• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I PENDAHULUAN

1.5 Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam bidang jurnalistik berkaitan dengan independensi wartawan.

1.5.2 Signifikansi Praktis

Dengan adanya hubungan politik dan ekonomi dalam industri media, khususnya Metro TV, penelitian ini bisa bermanfaat bagi pemilik media dalam menggunakan kekuasaannya dengan tetap menjaga netralitas media yang dinaunginya.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kajian Pustaka – Penelitian Sejenis

Di dalam penelitian ini, peneliti memaparkan dua penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti mengenai kajian ekonomi-politik media.

Pertama, penelitian milik Anett Keller yang berjudul “Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional : Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika” merupakan tesisnya dalam menempuh gelar Master di Universitas Diponegoro pada tahun 2004 yang kemudian dibukukan oleh Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office pada tahun 2009. Dalam penelitian Anett Keller berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana otonomi redaksi dalam media massa di Indonesia dijalankan dengan mengacu pada istilah dualisme kebebasan pers : pertama, sebagai bentuk hak asasi yang dijamin Undang-Undang Dasar (UUD) dan kedua yang penerapannya diterapkan dalam bentuk perusahaan media –yang umumnya swasta. Penelitian dilakukan di empat harian pagi nasional Indonesia, yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika. Hasil yang diperoleh dari pengamatan lapangan mengenai kerja redaksi dan wawancara kepada pihak terkait menunjukkan, bahwa para wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang masif dari pemilik sehubungan dengan apa yang seharusnya ditulis atau diterbitkan. Sebaliknya,

wartawan-wartawan yang paling independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Sedangkan, penelitian kedua milik Garnis Geani yang berasal dari Universitas Indonesia (UI) yang berjudul “Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)” yang menjelaskan pemaknaan yang dikaitkan dengan faktor-faktor socio-kultural para reporter Metro TV dalam melakukan tugasnya yang mengacu pada profesionalisme jurnalisme dan independensi Metro TV. Garnis Geani menggunakan pendekatan kualitatif dengan merujuk pada teori resepsi atau teori penerimaan dari Stuart Hall (1993) melalui metode Snowball Sampling dan wawancara. Hasilnya, Garnis Geani menyimpulkan dalam penelitiannya berjudul “Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)”, bahwa tidak semua reporter dapat memaknai arti profesionalisme dan independensi jurnalisme.

Dari kedua penelitian yang telah dipaparkan, dapat ditemukan adanya persamaan dan perbedaan antara penelitian yang sedang diteliti saat ini yang berjudul “Independensi Wartawan di Bawah Dominasi Pemilik Media (Studi Kasus Wartawan Metro TV)” dengan kedua penelitian sebelumnya. Persamaan antara ketiga penelitian ini adalah kajian mengenai kebebasan pers yang terjadi dalam industri media yang secara khusus mengarah pada wartawan dalam media-media swasta.

Sedangkan untuk perbedaan dalam kedua penelitian terdahulu dengan yang sedang peneliti terletak pada beberapa hal. Dalam penelitian Garnis Geani yang berjudul “Pemaknaan Reporter Mengenai Profesionalisme Jurnalis dan Independensi Metro TV (Studi pada Reporter Metro TV dalam Peliputan Berita Politik 2014)” menekankan pada pemaknaan profesionalisme di kalangan wartawan Metro TV, sedangkan dalam penelitian milik Anett Keller yang berjudul “Tantangan dari Dalam Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional : Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika”, perbedaan tersebut terletak pada objek yang dikaji yang menggunakan media cetak di empat harian pagi nasional.

Penelitian Sejenis

Katergori Peneliti 1 Peneliti 2 Peneliti 3

Nama Peneliti Anett Keller Garnis Geani Vinny Chairany

Lembaga &

Tujuan Untuk mengetahui Untuk Untuk mengetahui

Penelitian bagaimana otonomi

Penelitian Pendekatan kualitatif Pendekatan kualitatif

2.2 Kerangka Konsep dan Teori 2.2.1 Kerangka Konsep 2.2.1.1 Independensi Jurnalisme

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menyampaikan kepada seluruh wartawan di Indonesia, agar menjaga independensi dalam pemberitaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018.3

Himbauan yang dilakukan oleh organisasi PWI yang dilaporkan oleh media online Republika ini berkaitan dengan banyaknya keluhan mengenai pemberitaan-pemberitaan yang bersifat tendensius mengenai pilkada, khususnya pilkada DKI Jakarta. Di tahun 2017 lalu, pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu contoh, bagaimana media-media saling bertarung membawa idealoginya masing-masing dalam mendukung kandidat pasangan calon gubernur DKI Jakarta. Akibatnya, masyarakat diterpa dengan beragam informasi yang cenderung tendensius dan tidak berimbang. Isu-isu yang dilemparkan ke publik pun merupakan isu-isu yang sensitif, seperti SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang mengeksploitasi unsur agama dan ras.

Dikutip dalam laman liputan6.com, "Di Indonesia sendiri, politik kebencian mengeksploitasi sentimen agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara. Mereka membenci yang dianggap berbeda, antara lain mereka yang dituduh Islam, nasionalis, separatis,

3“PWI Minta Wartawan Jaga Independensi pada Tahun Politik” dalam

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/01/21/p2wogd348-pwi-minta-wartawan-jaga-independensi-pada-tahun-politik dikutip pada 01 Oktober 2018 pukul 14:43 WIB

pembangunan atau Komunis," kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.4

Penggunaan isu SARA dalam pertentangan politik biasa terjadi sebagai pembentukan identitas. Hal ini dikarenakan, Indonesia merupakan sebuah negara multietnik yang tidak lepas dari stereotipe yang melekat pada suku-suku tersebut, sehingga menimbulkan adanya sifat pengotak-pengotakan di dalam masyarakat. Pada akhirnya ini menjadi celah bagi para aktor politik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Paramita dalam bukunya

“Menjejal Jakarta” (2018:5) menjelaskan bahwa, “Etnik dan agama –serta prasangka yang mengikutinya– seringkali diperam sebagai daya ungkit menyebar kebencian.”

Keadaan tersebut akhirnya semakin keruh, manakala media turut berperan dalam memainkan isu-isu tersebut, yang tentunya sudah disesuaikan dengan ideologi – ideologi yang dimiliki oleh media tersebut. Dengan begitu, masyarakat akan terpolarisasi ke dalam kelompok – kelompok tertentu.

Menurut Lenin dalam buku “Menjejal Jakarta” (Paramita, 2018:16-17) menjelaskan, “Propaganda merupakan penggunaan argumen-argumen filosofis, sejarah, dan ilmu pengetahuan dengan cara persuasif untuk memengaruhi kaum terdidik dan yang berpikiran sehat. Sementara agitasi adalah penggunaan slogan-slogan emosional, parabel-parabel, dan kebenaran yang diungkap sebagian untuk memengaruhi kaum yang tidak terdidik, kaum yang agak terdidik, dan yang tidak berpikiran sehat.” Melalui langkah inilah,

4 “Amnesty International : 2017, Indonesia Alami Tahun Politik Kebencian” dalam

https://www.liputan6.com/news/read/3311902/amnesty-international-2017-indonesia-alami-tahun-politik-kebencian dikutip pada 02 Oktober 2018 pukul 22:34

media mencoba untuk memanfaatkan polarisasi yang terbentuk di dalam masyarakat dengan pemberitaan-pemberitaan yang mendukung ideologi yang dimiliki oleh masyarakat, yang sebenarnya telah dibentuk oleh media itu sendiri.

Herman dan Chomsky dalam Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Nugroho, 2012:14) juga membahas isu ini.

Sebagai sebuah perantara antara ranah privat dan publik, media membentuk sebuah sarana yang ampuh untuk propaganda dikarenakan kemampuan media untuk mengatur opini publik. Meskipun fungsi media tidak semata – mata untuk memproduksi propaganda, namun propaganda merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan layanan media.

Dikutip dalam laporan yang berjudul “Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia” yang ditulis oleh Yanuar Nugroho dkk (2012:48) menjelaskan, “...Konten media telah menjadi sangat tergantung pada rating, yang mencerminkan tidak lebih dari ‘keinginan manusia’ (lebih tepatnya: keinginan yang terekayasa) daripada kebutuhan manusia”.

Dengan kata lain, kemampuan ‘merekayasa keinginan’ menjadi suatu

‘kebutuhan’ ini membuat media, khususnya dalam penelitian ini adalah media televisi nampak ‘perkasa’ bagi masyarakat, karena mampu menggiring opini sesuai dengan ideologi dari media televisi tersebut. Sehingga yang terlihat oleh publik adalah, bahwa media memberikan informasi-informasi yang seolah berpihak kepada publik, namun sebenarnya informasi tersebut

merupakan hasil dari berbagai pertentangan kepentingan yang terjadi di dalam media tersebut.

Di dalam buku yang berjudul Media dan Kekuasaan : Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto (2014:120), bahwa terdapat dua kepentingan yang beradu di dalam newsroom sebuah media, yakni kontestasi politik dan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi politik, perbenturan antara rasionalitas substansif dan formal sebenarnya merupakan kontestasi antara peluang struktural yang dimainkan oleh para jurnalis televisi dengan entitas idealisme mereka dan para pemilik media sebagai representasi kelas kapitalis yang sarat dengan spirit neoliberalisme.

Pertentangan ideologi di dalam newsroom inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah ideologi media televisi yang nantinya akan disebarluaskan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan media televisi dalam penyebaran ideologi oleh pemilik maupun pihak luar dari media tersebut, seperti aktor politik dan pengiklan seringkali terjadi di industri media, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga diberbagai negara. Hal ini, berdampak juga pada masyarakat yang berubah stastusnya dari warga negara menjadi konsumen, karena penggiringan opini yang dilakukan secara berlebihan.

Contoh dari penggiringan opini tersebut bisa terlihat saat Indonesia memasuki masa-masa pemillihan umum, bagaimana media-media televisi menunjukkan ideologi mereka dengan memihak kepada salah satu kandidat peserta pemilu secara terang-terangan.

Hal ini, membuat media seolah melupakan dasar dari didirikannya media bahwa, penggunaan media televisi menggunakan frekuensi milik publik, yang mana, media televisi bertanggung jawab atas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan informasi dengan terikat oleh aturan – aturan tertulis dalam undang-undang untuk menyampaikan sebuah informasi, seperti UU No. 40 tahun 1999 mengenai pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Seperti yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 1 yang menjelaskan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Dalam penafsirannya, independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Dan yang terakhir, tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.5

Berdasarkan Kode Etik Jurnalistik, independen memiliki arti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa media dilingkupi oleh dua kontestasi besar, yakni kontestasi ekonomi dan politik.

5 “Kode Etik Jurnalistik” dalam

http://www.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=40:kode-etik-jurnalistik&catid=30:kode-etik-jurnalistik&Itemid=32 dikutip pada 09 Oktober 2018 pukul 18:55 WIB

Dalam kontestasi ekonomi, terjadi pada jurnalis dan pemilik media, ditentukan oleh dua faktor dominan, yaitu besarnya bisnis televisi sebagai bagian dari kekuatan ekonomi pemilik, dan kaitan antara berita yang ditulis atau ditayangkan dengan kepentingan pemilik dan iklan yang menghidupi televisi. (Ishadi, 2014:120)

Sedangkan dalam kontestasi politik, terjadi antara jurnalis dengan pemilik media yang sebenarnya mengikuti salah satu karakteristik dari mekanisme yang terjadi di ruang pemberitaan, yaitu proses dan kerja berita didasarkan pada landasan ideologis. (Ishadi, 2014:126-127)

Adanya campur tangan pemilik terhadap medianya secara tidak langsung mempengaruhi independensi seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dikarenakan, jurnalisme adalah paham tentang kegiatan jurnalistik yang meliputi: mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan media.

Menurut Siregar (Kompas, 21 Juli 2013), dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik, terdapat prinsip independensi dan netralitas yang harus ditegakkan. (Dewan Pers, 2014:5)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anett Keller yang berjudul Tantangan dari Dalam mengenai independensi dan otonomi redaksi di empat surat kabar besar di Indonesia, yakni Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, dan Republika menyatakan, bahwa para wartawan yang bekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memiliki latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang masif dari pemilik media sehubungan dengan apa

yang seharusnya ditulis atau diterbitkan. Sebaliknya, wartawan-wartawan yang paling independen adalah mereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh yayasan.

Meskipun, penelitian yang dilakukan oleh Anett Keller hanya berputar pada media cetak, namun penelitian ini bisa menjadi acuan dalam perkembangan jurnalistik di Indonesia. Maka dari itu, bila melihat kepemilikan media di Indonesia saat ini, khususnya media televisi yang lebih banyak didominasi oleh pengusaha yang juga beberapa diantaranya terjun dalam dunia politik semakin semakin mempengaruhi tingkat independensi sebuah media, khususnya wartawan.

Hal ini kembali diperkuat dengan temuan yang dikutip dalam Jurnal Dewan Pers edisi no. 9, Juni 2014 yang berjudul Mengungkap Independensi Media menemukan hasil media baik itu televisi, surat kabar, maupun berita online yang pemiliknya memiliki kaitan dengan aktivitas partai politik, terlebih lagi berkeinginan menjadi presiden atau wakil presiden, memiliki kecenderungan tidak independen dan netral dalam pemberitaan politik.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Puji Rianto dkk menjelaskan mengenai bentuk-bentuk sentuhan para pemilik media, “...meminjam istilah anggota Komisioner KPI bidang Isi Siaran, Agatha Lily, yang sangat kreatif. Para pemilik menggunakan media mereka dengan iklan, blocking time, talkshow, dan juga breaking news, para kandidat ini juga masuk melalui liputan-liputan infotainment dan program acara kuis.”

Beberapa contoh, kepemilikan media yang dipegang oleh pengusaha sekaligus politikus adalah Hary Tanoesoedibjo sebagai pemilik RCTI, MNC TV dan Global TV menjabat sebagai ketua umum partai Perindo, Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV menjabat sebagai ketua dewan pembina partai Golkar, serta Surya Paloh yang memiliki Metro TV merupakan ketua umum dari partai Nasdem.

Dengan menyadari bahwa kepemilikan media dikuasai oleh seorang politikus, maka media tersebut tidak hanya berpaku pada logika ekonomi yang menguntungkan dari segi profit, tetapi juga logika politis yang merujuk pada pencitraan partai politiknya seperti yang telah disebutkan oleh Puji Rianto dan kawan-kawannya dalam penelitiannya tersebut. Keberpihakan media-media tersebut pada akhirnya mengorbankan independensi yang dimiliki oleh media, khususnya para wartawan dalam melakukan liputannya.

Hal ini juga berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi wartawan ketika wartawan tersebut dengan terang-terangan menunjukkan keberpihakannya. Perusahaan komunikasi Edelman, menemukan kepercayaan orang kepada media di Australia sekarang peringkat kedua terendah dari 28 negara yang disurvei. Orang Turki berada di tingkat terendah. Menurut survei tahun 2018 itu, sekitar tujuh dari 10 orang Australia khwatir tentang penyebaran isu informasi palsu dan ‘berita palsu’ sedang digunakan sebagai senjata menyesatkan dan mempengaruhi opini publik.6

6“Orang Australia Tidak Percaya Pada Media, Tapi Masih Menghargai Jurnalisme” dalam

http://www.abc.net.au/indonesian/2018-09-10/australia-hilang-kepercayaan-pada-media-tidak-pada-jurnalisme/10223568 dikutip pada 09 Oktober 2018 pukul 21:10

Gambar 2.1

Tingkat Kepercayaan terhadap Media di Indonesia

Dari studi Edelman, sejak 2012 hingga 2018, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media memperlihatkan tren yang menurun. Pada 2013, tingkat kepercayaan terhadap media memang sempat meningkat dari 68 persen di 2012 menjadi 73 persen. Namun, setelahnya, menurun bahkan mencapai 63 persen di 2016.7 Sedangkan pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 67 persen, dan ditahun 2018 tingkat kepercayaan terhadap media meningkat 1 persen, menjadi 68 persen.

Gambar 2.2

Tingkat Kepercayaan terhadap Media berdasarkan Jenisnya

7“Hoaks dan Bahaya Rendahnya Kepercayaan terhadap Media” dalam https://tirto.id/hoaks-dan-bahaya-rendahnya-kepercayaan-terhadap-media-cKAx dikutip pada 09 Oktober 2018 pukul 21:48

Bila dilihat berdasarkan jenisnya, kepercayaan masyarakat menunjukkan tren yang menurun untuk media sosial dan tradisional, sedangkan mesin pencari online dan media online menunjukkan tren yang meningkat. Seperti yang terlihat dalam grafik diatas, tingkat kepercayaan terhadap mesin pencari online pada tahun 2014 mencapai angka 80 persen, namun ditahun 2015 dan 2016 menunjukkan penurunan masing-masing menyentuh angka 80 persen dan 75 persen, sedangkan pada tahun 2017 menunjukkan peningkatan hingga mencapai angka 83 persen.

Untuk tingkat kepercayaan terhadap media tradisional seperti media cetak dan televisi menunjukkan tren yang menurun. Pada tahun 2014, media tradisional berada pada tingkat 77 persen. Untuk tahun 2015 dan 2016 berturut-turut menyentuh angka 72 persen dan 70 persen. Sedangkan pada tahun 2017, mengalami peningkatan hingga mencapai angka 75 persen.

Media sosial menunjukkan tren yang juga menurun mengenai tingkat kepercayaan terhadap media, yang mana, pada tahun 2014, media sosial berada dalam angka 69 persen. Di tahun 2015 mengalami peningkatan hingga menyentuh angka 72 persen. Sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan hingga mencapai 63 persen, dan tahun 2017, media sosial mengalami peningkatan hingga mencapai 67 persen.

Sedangkan untuk media online justru mengalami tren yang meningkat sama halnya dengan mesin pencari online. Di tahun 2014, tingkat kepercayaan terhadap media online berada pada angka 72 persen. Pada tahun 2015, mengalami penurunan sehingga menyentuh angka 69 persen. Namun,

pada tahun 2016 dan tahun 2017 mengalami peningkatan berturut-turut mencapai angka 69 persen dan 76 persen.

Meskipun begitu,merujuk pada Edelman Trust Barometer Global Report 2018, masyarakat Indonesia masih mempercayai institusi media sebagai sumber informasinya yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menempati urutan nomor dua dengan tingkap kepercayaan masyarakat terhadap media, setelah China, dan posisi ketiga ditempati oleh India, sedangkan posisi terakhir di tempati oleh Australia dan Turki.8

Dengan tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media, khususnya media televisi, sudah seharusnya tidak mengabaikan prinsip independensi jurnalisme dalam hal menyampaikan informasi. Meskipun, audiens memiliki kuasa dan pengetahuan untuk menonton tayangan apa yang layak disaksikan. Meski hanya duduk saja, tidak berarti audiens berada dalam posisi pasif. Ketika proses menonton, audiens mengurai kode (decoding) pesan dan memaknai teks berdasarkan frame of reference dan field of experience yang dimiliki. (Utomo, 2018:6)

Sehingga, audiens memiliki pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam menilai suatu informasi yang diberikan oleh media televisi, khususnya dalam bentuk pemberitaan. Namun, apabila media televisi, khususnya pemberitaan, memberikan informasi-informasi yang tidak independen dan bersifat tendensius secara terus-menerus, maka masyarakat akan cenderung

8 2018 Edelman Trust Barometer Global Report With Talk Track_ with market wording

sulit menemukan informasi maupun berita yang benar, yang akhirnya berujung pada kepercayaan masyarakat terhadap media yang menurun.

2.2.1.2 Jurnalisme Televisi

Menurut Peter Herford dalam buku “Jurnalistik Televisi Mutakhir”

(2010:2) menjelaskan :

“Setiap stasiun televisi dapat menayangkan berbagai program hiburan seperti film, musik, kuis, talk show, dan sebagainya, tetapi siaran berita merupakan program yang mengidentifikasikan suatu stasiun TV kepada pemirsanya.”

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa program berita merupakan karakteristik yang harus dimiliki oleh stasiun televisi. Adanya program berita televisi juga merupakan bentuk tanggung jawab media televisi terhadap masyarakatnya dengan menyampaikan beragam informasi yang bermanfaat, dikarenakan penggunaan frekuensi siaran milik publik.

Fakta bahwa media televisi bisa dilihat sebagai sumber informasi dan juga sumber hiburan di waktu luang (leisure pleasure) konsisten dengan pandangan dimana materi hiburan juga bersifat informasional, dan bahwa program-program informasional dikonstruksi dengan cara tertentu sehingga menyenangkan untuk ditonton. (Burton, 2011:81)

Sehingga dapat dikatakan, bahwa media televisi tidak hanya memberikan informasi dalam bentuk pemberitaan, namun juga dalam program hiburan sekalipun dapat ditemukan sebuah informasi.

Oleh karena itu, program berita membutuhkan reporter atau jurnalis untuk menjalankannya, maka dari sini muncul jurnalistik televisi sebagai salah satu cabang ilmu di bidang komunikasi. Pada hakikatnya jurnalistik televisi lahir karena perkembangan teknologi dalam mengirim suara dan gambar. (Morrisan, 2010:2)

Graeme dalam bukunya Membincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisi (2011:165-166) berpendapat, berita juga menjadi objek perhatian khusus tentang dunia yang ia jual kepada kita sebagai satu-satunya pandangan yang layak untuk dianut. Ini menjadikan berita sebagai sebuah operasi ideologis, yang hadir karena ia menjalankan sepilihan pandangan tetang politik, ekonomi, masyarakat –pendek kata, sebuah pandangan kekuasaan.

Sedangkan menurut Morrisan (2010:8), berita adalah informasi yang penting dan/atau menarik bagi khalayak audien.

Penyajian berita pada media televisi antara suara dan gambar yang muncul harus seiring sejalan (sinkron) dan masalah sinkronisasi ini merupakan hal yang mutlak. (Morrisan, 2010:5)

Mutlaknya masalah sinkronisasi ini berdampak pada penyampaian pesan dan kredibilitas dari suatu media. Hal ini dikarenakan, apabila suatu berita tidak memberikan gambaran yang mewakilkan narasi berita yang sedang dibacakan, maka khalayak akan cenderung tidak memahami isi pesan yang disampaikan dan berujung pada ketidakpercayaan terhadap program berita tersebut.

Oleh karena itu Morrisan dalam bukunya Jurnalistik Televisi Mutakhir (2010:8-10) menuturkan informasi yang dapat dipilih sebagai suatu berita harus memenuhi dua aspek, yaitu :

1. Aspek Penting

Suatu informasi dikatakan penting jika informasi itu memberikan pengaruh atau memiliki dampak kepada penonton. Ada sejumlah patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berita seperti apa yang memiliki dampak paling besar, yakni :

a. Nyawa manusia. Berita yang paling kuat adalah berita yang memberikan informasi kepada penonton bahwa nyawa orang atau sekelompok terancam, seperti pemboman, bencana alam, atau kerusuhan massa.

b. Uang. Berita yang memiliki pengaruh terhadap kondisi keuangan masyarakat adalah berita yang sangat penting. Uang membuat dunia berputar, seperti halnya kenaikan harga BBM.

b. Uang. Berita yang memiliki pengaruh terhadap kondisi keuangan masyarakat adalah berita yang sangat penting. Uang membuat dunia berputar, seperti halnya kenaikan harga BBM.