• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pengelolaan Sumber Daya

4. Administrasi

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :

4.1. Administrasi umum.

Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.2. Administrasi pelayanan.

Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

b. Pelayanan

1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :

- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.

- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2. Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7. Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2) Promosi dan edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut

membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3) Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medicationrecord).

c. Evaluasi mutu pelayanan

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket

atau wawancara langsung.

2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :

• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;

• Adanya pembagian tugas dan wewenang;

• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;

• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;

• Membantu proses audit.

Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:

• Tujuan : merupakan tujuan protap.

• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.

• Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.

• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.

(Anonim, 2004a)

D. Sumpah Apoteker

Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan

Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus

diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker

dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan

keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker

(Anonim, 2004b).

Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan

bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau

pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan

keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya,

sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan

membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus

dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun

akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada

lampiran 4.

E. Kode Etik Apoteker

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai

rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan

keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker

dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184

yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu

memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi

Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan

Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005

dapat dilihat pada lampiran 5.

Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :

1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)

Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai

dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan

masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai

penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan

sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak

melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus

mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya

yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang

ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan

2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)

Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat

memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai

manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang

diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu

sendiri. (Anief, 1995)

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek

melakukan bisnis yang beretika.

Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam

menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah

moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun

telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan

penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan

dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan

ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan

bisnis adalah :

1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak

berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil

keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan

tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik

perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat

2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak,

mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.

3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal,

minimal tidak merugikan orang lain.

4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan

sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan

orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.

(Isdaryadi, 2005)

Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang

bersangkutan dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada

anggota yang melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah

dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).

F. Keterangan Empiris

Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI

nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu :

pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil

penelitian diharapkan dapat diperleh gambaran mengenai pelaksanaan standar

pelayanan kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan

rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian

yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa

adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001).

Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang

memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada

perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).

Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau

keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk

mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara

obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).

B. Batasan Operasional Penelitian

1. Kajian adalah studi yang dilaksanakan untuk memperdalam atau mengetahui

dengan lebih jelas suatu hal.

2. Pelaksanaan adalah proses melaksanakan.

3. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan

sebagai patokan, dalam hal ini berdasarkan pada KepMenKes Nomor

1027/MENKES/SK/X/2004 dikatakan telah dilaksanakan dengan baik apabila

persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka

dikatakan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik.

4. Apotek adalah 55 apotek yang berada di wilayah Kabupaten Bantul.

5. Responden adalah Apoteker baik Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker

Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang :

1. karakteristik responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia,

benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau

peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam

suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua

apotek yang ada di Kabupaten Bantul.

Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Bantul, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Bantul tahun 2006

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data

sebenarnya dalam penelitian. Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan

besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah

minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap

populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah

minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data

(hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

Menurut Notoatmodjo, sampel dapat diperoleh dengan rumus :

n = ) ( 1 N d2 N + dimana :

n = besar sampel yang diambil

N = besar populasi

d = tingkat signifikansi (10%) (Notoatmodjo, 2002).

Penelitian ini tidak digunakan teknik sampling dikarenakan penelitian

dapat mencakup seluruh populasi, dikarenakan populasi berjumlah kurang dari

seratus responden yaitu 55 responden

E. Tata Cara Pengumpulan Data

1. Penyusunan Kuisioner

Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam

penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari

responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).

Kuisioner yang digunakan memuat sejumlah pertanyaan yang harus

dijawab secara tertulis oleh responden. Kuisioner disusun dengan mengacu

KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 dan terbagi menjadi empat

bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan

evaluasi mutu pelayanan.

2. Pengujian kuesioner

a. Uji pemahaman bahasa

Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana

bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner

dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan

pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman

bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima

apotek di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat

pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat

tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang

sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003).

Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu

untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).

Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi.

Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi

pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana

dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan

analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan

hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang

akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner

akan tercapai.

c. Uji reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap

apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut

memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak

berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan

tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan

homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena

pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung

terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas

data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden

menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan

asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang

mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi

reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran Kuisioner

Penyebaran kuisioner langsung kepada responden dan peneliti akan

mendampingi dalam pengisian kuisioner agar dapat menjelaskan kepada

responden maksud dari kuisioner dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di

dalamnya serta apabila responden mengalami kesulitan dalam mengisi

kuesioner tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka

kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian

diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuisioner

dilakukan pada bulan Februari-Maret 2007.

4. Pengumpulan Kuisioner

Kuisioner langsung dikumpulkan saat itu juga, sehingga kuisioner

yang dikembalikan jumlahnya sama dengan jumlah kuisioner yang

diambil setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang

dikembalikan yaitu sebanyak 35 buah.

5. Wawancara

Menurut Nawawi (1998), wawancara adalah usaha mengumpulkan

informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab

secara lisan pula. Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang

diperoleh (Mardalis, 2006). Wawancara ini dilakukan dengan dititikberatkan

pada tiga hal, yaitu ketersediaan ruang tertutup untuk konseling, medication record dan tindak lanjut terapi melalui home care.

F. Tata Cara Menampilkan Data

Menampilkan data dilakukan menggunakan metode deskrptif non analisis,

yaitu dengan cara dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter

utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung

jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Hasil perhitungan data ditampilkan

dalam bentuk tabel dan diagram. Dikatakan telah melaksanakan Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh apabila persentasenya lebih dari

50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor

G. Kesulitan Penelitian

Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :

1. sulit untuk meminta kesediaan apoteker menjadi responden

2. tidak dilakukannya wawancara secara mendalam kepada responden berkaitan

dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan

3. sulit untuk mengetahui perbandingan tingkat pelaksanaan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek dari setiap responden.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Apotek yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Bantul pada tahun 2006

berjumlah 55 Apotek. Jumlah tersebut merupakan populasi apotek yang akan

diteliti mengenai “Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

berdasarkan KepMenKes RI No 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten

Bantul”. Dari 55 kuisioner yang disebarkan untuk penelitian hanya dikembalikan

oleh 35 responden.

Tabel I. Data apotek yang mengembalikan kuisioner

No Kecamatan Jumlah apotek

1 Bantul 9 2 Sewon 3 3 Banguntapan 6 4 Imogiri 1 5 Piyungan 4 6 Sedayu 1 7 Bambanglipuro 1 8 Kasihan 6 9 Plered 1 10 Srandakan 3 Total 35 37

Hasil yang diperoleh dari 35 responden tersebut kemudian ditampilkan dengan

metode deskriptif non analisis dimana jawaban yang sama dikelompokkan dan

dihitung persentasenya. Data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel

atau diagram (gambar). Berikut hasil tampilan data :

A. Data Responden

1. Posisi Responden

Gambaran mengenai posisi responden di apotek dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel II. Data posisi responden di apotek

No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Apoteker Pengelola Apotek 32 91

2 Apoteker Pendamping 3 9

Total 35 100

Menurut Permenkes 922 tahun 1993, Apoteker di apotek ada yang

disebut dengan Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan

Apoteker Pengganti. Hasil penelitian didapatkan bahwa 91% responden

sebagai Apoteker Pengelola Apotek dan sembilan persen responden sebagai

2. Usia Responden

Gambaran mengenai usia responden dapat dilihat pada gambar berikut:

Usia Responden 80% 17% 3% 21-35 tahun 36-50 tahun >50 tahun

Gambar 1. Diagram Usia Respoden

Hasil penelitian mengenai usia responden diatas menunjukkan bahwa

delapan puluh persen responden berusia 21-35 tahun, tujuh belas persen

responden berusia 36-50 tahun dan tiga persen responden berusia di atas 50

tahun.

3. Pengalaman responden bekerja sebagai apoteker di apotek

Gambaran mengenai pengalaman responden bekerja sebagai apoteker

di apotek dapat dilihat pada gambar berikut:

Pengalaman bekerja sebagai Apoteker di apotek

17% 23% 3% 57% < 1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun > 10 tahun

Gambar 2. Diagram pengalaman responden bekerja sebagai apoteker di apotek

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki

pengalaman kerja sebagai Apoteker di apotek selama kurang dari satu tahun

sebesar tujuh belas persen, satu sampai lima tahun sebesar 57%, enam sampai

sepuluh tahun sebesar 23% dan yang bekerja lebih dari sepuluh tahun sebesar

tiga persen.

4. Adanya pekerjaan lain dari responden selain sebagai apoteker

Gambaran mengenai jumlah responden yang memiliki pekerjaan lain

selain apoteker di apotek yang bersangkutan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel III. Data adanya Pekerjaan Lain dari Responden

No Adanya pekerjaan lain selain

sebagai apoteker Jumlah

Persentase (%) n = 35

1 Ya 11 31

2 Tidak 24 69

Total 35 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 31% responden memiliki

pekerjaan lain selain sebagai Apoteker di apotek, sedangkan 69% responden

tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai Apoteker di apotek.

5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu

Gambaran mengenai waktu kerja responden di apotek dalam seminggu

Tabel IV. Data waktu kerja responden dalam seminggu

No Waktu kerja responden di apotek

dalam seminggu Jumlah

Persentase (%) n = 35

1 3 - 5 hari 5 14

2 6 - 7 hari 30 86

Total 35 100

Hasil penelitian dapat dilihat bahwa empat belas persen responden

bekerja sebagai apoteker di apotek selama tiga sampai lima hari dalam

seminggu dan 86% responden bekerja selama enam sampai tujuh hari dalam

seminggu. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang

bekerja sebagai apoteker di apotek telah memenuhi ketentuan yang berlaku.

6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari

Gambaran mengenai waktu kerja responden di apotek dalam sehari

dapat dilihat pada gambar berikut:

Rata-rata Apoteker berada di apotek dalam satu hari 12% 34% 54% < 4 jam 4-6 jam > 6 jam

Gambar 3. Diagram waktu kerja responden di apotek dalam sehari

Hasil penelitian dapat dilihat bahwa 54% apoteker berada di apotek

13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu waktu kerja dalam sehari adalah

7 (tujuh) jam. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan apoteker sebagian besar

telah memenuhi ketentuan yang berlaku.

B. Pengelolaan Sumber Daya

1. Sumber daya manusia

Dalam Permenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, sesuai dengan

ketentuan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang

profesional. Dalam mengelola apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki

kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat, kemampuan

berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam

situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu

belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi

peluang untuk meningkatkan pengetahuan. WHO sebagai badan kesehatan

dunia menyatakan dalam seven stars pharmacist, yaitu Apoteker atau farmasis sebagai leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil

keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan

mengelola hasil keputusan.

Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20 menyebutkan bahwa

Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan

yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam

dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten

apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Tabel V. Pengambilan keputusan di apotek berdasarkan persetujuan APA

No Pengambilan keputusan

berdasarkan persetujuan APA Jumlah

Dokumen terkait