• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA) FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA) FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI"

Copied!
258
0
0

Teks penuh

(1)

INDEPENDENSI WARTAWAN DI BAWAH PENGARUH PEMILIK MEDIA (STUDI KASUS WARTAWAN METRO TV)

Diajukan Oleh:

Nama : Vinny Chairany

NIM : 2014-41-154 Konsenterasi : Jurnalistik

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Program Studi Ilmu Komunikasi Jakarta

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

i

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

ABSTRAKSI

Nama : Vinny Chairany NIM : 2014 – 41 – 154 Program Studi : Ilmu Komunikasi Konsenterasi : Jurnalistik

Judul : Independensi Wartawan di Bawah Dominasi Pemilik Media (Studi Kasus Wartawan Metro TV)

Jumlah / Bab : V Bab + 157 halaman

Bibliografi : 21 buku, 8 jurnal, 6 online, 3 penelitian Pembimbing I : Dr. Wahyudi M. Pratopo, M.Si

Pembimbing II : Drs. Gunawan, M.Ikom

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui independensi seorang wartawan dalam menghadapi dominasi pengaruh pemilik media, khususnya dalam bentuk pemberitaan yang berkaitan dengan partai politik yang dimiliki oleh Surya Paloh, yakni partai Nasional Demokrat (Nasdem) dalam pemberitaan Metro TV. Hal ini berkaitan dengan, adanya pengaruh yang diberikan Surya Paloh sebagai ketua umum partai Nasional Demokrat (Nasdem) terhadap Metro TV khususnya wartawan Metro TV melalui liputan – liputan bertema Nasdem dan dukungan kepada pasangan Jokowi – Ma’ruf.

Untuk itu, penelitian ini menggunakan paradigma kritis dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan juga observasi terhadap tayangan di tiga program Metro TV, yaitu Metro Pagi Primetime, Metro Siang, dan Metro Hari Ini. Denga bersandar pada teori Ekonomi Politik Komunikasi oleh Vincent Mosco, dan secara khusus menekankan pada pintu pertama teori tersebut yaitu Komodifikasi Pekerja.

Hasil penelitian menunjukkan, wartawan Metro TV tidak mengalami intervensi yang dilakukan oleh pemilik media terkait dengan perannya sebagai seorang politikus, melainkan lebih kepada inisiatif wartawan dalam mempertimbangkan kepentingan pemilik medianya

Kata Kunci : Wartawan, Dominasi, Komodifikasi Pekerja, Metro TV

(6)

ii

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

ABSTRACT Name : Vinny Chairany

NIM : 2014 – 41 – 154 Program : Communication Departement : Journalistic

Title : Independence of Journalists Under the Domination of Media Owners (Case Study of Metro TV Reporters)

Sum / Chapter : V Chapters + 157 Pages

Bibliography : 21 books, 8 journal, 6 online, 3 researchs Mentor I : Dr. Wahyudi M. Pratopo, M.Si

Mentor II : Drs. Gunawan, M.Ikom

This study aims to determine the independence of a journalist in the face of the dominance of the influence of media owners, especially in the form of news relating to political parties owned by Surya Paloh, namely the National Democratic Party (Nasdem) in Metro TV coverage. This is related to the influence given by Surya Paloh as chairman of the National Democratic Party (Nasdem) towards Metro TV, especially the journalist Metro TV through Nasdem-themed coverage and support to the Jokowi-Ma'ruf couple.

For this reason, this study uses a critical paradigm with a descriptive qualitative approach. The technique of collecting data through interviews and also observations on shows on the three Metro TV programs, namely Metro Morning Primetime, Metro Siang, and Metro Today. Denga relies on the Political Economy of Communication theory by Vincent Mosco, and specifically emphasizes the first door of the theory, Labor Commodification.

The results of the study showed that Metro TV reporters did not experience interventions carried out by media owners related to their role as politicians, but rather to journalists' initiative in considering the interests of their media owners.

Keywords: Journalists, Domination, Labor Commodification, Metro TV

(7)

iii

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat yang diberikan hingga saat ini, peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul

“Independensi Wartawan di Bawah Dominasi Pemilik Media (Studi Kasus Wartawan Metro TV)”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di Program Studi Ilmu Komunikasi dengan konsenterasi Jurnalistik di Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama).

Penelitian ini mengambil sudut pandang dari wartawan Metro TV yang menjalankan independensinya di bawah peran ganda seorang pemilik media, Surya Paloh, yang juga merupakan seorang politikus. Peneliti membuat penelitian ini berdasarkan sistematika yang telah ditetapkan dan berada di bawah pengarahan dosen pembimbing.

Peneliti menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam penyusunan penelitian ini menjadi sebuah kekurangan yang perlu disempurnakan.

Untuk itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan dalam penelitian selanjutnya. Di sisi lain, peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi referensi literatur, khususnya dalam bidang Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik baik secara praktis maupun akademis.

Jakarta, Februari 2019 Peneliti

Vinny Chairany

(8)

iv

peneliti mampu menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Dalam proses penyusunannya, peneliti menemukan pengalaman, dukungan, bantuan, dan juga semangat yang diberikan oleh pihak – pihak yang membuat penulis termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua peneliti, Rudi Geniarso dan Metty Melia yang telah memberikan kasih sayang dan perhatiannya, sehingga peneliti mampu untuk menyelesaikan pendidikan sarjana Ilmu Komunikasi.

2. Kedua adik peneliti, Alvian Hadiwinata dan Alia Kusumawardhani.

Untuk Alvian Hadiwinata yang hampir setiap malam menemani peneliti menyusun penelitian ini sambil bermain PUPBG hingga jam 02.00 pagi, dan untuk adik terkecil, Alia Kusumawardhani yang manyusun laporan praktik kerja lapangannya, semangat!

3. Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn. selaku Rektor Universitas Prof. Dr.

Moestopo (Beragama) atas bimbingan dan kepemimpinan, UPDM(B) menjadi lebih baik dan mampu bersaing dengan perguruan tinggi swasta lainnya.

4. Prof. Dr. Drs. Sunarto, M.Si selaku mantan Rektor Universitas Prof. Dr.

Moestopo (Beragama) atas bimbingan dan kepemimpinnya terhadap UPDM (B).

5. Dr. Drs. Prasetya Yoga Santoso, MM selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) atas bimbingan dan kepemimpinannya sehingga mampu untuk bersaing dengan program Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi lain di Indonesia.

6. Dr. Wahyudi Marhaen Pratopo, S, Ip. M.Si selaku Ketua Program Studi (Kaprodi) Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).

7. Drs. M. Muminto Arief M.Ikom selaku Koordinator Konsenterasi Humas, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).

(9)

v

9. Drs. Gunawan M.Ikom selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas bimbingan, dorongan dan berbagai saran selama masa penyusunan penelitian ini.

10. Yudi Salampessy selaku Pembimbing Akademik. Terima kasih telah memberikan pengarahan kepada peneliti.

11. Bapak Zakaria Hamid selaku wartawan Metro TV yang telah membantu peneliti selama melakukan penelitian di Metro TV

12. Ibu Heni Puspitasari selaku manager PR Metro TV yang telah membantu dalam proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti.

13. Ibu Katty selaku PR Metro TV yang telah membantu peneliti dalam proses wawancara yang dilakukan peneliti.

14. Ibu Nina selaku PR eksternal Metro TV yang telah membantu peneliti dalam proses wawancara yang dilakukan peneliti.

15. Ibu Ressa selaku PR Metro TV yang telah membantu peneliti dalam melakukan penelitian di Metro TV.

16. Bapak Yunanto Hariandja selaku Manager Newsroom Metro TV. Terima kasih telah bersedia menjadi key informan dalam penelitian ini.

17. Bapak Kabul Indrawan selaku Kepala Departemen Pemberitaan Metro TV. Terima kasih telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

18. Bapak Iswahyudi Rachmanto selaku Executive Producer Metro TV.

Terima kasih telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

19. Mustika Satyarini Islami selaku sepupu peneliti yang setiap malam menemani peneliti melalui aplikasi whatsapp hingga jam 02.00 pagi, karena mau menghabiskan kuota malamnya dengan baca komik One Piece.

20. Renata Vania selaku teman terdekat peneliti. Terima kasih telah memberikan dukungan, dan motivasi selama proses penyusunan penelitian. Semangat kuliah pasca-nya, Ren!

(10)

vi

yang kini sedang menjalani sidangnya, Heni, Avia, Maria, dan yang lainnya, serta selamat kepada teman – teman yang kini sudah lulus, memasuki dunia kerja, dunia organisasi, hingga dunianya sendiri, semoga kalian sukses dengan jalan yang telah dipilih oleh masing-masing.

(11)

vii

Abstraksi ...i

Abstrack ...ii

Kata Pengantar ...iii

Sebuah Pengantar Kata ...iv

Daftar Isi ...vii

Daftar Gambar ...x

Daftar Tabel ...xi

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Fokus Penelitian ...12

1.3 Pertanyaan Penelitian ...13

1.4 Tujuan Penelitian ...13

1.5 Signifikansi Penelitian ...13

1.5.1 Signifikansi Teoritis ...13

1.5.1 Signifikansi Praktis ...14

Bab II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP & TEORI 2.1 Kajian Pustaka – Penelitian Sejenis ...15

2.2 Kerangka Konsep dan Teori ...19

2.2.1 Kerangka Konsep ...19

2.2.1.1 Independensi Jurnalisme ...31

2.2.1.2 Jurnalisme Televisi ...35

2.2.1.3 Wartawan ...34

2.2.1.4 Dominasi ...38

2.2.1.5 Media Televisi ...40

2.2.1.6 Metro TV ...53

2.2.2 Kerangka Teori...60

2.2.2.1 Teori Ekonomi Politik Komunikasi Vincent Mosco ...60

A. Komodifikasi ...62

B. Spasialisasi ...65

(12)

viii Bab III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian ...71

3.2 Pendekatan Penelitian ...74

3.3 Metode Penelitian ...76

3.4 Objek dan Subjek Penelitian ...82

3.5 Teknik Pengumpulan data ...82

3.6 Teknik Keabsahan Data ...90

3.7 Teknik Analisis Data ...93

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek ...95

4.1.1 Sejarah Singkat Metro TV ...95

4.1.2 Visi dan Misi Metro TV ...98

4.1.3 Logo dan Arti Metro TV ...99

4.1.4 Target Audience ...101

4.1.5 Biro-Biro Metro TV ...102

4.2 Deskripsi Subjek Penelitian ...102

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian...104

4.3.1 Ekonomi Politik Metro TV ...104

A. Struktur Ekonomi dan Pendapatan Metro TV ...104

B. Struktur Gaji Pekerja Media...107

C. Proses Produksi Berita Metro TV ...111

D. Kebijakan Redaksional...114

E. Berita Politik ...117

1. Metro Pagi Primetime ...118

2. Metro Siang ...120

3. Metro Hari Ini ...122

F. Independensi Wartawan dan Dominasi Penguasa ...132

(13)

ix

B. Spasialisasi ...149 C. Strukturasi ...150 4.4.2 Perundang-undangan dan Independensi Wartawan ...151 Bab V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...156 5.2 Saran ...157 Daftar Pustaka

Lampiran

(14)

x

Gambar 2.2 Tingkat Kepercayaan terhadap Media Berdasarkan Jenisnya 27 Gambar 2.3 Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran Kategori Program

Berita 56

Gambar 2.4 Indeks Kualitas Program Siaran Berita Metro TV 57 Gambar 2.5 Indeks Kualitas Program Siaran Berita Berdasarkan Lembaga

Penyiaran 58

Gambar 4.1 Infografik Gaji di Stasiun Televisi Nasional 109

(15)

xi

Tabel 4.1 Upah Jurnalis Pemula oleh AJI Jakarta ... 108

Tabel 4.2 Kategori Berita Politik di Metro Pagi Primetime ... 118

Tabel 4.3 Kategori Berita Politik di Metro Siang ... 121

Tabel 4.4 Kategori Berita Politik di Metro Hari Ini ... 122

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dinamika media televisi di Indonesia bermula dari cita-cita presiden Soekarno dalam membangun stasiun televisi TVRI sebagai ‘alat revolusi’ untuk membuat Indonesia menjadi sorotan global dalam ajang perhelatan Asian Games IV sejak meraih kemerdekaannya pada tahun 1945 silam. Memasuki era presiden Soeharto, media televisi berpotensi menjadi sebuah industri yang mengalami perkembangan cukup pesat. Dimulai dengan berdirinya stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, yakni RCTI yang dimiliki oleh putra presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, yang kemudian disusul dengan berdirinya SCTV (dimiliki oleh Henry Pribadi dan Sudwikatmono), TPI (dimiliki oleh Siti Hardijanti Rukmana, putri Soeharto), Indosiar (dimiliki oleh Liem Sieo Liong, Salim Group), dan ANTV (dimiliki oleh Aburizal Bakrie).

Pertumbuhan industri media televisi yang berpusat pada lingkup sosial terdekat dari presiden Soeharto tersebut berpengaruh terhadap perkembangan jurnalisme saat itu. TVRI sebagai stasiun televisi pertama di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah memegang penuh atas pemberitaan mengenai politik ataupun berita keras (hardnews) lainnya, yang mana, stasiun televisi swasta harus me-relay tayangan tersebut pada waktu-waktu tertentu, bila ingin mendapatkan berita mengenai ranah politik. Hal ini dikarenakan, televisi swasta hanya boleh memproduksi berita lunak (softnews), tanpa menyentuh ranah politik atau

(17)

pemerintahan. Upaya tersebut dilakukan untuk menjaga kekuasaan era Orde Baru melalui pemberitaan-pemberitaan yang melegitimasi pemerintahan yang sedang berjalan, selain itu, pengawasan terhadap lima stasiun televisi swasta di Indonesia menjadi semakin mudah tatkala media-media televisi tersebut dimiliki oleh orang-orang terdekat presiden Soeharto. Sehingga terdapat kecenderungan arah pemberitaan pada masa Orde Baru lebih banyak mendukung kegiatan maupun keputusan yang dibuat oleh pemerintahan presiden Soeharto, sebelum akhirnya meletusnya demo besar-besaran pada tahun 1998, yang mengakhiri hidup empat mahasiswa Trisakti dalam aksi penembakan. Hal tersebut menjadi akhir bagi era Orde Baru, karena tuntutan masyarakat yang menginginkan Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden Indonesia.

Keruntuhan Orde Baru tersebut, justru menjadi titik balik bagi kehidupan pers di Indonesia dengan dibuatnya UU No. 40 Tahun 1999 mengenai Pers yang diatur dalam pasal 9 ayat (1), yang menyatakan bahwa, “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.”

Dasar hukum inilah yang pada akhirnya, menjadi salah satu faktor banyaknya perusahaan pers yang berdiri, khususnya media televisi. Hingga tahun 2018, Dewan Pers menyatakan bahwa, Indonesia merupakan negara dengan media massa terbanyak di dunia, yakni 47.000 media yang terbagi menjadi 2000 media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk televisi lokal, dan sisanya merupakan media daring.1

1“Ketua Dewan Pers Sebut Indonesia Punya 47.000 Media Massa, Terbanyak di Dunia” dalam https://news.okezone.com/read/2018/02/09/337/1857034/ketua-dewan-pers-sebut-indonesia-punya- 47-000-media-massa-terbanyak-di-dunia dikutip pada 07 Agustus 2018 pukul 19:13

(18)

Berdasarkan data Dewan Pers untuk kategori televisi tersebut, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 15 televisi swasta yang bersiaran secara nasional, yaitu RCTI, MNC TV, Global TV (GTV), INews, SCTV, Indosiar, TVOne, ANTV, Trans TV, Trans 7, RTV, NET., Kompas TV, TVRI, dan Metro TV. Sebagian besar dari televisi swasta tersebut kini berada di dalam lingkaran konglomerasi media, seperti RCTI, MNC TV, Global TV (GTV), dan INews yang berada di bawah naungan MNC Group. SCTV dan Indosiar merupakan bagian bisnis media dari Surya Citra Media Group (EMTEK) yang pada akhir tahun 2018 baru saja mengakuisisi ANTV berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan Kabul Indrawan, wartawan Metro TV. Sedangkan Trans TV dan Trans 7 berada dalam satu naungan milik Trans Media. Untuk Kompas TV, merupakan televisi swasta yang di bangun oleh Kompas Group, dan Metro TV merupakan perluasan bisnis media yang berada dalam naungan Media Group.

Hakikat stasiun televisi swasta yang menggantungkan rotasi kehidupannya pada pengiklan, menciptakan adanya standar bagi sebuah program televisi, yakni rating dan audience share. Menurut Ishadi SK dalam bukunya yang berjudul Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto (2014:22), “Buat stasiun televisi swasta, adanya perhitungan rating dan audience share menjadi sangat strategis karena segera akan diketahui potensi iklan yang akan terpasang, serta posisi sebuah stasiun televisi terhadap pesaingnya.” Ia juga mengatakan bahwa, “Sistem ini menyebabkan semua kegiatan di industri televisi terbagi dalam angka-angka yang menyebabkan program televisi dijualbelikan seperti komoditas.”

(19)

Logika bisnis ini menjadikan industri media, khususnya televisi, perlahan meninggalkan fungsi sosialnya, dan berjalan kearah motif profit. Dengan pendapatan yang besar dan pengaruh yang luas, disertai dengan tingginya pemain dalam industri media televisi, menciptakan suatu situasi kompetitif antar media televisi. Hal ini menyebabkan berlakunya ‘hukum rimba’ dalam industri media yang pada akhirnya menciptakan konglomerasi media seperti yang saat ini terjadi. Menurut Yanuar Nugroho dkk dalam penelitiannya yang berjudul Memetakan Lanskap Media Kontemporer di Indonesia (2012:2), “Konglomerasi menjadi ciri perkembangan industri media di Indonesia, membuat khalayak menjadi hanya sekadar konsumen, bukan warga negara yang memiliki sejumlah hak terhadap media.”

Dengan begitu, pers di Indonesia yang pada awalnya, berada di dalam pengaruh state regulations, yang mana kontrol pemerintah terhadap media televisi begitu kuat. Kini, justru bergerak kearah market regulations, yang lebih cenderung dikuasai oleh keinginan pasar atau mengikuti tren yang berkembang di masyarakat, sekalipun keinginan pasar atau tren yang berkembang seringkali bertabrakan dengan budaya atau melanggar kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, khususnya kaidah-kaidah jurnalistik.

Di sisi lain, Yanuar Nugroho dkk (2012 : 48) juga menyatakan, “Gagasan tentang ‘kebutuhan’ sendiri cukup problematis karena sangat mudah disalahartikan sebagai ‘keinginan’: tidak semua yang diinginkan adalah yang dibutuhkan. Tetapi, bisnis termasuk media, beroperasi tepat di logika

‘merekayasa keinginan manusia’ dan mengartikannya sebagai ‘kebutuhan

(20)

manusia’.” Dengan kata lain, kemampuan ‘merekayasa keinginan’ menjadi suatu

‘kebutuhan’ ini membuat media televisi nampak ‘perkasa’ bagi masyarakat.

Dengan begitu, media mampu merekayasa kontennya untuk menggiring pola pikir masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh suatu media televisi tersebut.

Hasilnya, media televisi tidak hanya memberikan profit semata, namun suatu kondisi politis. Dikutip dalam penelitian Puji Rianto dkk dalam Kepemilikan dan Intervensi Siaran (2014:136), “Kepemilikan media juga berarti menggenggam kekuasaan yang sangat besar karena kemampuannya dalam membentuk opini publik, citra-citra dan membangun suatu wacana tertentu.”

Kemampuan inilah, yang mendorong para politikus untuk bergantung pada media televisi dalam membentuk citranya kepada masyarakat, seperti yang dilakukan pada saat era Orde Baru.

Hal serupa pun terjadi saat ini, namun yang berbeda adalah, kini para pemilik media justru melibatkan dirinya dalam kegiatan politik, seperti Hary Tanoesoedibjo sebagai pemilik RCTI, MNC TV, INews, dan Global TV yang menjabat sebagai ketua umum partai Perindo. Aburizal Bakrie pemilik TVOne yang menjabat sebagai ketua dewan pembina partai Golkar, serta Surya Paloh yang memiliki Metro TV juga menjabat sebagai ketua umum partai Nasdem.

Keadaan tersebut semakin menunjukkan kontestasi ekonomi dan kontestasi politik yang menguat dalam industri media televisi, atau lebih khususnya dalam bidang jurnalisme media televisi yang dinaunginya tersebut.

(21)

Pengaruh yang diakibatkan dari terjunnya seorang pemilik media ke dalam dunia politik adalah munculnya sifat partisan dan bias dalam menyiarkan kontennya, seperti melalui iklan-iklan politik, talkshow, kuis dan sebagainya, yang dikutip dalam penelitian yang ditulis oleh Puji Rianto dkk, yang berjudul Kepemilikan dan Intervensi Siaran (2014:137), “...Para pemilik menggunakan media mereka dengan iklan, blocking time, talkshow, dan juga breaking news, para kandidat ini juga masuk melalui liputan-liputan infotainment dan program acara kuis.”

Pendapat Puji Rianto dkk tersebut dapat dikaitkan dengan salah satu prinsip jurnalistik di dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tentang prinsip ketidakberpihakan (imparsialitas) yang dikutip dalam buku Jurnalistik Televisi Mutakhir (Morrison, 2010:249), bahwa stasiun penyiaran harus menyajikan berita, fakta, dan opini secara objektif dan berimbang. Dalam hal ini, pemimpin redaksi harus memiliki independensi untuk menyajikan berita tanpa memperoleh tekanan dari pemilik media, pengiklan maupun pimpinan. (Morisson, 2010:251)

Sehingga, dengan adanya dominasi pemilik media yang juga berperan sebagai politikus akan memberikan dampak tidak hanya media yang akan dianggap bias dan partisan, tetapi juga awak redaksi yang bekerja di dalamnya akan dipertanyakan mengenai independensinya terhadap profesi seorang jurnalis.

Independensi terhadap profesi wartawan juga tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 1 yang menjelaskan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”

(22)

Dalam penafsirannya, independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Dan yang terakhir, adalah tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.2

Penekanan terhadap wartawan harus mampu bersikap independen terasa sulit untuk dilaksanakan, karena dalam kenyataannya, wartawan dilingkupi oleh 2 kontestasi besar yang saling beradu di dalam arena newsroom, yakni kontestasi ekonomi dan kontestasi politik.

Dalam kontestasi ekonomi, terjadi pada jurnalis dan pemilik media, ditentukan oleh dua faktor dominan, yaitu besarnya bisnis televisi sebagai bagian dari kekuatan ekonomi pemilik, dan kaitan antara berita yang ditulis atau ditayangkan dengan kepentingan pemilik dan iklan yang menghidupi televisi (Ishadi SK, 2014:120). Dalam kontestasi ini, seorang wartawan perlu mempertimbangkan apakah berita yang ditulisnya akan mempengaruhi jumlah iklan yang akan tayang? Dapatkah mendatangkan keuntungan bagi perusahaannya? Dan bagaimana dampak yang ditimbulkan jika berita tersebut disiarkan terhadap media tempatnya bekerja?

2“Kode Etik Jurnalistik” dalam

http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=40:kode-etik-

jurnalistik&catid=30:kode-etik-jurnalistik&Itemid=32 dikutip pada 12 Agustus 2018 pukul 20:07 WIB

(23)

Sedangkan, dalam kontestasi politik, terjadi antara jurnalis dengan pemilik media yang sebenarnya mengikuti salah satu karakteristik dari mekanisme yang terjadi di ruang pemberitaan, yaitu proses dan kerja berita di dasarkan pada landasan ideologis. Artinya, nilai dan ideologi para jurnalis menentukan proses peliputan dan pemberitaan (Ishadi SK, 2014:126-127).

Kontestasi ini merujuk pada independensi yang dimiliki oleh seorang wartawan.

Seberapa kuat independensi seorang wartawan ketika berhadapan dengan intervensi di dalam newsroom terhadap penentuan isu peliputan atau pemberitaan yang akan ditayangkan.

Oleh karena itu, kontestasi ekonomi-politik yang melingkupi seorang wartawan berpengaruh langsung terhadap kebebasan pers. Jakob Utama berpendapat (Mathari, 2018:3), “Saya sekadar ingin menunjukkan, kebebasan pers menyangkut persoalan-persoalan lain, masalah pers itu sendiri, relasinya dengan masyarakatnya dan kelompok-kelompoknya. Saya juga berusaha menunjukkan, kemungkinan yang bisa dikembangkan apabila pers ditinjau dari proses komunikasi fungsional untuk masyarakat yang sedang membangun.”

Dengan kata lain, kebebasan pers bukanlah kebebasan mutlak yang dimiliki oleh pers, melainkan bersinggungan dengan persoalan lainnya, baik di dalam pers itu sendiri, seperti hubungan antara wartawan di dalam redaksi, maupun hubungan antara redaksi dengan medianya, hingga hubungan medianya dengan pembacanya maupun khalayaknya.

Hal ini kembali diperjelas oleh Merril dalam buku Suara Pers Suara Siapa? (Utomo, 2018:115) bahwa, “Objektivitas jurnalisme adalah hal yang tidak

(24)

mungkin atau dengan kata lain, mustahil. Dari mulai seleksi isu yang diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang di dasari subjektivitas wartawan dan media.”

Merril menyinggung mengenai framing atau pembingkaian berita yang pada umumnya telah disesuaikan oleh ideologi media itu sendiri. Hal inilah yang menjadi pergesekan antara profesi wartawan yang menuntut kejujuran dan keterusterangan dalam memperoleh dan mempublikasikan berita (Mathari, 2018:21) dengan ideologi media televisi swasta yang memiliki kecenderungan terhadap profit, dan juga kepentingan politis sebagai dampak dari pemilik media- media televisi yang terjun ke dalam ranah politik.

Pendapat Merril tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiati dalam penelitiannya yang berjudul Representasi Berita Politik di Televisi dalam Tinjauan Perspektif Independensi Berita (2018:95) menemukan bahwa, “Dalam ruang redaksi adalah sebuah arena di mana berita politik yang obyektif relatif masih tersingkirkan, karena dominasi kepentinganlah yang memenangkan kelaikkan berita. Rapat dewan redaksi aktornya masih banyak penguasa dan lebih dari itu persepektifnya juga belum memiliki kesadaran obyektifitas yang memadai, sehingga ketika melihat berita politik juga melihatnya dari sudut kepentingan penguasa.”

Hadiati menyinggung adanya perebutan kepentingan dalam redaksi mengenai kelayakan suatu berita politik yang sebagian besar didominasi oleh kepentingan penguasa, dalam hal ini, adalah pemilik media. Di sisi lain, Hadiati mengungkapkan, bahwa awak redaksi memiliki obyektifitas atau independensi

(25)

yang rendah dalam proses produksi pemberitaannya sehingga cenderung melihat suatu berita berdasarkan kepentingan pemiliknya.

Sedangkan, Wahyudi M. Pratopo melalui penelitiannya yang berjudul Komodifikasi Wartawan di Era Konvergensi : Studi Kasus Tempo (2017:129) juga menemukan bahwa, “Terjadi komodifikasi pekerja (wartawan) lewat penambahan jam kerja, upah rendah, kejar target, tugas ganda, kewajiban permasaran dan adaptasi. Bentuk komodifikasi yang terjadi adalah eksploitasi tubuh, eksploitasi ekonomi, eksploitasi waktu luang, dan eksploitasi kemampuan.

Wartawan menerima eksploitasi itu sebagai kewajaran bagi profesinya karena adanya proses mistifikasi, alienasi, naturalisasi, dan reifikasi.”

Wahyudi (2017:138) menjelaskan lebih lanjut mengenai proses mistifikasi, alienasi, naturalisasi, dan reifikasi yang dihadapi oleh wartawan Tempo, yang dimulai dari alienasi yang dialami wartawan terjadi karena beban kerja yang tinggi serta jam kerja yang panjang dan berbeda dengan jam kerja pekerja lain. Mistifikasi terjadi lewat pengembangan makna-makna yang memesona mengenai profesi wartawan. Naturalisasi terjadi ketika wartawan harus melakukan adaptasi terhadap perkembangan industri media maupun teknologi informasi dan komunikasi. Reifikasi terjadi lewat pemaknaan wartawan sebagai profesi khusus yang berbeda dengan pekerja lain.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa, proses konstruksi berita, dalam hal ini berita politik, nyatanya dipengaruhi oleh adanya ideologi media dan wartawannya. Namun, di sisi lain, wartawan sendiri mengalami pergesekkan

(26)

antara independensinya sebagai wartawan dan profesionalitasnya terhadap media.

Seorang wartawan Jerman, Anett Keller telah lebih dulu membahas mengenai independensi wartawan Indonesia melalui empat harian surat kabar terkemuka, yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika yang diterbitkan dengan judul Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional : Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika mengungkap bahwa para wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang masif dari pemilik sehubungan dengan apa yang seharusnya ditulis atau diterbitkan. Sebaliknya, wartawan-wartawan yang paling independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Dengan begitu, hal ini menjadi daya tarik peneliti untuk mengetahui lebih dalam mengenai independensi wartawan Metro TV yang sudah sejak dua tahun terakhir mendapatkan permintaan dari KPI untuk mengutamakan independensinya melalui Evaluasi Tahunan yang dirilis oleh KPI setiap tahunnya.

Permintaan KPI tersebut dapat dikaitkan dengan adanya kepemilikan media yang dipegang oleh Surya Paloh yang juga berperan sebagai politikus dari sebuah partai politik, sehingga berdampak pada arah pemberitaan Metro TV.

Sejalan dengan itu, berdasarkan Hasil Survei Indeks Kualitas Siaran yang dikeluarkan oleh KPI selama 3 periode (Januari-September) 2019 menunjukkan

(27)

bahwa diantara program-program yang dimiliki oleh Metro TV, program berita justru berada dibawah program kebudayaan dan religi.

Hasil tersebut menimbulkan kontradiksi, karena Metro TV dikenal sebagai televisi berita pertama di Indonesia, sehingga memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar terhadap masyarakat Indonesia dalam menyampaikan pemberitaan yang berimbang, akurat dan aktual. Dengan adanya peran ganda yang dimiliki oleh Surya Paloh, Metro TV justru seringkali dipandang sebagai media yang menjaga suatu partai politik.

Untuk itu, dalam penelitian ini menggunakan paradigma kritis dalam mengupas permasalahan penelitian yang berkaitan dengan independensi wartawan di bawah dominasi pemilik media melalui pendekatan kualitatif yang bersandar pada teori Ekonomi-Politik Komunikasi dari Vincent Mosco yang memberikan tiga konsep utama, yaitu Komodifikasi, Spasialisasi, dan Strukturasi. Namun dalam penelitian ini, peneliti akan lebih berfokus pada konsep komodifikasi pekerja (Labor Commodification).

Dalam teori tersebut, Mosco berpendapat bahwa ekonomi politik adalah kajian dari hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling membentuk produksi, distribusi dan konsumsi dari sumber daya, termasuk sumber daya komunikasi.

1.2 Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan oleh peneliti, maka peneliti memutuskan untuk menjadikan Metro TV sebagai tempat penelitian.

(28)

Fokus penelitian akan diarahkan pada independensi wartawan dalam menghadapi dominasi dari pemilik media. Dengan membatasi permasalahan pada pemberitaan-pemberitaan yang bersifat politis, secara khusus yaitu aktivitas partai Nasdem yang dipimpin oleh Surya Paloh, yang juga menjadi pemilik dari stasiun televisi Metro TV.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan, maka perumusan pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimana independensi wartawan Metro TV dalam menghadapi dominasi pemilik media?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana independensi seorang wartawan dalam menghadapi dominasi dari pemilik media, khususnya dalam bentuk pemberitaan yang berkaitan dengan partai politik yang dimiliki oleh Surya Paloh, yakni partai Nasional Demokrat (NasDem) di dalam pemberitaan Metro TV.

(29)

1.5 Signifikansi Penelitian 1.5.1 Signifikansi Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam bidang jurnalistik berkaitan dengan independensi wartawan.

1.5.2 Signifikansi Praktis

Dengan adanya hubungan politik dan ekonomi dalam industri media, khususnya Metro TV, penelitian ini bisa bermanfaat bagi pemilik media dalam menggunakan kekuasaannya dengan tetap menjaga netralitas media yang dinaunginya.

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kajian Pustaka – Penelitian Sejenis

Di dalam penelitian ini, peneliti memaparkan dua penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti mengenai kajian ekonomi-politik media.

Pertama, penelitian milik Anett Keller yang berjudul “Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional : Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika” merupakan tesisnya dalam menempuh gelar Master di Universitas Diponegoro pada tahun 2004 yang kemudian dibukukan oleh Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office pada tahun 2009. Dalam penelitian Anett Keller berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana otonomi redaksi dalam media massa di Indonesia dijalankan dengan mengacu pada istilah dualisme kebebasan pers : pertama, sebagai bentuk hak asasi yang dijamin Undang-Undang Dasar (UUD) dan kedua yang penerapannya diterapkan dalam bentuk perusahaan media –yang umumnya swasta. Penelitian dilakukan di empat harian pagi nasional Indonesia, yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika. Hasil yang diperoleh dari pengamatan lapangan mengenai kerja redaksi dan wawancara kepada pihak terkait menunjukkan, bahwa para wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang masif dari pemilik sehubungan dengan apa yang seharusnya ditulis atau diterbitkan. Sebaliknya,

(31)

wartawan-wartawan yang paling independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Sedangkan, penelitian kedua milik Garnis Geani yang berasal dari Universitas Indonesia (UI) yang berjudul “Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)” yang menjelaskan pemaknaan yang dikaitkan dengan faktor-faktor socio-kultural para reporter Metro TV dalam melakukan tugasnya yang mengacu pada profesionalisme jurnalisme dan independensi Metro TV. Garnis Geani menggunakan pendekatan kualitatif dengan merujuk pada teori resepsi atau teori penerimaan dari Stuart Hall (1993) melalui metode Snowball Sampling dan wawancara. Hasilnya, Garnis Geani menyimpulkan dalam penelitiannya berjudul “Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)”, bahwa tidak semua reporter dapat memaknai arti profesionalisme dan independensi jurnalisme.

Dari kedua penelitian yang telah dipaparkan, dapat ditemukan adanya persamaan dan perbedaan antara penelitian yang sedang diteliti saat ini yang berjudul “Independensi Wartawan di Bawah Dominasi Pemilik Media (Studi Kasus Wartawan Metro TV)” dengan kedua penelitian sebelumnya. Persamaan antara ketiga penelitian ini adalah kajian mengenai kebebasan pers yang terjadi dalam industri media yang secara khusus mengarah pada wartawan dalam media- media swasta.

(32)

Sedangkan untuk perbedaan dalam kedua penelitian terdahulu dengan yang sedang peneliti terletak pada beberapa hal. Dalam penelitian Garnis Geani yang berjudul “Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)” menekankan pada pemaknaan profesionalisme di kalangan wartawan Metro TV, sedangkan dalam penelitian milik Anett Keller yang berjudul “Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional : Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika”, perbedaan tersebut terletak pada objek yang dikaji yang menggunakan media cetak di empat harian pagi nasional.

Penelitian Sejenis

Katergori Peneliti 1 Peneliti 2 Peneliti 3

Nama Peneliti Anett Keller Garnis Geani Vinny Chairany

Lembaga &

Konsenterasi

Freidrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office

Universitas Indonesia – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Sarjana Reguler Ilmu Komunikasi

Universitas Prof.

Dr. Moestopo (Beragama) – Fakultas Ilmu Komunikasi

Tahun 2009 2014 2018

Judul Penelitian

Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional : Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika

Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)

Independensi

Wartawan di Bawah Dominasi Pemilik Media (Studi Kasus Wartawan Metro TV)

Tujuan Untuk mengetahui Untuk Untuk mengetahui

(33)

Penelitian bagaimana otonomi redaksi dalam media massa Indonesia yang mengacu pada istilah dualisme kebebasan pers di empat harian pagi nasional

Indonesia, yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika.

mengetahui pemaknaan dikaitkan dengan faktor-faktor socio-kultural para reporter Metro TV dalam melakukan tugasnya yang mengacu pada profesionalisme jurnalisme dan independensi Metro TV.

bagaimana independensi seorang wartawan dalam menghadapi dominasi dari pemilik, khusus dalam pemberitaan yang memiliki kepentingan pribadi.

Pendekatan

Penelitian Pendekatan kualitatif Pendekatan kualitatif

Pendekatan kualitatif Teori Teori-teori tentang

ekonomi media

Teori resepsi atau teori penerimaan dari Stuart Hall (1993)

Teori ekonomi – politik media dari Vincent Mosco

Metode Penelitian

Wawancara semi- terstruktur, dan pengamatan

lapangan/partisipasif

Metode Snowball Sampling dan wawancara

Metode studi kasus

Kesimpulan

Wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang masif dari pemilik sehubungan dengan apa yang seharusnya ditulis atau diterbitkan.

Sebaliknya,

wartawan-wartawan yang paling

independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Tidak semua reporter dapat memaknai arti profesionalisme dan independensi jurnalisme.

(34)

2.2 Kerangka Konsep dan Teori 2.2.1 Kerangka Konsep 2.2.1.1 Independensi Jurnalisme

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menyampaikan kepada seluruh wartawan di Indonesia, agar menjaga independensi dalam pemberitaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018.3

Himbauan yang dilakukan oleh organisasi PWI yang dilaporkan oleh media online Republika ini berkaitan dengan banyaknya keluhan mengenai pemberitaan-pemberitaan yang bersifat tendensius mengenai pilkada, khususnya pilkada DKI Jakarta. Di tahun 2017 lalu, pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu contoh, bagaimana media-media saling bertarung membawa idealoginya masing-masing dalam mendukung kandidat pasangan calon gubernur DKI Jakarta. Akibatnya, masyarakat diterpa dengan beragam informasi yang cenderung tendensius dan tidak berimbang. Isu-isu yang dilemparkan ke publik pun merupakan isu-isu yang sensitif, seperti SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang mengeksploitasi unsur agama dan ras.

Dikutip dalam laman liputan6.com, "Di Indonesia sendiri, politik kebencian mengeksploitasi sentimen agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara. Mereka membenci yang dianggap berbeda, antara lain mereka yang dituduh anti-Islam, anti-nasionalis, separatis, anti-

3“PWI Minta Wartawan Jaga Independensi pada Tahun Politik” dalam

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/01/21/p2wogd348-pwi-minta-wartawan-jaga- independensi-pada-tahun-politik dikutip pada 01 Oktober 2018 pukul 14:43 WIB

(35)

pembangunan atau Komunis," kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.4

Penggunaan isu SARA dalam pertentangan politik biasa terjadi sebagai pembentukan identitas. Hal ini dikarenakan, Indonesia merupakan sebuah negara multietnik yang tidak lepas dari stereotipe yang melekat pada suku-suku tersebut, sehingga menimbulkan adanya sifat pengotak-pengotakan di dalam masyarakat. Pada akhirnya ini menjadi celah bagi para aktor politik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Paramita dalam bukunya

“Menjejal Jakarta” (2018:5) menjelaskan bahwa, “Etnik dan agama –serta prasangka yang mengikutinya– seringkali diperam sebagai daya ungkit menyebar kebencian.”

Keadaan tersebut akhirnya semakin keruh, manakala media turut berperan dalam memainkan isu-isu tersebut, yang tentunya sudah disesuaikan dengan ideologi – ideologi yang dimiliki oleh media tersebut. Dengan begitu, masyarakat akan terpolarisasi ke dalam kelompok – kelompok tertentu.

Menurut Lenin dalam buku “Menjejal Jakarta” (Paramita, 2018:16- 17) menjelaskan, “Propaganda merupakan penggunaan argumen-argumen filosofis, sejarah, dan ilmu pengetahuan dengan cara persuasif untuk memengaruhi kaum terdidik dan yang berpikiran sehat. Sementara agitasi adalah penggunaan slogan-slogan emosional, parabel-parabel, dan kebenaran yang diungkap sebagian untuk memengaruhi kaum yang tidak terdidik, kaum yang agak terdidik, dan yang tidak berpikiran sehat.” Melalui langkah inilah,

4 “Amnesty International : 2017, Indonesia Alami Tahun Politik Kebencian” dalam

https://www.liputan6.com/news/read/3311902/amnesty-international-2017-indonesia-alami-tahun- politik-kebencian dikutip pada 02 Oktober 2018 pukul 22:34

(36)

media mencoba untuk memanfaatkan polarisasi yang terbentuk di dalam masyarakat dengan pemberitaan-pemberitaan yang mendukung ideologi yang dimiliki oleh masyarakat, yang sebenarnya telah dibentuk oleh media itu sendiri.

Herman dan Chomsky dalam Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Nugroho, 2012:14) juga membahas isu ini.

Sebagai sebuah perantara antara ranah privat dan publik, media membentuk sebuah sarana yang ampuh untuk propaganda dikarenakan kemampuan media untuk mengatur opini publik. Meskipun fungsi media tidak semata – mata untuk memproduksi propaganda, namun propaganda merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan layanan media.

Dikutip dalam laporan yang berjudul “Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia” yang ditulis oleh Yanuar Nugroho dkk (2012:48) menjelaskan, “...Konten media telah menjadi sangat tergantung pada rating, yang mencerminkan tidak lebih dari ‘keinginan manusia’ (lebih tepatnya: keinginan yang terekayasa) daripada kebutuhan manusia”.

Dengan kata lain, kemampuan ‘merekayasa keinginan’ menjadi suatu

‘kebutuhan’ ini membuat media, khususnya dalam penelitian ini adalah media televisi nampak ‘perkasa’ bagi masyarakat, karena mampu menggiring opini sesuai dengan ideologi dari media televisi tersebut. Sehingga yang terlihat oleh publik adalah, bahwa media memberikan informasi-informasi yang seolah berpihak kepada publik, namun sebenarnya informasi tersebut

(37)

merupakan hasil dari berbagai pertentangan kepentingan yang terjadi di dalam media tersebut.

Di dalam buku yang berjudul Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto (2014:120), bahwa terdapat dua kepentingan yang beradu di dalam newsroom sebuah media, yakni kontestasi politik dan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi politik, perbenturan antara rasionalitas substansif dan formal sebenarnya merupakan kontestasi antara peluang struktural yang dimainkan oleh para jurnalis televisi dengan entitas idealisme mereka dan para pemilik media sebagai representasi kelas kapitalis yang sarat dengan spirit neoliberalisme.

Pertentangan ideologi di dalam newsroom inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah ideologi media televisi yang nantinya akan disebarluaskan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan media televisi dalam penyebaran ideologi oleh pemilik maupun pihak luar dari media tersebut, seperti aktor politik dan pengiklan seringkali terjadi di industri media, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga diberbagai negara. Hal ini, berdampak juga pada masyarakat yang berubah stastusnya dari warga negara menjadi konsumen, karena penggiringan opini yang dilakukan secara berlebihan.

Contoh dari penggiringan opini tersebut bisa terlihat saat Indonesia memasuki masa-masa pemillihan umum, bagaimana media-media televisi menunjukkan ideologi mereka dengan memihak kepada salah satu kandidat peserta pemilu secara terang-terangan.

(38)

Hal ini, membuat media seolah melupakan dasar dari didirikannya media bahwa, penggunaan media televisi menggunakan frekuensi milik publik, yang mana, media televisi bertanggung jawab atas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan informasi dengan terikat oleh aturan – aturan tertulis dalam undang-undang untuk menyampaikan sebuah informasi, seperti UU No. 40 tahun 1999 mengenai pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Seperti yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 1 yang menjelaskan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Dalam penafsirannya, independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Dan yang terakhir, tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.5

Berdasarkan Kode Etik Jurnalistik, independen memiliki arti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa media dilingkupi oleh dua kontestasi besar, yakni kontestasi ekonomi dan politik.

5 “Kode Etik Jurnalistik” dalam

http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=40:kode-etik-

jurnalistik&catid=30:kode-etik-jurnalistik&Itemid=32 dikutip pada 09 Oktober 2018 pukul 18:55 WIB

(39)

Dalam kontestasi ekonomi, terjadi pada jurnalis dan pemilik media, ditentukan oleh dua faktor dominan, yaitu besarnya bisnis televisi sebagai bagian dari kekuatan ekonomi pemilik, dan kaitan antara berita yang ditulis atau ditayangkan dengan kepentingan pemilik dan iklan yang menghidupi televisi. (Ishadi, 2014:120)

Sedangkan dalam kontestasi politik, terjadi antara jurnalis dengan pemilik media yang sebenarnya mengikuti salah satu karakteristik dari mekanisme yang terjadi di ruang pemberitaan, yaitu proses dan kerja berita didasarkan pada landasan ideologis. (Ishadi, 2014:126-127)

Adanya campur tangan pemilik terhadap medianya secara tidak langsung mempengaruhi independensi seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dikarenakan, jurnalisme adalah paham tentang kegiatan jurnalistik yang meliputi: mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan media.

Menurut Siregar (Kompas, 21 Juli 2013), dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik, terdapat prinsip independensi dan netralitas yang harus ditegakkan. (Dewan Pers, 2014:5)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anett Keller yang berjudul Tantangan dari Dalam mengenai independensi dan otonomi redaksi di empat surat kabar besar di Indonesia, yakni Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, dan Republika menyatakan, bahwa para wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang masif dari pemilik media sehubungan dengan apa

(40)

yang seharusnya ditulis atau diterbitkan. Sebaliknya, wartawan-wartawan yang paling independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Meskipun, penelitian yang dilakukan oleh Anett Keller hanya berputar pada media cetak, namun penelitian ini bisa menjadi acuan dalam perkembangan jurnalistik di Indonesia. Maka dari itu, bila melihat kepemilikan media di Indonesia saat ini, khususnya media televisi yang lebih banyak didominasi oleh pengusaha yang juga beberapa diantaranya terjun dalam dunia politik semakin semakin mempengaruhi tingkat independensi sebuah media, khususnya wartawan.

Hal ini kembali diperkuat dengan temuan yang dikutip dalam Jurnal Dewan Pers edisi no. 9, Juni 2014 yang berjudul Mengungkap Independensi Media menemukan hasil media baik itu televisi, surat kabar, maupun berita online yang pemiliknya memiliki kaitan dengan aktivitas partai politik, terlebih lagi berkeinginan menjadi presiden atau wakil presiden, memiliki kecenderungan tidak independen dan netral dalam pemberitaan politik.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Puji Rianto dkk menjelaskan mengenai bentuk-bentuk sentuhan para pemilik media, “...meminjam istilah anggota Komisioner KPI bidang Isi Siaran, Agatha Lily, yang sangat kreatif. Para pemilik menggunakan media mereka dengan iklan, blocking time, talkshow, dan juga breaking news, para kandidat ini juga masuk melalui liputan-liputan infotainment dan program acara kuis.”

(41)

Beberapa contoh, kepemilikan media yang dipegang oleh pengusaha sekaligus politikus adalah Hary Tanoesoedibjo sebagai pemilik RCTI, MNC TV dan Global TV menjabat sebagai ketua umum partai Perindo, Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV menjabat sebagai ketua dewan pembina partai Golkar, serta Surya Paloh yang memiliki Metro TV merupakan ketua umum dari partai Nasdem.

Dengan menyadari bahwa kepemilikan media dikuasai oleh seorang politikus, maka media tersebut tidak hanya berpaku pada logika ekonomi yang menguntungkan dari segi profit, tetapi juga logika politis yang merujuk pada pencitraan partai politiknya seperti yang telah disebutkan oleh Puji Rianto dan kawan-kawannya dalam penelitiannya tersebut. Keberpihakan media-media tersebut pada akhirnya mengorbankan independensi yang dimiliki oleh media, khususnya para wartawan dalam melakukan liputannya.

Hal ini juga berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi wartawan ketika wartawan tersebut dengan terang-terangan menunjukkan keberpihakannya. Perusahaan komunikasi Edelman, menemukan kepercayaan orang kepada media di Australia sekarang peringkat kedua terendah dari 28 negara yang disurvei. Orang Turki berada di tingkat terendah. Menurut survei tahun 2018 itu, sekitar tujuh dari 10 orang Australia khwatir tentang penyebaran isu informasi palsu dan ‘berita palsu’ sedang digunakan sebagai senjata menyesatkan dan mempengaruhi opini publik.6

6“Orang Australia Tidak Percaya Pada Media, Tapi Masih Menghargai Jurnalisme” dalam

http://www.abc.net.au/indonesian/2018-09-10/australia-hilang-kepercayaan-pada-media-tidak-pada- jurnalisme/10223568 dikutip pada 09 Oktober 2018 pukul 21:10

(42)

Gambar 2.1

Tingkat Kepercayaan terhadap Media di Indonesia

Dari studi Edelman, sejak 2012 hingga 2018, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media memperlihatkan tren yang menurun. Pada 2013, tingkat kepercayaan terhadap media memang sempat meningkat dari 68 persen di 2012 menjadi 73 persen. Namun, setelahnya, menurun bahkan mencapai 63 persen di 2016.7 Sedangkan pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 67 persen, dan ditahun 2018 tingkat kepercayaan terhadap media meningkat 1 persen, menjadi 68 persen.

Gambar 2.2

Tingkat Kepercayaan terhadap Media berdasarkan Jenisnya

7“Hoaks dan Bahaya Rendahnya Kepercayaan terhadap Media” dalam https://tirto.id/hoaks-dan- bahaya-rendahnya-kepercayaan-terhadap-media-cKAx dikutip pada 09 Oktober 2018 pukul 21:48

(43)

Bila dilihat berdasarkan jenisnya, kepercayaan masyarakat menunjukkan tren yang menurun untuk media sosial dan tradisional, sedangkan mesin pencari online dan media online menunjukkan tren yang meningkat. Seperti yang terlihat dalam grafik diatas, tingkat kepercayaan terhadap mesin pencari online pada tahun 2014 mencapai angka 80 persen, namun ditahun 2015 dan 2016 menunjukkan penurunan masing-masing menyentuh angka 80 persen dan 75 persen, sedangkan pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan hingga mencapai angka 83 persen.

Untuk tingkat kepercayaan terhadap media tradisional seperti media cetak dan televisi menunjukkan tren yang menurun. Pada tahun 2014, media tradisional berada pada tingkat 77 persen. Untuk tahun 2015 dan 2016 berturut-turut menyentuh angka 72 persen dan 70 persen. Sedangkan pada tahun 2017, mengalami peningkatan hingga mencapai angka 75 persen.

Media sosial menunjukkan tren yang juga menurun mengenai tingkat kepercayaan terhadap media, yang mana, pada tahun 2014, media sosial berada dalam angka 69 persen. Di tahun 2015 mengalami peningkatan hingga menyentuh angka 72 persen. Sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan hingga mencapai 63 persen, dan tahun 2017, media sosial mengalami peningkatan hingga mencapai 67 persen.

Sedangkan untuk media online justru mengalami tren yang meningkat sama halnya dengan mesin pencari online. Di tahun 2014, tingkat kepercayaan terhadap media online berada pada angka 72 persen. Pada tahun 2015, mengalami penurunan sehingga menyentuh angka 69 persen. Namun,

(44)

pada tahun 2016 dan tahun 2017 mengalami peningkatan berturut-turut mencapai angka 69 persen dan 76 persen.

Meskipun begitu,merujuk pada Edelman Trust Barometer Global Report 2018, masyarakat Indonesia masih mempercayai institusi media sebagai sumber informasinya yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menempati urutan nomor dua dengan tingkap kepercayaan masyarakat terhadap media, setelah China, dan posisi ketiga ditempati oleh India, sedangkan posisi terakhir di tempati oleh Australia dan Turki.8

Dengan tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media, khususnya media televisi, sudah seharusnya tidak mengabaikan prinsip independensi jurnalisme dalam hal menyampaikan informasi. Meskipun, audiens memiliki kuasa dan pengetahuan untuk menonton tayangan apa yang layak disaksikan. Meski hanya duduk saja, tidak berarti audiens berada dalam posisi pasif. Ketika proses menonton, audiens mengurai kode (decoding) pesan dan memaknai teks berdasarkan frame of reference dan field of experience yang dimiliki. (Utomo, 2018:6)

Sehingga, audiens memiliki pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam menilai suatu informasi yang diberikan oleh media televisi, khususnya dalam bentuk pemberitaan. Namun, apabila media televisi, khususnya pemberitaan, memberikan informasi-informasi yang tidak independen dan bersifat tendensius secara terus-menerus, maka masyarakat akan cenderung

8 2018 Edelman Trust Barometer Global Report With Talk Track_ with market wording

(45)

sulit menemukan informasi maupun berita yang benar, yang akhirnya berujung pada kepercayaan masyarakat terhadap media yang menurun.

2.2.1.2 Jurnalisme Televisi

Menurut Peter Herford dalam buku “Jurnalistik Televisi Mutakhir”

(2010:2) menjelaskan :

“Setiap stasiun televisi dapat menayangkan berbagai program hiburan seperti film, musik, kuis, talk show, dan sebagainya, tetapi siaran berita merupakan program yang mengidentifikasikan suatu stasiun TV kepada pemirsanya.”

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa program berita merupakan karakteristik yang harus dimiliki oleh stasiun televisi. Adanya program berita televisi juga merupakan bentuk tanggung jawab media televisi terhadap masyarakatnya dengan menyampaikan beragam informasi yang bermanfaat, dikarenakan penggunaan frekuensi siaran milik publik.

Fakta bahwa media televisi bisa dilihat sebagai sumber informasi dan juga sumber hiburan di waktu luang (leisure pleasure) konsisten dengan pandangan dimana materi hiburan juga bersifat informasional, dan bahwa program-program informasional dikonstruksi dengan cara tertentu sehingga menyenangkan untuk ditonton. (Burton, 2011:81)

Sehingga dapat dikatakan, bahwa media televisi tidak hanya memberikan informasi dalam bentuk pemberitaan, namun juga dalam program hiburan sekalipun dapat ditemukan sebuah informasi.

(46)

Oleh karena itu, program berita membutuhkan reporter atau jurnalis untuk menjalankannya, maka dari sini muncul jurnalistik televisi sebagai salah satu cabang ilmu di bidang komunikasi. Pada hakikatnya jurnalistik televisi lahir karena perkembangan teknologi dalam mengirim suara dan gambar. (Morrisan, 2010:2)

Graeme dalam bukunya Membincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisi (2011:165-166) berpendapat, berita juga menjadi objek perhatian khusus tentang dunia yang ia jual kepada kita sebagai satu-satunya pandangan yang layak untuk dianut. Ini menjadikan berita sebagai sebuah operasi ideologis, yang hadir karena ia menjalankan sepilihan pandangan tetang politik, ekonomi, masyarakat –pendek kata, sebuah pandangan kekuasaan.

Sedangkan menurut Morrisan (2010:8), berita adalah informasi yang penting dan/atau menarik bagi khalayak audien.

Penyajian berita pada media televisi antara suara dan gambar yang muncul harus seiring sejalan (sinkron) dan masalah sinkronisasi ini merupakan hal yang mutlak. (Morrisan, 2010:5)

Mutlaknya masalah sinkronisasi ini berdampak pada penyampaian pesan dan kredibilitas dari suatu media. Hal ini dikarenakan, apabila suatu berita tidak memberikan gambaran yang mewakilkan narasi berita yang sedang dibacakan, maka khalayak akan cenderung tidak memahami isi pesan yang disampaikan dan berujung pada ketidakpercayaan terhadap program berita tersebut.

(47)

Oleh karena itu Morrisan dalam bukunya Jurnalistik Televisi Mutakhir (2010:8-10) menuturkan informasi yang dapat dipilih sebagai suatu berita harus memenuhi dua aspek, yaitu :

1. Aspek Penting

Suatu informasi dikatakan penting jika informasi itu memberikan pengaruh atau memiliki dampak kepada penonton. Ada sejumlah patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berita seperti apa yang memiliki dampak paling besar, yakni :

a. Nyawa manusia. Berita yang paling kuat adalah berita yang memberikan informasi kepada penonton bahwa nyawa orang atau sekelompok terancam, seperti pemboman, bencana alam, atau kerusuhan massa.

b. Uang. Berita yang memiliki pengaruh terhadap kondisi keuangan masyarakat adalah berita yang sangat penting. Uang membuat dunia berputar, seperti halnya kenaikan harga BBM.

c. Gangguan. Penonton juga akan terpengaruh dengan berita tentang hal-hal yang mengganggu pikiran dan aktivitas kehidupan mereka. Pengertian gangguan juga mencakup gangguan terhadap perasaan masyarakat, seperti kekurangan air, demonstrasi yang mengganggu lalu lintas, dan sebagainya.

2. Aspek Menarik

Berita yang menarik adalah jika informasi yang disampaikan itu mampu membangkitkan rasa kagum, lucu/humor atau informasi mengenai pilihan hidup dan informasi mengenai sesuatu atau seseorang yang bersifat unik dan/atau aneh. Perbedaan ‘aneh’ dan ‘unik’ terletak pada apakah sesuatu itu dapat ditiru atau tidak. Sifat atau keadaan ‘aneh’

menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak dapat ditiru, namun ‘unik’ justru merupakan sesuatu yang dapat ditiru.

(48)

2.2.1.2.1 Format Berita

Stasiun televisi merupakan tempat kerja yang sangat kompleks yang melibatkan banyak orang dengan berbagai jenis keahlian. Juru kameran, editor gambar, reporter, ahli grafis dan staf operasional lainnya harus saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam upaya untuk menghasilkan siaran yang sebaik mungkin. Suatu berita dapat disajikan dalam beberapa bentuk (Morrisan, 2010:34-40), yaitu :

a. Reader. Presenter di studio hanya membaca isi berita tanpa ada gambar pendukung. Format seperti ini biasanya hanya digunakan jika sebuah berita penting terjadi pada saat program berita masih

‘on air’.

b. Voice Over (VO). Format VO menyajikan video atau gambar pendek (durasi sekitar satu menit) yang diiringin dengan kata-kata penyiar. Format ini digunakan untuk menceritakan sebuah topik dalam waktu yang singkat.

c. Reader SOT. Format berita Reader Sound on Tape (RDR SOT) terdiri dari presenter yang muncul membacakan intro dan kemudian muncul soundbite on tape (SOT) dari narasumber berita.

d. Voice Over-SOT. Format berita ini merupakan gabungan antara format VO dan SOT yang mana VO mengenai peristiwa atau isu yang relevan atau ada kaitannya dengan apa yang diungkapkan dalam SOT.

e. Reader-Grafis. Format berita reader-grafis (RDR-GRF) biasanya digunakan jika sebuah berita penting baru saja terjadi dan stasiun televisi belum mendapatkan akses untuk mengambil gambar dan merekamnya dalam kaset video.

f. Package (PKG). Paket adalah laporan berita lengkap dengan narasi (voice over) yang direkam ke dalam pita kaset. Biasanya rata-rata durasi sebuah paket dalam suatu program berita adalah 1,5 menit hingga 2,5 menit atau bahkan 30 menit untuk laporan khusus.

g. Laporan Langsung (Live Report). Jika suatu peristiwa yang mengandung nilai berita masih berlangsung sementara program berita masih ‘on air’, maka stasiun televisi dapat menyampaikan berita dengan format laporan langsung.

h. Breaking News. Berita yang sangat penting dan harus segera disiarkan, bila memungkinkan bersamaan dengan terjadinya peristiwa tersebut.

(49)

i. Laporan Khusus. Berita dengan format paket, lengkap dengan narasi dan soundbite dan sejumlah narasumber yang memberikan pendapat dan analisis mereka.

2.2.1.3 Wartawan

Ada 3 sebutan yang berbeda untuk sebuah profesi yang sama, yaitu Jurnalis, Wartawan, dan Reporter. Ketiga sebutan ini sebenarnya mempunyai makna yang sama, yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa. Di Indonesia, sebutan wartawan identik dengan mereka yang bekerja di media massa cetak, reporter cenderung digunakan untuk media massa televisi dan radio, sementara sebutan jurnalis (journalist) untuk wartawan asing. Padahal baik wartawan, reporter, maupun jurnalis adalah profesi yang sama. Perbedaan wartawan dengan reporter yaitu, wartawan –dalam bahasa Inggris sering disebut “orang berita” (news person),

“orang pers” (press man), dan “jurnalis” (journalist)– adalah orang yang mewartakan atau memberitakan sebuah peristiwa melalui media massa.

Semua orang yang masuk ke bagian redaksi (editorial department), mulai dari pemimpin redaksi (chief editor) hingga koresponden disebut wartawan.9

Dibawah ini, merupakan urutan tingkatan tertinggi dan terendah untuk menemukan perbedaan wartawan dengan reporter sebagai berikut :

1. Pemimpin Redaksi (Chief Editor). Memimpin tim redaksi dan bertanggung jawab atas keseluruhan pemberitaan.

9PROSES REPORTASE PROGRAM FEATURE DOKUMENTER “WAROENG KERONCONG – RIWAYATMU INI” dalamhttp://mahasiswa.dinus.ac.id/docs/skripsi/jurnal/12022.pdf pada 06 November 2018 pukul 22:16

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian kemampuan lompat jauh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Bawang Banjarnegara dominan dalam kategori baik dengan jumlah siswa sebanyak 30 siswa atau

Untuk meningkatkan produktivitas etanol yang disertai dengan kualitas yang tinggi, maka dilakukan percobaan dengan teknik fermentasi dari molases secara kontinyu menggunakan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis statistik dengan ANOVA tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai dalam ransum terhadap

Adapun faktor-faktor yang menjadi kendala dalam Pelaksanaan Program Profil Desa di Desa Dauh Puri Kangin Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar bersumber pada

Untuk proses penyinaran yang sangat lama telah dihasilkan produk terdegradasi yang semakin banyak sehingga produk tersebut dapat menghalangi interaksi antara

Dua jenis pertama juga merupakan produk dari penyulingan bahan bakar fosil sehingga juga tergantung pada cadangan minyak bumi, sedangkan methanol (methyl alcohol ) yang

Penelitian dilakukan untukl melihat pengaruh teknologi budi daya kacang hijau yang meliputi sistem tanam (tumpangsari dengan jagung pada berbagai jarak tanam dan

Intensitas serangan hama wereng hijau dengan pemberian kompos gulma siam dan pupuk lainnya tidak menunjukkan berbeda nyata, tetapi tanaman cabai tidak menunjukkan