• Tidak ada hasil yang ditemukan

Independensi Wartawan dan Dominasi Penguasa

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

F. Independensi Wartawan dan Dominasi Penguasa

Dalam wawancara yang dilakukan peneliti kepada ketiga informan, peneliti menemukan adanya kesamaan perspektif terhadap Metro TV saat memutuskan untuk menjadi wartawan di televisi tersebut, yaitu

keberadaan Metro TV yang memilih untuk memfokuskan dirinya pada dunia pemberitaan di saat itu, sehingga kemunculan Metro TV sebagai stasiun televisi berita pertama di Indonesia, dianggap prestise.

Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai permasalahan mulai melingkupi Metro TV, seperti permasalahan independensi Metro TV dalam pemberitaannya dan kedekatan Metro TV terhadap partai politik.

Hal ini dapat dikaitkan dengan evaluasi tahunan KPI selama 2 tahun berturut-turut yang meminta Metro TV untuk mampu bersikap independen dan berimbang, meskipun berdasarkan Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran TV, Metro TV telah mencapai standar yang telah ditetapkan oleh KPI.

Oleh karena itu, peneliti pun mewawancarai ketiga informan mengenai wartawan Metro TV dan hubungan wartawan dengan pemilik medianya, Surya Paloh, yang juga merupakan seorang politikus.

Menurut Kabul Indrawan, Surya Paloh tidak memberikan instruksi apapun terkait perannya sebagai seorang politikus terhadap Metro TV, kecuali yang berkaitan dengan pembiayaan dalam Metro TV.

“...Bahwa ia punya pembiayaan apa dengan Metro ya iya, tapi bahwa Surya Paloh memberikan instruksi, tidak.” –Kabul Indrawan

Demikian juga, dengan Yunanto Hariandja yang menyanggah dengan tegas adanya keterlibatan Surya Paloh di dalam redaksi Metro TV. Ia berpendapat, bahwa Metro TV merupakan entitas bisnis yang menggantungkan rotasi kehidupannya pada hasil bisnisnya. Sehingga berbeda dengan entitas politik yang dijalani oleh pemilik medianya

tersebut. Dengan begitu, Metro TV dikelola oleh orang – orang yang profesional yang terpisah dari politikus.

“Engga ada. Surya Paloh itu tidak pernah perintah-perintah Metro. Ini profesional. Metro ini profesional. Gak ada perintah. Gak ada. Surya Paloh itu dalam jajaran direksi, tidak ikut dalam apapun dalam Metro TV ini. karena dia ketua umum partai, tidak boleh menjabat apapun di institusi media. Jadi, kalau anda mau bilang, ada keterlibatan? Gak ada. Termasuk keluarganya, tidak pernah ada intervensi di Metro TV ini. Ini entitas bisnis. Itu yang harus ditekankan. Entitas bisnis yang harus dihidupkan oleh hasil bisnisnya sendiri.”

Sedangkan, Iswahyudi sendiri, memiliki pendapat yang berbeda.

Menurutnya, keterlibatan Surya Paloh terhadap Metro TV dalam bentuk instruksi, tidak ada. Namun, ia mengungkapkan bahwa memang ada keterlibatan Surya Paloh terhadap bisnis medianya tersebut, walaupun dengan intensitas rendah.

“...jarang sekali seorang Surya Paloh itu memberikan instruksi terkait suatu pemberitaan, enggak. Ibaratnya saya disini, dari tahun 2002 sampai sekarang. Itu bisa dibilang, bisa dihitung dengan jari lah. Hal-hal yang sifatnya seperti itu. Ada memang, tapi tidak terlalu sering.

Paling cuma dua atau tiga kali. Dan itu memang sifatnya udah, yang menurut dia udah cukup misalkan kayak sebuah informasi ‘udahlah, jangan terlalu banyak’ palingan cuma kayak gitu aja.”

Di sisi lain, Metro TV yang berterus terang menunjukkan keberpihakannya kepada petahana Joko Widodo menuai pendapat berbeda dari ketiga narasumber terkait dengan liputan-liputan yang bersifat legitimasi terhadap pasangan Jokowi – Ma’ruf.

Sebelumnya, Kabul Indrawan sudah menjelaskan mengenai hubungan antara Jokowi – Ma’ruf dan Metro TV, yang mana ditegaskan sebagai editorial policy. Menurutnya, liputan – liputan yang berkaitan dengan Jokowi – Ma’ruf merupakan sebuah informasi daripada perintah atau

instruksi, sekalipun di dalam tim TKN terdapat mantan – mantan petinggi yang memiliki keterikatan dengan Metro TV.

“...Kalau informasi sih sering ya. Tolong dalam bentuk informasi sih iya, bukan dalam arti perintah, ‘eh, tolong dong. Lu ambil ya!’ dari mereka ga ada.”

Kabul juga menekankan, bahwa informasi yang diberikan kepada redaksi tersebut masih perlu untuk dipertimbangkan kembali.

Untuk Iswahyudi, liputan mengenai pasangan Jokowi – Ma’ruf sendiri merupakan inisiatif, karena adanya kesamaan visi antara Metro TV dan petahana Jokowi.

“Oh itu, kalo permintaan jarang ya. Biasanya inisiatif datang dari kita, ya. Karena kesamaan visi itu.”

Sedangkan untuk Yunanto, banyaknya liputan mengenai legitimasi pasangan Jokowi – Ma’ruf merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam industri media. Sehingga, dirinya menganggap tidak ada kesalahan dengan hal tersebut, sebagai berikut :

“Kenapa sebuah institusi itu memberikan sebuah dukungan kepada orang lain? Karena dia dalam...kembali lagi ke dalam perspektif supaya dia, yang benar itu benar. Dukungan itu adalah dukungan yang diberikan untuk kebenaran, bukan untuk dukungan yang membabi buta.”

Yunanto juga menjelaskan lebih jauh mengenai konsep dukungan untuk kebenaran, sebagai berikut :

“Kami memberikan dukungan kepada Jokowi untuk kebenaran. Kami memberikan dukungan kepada Prabowo juga untuk kebenaran, itu.

Kalau anda, mengatakan, loh, engga, pemberitaan kita lebih banyak ke Jokowi. Jokowi adalah orang yang sudah melakukan kegiatan di negeri ini. Tentu lebih banyak ekspos terhadap dia, apa keberhasilan dia, bukan berarti juga, ketidakberhasilan itu, tidak dimuncul dalam pemberitaan kita, kita munculkan, masih ada yang belum berhasil.

Prabowo, kita memberikan kritikan kepada dia terhadap kampanye-kampanyenya dia, ya, kampanye-kampenyenya tidak positif yang selalu negatif. Kan itukan, kita memberikan dukungan gituloh.

Masyarakat itu diberikan dua-duanya, supaya masyarakat tahu, mana yang betul mana yang tidak betul. Mana yang keliru...”

Jadi, dukungan untuk kebenaran yang dimaksud oleh Yunanto Hariandja ialah menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat, tidak hanya mengandung penilaian positif, tetapi juga mengungkap penilaian negatifnya, sehingga masyarakat diberikan perspektif yang luas.

Ketika peneliti menanyakan adanya intervensi pemilik media dalam redaksi, Iswahyudi melihat, bahwa di dalam redaksi ia memang mengakui bahwa intervensi tersebut memang ada, tetapi masih terbilang wajar.

“Intervensi ada, tapi bisa dibilang, ya...persentasenya masih wajarlah.

Biasanya kayak gitu.”

Untuk bentuk intervensi yang diberikan, Iswahyudi menjelaskan bentuk intervensi yang diberikan, dengan menggunakan perumpamaan, seperti tidak terlalu berlebihan dalam mengambil gambar, kemudian intervensi dalam larangan untuk meliput, yang menurut Metro TV, tidak memiliki nilai berita. Selain itu, ia mengakui, bahwa memang ada budaya paternalistik di dalam Metro TV.

“...bisa dibilang memang ada beberapa budaya itu waktu itu, ada beberapa temen-temen Media Indonesia dan Metro. Tapi itu adalah hal yang biasa. Tapi di Metro, menurut saya masih, ga terlalu, masih bisa di debat. Kayak gitu.”

Sedangkan, untuk Yunanto Hariandja dan Kabul Indrawan menyanggah adanya intervensi yang dilakukan oleh pemilik media terhadap redaksi Metro TV. Keduanya lebih menganggapnya sebagai sebuah informasi maupun usulan yang diberikan kepada redaksi, dan itu pun masih perlu melalui penilaian, apakah informasi tersebut memiliki news judgement yang kuat atau tidak.

Meskipun berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, Metro TV berusaha untuk tetap memenuhi standar jurnalistik yang telah ditetapkan yaitu memperhatikan nilai berita dan pertimbangan berita khususnya dalam berita politik, nyatanya evaluasi tahunan KPI yang selama dua tahun berturut-turut pada tahun 2018 dan tahun 2019, yang meminta Metro TV untuk memperhatikan sisi independensinya.

Kabul Indrawan menanggapi evaluasi KPI tersebut terhadap independensi Metro TV, bahwa apa yang dilakukan oleh KPI merupakan hal yang baik. Namun, ia menjelaskan juga, bahwa tidak ada media yang independen di dunia ini.

“Instruksi KPI tuh bagus, bahwa harus berimbang, harus independen itu bagus. Tapi kembali lagi, kepada pernyataan saya sebelumnya.

Media mana yang independen? Kalo independen itu independen pasti.

Kalo berimbang, independen dan berimbang, itu kan dua hal yang berbeda. Independen itukan kita bersikap di tengah-tengah, gak ke kanan, gak ke kiri. Tapi kan gak ada media di dunia ini yang tidak berpihak pada satu titik.”

Iswahyudi Rachmanto juga memiliki pendapat yang hampir sama dengan Kabul Indrawan. Ia juga menyatakan, bahwa independensi di Metro TV jauh lebih baik dari pada di tempat lain, berdasarkan

preferensi-preferensi yang didapatkan dari teman-temannya. Selain itu, Metro TV masih memberikan ruang debat bagi wartawannya dalam hal informasi yang ingin diangkat.

“Independensi sejauh ini, yang saya dapat juga dari preferensi-preferensi teman-teman saya yang kerja di tempat lain, bisa dibilang jauh lebih baik. Kita tidak pernah sedikitpun mendapatkan tekanan, dalam arti, tekanan yang kalo gak mau, ‘woah, gak bisa lu. Lu harus gitu!’ misalkan. Lebih diyakinkan bahwa apa yang dilakukan dalam sebuah liputan itu sesuai atau tidak sesuai. Kita intinya kayak gitu.

Lebih bebas gitu, bukan sifatnya yang, perintah liput A, terus liput A.

Ada wilayah debat disitu.”

Sedangkan, untuk Yunanto Hariandja sendiri menanggapi berbeda mengenai evaluasi tahunan KPI tersebut. Ia menolak untuk menanggapi pemberitaan KPI tersebut, namun ia membantah bahwa Metro TV tidak independen. Menurutnya, independen bisa ada dua. Yang pertama, independen untuk siapa, dan yang kedua, independen dari siapa.

“...satu, independen untuk siapa? Untuk pemilik partai, untuk pemilik media, atau untuk pemerintah? Independen untuk, sama independen dari. Ada dua nih. Yang kami lakukan adalah independen dari. Kami independen dari pemilik. Kami independen dari partai. Kami tidak dipakai partai ini sebagai alat untuk menyuarakan apapun keinginan – keinginan partai. Based kami tetap, oke, kami tidak bisa bebas betul dari kepentingan partai umpamanya, ya, kami tetap melihat fakta, kalo gak ada fakta disitu ya, ngapain kami beritain? Tapi kalo fakta, ya harus kami diberitakan. Jadi, kebebasan itu bukan diartikan sebagai kebebasan absolut. Oh, kami gak boleh dong, partai. Oh, kami ga boleh dong, untuk kepentingan Surya Paloh. Kami ga boleh dong, untuk kepentingan pemerintah. Kami ini adalah institusi bisnis yang bergerak juga untuk kepentingan ideal dan kepentingan materiil. Kalo semua pemberitaan kami bebas dari kepentingan Surya Paloh, ya gak benar juga. Tapi, tidak juga bebas dari kepentingan Surya Paloh....”

Sehingga, Yunanto menilai bahwa Metro TV memiliki sikap independen dari terhadap pemilik maupun terhadap partai politik.

Meskipun, dirinya mengakui bahwa, Metro TV tidak bebas dari

kepentingan partai, namun hal tersebut dikarenakan adanya fakta yang terkandung di dalamnya.

Selain melihat independensi dari sisi medianya, peneliti juga menanyakan makna independensi bagi ketiga informan tersebut. Menurut Yunanto Hariandja, baginya Independensi yang dianut ialah independen terhadap kebenaran.

“Independensi yang kami anut disini dan yang saya anut itu adalah independen terhadap kebenaran. Tidak ada yang lain. Independensi terhadap kebenaran. Gitu. Yang mana, yang benar. Yang mana, yang tidak benar. Independen disitu. Kita tidak bisa dipengaruhi.

Independensi tidak bisa dipengaruhi oleh kebenaran. Media itu harus independen pada kebenaran. Sudah. Titik disitu. Maka kita tidak akan salah, gitu. Dan Metro TV mengacu terhadap kebenaran itu. Segala sesuatu ya, harus sesuatu yang benar, fakta. Independen terhadap fakta.”

Sedangkan untuk Kabul Indrawan, independensi adalah hal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan.

“...Menurut saya, independen itu ya sudah, kita bekerja dengan koridor yang sudah digariskan. Kita melihat keinginan publik seperti apa. Kita tahu policy editorial seperti apa. Buat saya, itu udah independen. Kalau dalam hal ini, misalnya saya seorang muslim, kemudian saya memberitahukan tentang muslim adalah sesuatu yang buruk. Saya ga independen. Kemudian, saya bisa melawan, itu adalah bentuk independensinya saya. Jadi, menurut saya, yang namanya independen adalah ya, bukan berarti bebas dari tekanan manapun, memang tidak ada tekanan apapun. Siapa yang mau menekan juga?

Tapi bahwa, kita berpihak ya, kita harus berpihak. Itu hanya menunjukkan sikap saja. Kita bersikap di kanan atau di kiri. Di depan atau di belakang. Di atas atau di bawah. Itu sikap aja. Jadi, independen dalam arti bener independen, kita bisa ke sana, bisa ke sini. Itu tidak bisa. Itu namanya tidak principal. Independen tetap harus punya sikap, kalau menurut saya.”

Sedangkan untuk Iswahyudi Rachmanto, menuturkan bahwa independensi ialah menjaga keyakinan yang telah dipegangnya, dalam

hal ini dirinya mengaitkannya dengan Metro TV yang mengacu pada adanya kesamaan visi.

“Independensi, menurut saya, menjaga keyakinan. Kadang ada independensi yang bisa dibilang naif. Memang, yang saklek misalkan, independensi tidak boleh di intervensi si A, independensi tidak bisa di intervensi si B. Tapi gini, kalo menurut saya, independensi ya, mungkin banyak orang berpikir Metro itu jagain partai politik tertentu, padahal bukan menjagai, tetapi karena kesamaan visinya. Jadi, terkesan kayak Metro jagain partai politik tertentu.”

Sehingga, peneliti menyimpulkan, bahwa dominasi yang dimiliki oleh penguasa dalam hal ini adalah pemilik media dan koalisi partai yang diusung mempengaruhi independensi redaksi melalui dua hal, yaitu pertama, editorial policy yang berpihak pada petahana Joko Widodo. Hal tersebut, mendorong wartawan memiliki kesadaran untuk mempertimbangkan informasi – informasi terkait dengan petahana Joko Widodo.

Kedua, pengaruh Surya Paloh sebagai pemilik media. Ketiga narasumber menyanggah adanya intervensi yang dilakukan oleh Surya Paloh, dan lebih menganggap informasi terkait kegiatan pemilik dalam dunia politis merupakan sebuah informasi. Namun, citra Surya Paloh sebagai pemilik media, dan wartawan yang bekerja sebagai pekerja di dalam medianya, menimbulkan kesadaran, bahwa Metro TV tidak bisa bebas untuk kepentingan Surya Paloh.

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

Industri media, khususnya media televisi telah berkembang menjadi bisnis yang semakin menggiurkan di tangan – tangan para pebisnis. Jaringan kekuasaannya tidak hanya merambah pada satu bisnis saja, tapi juga bisnis lainnya. Di Indonesia, media televisi masih menjadi sumber informasi yang paling utama bagi masyarakatnya. Hal ini, dapat terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Nielsen pada bulan Februari tahun 2018 lalu, yang menyatakan bahwa empat generasi (Baby Boomer, X, Milenial, dan Z) masing-masing memiliki persentase diatas 90 persen orang yang masih menonton televisi. Selain itu, total belanja iklan pada tahun 2018 pun, masih didominasi oleh iklan di media televisi. Hal tersebut, menjadikan media televisi memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat.

Kepercayaan itu pun, membuat media televisi menjadi media propaganda ketika Indonesia, memasuki tahun politik, tak terkecuali Metro TV. Dikenal sebagai televisi berita pertama di Indonesia, kini, Metro TV justru terlihat sebagai media pencitraan, karena kedekatannya dengan partai politik. Pergerakan para pebisnis media kearah dunia politik sudah dituliskan oleh Vincent Mosco dalam bukunya yang berjudul The Political Economy of Communication.

Berdasarkan wawancara dengan Herutjahjo Soewardojo, sebagai tenaga ahli Dewan Pers mengatakan melalui emailnya, sebagai berikut :

“Adalah hak konstitusional setiap warga negara untuk terjun ke dunia politik, termasuk pemilik media. Perlu diingat, bahwa pemilik media memiliki kewajiban etik dan hukum bahwa dirinya berkecimpung di dunia bisnis media massa... Dengan demikian, pemilik media tidak bisa menggunakan media yang dimilikinya untuk kepentingan partai politiknya saja. Justru pemilik media berkewajiban untuk menjaga marwah medianya dalam mengemban amanat kepentingan umum itu dengan menjaga agar ruang redaksi (news room)

menjadi ruang yang berdaulat bagi wartawan dan dengan demikian independen.”

Herutjahjo menekankan beberapa pasal terkait dengan terjunnya pemilik media ke dalam ranah politik, yaitu Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers – adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik dan kantor berita serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi. Untuk siapa? Untuk publik atau untuk kepentingan umum.

Selain itu terdapat juga pasal lainnya yang berkaitan dengan independensi wartawan, ketika seorang pemilik media terjun ke dalam ranah politik, yaitu Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyatakan “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk”. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers (garis tebal dari Herutjahjo).

4.4.1 Ekonomi Politik Komunikasi Metro TV

Vincent Mosco menjelaskan, bahwa pendekatan ekonomi politik adalah kajian dari hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang saling membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya, termasuk sumber daya komunikasi (Mosco, 2009). Dengan kata lain, pendeketan ekonomi politik ini berusaha untuk mengidentifikasi subjek yang berperan untuk menggerakkan produksi, pemegang rantai distribusi dan juga subjek yang berperan sebagai konsumen hingga akhirnya menciptakan hubungan antara satu dan lainnya.

Sehingga, dengan menguasai sebuah media, yang mana berperan untuk memproduksi informasi, seseorang dapat menempati posisi-posisi tertentu di dalam industri media dan struktur kekuasaan di dalam masyarakat. Kajian ekonomi politik merupakan kajian yang digunakan untuk memahami bahwa kekuatan ekonomi merupakan dasar bagi kekuatan politik dan ideologi.

Hal ini pun dapat tergambarkan pada stasiun televisi Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, yang juga merupakan ketua umum dari partai politik Nasional Demokrat (Nasdem) dibawah naungan Media Group. Sebenarnya, Media Group tidak hanya menguasai Metro TV, tetapi juga masih terdapat tiga media lainnya yang berada dalam integrasi horizontal dalam industri media, yakni Lampung Post, Metrotvnews.com, dan Media Indonesia.

Pada awalnya, Surya Paloh memulai bisnis media dari sebuah media cetak bernama Prioritas, namun mengalami pembredeilan, dan akhirnya melakukan kerjasama bersama Teuku Yousli Syah selaku pendiri Media Indonesia, pada tahun 1987. Lalu, Surya Paloh membangun Metro TV sebagai salah satu televisi yang hanya memfokuskan dirinya dalam bidang jurnalistik.

Perpanjangan rantai bisnis Media Group tidak terhenti dalam industri media televisi saja, tetapi juga mulai merambah pada media digital dengan diluncurkannya metrotvnews.com.

Di dalam bukunya, Vincent Mosco melihat fenomena tersebut dengan spasialisasi. Namun, Vincent mengatakan bahwa, spasialiasi merupakan pintu kedua dalam memahami konsep ekonomi politik komunikasi.

Oleh karena itu, peneliti akan memulainya dari pintu pertama dari kajian ekonomi politik komunikasi, yaitu komodifikasi. Kemudian, pintu ketiga, yaitu strukturasi.

A. Komodifikasi

Vincent Mosco (Mosco, 2009) menjelaskan, bahwa komodifikasi merupakan transformasi barang dan jasa yang dinilai untuk penggunaannya atau proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga, suatu barang dinilai bukan berdasarkan kemampuan dan kegunaannya lagi dalam memenuhi kebutuhan, melainkan dinilai dengan apa yang didapatkannya di pasar (Mosco, 2009:156).

Secara umum, Vincent Mosco membagi komodifikasi menjadi tiga bentuk, yaitu komodifikasi konten (contents commodification), komodifikasi khalayak (audience commodification) dan komodifikasi pekerja (labor commodification).

Pertama, komodifikasi konten (contents commodification). Komodifikasi konten merupakan proses komunikasi dalam komodifikasi yang melibatkan perubahan pesan ke dalam sistem makna yang diwujudkan dalam bentuk produk sehingga dapat dipasarkan (Mosco, 2009:133). Dalam hasil temuan peneliti yang sebelumnya telah dipaparkan, bahwa Metro TV melakukan komodifikasi konten tersebut ke dalam bentuk liputan mengenai kegiatan partai Nasdem dan liputan tentang dukungan masyarakat terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf yang muncul hampir setiap hari di dalam ketiga program (Metro Pagi Primetime, Metro Siang

dan Metro Hari Ini) yang telah di teliti oleh peneliti selama satu pekan sejumlah 44 item berita dari total 102 item berita untuk kategori politik.

Ketiga pendapat narasumber tersebut, pada dasarnya berada dalam satu perspektif yang sama, yaitu mengutamakan nilai berita dan pertimbangan beritanya dalam menerima informasi liputan partai Nasdem. Mereka pun mengungkapkan, bahwa tidak adanya instruksi atau perintah untuk melakukan liputan mengenai partai Nasdem oleh Surya Paloh.

Di sisi lain, bahwa memang ada reporter Metro TV yang dikerahkan untuk mengikuti partai Nasdem tersebut.

“...Ada yang namanya tim embeded.... Ya, saya pikir itu hal yang biasa.

Kenapa? Supaya engga ketinggalan berita. Itu embeded. Ke Nasdem bagaimana? Nasdem pasti ada. Ya, memang kita ikutin dia punya aktivitas seperti apa. Tapi bukan cuma Nasdem, beberapa partai juga kita ikuti, bahkan mereka yang mengundang....” –Kabul Indrawan

Yunanto Hariandja juga menjelaskan, bahwa tim embeded tersebut, tidak hanya mengikuti partai Nasdem, tetapi juga seluruh partai politik dan hanya ada saat menjelang pemilu saja. Selain itu, mengenai tingginya intensitas pemberitaan partai Nasdem di Metro TV, Yunanto berpendapat sebagai berikut.

“...Tergantung kegiatan kan? Kalo dia tidak banyak kegiatannya, ya reporternya saya, tidak ada kegiatan apapun. Kalo kegiatannya pak Surya Paloh banyak, ya, berarti beritanya banyak, gitu. Kenapa Surya Paloh?

Name make news. Nama membuat berita....”

Sedangkan untuk, Iswahyudi Rachmanto memiliki pendapat yang sedikit berbeda dalam meliput setiap kegiatan Surya Paloh dan partai politiknya tersebut, ia melihat rutinnya penayangan mengenai partai Nasdem, karena adanya kesamaan visi yang dimiliki oleh Metro TV dengan partai Nasdem, walaupun

Iswahyudi mengakui, bahwa memang ada kewajiban untuk meliput kegiatan Surya Paloh maupun partai Nasdem tersebut.

Iswahyudi mengakui, bahwa memang ada kewajiban untuk meliput kegiatan Surya Paloh maupun partai Nasdem tersebut.