka yang memiliki kesamaan bahasa dengan kita dibandingkan dengan jika kita berkomunikasi dengan mereka yang tidak memiliki kesamaan bahasa dengan kita.

Misalnya dalam konteks komunikasi antar budaya. Orang jawa menggunakan kata “jangan” untuk merujuk kata “sayur”. Namun jika orang Betawi ketika sedang makan ditawari sayur oleh orang jawa dengan menyebut “jangan” maka orang Betawi tersebut justru merasa tidak boleh mengambil sayur tersebut. Akibatnya komunikasi menjadi tidak efektif.

2. Pentingnya konsep diri

Teori interaksi simbolik mengasumsikan bahwa konsep diri dikembangkan melalui interaksi dengan orang lain dan memberikan motif dalam berperilaku. Menurut William D. Brooks,konsep diri merupakan persepsi tentang diri kita yang bersifat psikologi, sosial, dan fisik yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan orang lain.

Memiliki konsep diri memaksa orang untuk membangun tindakan dan pikiran mereka secara positif dibandingkan hanya sekedar mengekspresikannya kepada orang lain. Tema ini mempertimbangkan pula validitas self-fulfilling prophecy atau kepercayaan bahwa orang akan berperilaku dengan cara tertentu untuk memenuhi harapan mereka sendiri.

3. Hubungan antara individu dan masyarakat

Teori ini juga mengasumsikan bahwa budaya dan proses sosial mempengaruhi manusia dan kelompok dan karenanya struktur sosial ditentukan melalui jenis-jenis interaksi sosial.

Gambar

Tabel  1.1.  Persentase  Pernah  Kawin  Usia  20-24  Tahun  yang  menikah sebelum 18 tahun menurut Status Perkawinan, Daerah  Tempat Tinggal, dan Usia

Referensi

Dokumen terkait

Trick effect (manipulasi foto) adalah tindakan memanipulasi foto, seperti menambah, mengurangi, atau mengubah obyek dalam foto sehingga menjadi gambar yang sama sekali lain

Hasil penelitian yang dilakukan dengan judul “Pengaruh Penggunaan Media Online Detik Travel Terhadap Minat Berwisata (Survey MahasiswaJurusan Pariwisata Universitas

Film The Love Of Siam sendiri merupakan film drama romantis Thailand yang menceritakan tentang konflik dalam sebuah keluarga namun didalam konflik tersebut terdapat dua

ini nah mungkin nih dari sipemilik yang memilih Semar sebagai ikonnya mengharapkan kelak si batik ini setenar nama semar tadi yang selalu disukai banyak orang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau referensi bagi para peneliti lain serta dijadikan sebagai acuan dalam menerapkan khasanah keilmuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana independensi seorang wartawan dalam menghadapi dominasi dari pemilik media, khususnya dalam bentuk

Saya ingin bertanya dan ingin meminta saran dari bapak, saya sedang melakukan sebuah penelitian di kuretakeso kemang hotel Jakarta dan yang saya teliti adalah strategi marketing

Strategi dalam penelitian yang dilakukan oleh Aldo Brue yaitu berupa memahami keingginan masyarakat akan suatu produk yang berkualitas, dengan melihat tempat atau lokasi serta